Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Ponselku
bergetar diatas ranjang. Kuhentikan membaca novel, dan mengambilnya. Sebuah
pesan Line masuk, dari daun mudaku.
Sebut saja namanya, Leo. Dia masih berstatus mahasiswa.
Seperti
kuceritakan sebelumnya, aku dan dia sudah bercinta. Kejadiannya dua minggu yang
lalu. Kuiijinkan dia menyetubuhiku dua kali hari itu. Jujur aku menikmatinya. Kelihatan
sekali dia sudah mahir memakai kelaminnya. Dia minta lebih, dan kutahu dia
mampu. Hanya saja untuk pertama, dua kali kurasa sudah lebih dari cukup. Sejak
itu kami tetap menjalin komunikasi. Tanpa sepengetahuan suami, tentunya.
‘Bobo sendiri lagi?’ Begitu isi pesan
darinya.
Aku tersenyum.
Sudah tiga hari ini Leo rutin menyapaku. Kali ini larut malam, selesai suami
menelpon. Dia tahu suamiku sedang dinas keluar kota. Tentu itu juga berarti dia
tahu kalau aku tidur sendirian. Berkali-kali dia menggoda untuk mengulang
kejadian dua minggu lalu. Jujur aku sedikit tergoda, tapi otakku masih cukup
berlogika.
‘Iya. Mau nemenin?’ balasku sekaligus menggodanya.
‘Pengen sih, tapi ntar pasti ngeles lagi,’
balasnya.
Dibuatnya
lagi aku tersenyum. Aku memang sering menggodanya. Menggoda dalam pengertian
membuat bergairah, alias horni. Berhasil
membuatnya tergoda, akan kualihkan pembicaraan. Dia pasti akan protes. Nanggung nggak dituntasin, begitu gerutunya.
Akan kubalas lagi dengan candaan. Lama kelamaan dia hanya bisa pasrah. Kesal,
tapi pasrah. Seperti juga malam ini.
Kuobati kekesalannya
itu dengan mengijinkan menelponku.
“Kakak
lagi ngapain?”
“Lagi
tiduran. Kamu?”
“Sama. Lagi
pake pakaian apa?”
“Tanktop sama
celana pendek.”
“Dalemnya?”
“Celana
dalem doang. Abis ini pasti nanya warnanya apa.”
Terdengar
suara tawa diujung telpon. Aku pun jadi ikut tertawa.
Disisa malam
kami terus ngobrol. Leo terus
berusaha mengggodaku. Kubalas pula godaannya. Tengah malam, obrolan mulai mengarah
seputaran dada dan paha. Entah kenapa, hari ini godaan Leo terasa berbeda.
Mungkin karena seminggu sudah aku tidak disentuh.
Semuanya jadi
sensitif, atas dan bawah. Bahkan, gesekan guling pun terasa nikmat. Kulepas seluruh
pakaianku. Satu per satu. Kunikmati sensasi gesekan itu, sambil mengobrol. Tangan
kiri kugunakan menambah sensasi yang ada. Kutahu disana Leo pasti melakukan yang
sama. Dengan tangan kirinya juga.
“Kak, aku
pengen ngerasain memek kakak lagi.”
“Aku juga
Leo. Aku pengen kontol kamu.”
Obrolan
kami kian memanas. Kini mengarah ke seputaran kelamin. Mudah saja kami bayangkan
kelamin masing-masing. Penisnya dan vaginaku pernah saling memuaskan. Melalui
kalimat, kami rekayasa kembali persetubuhan hari itu. Refleks kumasukkan dua
jari kedalam vagina. Kukocok sendiri secara perlahan. Kubayangkan itu adalah
penis milik Leo.
“Oohh
Leo.. Oohh..”
“Oohh
Kak.. Oohh..”
Kami mulai
berbagi desahan. Membayangkan kami saling menindih. Saling bergumul. Memang dua
jari tidaklah senikmat penis. Hanya saja, mau tidak mau terpaksa harus kunikmati.
Leo pun mengeluhkan hal yang sama. Genggaman tangan dirasanya tidak senikmat
jepitan vagina. Yang dia maksud vaginaku, tentunya.
“Kak, aku
keluar Kak..” serunya.
Sepertinya
aku merasakannya juga. Dinding vagina terasa berkedut. Kupercepat kocokan
jariku. Semakin kencang mengocok, semakin kencang pula desahanku. Kurasakan
momen itu sebentar lagi tiba. Momen yang memang ingin kucapai.
“Aakkhh..!!”
Kami
berdua berseru hampir bersamaan. Setelahnya aku ambruk diranjang. Nafasku
berhembus tak karuan. Diujung sana juga hanya terdengar nafas menderu. Tubuhku
terasa lemas sekali.
Perlahan semuanya
terasa berat. Akhirnya semuanya menjadi gelap.
***
Keesokan
harinya, aku terbangun kesiangan. Itu pun anakku yang membangunkan. Momennya sangat
memalukan. Si kecil menemukanku terlentang telanjang. Iya, telanjang bulat. Dia
sempat bertanya kenapa aku tidur seperti itu. Kujawab karena kemarin cuacanya
panas sekali. Bersyukur dia menerima jawaban itu, dan tidak bertanya lagi.
Hari itu
mandi kilat kulakukan. Selesai berdandan, kulihat anakku sudah sarapan. Beruntung
aku memiliki pembantu yang cekatan. Tanpa sarapan langsung kusambar kunci
mobil. Aku sudah sangat terlambat, demikian pula si kecil. Di mobil kutelpon
kantor memberitahu keadaanku. Semoga saja pimpinan bisa mengerti, harapku.
Anakku
tiba disekolah tepat waktu, tapi tidak denganku. Sampai dikantor, ruang tunggu
nasabah sudah ramai. Itu membuatku panik. Langsung saja aku berlarian menuju ke
ruangan. Saat duduk dikursi, nafasku masih memburu. Sisa hari kujalani separuh
tenaga. Berusaha menyelesaikan pekerjaan menumpuk, sambil mengantuk.
“Tumben
lu telat? Begadang kemarin?” tanya Putri disebelahku.
Putri
adalah rekan kerjaku. Satu kantor, tapi beda divisi. Dari masa percobaan kami
sudah dekat. Kami sharing berbagai
hal, termasuk masalah pribadi. Putri sudah menikah, tapi belum dikarunai
momongan. Dia menikah dengan seorang pengusaha. Suaminya sering berada diluar
kota, atau diluar negeri untuk bisnis. Kami suka berangkat bareng kalau
suaminya tidak ada. Kecuali hari ini, tentunya. Tadi pagi terpaksa dia naik
taxi.
“Iya,”
sahutku singkat.
“Susah
kan nggak ada suami. Susah tidur kan jadinya.”
Putri
mengerling. Aku hanya tersipu. Dia sering mengeluh susahnya tanpa suami. Kini
hal itu bisa kurasakan sendiri.
“Udah
berapa hari lu nggak ‘disuntik’ nih?”
“Seminggu.”
“Wih kalo
gue udah sakaw tuh.” Putri terkekeh. “Napa
lu nggak ngajakin Leo?”
Iya,
Putri memang tahu affair-ku dengan
Leo. Dialah yang mengenalkan kami. Dialah juga yang memanasiku mencoba daun
muda, alias brondong. Putri jauh
lebih berpengalaman soal daun muda. Suami yang jarang dirumah, membuatnya perlu
‘ban serep’. Itu istilah yang biasa dipakai Putri. Dia banyak memiliki kenalan
daun muda. Leo bukanlah salah satunya. Saat itu, kebetulan Leo diajak salah
satu kenalan Putri.
“Nggak
ah. Gue udah komitmen ama Leo kalau hari itu cuma sekedar hubungan one night stand doang. Nggak lebih dari
itu,” paparku dari belakang kemudi.
“Yakin? Terus
kenapa lu ngasi nomor pribadi lu ke dia?”
“Ya itu
salah gue sih.”
“Terus kapan
terakhir lu ngobrol sama dia?”
“Kemarin
malem.”
Putri
terkekeh. “Pantesan lu begadang. Lu phone
sex ama dia?”
Dibuatnya
lagi aku tersipu. Sebenarnya aku malu untuk mengaku. Namun, kalau aku berbohong
dia pasti tahu. Apalagi makan siang tadi dia sempat memergokiku chat dengan Leo. Dia sudah kenyang makan
asam garam soal affair. Putri adalah ‘The Queen of Affair’. Demikian julukanku
untuknya. Aku pun hanya bisa mengangguk.
“Gila
muka lu merah banget. Biasain aja kale.” Terdengar lagi kekehannya. “Lu nggak
ketemu Leo lagi, bukan karena dia nggak jago ‘gituan’ kan?”
Aku
menggeleng. “Nggak kok, dia jago. Jago banget malah.”
“Serius?
Kayaknya gue musti nyobain si Leo juga nih.”
Kali ini
aku yang tertawa. Kugelengkan kepala mendengarnya.
“Dia
pernah gangguin hubungan lu ama suami?”
“Nggak.”
“Pernah
ngancem lu, neror lu, atau yang lainnya?”
“Nggak.”
“Nah, itu
artinya dia ngerti tuh status hubungan kalian. Kalo menurut gue sih, nggak
masalah kalo hubungan kalian terus dilanjutin.”
“Menurut
lu gitu ya?”
“Ya itu sih
menurut gue. Sekarang semuanya terserah lu aja. Lagian awalnya kan gue ngenalin
lu ke Leo buat iseng doang, mana nyangka gue kalo akhirnya kalian ngentot.”
Mendengar
itu, kudaratkan tepukan dibahunya. Putri malah tertawa terbahak-bahak.
“Next time, kita tukeran brondong deh. Lu pasti nggak bakalan
kuat nolak, lu udah doyan.”
“Sialan..!”
Kudaratkan
lagi tepukan dibahu Putri. Dan tawanya pun semakin menjadi. Dia membuat diriku seakan-akan
sebinal dirinya. Namun, sepertinya sih memang demikian. Aku pun tak kuasa untuk
ikut tertawa. Oh, dunia ini memang sudah gila.
***
Sudah menjelang
malam, saat aku tiba dirumah. Rumahku kosong. Pembantu sepertinya sudah pulang.
Sempat kutelpon mertua menanyakan kabar anakku. Mereka yang tadi menjemputnya ke
sekolah. Mertua bilang si kecil minta ijin menginap. Besok hari Sabtu, dan dia
memang libur. Jadi kuiyakan saja. Kukatakan nanti aku akan mampir membawa
pakaian untuknya.
Didepan
kaca, kulepas satu persatu seragamku. Kuperhatikan pantulan diriku disana. Raut
kelelahan terpacar jelas diwajah. Membagi kesibukan antara kantor dan rumah tidaklah
mudah. Apalagi seminggu ini kujalani semuanya sendiri. Ditambah tidak ada
pelampiasan seks sebagai pengobat stres. Tanpa sadar kuraba puting payudara
kiriku. Lanjut kuremas pelan. Oh, sungguh aku butuh seks saat ini. Benar-benar butuh.
Ketika
sedang mengisi bathtub, kudengar
suara ponselku. Sebuah pesan masuk. Tidak terburu aku menjawabnya. Setelah air
penuh, baru aku beranjak keluar. Tidak kututupi ketelanjanganku. Toh dirumah
tidak ada orang, pikirku. Kucek ponselku, rupanya pesan Line dari Leo.
‘Boleh nelpon?’ demikian isi pesannya.
Aku
tersenyum. Kutimang-timang sebentar ponselku. Kupikirkan jawaban yang akan
kuberikan. Mungkin sedikit obrolan santai tidak apa-apa, pikirku. Aku ketik
sebuah balasan singkat.
‘Boleh.’
Tak lama
ponselku kembali berbunyi. Kali ini nomor telpon Leo tertera dilayar.
“Lagi
ngapain?”
“Lagi
telanjang,” jawabku.
“Wao.
Langsung to the point nih.”
Aku
tertawa kecil. Terdengar juga tawa diujung sana.
“Beneran
kok, baru mau rendeman air anget nih.”
Pembicaraan
pun berlanjut dalam bathtub.
Hangatnya air mampu mengurangi penatku. Namun Leo tidak tertarik dengan hal
itu. Dia lebih tertarik dengan ketelanjanganku. Dengan puting payudaraku, dan
juga bulu vaginaku. Saat kubilang putingku sedang mengacung, dia sontak
bersemangat. Semakin bersemangat lagi, saat kubilang vaginaku sudah bersih dari
bulu. Dia suka vagina polos tanpa pubish,
sama seperti suamiku.
“Kontolku
jadi ngaceng nih,” ucapnya.
Ucapan
wajib cowok saat melakukan obrolan seks. Entah itu phone sex atau chat sex. Aku
hapal betul dengan kalimat itu. Sepertinya dimata cowok, informasi itu penting untuk
disampaikan.
“Mau
dimasukin sekarang?” godaku.
“Dibuka
lebar dulu dong kakinya.”
“Udah
nih, udah dibuka.”
Memang sedang
kubuka kakiku lebar-lebar. Sedang kuraba kewanitaanku dibawah sana. Andai saja ada
seseorang diatasku saat ini, bayangku dalam hati. Desahan mulai keluar dari
mulutku. Aku tahu Leo bisa mendengarnya.
Sedang
asyik meraba, terdengar nada sambung lain. Ada yang menelponku. Kulihat layar
ponsel, ternyata suamiku. Konsentrasiku mendadak buyar. Gairahku pun jadi
menggantung. Kukatakan pada Leo kalau obrolan kami harus diakhiri. Dia pun
mengerti.
Kuangkat
telpon dari suami. Dia menanyakan kabarku dan si kecil. Kukatakan kalau aku
baik-baik saja. Kubilang si kecil akan menginap dirumah mertua. Dia bertanya
aku sedang ngapain. Kujawab persis
seperti menjawab pertanyaan Leo. Suami sama antusiasnya saat tahu aku sedang
berendam, telanjang. Suami mulai menggodaku. Dikatakannya kalau penisnya jadi
tegang. Kami lanjut melakukan phone sex.
Hanya saja, sensasi yang ditimbulkan berbeda.
Diakhir
obrolan, gairahku tetap menggantung. Oh, aku benar-benar butuh seks.
***
Malam sudah
semakin larut. Disinilah sekarang aku berdiri. Didepan kamar kos elit bernomor sebelas.
Itu adalah alamat yang dikirim Leo padaku. Entah kenapa aku bisa berdiri
disini. Tadi sepulang dari rumah mertua, mendadak kuputar arah mobil. Kebutuhan
untuk sharing membuat logikaku padam.
Aku butuh teman malam ini. Teman tidur, tepatnya. Leo adalah orang pertama yang
terlintas dipikiranku.
Sudah
lima menitan aku berdiri disini. Masih ragu untuk mengetuk. Bagaimana reaksi
Leo nanti saat melihatku, salah satu alasan yang membuatku ragu. Akhirnya kubulatkan
tekadku. Kutarik nafas sebelum bersiap mengetuk. Namun sebelum tanganku sampai,
tiba-tiba pintu itu terbuka. Kini berdiri sosok Leo dihadapanku. Dia terlihat
kaget, aku pun tak kalah kaget.
“Ka-kak
Dita?”
“Hei.”
Hanya itu
yang keluar dari mulutku. Sama kikuknya aku dengan Leo saat ini. Kami mematung
untuk beberapa saat. Disana kami hanya saling pandang.
“Ma-masuk
Kak,” akhirnya Leo mampu berkata-kata.
Aku
melangkah masuk. Kulihat sekeliling kamar. Berbeda sekali dengan yang kubayangkan.
Kamar Leo sangatlah rapi, padahal aku datang mendadak. Semua barang tertata
dengan teratur. Tidak hanya rapi, kamar itu juga wangi. Aku pun jadi semakin
menyukai cowok muda ini.
“Aku
bawain camilan,” kusodorkan tas plastik yang kupegang.
“Ma-makasi
Kak.”
Diambilnya
dan diletakkannya diatas meja. Selanjutnya kami kembali saling pandang. Saling menatap,
namun membisu tanpa kata. Leo melempar senyum dan kubalas. Sedetik kemudian, tiba-tiba
saja dia memelukku. Didaratkan ciuman dibibirku, lalu melumatnya. Deru nafas
Leo terdengar sekali ditelingaku.
“Aku
kangen sekali Kak.”
Tidak
sempat aku merespon, bibirku kembali dilumatnya. Dia begitu bergairah. Wajar
saja, ini adalah hasil tiga hari saling menggoda. Aku yang juga sedang
bergairah, balik membalas lumatannya. Didorongnya tubuhku hingga mentok di
dinding. Ditengah deru nafas yang beradu, kami saling menelanjangi. Leo sempat
kesulitan membuka jeans ketat yang kupakai. Kami sempat tertawa karenanya. Setelah
kubantu, celana itu berhasil terlepas.
Selesai menelanjangiku,
Leo menggiringku terlentang diranjangnya. Dibukanya kedua kakiku lebar-lebar.
Dihujamkan penisnya dengan sekali hentak. Dia tahu tidak perlu repot merangsang
lagi. Vaginaku sudah jauh dari basah. Aku melenguh lirih. Rasanya sakit, tapi
enak. Sungguh aku merindukan adanya penis di vaginaku. Oh, rasanya begitu
nikmat. Semakin terasa nikmat, saat Leo mulai melakukan genjotan. Genjotan yang
langsung keras dan kencang.
“Aaahh..
aahh.. aahh..”
“Ooohh.. oohh..
oohh..”
“Aaahh..
aahh.. aahh..”
Tidak kutahan
lenguhan dan eranganku. Kulepaskan semuanya. Saat datang tadi, aku tahu kosan itu
sedang sepi. Mengerang sekencangnya mampu mengiris gundahku. Apalagi dibawah
sana, Leo memberi kemampuan terbaiknya. Diselingi pula remasan pada payudara. Sampai
harus kugenggam erat sprei menahan guncangan tubuhnya. Sementara peluh kami
terus bercucuran.
Kami
berdua bak musafir yang kehausan. Persetubuhan ini ibarat oase ditengah padang pasir. Saking fokusnya beradu kelamin, kami sampai
lupa mengganti gaya. Hingga menjelang ujung, kami tetap dalam posisi missionaris.
“AAKKHH..!!”
Tubuhku mengejang. Aku sampai ujung lebih dulu.
Sementara
Leo terlihat masih perkasa. Ritme genjotannya masih stabil, keras dan kencang. Aku
hanya bisa terpejam. Tergolek lemas menerima genjotannya. Masih belum terlihat
tanda-tanda kalau dia akan segera ejakulasi.
“Memekmu
Kak, gila memekmu…” Dia merancau.
Beberapa
menit berlalu, aku masih menerima genjotan Leo. Staminanya masih belum menurun
sama sekali. Kuat sekali anak ini, keluhku. Bahkan, dia mengangkat kakiku ke
bahunya. Dengan posisi ini pantatku ikut terangkat pula. Kini penetrasi
penisnya jadi lebih maksimal. Terasa mentok, padahal terakhir seingatku tidak
seperti ini. Kulihat dia memejamkan mata. Leo benar-benar menghayati gesekan
kontolnya di vaginaku.
Kupejamkan
juga mataku. Genjotan Leo semakin menggila. Aku yang sempat pasrah, kembali
mendesah. Birahi perlahan kembali meninggi. Apalagi saat Leo membalik tubuhku. Diaturnya
tubuhku dalam posisi doggie. Dihujamkan
lagi penisnya tanpa ampun. Ditamparnya pantatku beberapa kali. “Plaak.. plaak..
plaak!”
Dan
selang beberapa menit. “AAKKHH..!!”
Kudapatkan
orgasme keduaku. Ternyata multiorgasme
bukanlah mitos. Kini aku percaya hal itu. Rasanya sungguh luar biasa! Belum juga
ada tanda-tanda Leo akan berhenti. Desahannya masih saja kencang, demikian pula
kocokannya.
“Aaahh..
aahh.. aahh..”
“Aaahh..
aahh.. aahh..”
Sampai
akhirnya, tanpa peringatan semprotan menghujani vaginaku. Leo menekan
dalam-dalam penisnya saat berejakulasi. Sampai tetes terakhir, dia belum juga
mencabutnya. Dibiarkannya penis itu mengecil didalam. Sepertinya dia sengaja
melakukannya. Memenuhi rahimku dengan spermanya. Kusadari hal itu. Kusadari tak
ada kondom antara kelamin kami. Namun, kubiarkan saja. Berdasarkan hitungan
kalender, hari ini bukanlah masa suburku.
Leo akhirnya
tumbang diatasku. Kami mulai mengatur nafas masing-masing. Tubuh kami masih
menyatu dalam posisi missonaris.
Kelamin kami sih tepatnya. Perlahan kami kembali bisa menguasai diri. Kami
saling pandang, tersenyum, lalu berciuman. Kepuasan terpancar di wajah kami. Birahi
yang sempat tertahan, kini telah tersalurkan.
Ditengah
ciuman kami, terdengar suara telpon. Ringtone
milik Leo. Dia tetap saja melumat bibirku. Sampai kudorong sedikit tubuhnya,
hingga bibir kami berpisah.
“Telponnya
nggak diangkat?”
“Biarin
aja.”
Dia
berusaha menciumku lagi, namun kucegah. “Ntar penting loh.”
Leo
menghela nafas. Dia pun mengalah. Akhirnya kelamin kami pun berpisah. Leo turun
dari ranjang dan mengambil ponselnya.
“Halo
sayang..”
Itu yang
kudengar pertama kali. Sisa percakapan terdengar samar. Mungkin pacarnya, tebakku.
Kurasakan tenagaku kembali pulih. Kupikir aku perlu membersihkan diri. Terutama
saat kulihat adanya lelehan sperma dari vagina. Aku pun turun dari ranjang dan menuju
kamar mandi. Saat berpapasan, Leo menangkap tanganku. Ditariknya aku
kepelukannya, lalu Leo mencium bibirku. Dia pindahkan ponsel dari telinga ke
dada.
“Ronde
kedua?”
Aku
mengerutkan kening. “Urus dulu tuh pacarmu.”
“Ronde
kedua ya. Please.” Dia tidak mengindahkan
kata-kataku.
“Kamu ada
kondom?”
Dia
menggeleng. “Tadi kita nggak pake kondom kan?”
“Tadi itu
bonus. Nggak ada kondom, nggak ada ronde kedua.”
Wajah Leo
langsung cemberut. Geli aku melihatnya. Kutoel hidungnya dan lanjut menuju
kamar mandi. Kulirik sebentar Leo sebelum menutup pintu. Kulihat dia melanjutkan
ngobrol di telpon. Didalam, kubilas
vaginaku dengan shower. Sisa sperma yang ada, sedikit demi sedikit meleleh
keluar. Banyak juga ternyata, sesalku. Semoga saja perhitungan kalenderku tidak
salah.
Tubuhku
terasa lengket oleh keringat. Kuputuskan untuk membilas juga sedikit tubuhku. Sekujur
tubuhku pun terasa segar kembali. Selesai membersihkan diri, kuambil handuk
milik Leo. Kupakai untuk mengeringkan tubuh. Kupakai juga menutupi
ketelanjanganku, sebelum keluar.
Saat
kubuka pintu kamar mandi, aku terkaget. Leo menyambutku di depan pintu. Dia memegang
sekotak kondom. Diacungkannya kearahku.
“Ronde
kedua?”
Tak kuasa
aku menahan tawa. Entah darimana kotak kondom itu berasal, tapi kuhargai
usahanya. Kujawab dengan anggukkan kepala.
“Sekarang?”
Dan kuanggukkan
lagi kepalaku.
Leo kontan
bersorak gembira. Dia berlari mendekat. Digendongnya aku ke ranjang. Tertawa
geli aku dibuatnya. Ditariknya handuk yang menutupi tubuhku. Pergumulan
selanjutnya pun dimulai. Jauh lebih panas dari sebelumnya.
Aku tidak
punya rencana menginap. Hanya saja, sudah menjelang subuh saat kami selesai. Itu
pun karena stok kondom sudah habis.
.
bagus banget kak ceritanya aku sukak dehh!
BalasHapusapalagi Kalo di filmkan 😂😂😂
"A"
asli gw ngakak baca blognya .
BalasHapusnice post ^^
sering² post ya. lumayan menghibur post nya :)