Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Ma, liat deh yang papa temuin
di gudang.”
Suamiku
berseru. Kulihat dia berjalan mendekat. Dia duduk di sofa. Aku yang sedang
menyapu, lalu bergabung disebelahnya.
“Ada apa
sih Pa?”
“Ini
album foto mama kuliah dulu.”
Kulihat
apa yang dipegang suami. Aku ingat album itu. Isinya foto-foto lama. Keliatan
kuno dan gambarnya sudah agak kabur. Dulu kan belum ada camera digital. Belum ada juga sosial media, instagram. Suami mulai
membuka satu persatu halaman album.
“Mama
dulu cantik ya. Imut-imut manis gitu deh.”
“Kok dulu
sih? Emang sekarang nggak?”
Aku
merengut. Suami malah nyengir kuda melihatnya. Kesal, langsung kutepuk pundaknya.
“Iya, iya,
sekarang masih cantik kok. Tambah cantik malah.”
“Ih
gombal,” sahutku tersipu.
“Kok
gombal sih. Nih buktinya si bunga kampus dikelilingi kumbang-kumbang jantan.”
Suamiku
menunjuk sebuah foto. Disana aku sedang berpose dengan beberapa pria. Sebenarnya
mereka adalah tim basket kampusku. Hanya memang sih disana aku satu-satunya
wanita. Foto itu tidak sengaja dibuat demikian. Memang terjadi karena keadaan.
Malah aku tidak ingat kalau masih tersimpan.
“Hayo
papa cemburu ya?” Giliran aku yang nyengir.
“Ngapain
cemburu. Kan sekarang bunga kampusnya jadi penghias ranjang papa tiap hari.”
Tertawa
geli kudengar perumpamaan itu. Suami lalu mengecup keningku. Bergelanjut manja
aku dipelukannya.
“Ini
disamping mama si Reza kan?”
Kuperhatikan
sosok yang ditunjuk suami. Iya, itu memang Reza. Salah satu sahabat dekatku. Teramat
sangat dekat malah. Istilah ‘teman tapi mesra’, cocok menggambarkan hubungan
kami. Melihat wajah itu lagi, bayanganku seketika melompat ke masa lalu.
***
“Suiit..
Suiit..”
Siulan
terdengar dari belakang. Baru saja aku masuk ke dalam stadion, selesai membeli
tiket. Hari itu diadakan final basket antar kampus. Mendengar siulan itu aku menoleh.
Seperti kuduga, pelakunya adalah Reza. Tingkah usilnya pasti lagi kumat.
“Ngapain
lu disini? Diusir ama pelatih ya?”
“Enak aja!”
sahutnya sewot. “Gue nungguin elu. Fans favorit gue.” Dia nyengir.
“Sialan,
nggak kebalik tuh?”
Begitulah
hubungan kami. Reza hobi menjahiliku, demikian pula sebaliknya. Terkadang
berakhir dengan adu mulut. Terkadang berakhir pula dengan adu bibir. Kami beda
Fakultas, tapi satu Universitas. Umur kami tidak jauh beda. Sifat yang mirip
mungkin penyebab kami bisa dekat. Terkadang teman-teman menyangka kami pasangan.
Padahal bukan.
Melihat
aku dan Reza berdebat, teman gengku mulai menjaga jarak. Diam-diam mereka kompak
menjauh. Saat menyadari itu mereka sudah terlanjur jauh. Berusaha kucegah
mereka pergi, tapi mereka malah melambai. Kini tinggallah aku dan Reza.
“Makasi loh
rok pendeknya. Sering-seringlah Dit, buat nyegerin mata.”
“Dasar,
ngejek ya?”
Bersiap
aku memukul bahunya. Reza gesit bersiap menangkis. Bak pendekar kungfu kelas
teri.
“Hei,
hei, ini beneran muji kok. Sumpah.”
Geli aku
melihat gaya Reza. Aku pun tertawa, demikian pula dirinya. Kupakai rok memang atas
kemauan Reza. Beberapa kali sudah dia memintanya. Katanya dia bosan dengan gaya
tomboy-ku di kampus. Hari itu kupenuhi
karena dia berulang tahun. Sengaja kupilih rok jeans yang cukup mini. Aku tahu
dia menyukainya. Hitung-hitung tidak perlu lagi keluar duit buat kado.
Untuk
atasan, kuikuti juga kemauan Reza. Dia minta kupakai sesuatu yang ketat, tanpa
lengan. Maka kupilih tanktop, dilengkapi cardigan. Paling tidak agar dadaku terlindungi
dari mata nakal.
“Roknya
udah. Terus soal taruhan kita bagaimana? Deal
kan?”
“Deal, asal sore ini lu menang. Kalo
nggak ya batal dong.”
“Ah soal
menang sih gampang,” ucap Reza sambil menepuk dada.
Kemarin
kami menyepakati taruhan. Sebuah taruhan iseng. Berawal dari keinginan Reza
melihat isi braku. Dia sebenarnya sudah kuberi akses kebalik pakaianku. Akses
terbatas sih memang. Hanya sebatas pakaian dalam, tidak lebih. Akses itu kuberi
sebagai imbalan atas bantuannya. Saat itu aku sedang magang di bank, sambil mengurus
skripsiku. Itu semata karena bantuan ayah Reza. Melalui perantara Reza,
tentunya.
Dua
minggu sudah Reza memakai akses itu. Dia rajin datang ketempat magang. Datang guna
sekedar menyingkap pakaianku. Namun, lama-lama akses itu dirasanya kurang. Dia ingin
lebih. Dia ingin sesuatu dibalik dalemanku. Tidak untuk dinikmati, hanya
sebatas disentuh dan diraba. Saat kutolak, dia terus memaksa. Tercetuslah ide
taruhan ini. Kalau ingin tubuhku, maka berusahalah dulu. Demikian pikirku.
Satu lagi
taruhan kami. Reza minta kuoral, apabila bisa jadi top scorer. Hitung-hitung sebagai penyemangat, kusetujui saja tambahan
taruhan itu. Kutahu itu akan sulit terjadi. Lawan kami malam itu adalah juara
tahun lalu. Kini tergantung besarnya niat Reza untuk berusaha.
“Udah,
balik ke lapangan sana. Pemain kok keluyuran di loket, kayak calo tiket.”
“Sialan!”
Reza nyengir. “Tapi nggak ada ciuman penambah energi dulu nih?”
Kubalas
cengirannya. “Boleh aja sih.”
Kutempelkan
dua jari dibibir. Telunjuk dan jari manis. Lanjut kuarahkan kedua jari itu ke bibir
Reza. Kulihat dahi Reza mengerut setelahnya.
“Yah,
pelit bener sih lu Dit,” protesnya.
Tertawa
aku melihatnya. Pasti dia mengharap bentuk ciuman yang lain. Reza terpaksa beranjak
pergi, saat panitia memanggil namanya. Masih terlihat kesal karena kukerjai
tadi. Kuberikan kecupan jauh waktu dia menoleh. Raut kesalnya pun berkurang
sedikit.
Kemudian
aku lanjut melangkah menuju tribun penonton. Kulihat dari kejauhan ketiga teman
gengku. Mereka berkumpul dalam satu baris. Mereka melambai saat balik melihatku.
Aku pun mendekati mereka.
“Gimana?
Udah lu kasi cupika-cupiki semangat si Reza? Biar menang gitu kita.” Lisa,
salah satu temanku bertanya.
“Ih
apaan, emang Reza siapanya gue?”
Lisa
lanjut berucap. “Halah, lu nggak usah boongin kita-kita. Diliat dari dandanan
lu cuma ada dua kemungkinan. Lu mau jalan ama Reza atau lu mau jual diri.”
Perkataan
Lisa itu, ditimpali dua temanku yang lain dengan tawa. Langsung kutepuk pundaknya,
sebagai bentuk protes. Bahkan kini teman gengku pun menyangka yang sama. Kalau
aku dan Reza berpacaran. Kunikmati saja gosip-gosip itu. Toh, aku juga tidak
menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Kebetulan aku sedang putus dengan Hendra,
pacar yang kini jadi suamiku.
Pertandingan
belum dimulai, kami isi dengan bergosip. Kami ngobrol dan tertawa. Tanpa sadar,
agaknya suara kami cukup keras. Sampai-sampai menarik perhatian sekitar. Beberapa
mata mulai melirik kami. Ketiga temanku sih cuek saja, begitupun diriku.
Termasuk lirikan kearah pangkal pahaku. Diantara berempat, memang hanya aku
yang memakai rok.
Penonton
yang datang kebanyakan suporter lawan. Maklum di final kali ini, tim kami
bukanlah unggulan. Tidak lama pertandingan pun dimulai. Kulihat Reza masuk ke
lapangan. Dia kembali menjadi pemain inti. Reza melambai kearahku dan aku membalasnya.
Terdengar suara ‘ciieee’ riuh dari sebelahku. Itu adalah ulah teman gengku. Kubalas
godaan mereka dengan juluran lidah.
“Aduh
kita ketinggalan nih Dit,” seru Icha yang ganti duduk disebelahku.
“Tenang
Cha, waktunya masih banyak kok.”
Berusaha
kutenangkan Icha. Siska disampingnya juga melakukan yang sama. Icha kelihatan
tegang. Maklum hari ini pacarnya bermain, namun masih duduk dicadangan. Tim
kampusku saat itu tertinggal empat bola.
Setengah quarter kedua, tim kampusku mulai panas.
Reza mulai beraksi. Lemparan tiga poin dan slam
dunk-nya terus menambah poin. Setiap kali mencetak poin, Reza menunjuk
kearahku. Aku tersenyum melihatnya. Kuhargai semangatnya. Satu per satu jarak
poin mulai terkikis. Sampai akhirnya tim kami ganti memimpin. Yel-yel suporter
pun sahut-sahutan terdengar. Semakin lama suasana jadi semakin heboh.
Kejar-kejaran poin terus berlangsung.
Memasuki akhir
quarter keempat, kedua tim masih
berkejaran poin. Menjelang detik-detik akhir, lemparan tiga poin Reza masuk. Tim
kampusku menang. Kemenangan yang sangat berarti. Lima tahun penantian pun
berakhir. Dan sebagai catatan, Reza mencetak poin terbanyak malam itu.
“HOREE!!”
Kami
berempat berjingkrak kegirangan. Begitu pula penonton lain disekitar kami. Tanpa
kami sadari, Reza sudah berdiri di depan tribun. Dia tersenyum. Kami pun melambai
kearahnya. Reza memberi isyarat agar aku mendekat. Aku turun dari tribun dan
mendekatinya.
“Tunggu
aku ya Dit, jangan pulang dulu.”
Kujawab
dengan anggukan.
“Hei Reza,
Dita. Ayo ikut kita-kita foto.” Kapten tim berteriak kepada kami.
Tanpa
meminta persetujuan, Reza menarik tanganku. Saat itu kebetulan hanya aku cewek disana.
Dan tercetaklah foto itu. Fotoku bagai bunga diantara kumbang. Saat prosesi
penyerahan piala dimulai, barulah aku kembali ke tribun. Tidak kulihat lagi
sosok Reza. Sepertinya dia berbaur dalam lautan manusia dilapangan.
Penyerahan
piala pun usai. Satu persatu penonton keluar dari stadion. Hanya satu dua
penonton yang masih bertahan. Perlahan suasana mulai sepi. Ditengah kesunyian itu,
dua orang sedang berbisik. Itu adalah aku dan Reza. Dia ‘menculik’ aku dari
teman-temanku.
“Ngapain
kita disini Rez?” Bisikku.
Dia
tersenyum. “Ngambil hadiahku lah.”
“Serius?
Di toilet cowok?”
Kami pun mulai
berdebat. Reza ingin mencumbuiku ditempat ini. Jelas sajalah tidak kusetujui. Ternyata
ini semua bukan soal taruhan. Ini soal mewujudkan fantasi. Fantasi di area
publik. Reza pernah menceritakan fantasinya itu. Hanya saja, tak kusangka kalau
akulah yang diinginkannya.
Dia terus
meyakinkanku. Dia bahkan memelas. Melihat itu perlahan aku melemah. Sebenarnya
tempat itu tidak terlalu buruk. Toilet pria itu terlihat bersih, sangat bersih
malah. Hanya faktor keamanan saja yang kuragukan. Saat itu memang sepi. Hanya
saja, bukan berarti tidak ada yang bisa mendadak masuk. Perdebatan itu pun berakhir
dengan ciuman. Sebuah ciuman, sekaligus sebuah persetujuan.
Itu bukan
ciuman pertama kami. Pertama kali terjadi setahun yang lalu. Ciuman itu terjadi
dalam pengaruh alkohol. Itu juga kali pertama Reza menyentuhku. Dia sempat
meremas payudara, dan merogoh kewanitaanku. Syukurnya tidak lebih dari itu. Reza
cukup gentlement untuk tidak
memanfaatkan situasi. Setelah hari itu, ciuman terjadi lagi beberapa kali. Itu
pun sekedar ciuman iseng antar sahabat. Tetap dibibir tapinya.
“Boleh
aku?” tanya Reza.
Dia sudah
melepas kancing cardiganku. Sudah pula dia pegang ujung tanktopku.
“Terserah.
Asal nggak pake buka baju aja ya.”
Reza
tersenyum dan mengangguk. Diciumnya bibirku sekali lagi. Barulah kemudian tangannya
beraksi. Berusaha aku tetap tenang. Menutupi kenyataan kalau aku mulai
terangsang.
“Sshh..
sshh.. sshh..”
“Sshh..
sshh.. sshh..”
Aku
mendesah tertahan. Bergiliran puting payudaraku dikulum Reza. Kali pertama kuluman
ini terjadi. Dia begitu bernafsu menikmati keduanya. Kubiarkan dan kunikmati saja
sensasinya. Toh, ini memang bagian dari taruhan kami. Dan dia memenangkannya.
“Toket lu
bagus banget bentuknya. Toket paling padet yang pernah gue rasain,” puji Reza
begitu mulutnya dan putingku terpisah.
Tersipu
malu aku mendengarnya. Tersipu campur malu, tepatnya. Entah apa dia berkata
yang sama kepada setiap wanita. Tapi kata-kata itu membuatku bangga. Kuyakin
wajahku pasti merah merona saat itu. Bagaimana tidak, Reza menatap payudaraku
begitu nanar. Bukan pertama kali payudaraku ditatap seperti itu. Namun, tatapan
Reza terasa berbeda waktu itu.
“Gstring apa thong nih Dit?”
Makin memerah
wajahku ditanya seperti itu. Entah karena nafsu, atau karena malu.
“Lu liat
sendiri aja lah. Met ultah.” Godaku
Reza
melempar senyum, sebelum tangannya beraksi. Rokku diangkatnya. Tersenyum lagi
Reza melihat apa yang ada disana. Model favoritnya, tipis dan berenda. Tak tahan
dia tuk meraba. Tak tahan pula tuk merogoh ke dalam. Reza rupanya memiliki
tangan terampil. Dia bisa membuatku basah dalam waktu singkat. Dilorotkannya
sedikit kain mungil itu, sebelum jongkok didepanku. Kini vaginaku ada
dihadapannya. Mulailah dia menggunakan lidahnya.
“Sshh..
sshh.. sshh..”
“Sshh..
sshh.. sshh..”
Tidak
lama dia ada dibawah sana. Reza lalu kembali berdiri. Dia tersenyum lagi.
“Memek lu
percis seperti yang gue bayangin selama ini. Fresh dan wangi.”
Lagi-lagi
aku tersipu dibuatnya. Akhirnya keinginan Reza tercapai. Sudah lama dia ingin
melihat vaginaku. Keinginan itu kian menjadi, saat tahu aku telah bercinta. Dia
sempat cemburu. Sulit baginya menerima hal itu. Sebenarnya, bisa saja kuserahkan
diriku padanya. Tidak kupungkiri aku nyaman bersamanya. Namun, reputasi Reza
membuatku berpikir dua kali. Beberapa cewek sudah diperawaninya. Temanku salah
satunya. Tidak berminat aku menambahnya lagi.
“Gue udah
ngeliat lu, sekarang giliran lu ngeliat gue Dit.”
Aku
mengerti maksud perkataan Reza. Giliran kini aku jongkok didepannya. Kupegang
karet celana pendek yang dipakai Reza. Perlahan kutarik turun. Menyusul kemudian
boxernya. Dan kagetlah aku. Sampai-sampai aku harus menelan ludah. Ternyata
rumor yang kudengar selama ini benar. Ternyata batang penis Reza memang besar. Pengaruh
keturunan arab dari kakeknya mungkin. Namun, kucoba menutupi kekagetanku itu.
Batang penis
Reza pun amblas dimulutku. Mulailah kukulum, sambil sesekali kukocok. Mulut,
lidah dan tanganku bekerja bersamaan. Kujilati juga beberapa kali buah
zakarnya. Sempat kulirik wajah Reza. Kulihat dia sesekali memejamkan mata.
Menikmati layanan yang kuberikan.
“Sshh..
sshh.. sshh..”
“Enak
Dit, enak banget.. sshh..”
Reza
merancau keenakan. Sambil dielusnya kepala dan rambutku. Sementara Reza
terlena, aku sendiri terpana. Terpana dengan penis miliknya. Makin lama batangnya
makin sesak kurasa. Sungguh ukuran yang diluar kebiasaan. Lebarnya terasa pas digenggaman.
Panjangnya terasa sampai kerongkongan. Terlintas pikiran nakal, membayangkan rasanya
digenjot penis sebesar itu. Namun, kesepakatan kami sudah pasti. Tidak ada seks
dalam taruhan ini. Aku pun tidak mau terkesan murahan, untuk meminta duluan.
Cukup
lama kuberikan Reza layanan oral. Mulut dan tanganku mulai pegal. Namun, tidak
ada tanda-tanda dia akan keluar. Maka kutarik lepas penis itu dari mulutku.
“Rez, lu
jangan nahan dong. Capek nih mulut gue.” Aku merajuk.
“Gue
nggak nahan kok, emang belum mau keluar aja.”
“Boong
banget deh.”
“Sumpah
Dit, gue emang susah keluar kalo cuma disepong doang.”
“Terus
diapain lagi dong?”
“Dimasukin
ke memek lah. Mau lu?”
Reza
nyengir. Aku melengos kesal. Kugelengkan kepalaku. Penis itu masih mengacung gagah
dihadapanku. Benar-benar menggoda iman. Jujur aku horni, tapi aku juga punya
harga diri. Bisa saja kesempatan ini kugunakan. Kesempatan mendapat kenikmatan,
tapi tidak terkesan murahan. Hanya saja, masih kucoba menahan keinginan. Lanjut
lagi kulakukan kuluman dan kocokan.
Beberapa
menit berlalu, terdengar suara ponsel. Nada dering ponselku. Kuhentikan
mengoral, dan mengambilnya dari saku. Kuminta Reza menunggu sebentar. Rupanya telpon
dari Lisa.
“Dimana sih
lu Dit? Lama banget! Kita-kita nungguin lu sampai bulukan nih!”
Lisa
langsung nyeroscos. Kalau sudah seperti itu, berarti dia sedang kesal. Aku pun
jadi bingung menjawabnya. Kusadari aku harus berbohong.
“Gu-gue,
gue.. masih ama anak-anak nih.”
“Pokoknya
kita tungguin diparkiran lagi sepuluh menit. Kalo lu nggak dateng juga, kita
tinggal.”
“I-iya,
iya gue kesana sekarang.”
Percakapan
berakhir. Kukatakan ke Reza teman-temanku mulai gusar. Kuminta untuk menunda
apa yang kami lakukan tadi. Mungkin mencari waktu yang lebih pas. Mendengar itu
Reza tegas menolak. Penisnya saat itu sedang tegang-tegangnya. Nanggung banget
kalau berhenti sekarang, tolaknya lagi. Perdebatan terjadi lagi antara kami.
Lagi-lagi
aku harus mengalah. Berjongkok lagi aku didepannya. Mulai lagi penis itu kukulum
dan kukocok. Kali ini kulakukan dengan sekuat tenaga. Hanya saja, tetap tidak
ada tanda-tanda ejakulasi. Padahal kurasa penis Reza sudah pada ukuran
maksimalnya. Waktuku makin menipis. Maka kuputuskan untuk mengambil jalan
terakhir.
“Udah lu
masukin deh kontol lu,” ucapku segera setelah berdiri.
Reza
terlihat kaget mendengarnya. “Se-serius lu Dit?”
“Iya
serius. Udah buruan, waktu kita nggak banyak.”
Aku membalik
badan. Kutarik nafas panjang. Kuturunkan celana dalam, kunaikan rokku. Ujung
wastafel kujadikan penyangga. Posisi pantat kudorong sedikit kebelakang.
Sengaja kuberbalik, agar Reza tidak melihat wajahku memerah. Memerah menahan
horni. Horni membayangkan disetubuhi olehnya. Oleh batang besarnya.
Lama
tidak merasakan apa-apa, aku menoleh. “Ayo dong Rez, masukin!”
Reza
tersentak. Sepertinya dia sempat tertegun melihat pantatku. Mungkin juga melihat
lubang kenikmatanku. Atau keduanya, entahlah. Memang memalukan kalau
diingat-ingat. Belum pernah aku seagresif itu pada pria. Semoga saja Reza tidak
mengingatnya.
“Uuuhh..!”
Kami melenguh hampir bersamaan.
Penis Reza
menerobos masuk. Reza mengerti untuk tidak langsung menusukkan penisnya. Dia
melakukannya perlahan. Dia cukup tahu kalau vaginaku sudah basah, tapi belum
cukup basah. Kewanitaanku pelan-pelan menyesuaikan ukuran batang Reza. Kali ini,
dinding vaginaku harus merenggang lebih dari biasa.
Secara
perlahan pula, Reza mulai melakukan genjotan. Awalnya terasa sedikit sakit.
Percis seperti saat diperawani Hendra, malam itu. Lama-kelamaan syaraf-syarafnya
mulai beradaptasi. Kenikmatan mulai mendera. Apalagi sudah lama aku tidak
bercinta. Vaginaku sudah merindukan keberadaan penis didalamnya.
“Sshh..
sshh.. sshh..”
“Sshh..
sshh.. sshh..”
Sama-sama
kami berusaha menahan desahan. Sadar kalau kami sekarang ada ditempat umum.
Desahan yang terlalu keras, akan mengundang kecurigaan. Selama persetubuhan
terjadi, tidak satu pun dari kami bersuara. Kami menikmatinya dalam diam. Dengan
demikian, justru kami kian larut dalam kenikmatan.
“Aahh.. aahh..
oohh..”
Akhirnya tak
dapat lagi kutahan. Desahan dan erangan lirih keluar juga dari mulutku. Kupegang
ujung wastafel makin kuat. Seiring genjotan Reza yang semakin mengencang. Semakin
kencang, dan terus semakin kencang. Tubuh kami kian hebat terguncang-guncang. Otot-otot
kewanitaanku terasa menegang. Menegang dan terus menegang. Kurasakan momen itu
akan datang. Diujung aku pun melenguh panjang. “OOOHH..!!”
Sementara
Reza makin bersemangat. Dipegangnya pantatku erat-erat. Digenjotnya kewanitaanku
dengan ganas. Tubrukan pantatku dan panggulnya menimbulkan suara. “Plaap.. plaap..
plaap..” demikian suaranya. Ditengah genjotan dahsyat itu, Reza menarik
penisnya. Kutolehkan kepalaku kesamping. Kulihat dia sedang mengocok batang
penisnya. Diarahkan ujungnya ke wastafel.
“AAAHH..!!”
Reza berejakulasi.
Sperma
Reza tumpah di wastafel. Salut aku dengannya. Reza cukup gentlement, untuk ukuran cowok playboy.
Dia mengeluarkan spermanya diluar vagina, tanpa diminta. Berikutnya kami sama-sama
mengatur nafas. Masih kupegangi wastafel. Sementara Reza bersandar pada dinding.
Tubuh kami sepertinya masih terlalu lemas. Setelah merasa agak tenang, kurapikan
diri kembali. Demikian pula yang dilakukan Reza.
“Barusan tadi
itu bukan mimpi kan Dit?”
Reza
memegang pinggangku. Kami saling bertatapan. Kugigit bibir bawahku, dan
menggeleng kepala sebagai jawaban.
“Ki-kita
beneran ngentot?”
Kali ini kuanggukan
kepala. Ekspresi Reza berubah sumringah. Kulihat kebahagiaan dimatanya. Reza
bahkan berkata kalau ini adalah hadiah ultah terbaiknya. Dia berhasil menambah
namaku dalam daftarnya. Daftar cewek yang pernah disetubuhinya. Tidak kusesali
sama sekali. Cukup sepadan dengan kenikmatan yang kudapatkan.
Dia
menciumku. Kali ini sebuah ciuman hangat. Selepasnya, kami beranjak keluar dari
sana. Dia menemaniku berjalan menuju parkiran. Teman-temanku langsung menyambut
dengan omelan. Namun, bisa ditenangkan Reza dengan rayuan. Ditambah sebuah
janji traktiran.
***
“Ma? Mama
dengerin papa nggak sih?”
“Eh i-iya,
kenapa Pa?”
Tersadar aku
karena guncangan dilengan. Rupanya tadi aku sempat larut dalam kenangan. Dari sana
baru kusadari, ternyata Reza-lah penis keduaku. Sempat terlupa karena sudah cukup
lama. Meski singkat, tapi rasanya nikmat. Kejadian itu pertama dan terakhir
bagi kami. Reza terus coba menggoda, kutolak dengan segala daya upaya. Aku tidak
ingin seks merusak persahabatan kami. Cukuplah kesalahan itu terjadi sekali. Ajakan
berpacaran pernah kupertimbangkan. Hanya saja, tak sempat kuiyakan. Dia keburu
terikat pernikahan.
“Tadi
papa bilang kalo papa dapet ketemu Reza di bandara.”
“Oya,
kapan?”
Reza memang
pindah setelah menikah. Keluar daerah kalau tidak salah. Reza menikahi salah
satu dari sekian pacarnya. Itupun dilakukan dengan terpaksa, karena pacarnya
itu hamil olehnya. Itulah kabar terakhir yang kudengar darinya. Saat itu aku telah
kembali kepelukan Hendra. Pacar yang kini jadi suamiku.
“Minggu
lalu, dia yang nyapa duluan malah. Dia nitip salam loh buat mama.”
“Oya, masa?”
sahutku singkat lagi.
Berusaha
aku terlihat biasa saja. Mengingat masa laluku dengan Reza, aku tidak mau
membuat suami cemburu.
“Iya. Dia
juga ngundang kita sekeluarga liburan di hotelnya. Dua minggu lagi kan long weekend tuh. Nggak ada salahnya
kalo kita memenuhi undangan dia. Reza ngasi papa nomor telponnya, kalo mama mau
papa bisa kontak dia langsung. Gimana Ma?”
Bingung aku
harus menjawab apa. Kalau kutolak ide itu, suamiku terlihat begitu jumawa. Tidak
ingin aku membuatnya kecewa. Kalau kuterima, artinya aku akan bertemu Reza
lagi. Apa yang musti kulakukan kalau itu terjadi. Akhirnya kuberikan sebuah
jawaban diplomatis.
“Te-terserah
papa aja deh.”
“Oke,
kalo gitu biar coba papa kontak Reza sekarang.”
Suamiku
mengambil ponselnya. Aku sendiri masih terpaku. Terpaku dalam kebingunganku. Lalu
terdengarlah percakapan kedua pria itu. Dua pria spesial dalam hidupku. Dunia
memang tidak selebar daun kelor, ternyata.
.
Cowoknya kaya nama aku kak?
BalasHapusjangan² kamuuu....
Kitaaa...??
Owh ��