Kamis, 22 Juni 2017

Mengingat Kembali


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sore itu aku tidak langsung pulang. Aku mampir ke sebuah hotel di pinggiran kota. Malah kini aku ada di salah satu kamar, di hotel tersebut. Terbaring di ranjang, dalam pelukan Leo. Siang tadi dia tiba-tiba menelpon. Sejak dia lulus dan pulang ke kotanya, kami sudah tidak pernah lagi bersua. Ditelpon dia mengajak ketemu. Sedang tidak ada acara, kuiyakan ajakan itu. Apalagi Leo sudah jauh-jauh datang.
Sesampainya di kamar, aku langsung disambut buket bunga dan paket coklat. Hari itu bukanlah hari Valentine. Sempat bingung, Leo mengingatkan kalau hari itu adalah hari pertama kali kami berkenalan. Cukup kaget aku mendengarnya. Tidak menyangka kalau Leo seromantis itu.
“Di hotel ini kita pertama kali bercinta Kak. Inget nggak?” Kata dia, sambil mengelus rambutku.
Ingatan lama terkuak kembali. Momen pertama kali kuserahkan diri pada Leo. Memang terjadi di hotel itu. Di kamar yang sama pula. Beberapa tahun yang lalu.
***
“Bercinta ama brondong? Nggak deh Put, makasi.”
Protes aku saat mendengar usul Putri. Waktu itu aku sedang menginap di rumahnya. Biasa aku lakukan minimal sebulan sekali. Atas seijin suami tentunya. Hal yang sama kadang dilakukan pula oleh suami bersama teman-temannya. Kami menyebutnya friendship time.
Malam itu aku sedang curhat pada Putri. Curhat tentang krisis kepercayaan diri yang aku alami. Berawal ketika aku menemukan sehelai rambut putih. Ditambah sedikit kerutan di bawah mata. Mendadak aku merasa tua. Mendadak aku merasa nggak cantik lagi. Dengan santainya lalu Putri menyarankan sebuah ide gila. Bercinta dengan berondong. Kata dia bisa bikin awet muda. Persis seperti yang selama ini dia lakukan.
“Lihat gue Dit, gue selalu keliatan awet muda kan? Ini berkat pejuh brondong tau...”
Kami terus berdebat semalaman soal itu. Sampai akhirnya sama-sama lelah dan tertidur.
Siang hari, keesokan harinya. Tahu-tahu saja aku ada di food court, sebuah mall. Aku duduk di sebelah seorang mahasiswa. Saat berkenalan tadi dia bilang namanya Leo. Masih semester awal, begitu pengakuan dia. Sementara di depan kami duduk Putri dan Benny. Putri memanggil dia Ben. Leo adalah teman satu kampus Ben. Kami sedang melakukan double date. Kemarin Putri sengaja menelpon Ben untuk datang bersama teman, lengkap dengan kriterianya.
Semenjak tadi hanya Putri dan Ben yang berbicara. Sesekali mereka tertawa bersama. Sedangkan aku dan Leo lebih banyak diam. Wajar kalau Putri dan Ben kelihatan akrab, karena keduanya sudah mengenal cukup lama. Sudah saling mengenal luar dalam bahkan. Ben adalah salah satu daun muda kenalan Putri. Bisa dibilang dia itu ‘stuntman’ sang suami.
Ditengah obrolan, Putri mengajak Ben melihat-lihat sepatu. Sepertinya dia sengaja melakukan itu, agar aku dan Leo bisa berduaan. Tanpa menunggu persetujuan kami, Putri menarik tangan Ben. Tinggallah aku dan Leo yang nampak kikuk. Kuajak lalu Leo menuju Gramedia, dengan alasan ingin cari bahan bacaan. Sambil melihat-lihat novel, kami mulai ngobrol. Setelah berdua barulah obrolan kami berlangsung lancar. Seru juga si Leo ini anaknya, pikirku.
“Mau main Timezone nggak Kak? Kebetulan aku ada voucher nih.”
“Boleh,” sahutku.
Tidak lama kami sudah asyik bermain. Dari main street basketball, sampai game table hockey. Bahkan di mesin boneka, Leo berhasil mendapatkan hello kitty. Boneka itu dia berikan padaku. Katanya buat kenang-kenangan. Saat dia ngajak bermain dance revolution, aku menolak. Malu nanti jadi tontonan. Akhirnya dia jingkrak-jingkrak sendirian. Aku cekikikan saja melihat dia.
Keluar dari Timezone, sebuah pesan singkat masuk. Dari Putri. Dia bilang pulang sama Ben, mau mampir ke hotel dulu soalnya. Lah itu berarti aku yang harus mengantar Leo, kan tadi dia datang sama Ben. Mau protes, tapi ternyata Putri bilang sudah di jalan.
Saat aku sampaikan itu ke Leo, dia menolak aku antar. “Nggak usah Kak, biar aku naik bis saja, biar nggak ngerepotin.” Ternyata kosan dia lokasinya berlawanan dengan rumahku.
Dia juga menolak saat aku hendak memberi uang untuk naik bis. Respect aku sama anak muda ini, aku membatin. Sebelum pulang, aku ajak Leo membeli kue-kue. Aku serahkan satu kotak ke Leo. Hitung-hitung sebagai ganti boneka hello kitty, dan biaya bis. Untuk yang satu ini dia tidak menolak. “Buat camilan nonton bola,” begitu ucap dia sambil nyengir.
Hari itu pun kami berpisah di parkiran.
***
Tiga hari setelah itu. Mendadak saja suami menyeletuk, “Papa pengen liat mama bercinta sama cowok lain.” Malam itu kami membahas tentang swinger. (Bisa dibaca cerita sebelumnya yang berjudul ‘Nasabah Prioritas’).
Nama Leo langsung terlintas dibenakku. Terakhir bertemu, aku lupa sekali menanyakan nomor telepon dia. Maka lewat Putri, aku mencari tahu nomor Leo. Alasannya mau nawarin Leo bikin rekening. Sebuah alasan yang jelas tidak dipercayai Putri. Aku diberi kerlingan nakal oleh Putri, waktu dia menyerahkan nomor Leo. Kubalas dengan juluran lidah.
Aku dan Leo kemudian janjian di sebuah cafe. Dari suaranya terdengar kalau dia sangat antusias. Disana dia akan tampil bernyanyi. Leo minta aku nonton dan memberi opini. Ternyata Leo juga adalah seorang gitaris. Saat tampil, dia membawakan dua lagu romantic pop. Cukup familier di telingaku, karena saat itu sedang hits di radio. Aku menikmati penampilan Leo, terutama saat dia memetik gitar secara akustik.
“Gimana penampilan aku Kak? Baru sebulan loh latihan.”
Aku acungkan dua jempol sebagai jawaban. Leo langsung tersenyum lebar. Tergurat rasa bangga di wajahnya. Setelah itu, Leo sibuk meladeni beberapa pengunjung. Ada yang ingin kenalan, ada yang sekedar minta berfoto. Rata-rata gadis-gadis muda. Cukup minder juga diriku melihat itu.
Dikerumuni gadis-gadis cantik seperti itu, aku kira Leo akan lupa padaku. Ternyata dia balik lagi ke mejaku. “Kakak mau request lagu? Abis ini aku tampil lagi,” begitu kata dia sambil senyum.
Aku balas tersenyum. “Nggak ada deh,” sahutku singkat.
Leo mengangguk, lalu beranjak dari kursi. Namanya sudah dipanggil oleh MC. Suara Leo tidak lama mulai mengalun. Seiring itu terdengar pula seruan histeris dari depan panggung. Dari gadis-gadis yang tadi mengerumuni Leo. Aku hanya tersenyum melihat itu. Dulu juga aku seperti itu. Kalau sekarang sih sudah malu sama umur.
Lewat dua lagu, sebelum memulai lagu ketiga, tiba-tiba saja Leo berujar. “Lagu yang berikut ini, sekaligus lagu terakhir, buat cewek yang lagi duduk sendirian di pojok kiri belakang.”
Gara-gara itu semua mata jadi tertuju padaku. Ih dasar Leo, runtuk aku dalam hati. Padahal aku berusaha tidak nampak mencolok di cafe itu. Gadis-gadis yang ada di depan panggung ikutan menatap. Tatapan nanar. Mungkin kini mereka menganggap aku sebagai ancaman. Aduh makin risih nih jadinya, runtukku lagi. Sementara di panggung Leo hanya nyengir, kemudian melambai. Sengaja banget dia bikin aku salah tingkah.
Lagu ‘When I See You Smile”, dari Bad English, kemudian mengalun. Suasana menjadi hening. Tidak ada lagi suara-suara teriakan. Ini justru membuat aku makin kikuk. Ditambah tatapan Leo yang benar-benar tertuju padaku.
Begitu lagu itu selesai dinyanyikan, suara tepuk tangan menderu. Turun panggung Leo langsung menghampiri aku. Semua mata menatap lagi ke arah kami. Kali ini aku tersipu malu. Penyanyi berikutnya naik ke panggung, baru tatapan itu beralih.
“Suka lagunya Kak?” Tanya Leo, begitu duduk di kursinya.
Aku langsung menepuk bahu Leo. “Ih kamu ini ya, sengaja banget sih. Aku jadi malu loh diliatin orang-orang.”
Leo malah terkekeh. “Kakak laper nggak?” Dia malah mengalihkan pembicaraan.
Selepas itu, kami sudah berkendara menuju suatu tempat. Leo tidak mau bilang nama tempatnya. Kata dia itu kejutan. Kami memakai mobilku, tapi Leo yang nyetir. Rupanya dia membawa aku ke sebuah warung makan. Aku tahu tempat itu. Tempat itu terkenal karena keunikannya. Tempat makannya berupa gubug-gubug bambu di pinggiran kolam. Suasananya memang bagus, terutama malam hari seperti saat itu. Di dalam Leo berbincang dengan seorang laki-laki, yang juga adalah pemilik warung. Leo bilang kenal, karena pernah ngadain acara kampus disana. Setelah berbasa-basi, laki-laki itu yang langsung mengantar kami ke sebuah gubug.
Awalnya, ketika makan aku dan Leo duduk berhadapan. Selesai makan, entah karena suasana temaram yang romantis, kami jadi duduk bersebelahan. Gubug di sebelah kami sudah kosong. Ini membuat situasi diantara kami kian intim. Tanpa usaha berlebih, Leo berhasil menggiring aku ke pelukannya. Obrolan kami terhenti, saat bibir kami bertemu. Itulah pagutan pertama kami. Tidak hanya terjadi sekali. Bibir kami bertemu beberapa kali malam itu.
Tidak hanya berciuman, aku ijinkan pula Leo menyentuh tubuhku. Tahu dong bagian mana yang disentuh Leo paling dulu. Iya, dua payudaraku. Aku tanggalkan cardigan, dan hanya menyisakan tanktop. Dengan begitu tangan Leo bisa punya akses lebih. Sayangnya malam itu aku memakai jeans. Kalau rok atau dress, akan kuberi juga dia akses ke bawah. Biar Leo tahu kalau di bawah sana sudah basah.
“Kak, deket sini ada hotel loh, kita bisa mampir mungkin?” Bisik Leo di telingaku.
Agaknya kami sama-sama paham, akan kemana momen itu berujung. Mendengar itu aku hanya tersenyum. “Kalau nggak malem ini, nggak apa-apa kan?”
Giliran Leo yang tersenyum. Dia terlihat senang, karena aku menangkap kode yang dia berikan.
“Nggak apa-apa kok Kak. Terserah kakak aja nyamannya kapan.”
Senang aku mendengar jawaban Leo. Itu berarti dia tidak hanya memandang aku sebagai objek seks. Dia menghormati aku sebagai seorang wanita. Padahal saat itu di balik celana Leo, tepat di pangkal pahanya, sudah terlihat tonjolan.
Usai menyelesaikan pembayaran, ciuman berlanjut di dalam mobil. Suasana parkiran yang sepi membuat keintiman itu muncul lagi. Lebih intim lagi malah. Bra tidak lagi terpasang. Kaitan dan resleting jeans tidak lagi tertutup. Tidak hanya saling memagut, tangan kami berdua ikut aktif bergerak. Percumbuan itu ditutup dengan kocokan tanganku di penis Leo. Sengaja aku lakukan, karena aku ingin tahu ‘kejantanan’ Leo. Bentuk dan ukurannya paling tidak. Calon penis yang akan aku ijinkan untuk menyetubuhiku nanti. Dan hasilnya? Memenuhi syarat dan ketentuan.
Leo menolak untuk meneruskan kocokan itu. “Biar penasaran Kak,” begitu kata dia. Rupanya itu pula yang jadi alasan tidak menyingkap tanktop dan celana dalamku. Walau dia tahu, kalau pun dia melakukan itu aku tidak akan melarang. Lagi aku dibuat kagum oleh sikap gentlemen Leo.
Selesai berbenah, kami balik lagi ke cafe. Disana Leo aku turunkan, dengan janji dalam satu atau dua minggu akan memberi kabar. Sekalian ingin menguji komitmen Leo. Komitmen untuk tidak mengganggu hidup masing-masing. Sepanjang jalan aku senyum-senyum sendiri. Kepercayaan diriku sudah pulih.
***
Keesokan harinya, rencana aku mengenalkan Leo ke suami batal. Suami bilang mau ber-swinger dengan laki-laki yang juga beristri. Disanalah kemudian masuk Pak Pram, salah satu nasabah prioritasku. Setelah kami bertemu, suami langsung setuju. Maka terjadilah kejadian tersebut. Pak Pram jadi laki-laki pertama yang menyetubuhiku, pasca statusku sebagai istri. Kalian tentu sudah tahu kan lanjutan ceritanya?
***
Pada dasarnya, swinger hari itu, adalah untuk memuaskan fantasi suami. Selain melancarkan target pekerjaan juga sih, pastinya. Hanya saja, kejadian itu tidak menghilangkan rasa penasaran pada Leo. Maka aku sapa Leo lewat pesan singkat. Niat menyapa berlanjut jadi janjian bertemu, di sebuah hotel.
Singkat cerita, aku sudah ada di kamar hotel. Aku datang langsung dari kantor. Sengaja aku tiba lebih awal agar bisa mempersiapkan diri. Selesai membasuh diri, aku mengganti seragam dengan pakaian kasual. Tanktop dan celana pendek. Agar terkesan lebih santai, pikirku. Sempat pula aku sapukan riasan tipis di wajah. Bel pintu berbunyi, saat aku selesai mematut diri di cermin.
“Kirain kakak lupa sama aku,” ucap Leo begitu pintu terbuka. Dia melempar senyuman.
Aku balas tersenyum. “Maaf ya, habis kan aku sibuk kerja.”
Kusuruh Leo masuk. Pertemuan itu kami awali dengan mengobrol. Diselingi ngemil camilan yang tadi sempat aku beli. Semula kami duduk berhadapan di atas ranjang. Lama-lama posisi itu berganti jadi rebahan. Disini keintiman dimulai. Bibir kami bersentuhan. Aku dan Leo memagut bak pasangan yang sudah lama tidak bertemu. Birahi pun secara perlahan terpancing. Tidak perlu waktu lama untuk pakaian kami terlepas, satu per satu.
Dimulai dari tanktop dan bra yang aku pakai. Leo agaknya sudah kebelet pengen mengulumi putingku. Kubiarkan dia bermain dengan kedua payudaraku. Leo mengulum, menjilat, meremas keduanya bergantian. Kanan dan kiri. Aku dibuatnya bergelinjang kegelian. Termasuk ketika dia selingi dengan menjilati leher dan telinga.
“Leo geli ih, geli...” Aku merancau, ketika Leo ganti menjilati pinggang dan pusar. Melihat aku seperti itu, Leo hanya tersenyum.
Sebelum melolosi celana pendekku, Leo menanggalkan sendiri kaos yang dia pakai. Setelah itu, dia membuka kedua pahaku lebar. Kepala Leo lalu terbenam di selangkanganku. Dijilati celana dalamku dengan lidahnya. Ketika mulut Leo beralih ke payudaraku, tangan dia tetap meraba kain terakhir di tubuhku itu. Dia memastikan bagian itu basah, sebasah-basahnya.
Beralih lagi kemudian kepala Leo ke antara pahaku. Kali ini celana dalamku sudah dilepasnya. Cukup lama dia menjilati kewanitaanku. Dia berbisik kalau sudah lama mimpi ingin melakukan hal itu. Kubiarkan Leo sepuas-puasnya ber-‘french kiss’ dengan bibir bawahku. Cairan pun kian lama kian membanjir dari bagian tersebut.
“Aku suka banget sama memek kakak. Lembut, wangi lagi,” bisik Leo. Ucapan itu membuatku merona. Kepercayaan diriku terus meninggi. Tubuhku masih bikin nafsu, seruku dalam hati.
Aku tahu Leo tidak berbohong. Dia menikmati setiap jengkal tubuhku. Bahkan bisa dibilang itu foreplay paling lama yang pernah kulakukan. Hampir setengah jam, Leo hanya menciumi dan menjilati tubuhku. Dari dahi sampai jari-jari kakiku. Iya, jari kakiku satu-satu dia dikulumi juga. Berkali-kali pujian keluar dari mulutnya. Memuji wajah, bibir, leher, payudara, pinggang, perut, pantat, paha, vagina dan lainnya. Hal itu membuatku semakin berbunga-bunga.
Pujian yang sama terucap pula dari Pak Pram, beberapa hari yang lalu. Hanya saja, pujian yang keluar dari mulut Leo lebih terasa. Lebih membuat aku bergairah.
“Aaahhh...” Kami melenguh bersamaan. Akhirnya kelamin kami bertemu. Aku resmi disetubuhi oleh Leo. Seorang anak muda, seorang mahasiswa.
Aku menikmati sekali ekspresi di wajah Leo, saat dia menyetubuhiku. Matanya terpejam, seperti menikmati betul pertemuan kelamin kami saat itu. Setiap kali dia menarik, dan mendorong penis, ekspresi itu muncul. Mendadak aku merasa bangga dengan vaginaku sendiri. Membuat laki-laki seumuran Pak Pram mendesah, bagiku sih biasa aja. Membuat laki-laki seumuran Leo, merem-melek itu sesuatu yang spesial.
“Memek kakak, memek terenak yang pernah aku rasain,” Leo menyeletuk diantara genjotannya.
Aku agak kaget. Disanalah aku tahu kalau aku bukanlah wanita pertama Leo.
“Aku cewek keberapamu?” Tanyaku langsung. Pertanyaan yang sedikit rada canggung memang. Mengingat aku sedang ada di bawah tindihan Leo.
Mendengar itu genjotan Leo berhenti. Penisnya sampai terlepas dari lubang vaginaku. Dia seperti bingung harus memberi jawaban apa. Mungkin dia mengira aku marah. Aku tersenyum melihat itu. “Nggak usah dijawab, dilanjutin aja. Masukin lagi kontolmu.”
Leo menghela nafas. Ketegangan di wajahnya menghilang. Kuminta dia mendekatkan bibirnya. Kami berpagutan sejenak, sebelum lanjut kembali bersetubuh. Persetubuhan malam itu sedikit berbeda. Diantara pergesekan kelamin kami, sering kali diselingi dengan kecupan. Sesekali juga diselingi senda gurau. Terasa balik lagi ke masa-masa pacaran dulu. Dimana bercinta itu seperti permainan, bukan kewajiban. Permainan yang menyenangkan.
“AAAHHH...” Permainan cinta kami berakhir dengan lenguhan panjang. Lenguhan aku dan Leo, hampir bersamaan.
Malam itu aku mendapatkan kepuasan. Begitu pula dengan Leo. Ditambah lagi dia bisa melihat spermanya berceceran di payudaraku. Dia semakin puas. Kata dia itu ibarat ‘mimpi basah’ yang jadi kenyataan. Tertawa kecil aku mendengar itu. Beranjak kemudian aku ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Tidak lama Leo menyusul.
“Kak, boleh nggak kita ML sekali lagi sebelum kakak pulang?” Tanya Leo, sambil membilas batang penisnya.
“Emang masih bisa ‘bangun’ lagi?” Godaku padanya. Leo merengut. Aku tertawa kecil.
Kami batal berpakaian. Aku dan Leo naik kembali ke ranjang. Berpelukan kami di balik selimut. Obrolan yang tadi sempat terputus, kami lanjutkan. Termasuk membicarakan mantan pacar Leo, gadis pertama yang dia setubuhi. Tidak lama, bibir kami menyatu lagi. Demikian pula dengan kelamin kami. Hanya kali ini Leo sedikit jahil, dengan mengeluarkan sperma di dalam. Memang sengaja sih aku membiarkan itu terjadi. Dari awal tadi aku memang tidak meminta dia memakai kondom. Kata Putri kan sperma daun muda itu bikin awet muda.
“Kalau kakak hamil, aku bakal tanggung jawab kok,” begitu kata Leo sambil nyengir. Aku toel hidung dia. Aku bilang tadi sebelum ke hotel, aku minum pil KB. Leo pun merenggut, karena gagal menghamili aku. Merengut sambil bercanda, tentunya.
Aku tinggal sebentar Leo untuk mandi. Harus aku bersihkan sisa persetubuhan tadi. Sebenarnya Leo minta untuk mandi bareng, tapi aku menolak. Selesai mandi, Leo masih saja menggoda agar terjadi persetubuhan ketiga. Terutama saat aku pakai lagi seragam kerjaku. Kata Leo penampilan itu bikin dia horni. Kali ini kujewer telinga Leo. Dengan tegas aku tolak, termasuk rengekan dia yang meminta celana dalamku untuk kenang-kenangan.
Malam itu kami berpisah, dengan sebuah kesepakatan. Kesepakatan kalau kejadian diantara kami hanya sekedar ‘one night stand’. Namun kembali, kalian tentu sudah tahu kan lanjutan ceritanya?
***
“Terima kasih Kak, atas momen-momen indahnya selama ini...”
Leo mengecup keningku.
“Sama-sama Leo,” ucapku sambil tersenyum.
Tidak terasa waktu cepat sekali berlalu. Leo ternyata masih saja mengingat diriku.
Kemudian kami saling menyuapi coklat, saling bertukar cerita. Berikutnya? Leo baru akan balik esok pagi. Masih terlalu sore juga untuk aku pulang ke rumah. Tentu momen ini terlalu istimewa bila dilewatkan, hanya dengan ciuman dan pelukan.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar