Selasa, 28 Februari 2017

Istri Sehari


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Hari itu jam kerjaku harus berakhir agak panjang. Sesuatu hal yang biasa terjadi menjelang akhir bulan. Banyak laporan dan pembukuan yang harus diselesaikan. Tentunya bekerja lembur tidak aku lakukan sendirian. Aku bersama tim manajerial lain, ditambah beberapa pegawai junior untuk membantu. Kami baru selesai menjelang pukul sembilan malam.
“Pulang sendirian Dit?”
Mendengar itu, aku yang sedang merapikan berkas menoleh. Rupanya salah satu dari manager mendekatku. Namanya Pak Darmono, salah satu manager keuangan senior yang ada di kantor.
“Iya nih Pak.” Kujawab sambil melemparkan senyuman.
“Mau ikut hang out nggak? Kita mau nongkrong di tempat biasa dulu nih.”
Pasti yang dimaksud night club tempat langganan kami. Sebulan sekali pegawai kantorku selalu menyempatkan untuk kumpul bareng. Sekedar ngobrol sambil minum-minum ringan. Karaoke juga kadang menjadi jadwal rutin. Tujuannya untuk mempererat kekerabatan. Namun, malam itu aku tidak bisa ikut. Ada kegiatan lain yang harus kulakukan.
“Maaf Pak, kayaknya saya nggak bisa ikut nih.”
Kulihat kekecewaan di wajahnya, namun dia tidak memaksa aku untuk tetap ikut. Harus kuakui kalau managerku itu tertarik padaku. Bisa kulihat dari tatapannya. Kadang dengan nada gurauan dia sering mengajakku jalan. Dua kali kusetujui ajakannya untuk makan siang. Sekedar berusaha untuk tetap sopan. Sisanya kami keluar kantor untuk urusan kerja. Itu pun tidak hanya berdua saja pastinya. Berusaha tetap menjaga prinsip tidak terlibat affair dengan rekan kerja.
Sepeninggal Pak Darmono, ponselku berbunyi. Pesan singkat dari Pak Pram. “Kamu jadi kesini Dit?” Begitulah isinya. Kubalas kalau aku baru saja selesai di kantor, dan segera menuju kesana.

Selasa, 14 Februari 2017

Sebuah Pengakuan


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sudah hampir sebulan Tante Dita tinggal di rumah ortu gue. Tante Dita adalah adik sepupu dari mama. Tante gue itu lagi ngikutin training dari bank tempatnya bekerja. Dia sih pengennya kos saja, tapi mama memaksa buat tinggal bareng kami. Gue jelas nggak keberatan ada Tante Dita di rumah. Siapa yang bakal nolak sebuah ‘pemandangan indah’ kayak itu. Buat gue yang waktu itu masih sekolah, Tante Dita itu sih bak bidadari.
Tidak ada yang istimewa selama adanya Tante Dita. Sampai suatu terjadi kejadian yang merubah segalanya. Merubah total cara pandang gue terhadap tante gue itu.
“Dre, panggilin Tante Dita gih, suruh turun buat sarapan.”
Gue turutin perkataan mama. Gue naik ke lantai dua menuju kamar Tante Dita. Heran juga sih waktu mama bilang kalau tante gue belum berangkat. Bukanlah kebiasaan dia bangun siang.
Berdiri di depan kamar, gue lihat ada celah di pintu. Keinginan untuk mengetuk gue urungkan. Gue intip apa yang terjadi di dalam. Seketika itu gue kaget dengan apa yang gue lihat. Gue lihat Tante Dita baru saja keluar dari kamar mandi. Terburu-buru dengan hanya terbalut handuk. Sepertinya dia nggak sadar dengan pintu kamarnya. Dia juga nggak sadar kalau gue ada disana.
Oh shit!” Seru gue dalam hati waktu balutan handuk itu terlepas.
Itu pertama kali gue ngeliat tubuh Tante Dita seutuhnya. Indah, bahkan lebih indah lagi tanpa sehelai benang. Sesuatu dalam celana gue langsung bereaksi. Lekukan tubuh Tante Dita ternyata begitu mengagumkan. Gue merasa beruntung banget bisa melihatnya langsung. Gue bisa melihat semua, benar-benar semuanya. Dada, pantat, paha, sampai bulu diantara pahanya. Mulai dari dia memakai bra dan celana dalam, sampai seragamnya lengkap terpasang. Kelelakian gue semakin dahsyat bereaksi. Merasa nggak kuat lagi, gue lari ke kamar gue. Di kamar mandi gue langsung buka celana dan beronani. Sumpah kontol gue nganceng banget waktu itu.