Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Suatu hari
aku mendapat telpon. Telpon dari sepupuku diluar kota.
Sepupuku mengabari kalau anaknya mengalami kecelakaan. Baru saja rumah sakit
menelponnya. Kabar yang mengagetkan. Andre, nama keponakanku itu. Andre kuliah
di kotaku. Dia sempat tinggal dirumahku sebelum mendapat kos. Suara sepupuku
terdengar panik, sedikit terisak pula. Dia minta tolong mengecek anaknya di
rumah sakit. Dia sendiri akan segera datang, begitu mendapat tiket pesawat.
Beruntung
saat itu waktu makan siang. Aku pamit ke manager dengan alasan makan diluar.
Bertemu klien kupakai sebagai alasan tambahan. Siapa tahu waktuku kurang
nantinya. Sebelum pergi, kutelpon suamiku.
“Serius Ma?”
“Iya Pa,
ini mau ke rumah sakit naik taxi. Nanti papa bisa jemput nggak? Mama musti
balik ke kantor lagi soalnya.”
“Oke,
tapi mama udah makan siang belum?”
“Belum Pa, nanti aja di rumah sakit.”
Selesai
menelpon, aku berangkat. Langsung saja aku menuju ruang IRD. Menurut
resepsionis keponakanku sudah dipindahkan. Dia sekarang ada di bangsal. Dikatakannya
kalau lukanya tidaklah terlalu parah. Aku pun menuju bangsal yang disebutkan.
Disana kulihat keponakanku. Ada seorang dokter bersamanya, dan seorang perawat.
Kukatakan kalau aku adalah keluarganya. Dokter bilang kalau kondisi keponakanku
baik. Hanya saja dia harus diopname, karena ada urat terkilir. Aku minta agar keponakanku
dipindahkan ke kamar. Dokter setuju, tapi ada administrasi yang harus kuurus.
“Lukanya
dimana aja Dre?”
Andre
menunjukkan luka ditubuhnya. Di lengan dan lutut kanan, serta pangkal kaki yang
terkilir. Dibeberapa bagian terlihat memar. Semuanya sudah diobati dan
diperban. Dia juga menjelaskan tentang kronologis kejadian.
“Yang
nabrak langsung lari tante.”
Ya ampun,
ternyata dia menjadi korban tabrak lari. Andre bilang motornya rusak parah. Dia
ditabrak dari samping.
“Nggak
usah dipikirin motornya, yang penting sekarang kamu istirahat aja.”
Tak lama
suamiku datang. Bersamaan dengan datangnya beberapa perawat. Andre dipindahkan
ke kamar, sesuai permintaanku. Kutelpon sepupuku mengabarkan kondisi anaknya. Paling
tidak akan bisa mengurangi kekhawatirannya.
“Maaf Bu,
ini beberapa berkas yang harus Ibu isi,” ucap seorang perawat wanita.
Aku dan
dia lalu duduk di sofa. Disana kami berbincang, sambil mengisi berkas tersebut.
Rata-rata meminta data personal keponakanku. Cukup banyak lembaran yang harus dilengkapi.
Suamiku ikut membantuku. Setelah semua selesai, perawat itu pun pergi. Tak
terasa jam makan siangku akan segera habis. Untung suami membawakan paket
makanan. Dia juga membawakan jajanan dan minuman. Kuambil satu box nasi campur, dan sisanya kusimpan di
kulkas. Sambil makan, aku menelpon ke kantor lagi. Kulakukan karena ada misscall di ponselku. Berikutnya
kutelpon adikku. Aku minta dia datang selesai kuliah.
Setelah
memastikan semua beres, aku pamit. Kusampaikan ke Andre kalau adikku akan segera
datang. Kukatakan juga kalau aku harus kembali ke kantor. Dia pun tidak keberatan
aku tinggal. Hanya dia minta tolong dipapah ke kamar mandi dulu. Katanya ingin
buang air kecil. Suamiku membantunya. Setelah itu aku dan suami berpamitan.
“Ma, kita
pulang sebentar yuk.”
“Emang
ada apa Pa?”
Aku heran
dengan perkataan suamiku. Kulihat lagi jam tanganku. Tidak banyak waktu lagi. Aku
benar-benar harus segara tiba di kantor. Demikian juga suamiku, harusnya.
“Udah
mepet loh Pa waktunya.”
“Iya bentar
aja kok. Bentar aja..”
Tak mau
lagi kuberdebat dengan suami. Mobil sudah diarahkannya menuju rumah. Aku sih
tidak masalah, karena kantorku dekat dari rumah. Justru suami yang
kukhawatirkan. Kantornya berada cukup jauh, belum dipotong macet.
Sampai di
rumah, suami menggandengku. Kondisi rumah sepi, kosong. Pembantuku pasti keluar.
Jam segini, biasanya menjemput si kecil dari playgroup. Awalnya kupikir suami melupakan sesuatu, atau ada yang
mau dibicarakan. Kuikuti langkahnya menuju ruang tamu. Disana tiba-tiba suamiku
memelukku. Diciumnya bibirku. Dipagut juga bibirku dengan ganas, seperti sedang
dilanda birahi. Tangannya meraba kemana-mana. Ke dadaku, juga pahaku. Aku
kaget. Berusaha kuhentikan suamiku. Sedikit sulit, tapi akhirnya berhasil.
“Ada apa
sih Pa?” ucapku masih dalam kekagetan.
“Ma, papa
horni nih.”
Kulihat
wajah suamiku. Wajahnya memerah. Aku tahu ekspresi itu. Dia memang sedang
dilanda birahi. Dia sedang ingin bercinta.
“Tapi Pa,
waktunya nggak cukup loh.”
Berusaha kumenolak.
Dia tahu aku tak pernah menolak, kecuali menstruasi tentunya. Hanya saja, saat ini
kurasa waktunya kurang pas. Saat ini seharusnya aku berada dikantor.
“Quicky aja ya Ma, please..”
Suamiku merajuk.
Dia terus memelas.
“Please Ma, please..”
Aku pun
tak kuasa lagi menolak. Bukan karena terangsang, tapi lebih karena mepetnya
waktuku. Semakin kutolak, semakin terlambatlah aku.
Maka
berbaliklah aku, sesuai permintaan suami. Kuangkat rok dan menurunkan celana
dalamku. Kuambil posisi nungging didepannya. Kedua tanganku bertumpu di sofa. Tak
lama kurasakan penis suami menerobos masuk. Mulailah dia melakukan penetrasi.
Aku harus menggigit bibirku. Kurasakan sedikit sakit dibawah sana. Vaginaku
masih kering, aku sebenarnya belumlah siap.
Suamiku
menggenjot perlahan diawal. Semakin lama makin kuat, makin cepat. Perlahan vaginaku
menyesuaikan. Cairanku sedikit demi sedikit keluar. Tak pernah dia menggenjotku
seperti ini. Kencang, kasar, cenderung liar. Diremas juga pantatku kencang
sekali. Ini jelas diluar rutinitas seks kami sehari-hari.
“Sshh.. Pa,
pelan-pelan..”
Aku
mendesis. Aku merintih.
“Sshh..
Sshh.. Pa, aahh..”
Mungkin
suami mendengar rintihanku. Dia menarik penisnya. Tak lama kurasakan jilatan di
vaginaku. Lidah suamiku menari-nari dibawah sana. Aku bergelinjang. Dia memegangi
pantatku makin kuat. Seperti suami ingin memancing orgasmeku. Aku memang paling
tidak tahan dengan permainan lidahnya. Bahkan sejak pacaran dulu. Sering kali
aku mencapai orgasme hanya dengan jilatannya. Benar saja, bagian bawahku
mengejang tak lama kemudian.
Sadar
dengan itu, suamiku memasukkan lagi penisnya. Kali ini genjotannya semakin
kencang. Semakin kencang, kencang dan kencang. Tubuhku bergunjang-gunjang
hebat.
“Aahh..
aahh.. aahh…”
“Oohh..
oohh.. oohh..”
Aku tak
kuasa lagi menahan diri. Aku mendesah, aku melenguh, dan aku pun berteriak. Semakin
kencang genjotan suami, semakin kencang teriakanku. Begini ternyata rasanya
sensasi hardcore. Aku menyukainya,
sungguh menyukainya. Detik itu kesadaranku menghilang. Mataku tak lagi melihat apapun,
telingaku tak lagi mendengar apapun. Fokusku kini hanya ada dibawah sana. Pada
kelamin kami berdua.
“AAKKHH..!!”
Aku
berteriak kencang. Pun demikian suamiku. Kami orgasme bersamaan. Tak pernah
kurasakan yang seperti ini sebelumnya. Rasanya luar biasa. Sungguh persetubuhan
yang sensasional. Berlangsung singkat, tapi sensasinya dahsyat. Beberapa detik
aku hanya terduduk disofa. Demikian juga suamiku. Semuanya terasa gelap. Nafas
kami tersengal-sengal. Sampai akhirnya semuanya kembali. Aku kembali ke dunia,
setelah tadi sempat terasa terbang ke langit. Aku menyukai sensasi ini.
Kuambil
tas jinjingku, mengambil tisue basah. Kubersihkan permukaan vaginaku. Disana
ada lelehan putih dan bening. Itu mungkin cairanku bercampur sperma suami. Tak
pernah cairanku keluar sebanyak ini. Aku berdiri. Kutarik naik celana dalam dan
kurapikan pakaian. Suamiku masih terduduk di sofa, matanya masih terpejam.
Sepertinya dia juga merasakan kenikmatan yang sama. Aku duduk disampingnya.
Kubersihkan penisnya dengan tisue basah. Mata suamiku terbuka, dia tersenyum.
Dikecupnya keningku. Lalu tiba-tiba terdengar suara.
“Bapak?
Ibu?”
Ternyata
itu pembantuku. Dia berdiri di pintu depan. Entah berapa lama dia sudah berdiri
disana. Refleks kulepas penis suami dari genggaman. Suamiku juga refleks
menarik boxer, berikut celana
panjangnya. Sedetik berikutnya kami bertiga mematung. Hanya saling pandang.
“Adek,
mana Bi?” ucapku memecah kecanggungan.
“Ma-masih
di sekolah bu, kan hari ini ada pelajaran ekstra.”
Aduh, aku
melupakan hal itu. Sepertinya tadi pembantuku berbelanja, bukan menjemput
anakku. Kulihat dari dua tas plastik yang dipegangnya.
“Ya
sudah, bawa dulu belanjaannya ke dapur Bi,” ucapku lagi.
“Iya Bu.”
Suamiku
sudah menarik resletingnya. Pakaiannya sudah terlihat rapi. Pembantuku segera
berlari kecil menuju dapur. Kulihat guratan senyum di wajahnya. Wajar saja, dia
baru dia memergoki majikannya bermesraan. Aku dan suamiku saling memandang.
Kami pun ikut tertawa kecil.
***
Berikutnya,
kami sudah ada di mobil. Dalam perjalanan menuju kantorku. Kami sama-sama
membisu. Hanya musik dari radio yang terdengar dalam mobil. Sepertinya diotak masing-masing
kami berpikir. Berpikir tentang apa yang baru saja terjadi.
“Kenapa sih
papa mendadak horni kayak tadi?” tanyaku melepas kebisuan.
Suamiku
menoleh kearahku.
“Gara-gara
tadi di rumah sakit Ma.”
Aku
mengerutkan dahi. Mencoba mengingat apa yang terjadi di rumah sakit. Seingatku
sih tidak ada kejadian yang bisa memancing birahi.
“Emang
ada apa di rumah sakit?”
Suamiku
mulai bercerita. Diawali ketika kami berada di kamar rawat. Dimulai saat aku
berbicara dengan perawat wanita. Aku pun mulai mengingat-ingat. Suamiku berdiri
disampingku saat itu. Jangan bilang dia terangsang melihat perawat itu? Jangan
bilang perawat itu lebih seksi dari aku? Oh jangan, pikiranku langsung membayangkan
yang tidak-tidak. Ternyata bukan, suamiku tidak mengatakan itu. Syukurlah,
ucapku dalam hati.
Suamiku
melanjutkan ceritanya. Kebetulan suami menoleh kearah keponakanku. Suami
melihat sesuatu yang agak aneh. Keponakanku beberapa kali melirik kearahku. Istilahnya
mencuri-curi pandanglah. Timbul tanda tanya dibenak suamiku. Melirik wajah
mungkin tak apa-apa, tapi ini melirik ke arah bawah. Insting melindungi
istrinya timbul. Suamiku lalu berjalan mendekat. Berpura-pura mengecek aliran
infus. Diliriklah arah kemana keponakanku melirik. Disanalah suami mengungkap
sesuatu yang memalukan. Katanya keponakanku mengintip isi rokku. Bukan
mengintip tepatnya, tapi melihat. Tanpa kusadari, pahaku rupanya terbuka lebar
waktu itu. Tahu sendirilah akibatnya. Celana dalamku terlihat dengan jelas.
Sangat jelas kata suamiku.
“Idih papa,
kok nggak langsung bilangin mama sih,” protesku.
Wajahku
memerah. Bukan insiden celana dalam pertamaku memang, tapi tetap saja
memalukan. Apalagi kalau itu terjadi didepan keponakan.
“Maunya sih
papa bilangin mama, cuma kok papa jadi penasaran.”
“Penasaran
kenapa?”
Suamiku
kembali bercerita. Dia penasaran melihat selimut keponakanku. Terlihat tonjolan
besar dibaliknya. Sebagai laki-laki, suami bisa menerka apa yang sedang terjadi.
Pastilah keponakanku sedang memegangi penisnya. Apalagi saat itu tangan kirinya
memang ada dalam selimut. Menurut suami, akulah yang memancing terjadinya hal
itu. Aku sih tidak percaya begitu saja. Bagaimana pun saat tinggal bersama
kami, Andre selalu sopan kepadaku. Tidak pernah ada niatan macam-macam. Paling
tidak saat berada didepanku sih.
“Maksud
papa? Andre...”
“Iya Ma,
dia onani.”
“Gara-gara
mama?”
Suamiku
mengangguk.
“Masa
cuma liat celana dalam doang. Emang bisa gitu?”
Suamiku bercerita
lagi. Ternyata tidak hanya soal celana dalam. Tanpa sadar, rupanya aku juga memberinya
rangsangan lain. Pertama, kemeja putih yang kupakai. Tipisnya bahan secara samar
memperlihatkan isi dibaliknya. Tahu sendirilah apa yang ada dibaliknya. Kedua,
posisi jongkok dan nungging saat aku merapikan belanjaan suami. Posisi itu memamerkan
paha dan pantatku. Terutama pantatku sih. Celana dalam model thong, membentuk pantatku nampak
menggiurkan. Menurut pengakuan suami, itulah yang memancing kejadian di ruang
tamu.
“Masa sih Pa?”
“Iya Ma, papa
yakin Andre pengen banget ngangkat rok mama. Dia juga pasti bayangin gimana
enaknya genjotin mama dari belakang. Papa aja gitu..”
Suami
tertawa kecil.
“Idih
papa, pantesan tadi langsung eksekusi. Jangan-jangan tadi Andre lama di kamar
mandi..”
Aku dan
suami saling pandang, lalu tertawa bareng.
“Oya,
papa kasi tau rahasia deh.”
“Apa itu Pa?”
“Tadi
waktu kita making love, papa bayangin
yang genjotin mama tadi itu si Andre loh.”
“Serius Pa? Masa papa bayangin mama digenjot cowok lain sih.”
“Beneran
ma, itu yang bikin papa tadi horni banget. Makanya jadi agak kasar, maafin ya.”
“Nggak
apa-apa, mama suka kok. Tadi itu enak banget,” aku mengerling nakal.
Suami
tersenyum puas melihatnya.
Tidak
lama kemudian, kami pun sampai ditujuan. Kucium bibir suamiku. Ketika hendak
turun dari mobil, dipegangnya tanganku.
“Ma, kapan-kapan
kita ulangin lagi yuk. Seru loh.”
Kini suamiku
yang mengerling nakal.
“Pasti deh
mulai berfantasi yang aneh-aneh,” kujulurkan lidahku.
Suami
tersenyum. “Tapi mama mau kan?”
“Mau apa
dulu nih?”
“Mau ‘pamer-pamer’
kayak gini lagi, boleh..” tangan kiri suami perlahan masuk kesela pahaku.
Ditariknya pelan kaki kananku. Posisi kakiku pun jadi mengangkang lebar. Aku
tersenyum. Kutangkap apa yang dimaksudkannya. “..atau kalau mau making love sama cowok lain didepan papa
juga boleh,” lanjutnya lagi.
Langsung saja
kutepuk pundaknya. “Ih, nggak banget deh yang terakhir.”
Aku
membelalakkan mata, sebagai tanda protes. Kujulurkan lidahku, dan bergegas
keluar
dari mobil. Kudengar lagi tawa
kecil suamiku.
“Mama..”
Kumenoleh
mendengar panggilan suami.
“I love you..” dia melempar ciuman.
Aku
tersenyum dan melambai. “I love you too..”
***
Diruangan
aku tersenyum-senyum sendiri. Kuingat lagi apa yang baru saja terjadi. Ketidak-sengajaan
yang berakhir kenikmatan. Tanpa sadar kurabai sendiri kewanitaanku. Masih tersisa
kenikmatan dibawah sana. Keperkasaan suamiku terpicu oleh kejadian kecil. Apakah
itu benar adanya? tanyaku dalam hati. Kuterbayang lagi perkataan suami. Fantasi
suamiku memang sedikit gila. Hanya saja kalau kenikmatannya seperti tadi, agaknya
cukup sebanding.
Memamerkan
bagian-bagian tubuhku? Kenapa tidak. Menjadi objek fantasi membuatku merasa
seksi. Making love dengan pria lain? Hhmm..
entahlah, mungkin saja. Lagi pula itu sudah pernah terjadi sebelumnya. Ssstt..
ini rahasiaku dan kalian.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar