Sabtu, 14 April 2018

Dua Lelaki


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sudah hampir sepuluh menit aku duduk di ruang tunggu bandara. Di kedatangan internasional, tepatnya. Malam itu ramai sekali. Di layar informasi penerbangan, terlihat kalau ada tiga pesawat landing berbarengan. Salah satunya pesawat yang ditumpangi Fariz. Dia datang dari Malaysia. Sebenarnya kedatangan dia terkait bisnis dengan suamiku. Namun, Fariz minta ke suamiku agar aku yang menjemput. Bisa langsung kutebak maksud permintaannya itu.
Duduk sendiri, ada saja satu dua lelaki yang iseng menyapa. Biasalah sok kenal sok deket. Aku senyumin saja. Untungnya mereka tak bertingkah aneh-aneh. Rombongan penumpang pun mulai berdatangan. Beranjak aku dari kursi untuk mendekat. Tidak lama, terlihat sosok Fariz melambai ke arahku. Aku pun balas melambai.
“Makasi banget loh Dit, mau repot-repot jemput.” Fariz tersenyum. Dia lalu mencium pipi kanan dan kiriku.
“Nggak apa-apa,” sahutku singkat.
“Hendra nggak ikut?” Jelas ini adalah pertanyaan retoris. Kan mereka sudah kontak sebelumnya. Mungkin juga ingin memastikan. Aku jawab dengan gelengan kepala.
Kemudian kami sudah berkendara dalam mobil. Fariz menawarkan diri untuk menyetir. Kupikir akan langsung ke hotel, ternyata dia ngajak mampir. Ke sebuah cafe punya teman buat ngilangin jetlag, kata Fariz. Suami sempat menelpon aku. Menanyakan apakah aku sudah bertemu Fariz. Aku serahkan saja telepon ke Fariz, agar mereka bisa berbincang.

Jumat, 13 April 2018

Kasus Hukum


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Oh gini toh rasanya meeting,” Yudhi tersenyum.
Aku ikut tersenyum. “Emang belum pernah ya?”
“Belum Kak, pernah sih diajak sama ayah tapi ujungnya keluar buat ngerokok. Pusing, denger orang ngobrol ngawur-ngidul.” Kali ini dia terbahak.
“Ya belajar dong. Kan kasihan bisnis ayahmu nggak ada yang nerusin.”
Yudhi mengangguk.
By the way. Mba Dita minggu ini ada waktu kosong nggak?”
“Memang kenapa?” Tanyaku.
“Nggak sih. Pengen ngajak makan aja, sambil ngomongin kontrak ini, masih belum bener-bener ngerti soalnya. Kalo situasinya lebih nyante kali aja bisa cepet nyantol di otak.” Lagi Yudhi tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, dia lanjutkan lagi kata-katanya. “Sebenernya cuma modus doang sih ini, biar bisa ketemu Kak Dita lagi.”
Yudhi tertawa, begitu pula aku. Ini mau modus kok blak-blakan sih.
“Boleh. Nanti kita atur aja waktunya ya.”
Kami pun bersalaman, kemudian dia berpamitan. Yudhi mulai menggantikan peran ayahnya, Pak Romi, yang sakit. Agak sulit sih, karena basic dia bukanlah ekonomi ataupun manajemen. Butuh waktu baginya untuk mempelajari, termasuk kontrak dengan tempatku bekerja. Tadi dia datang ditemani Direktur Keuangan perusahaan, serta seorang pengacara.