Jumat, 21 Juli 2017

Klien Lainnya


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Melangkah aku keluar dari kamar mandi, dengan hanya terbalut handuk. Tubuhku masih sedikit basah. Pun begitu dengan rambutku. Menyusul keluar Pak Pram dari dalam. Baru saja tadi kami mandi bareng. Mempersingkat waktu kami yang memang pendek. Kami sama-sama harus balik ke kantor. Jam istirahat makan siang tidak lama lagi berakhir.
“Bulan depan baru jadwalmu kosong ya, Dit?”
“Iya Om, habis laporan bulan ini belum selesai. Nanti aja kayaknya musti lembur.”
Aku ambil hair dryer, lalu masuk lagi ke kamar mandi. Di depan kaca, aku mulai mengeringkan rambut. Mandi bareng cowok memang sulit bikin rambut tetap kering. Habisnya tangan mereka tidak akan bisa diam. Pasti meraba sana sini.
“Maaf ya, kalau tahu kamu sibuk Om nggak bakal ngajakin ketemuan.” Pak Pram bersandar di ujung pintu. Dia tersenyum ke arahku. Aku lihat itu dari pantulan kaca.
Aku menoleh ke arah dia, dan balas tersenyum. “Nggak apa-apa kok Om.”
Melangkah Pak Pram mendekat. Berdiri lalu dia di belakangku. Kulihat cengiran nakal, sebelum dia menarik handukku lepas. Kini aku pun berdiri polos di depan kaca. Berikutnya, payudaraku mulai digerayangi oleh Pak Pram.
“Masih belum puas Om?” Godaku. Kegiatan mengeringkan rambut tetap aku teruskan.
Pak Pram nyengir. “Sekali doang mana puas...”
Maka aku biarkan saja tangan Pak Pram. Termasuk saat dia menggesek-gesek penis ke pantatku. Semoga itu cukup memberi dia kepuasan. Soalnya untuk bercinta satu kali lagi, waktunya sudah tidak cukup.
“Pak Romi sudah ada transfer dana?”
“Belum Om, tapi kan waktu ini bilangnya emang bakal kirim akhir minggu ini,” sahutku, sambil merapikan posisi cup bra.
Pak Romi adalah rekan bisnis Pak Pram. Dua hari lalu, kami baru saja tanda tangan pra-kontrak kerja sama. Perusahaan Pak Romi akan memakai jasa bank-ku mengirim payroll. Pun demikian untuk pembayaran bisnis mereka. Dana yang akan dipindah cukup besar. Deal yang sangat aku syukuri. Maka ajakan sex after lunch dari Pak Pram tidak aku tolak. Bantuan dia sangat besar, sehingga proses kerja sama ini bisa terwujud.
Tidak lama, aku selesai memakai seragam. Pak Pram sendiri masih terbalut handuk. Kata dia, mau santai dulu sebelum balik ke kantor. Ya namanya bos kan bebas-bebas saja, berbeda dengan diriku. Kami pun kemudian berpisah.
***
Aku sudah ada di belakang kemudi. Melaju menuju kantor. Saat mobil berhenti di depan traffic light, ponselku berbunyi. “Pak Romi”, demikian nama yang tertera di layar. Panjang umur nih si Bapak, pikirku dalam hati. Aku pinggirkan mobil agar bebas berbincang.
“Selamat siang Pak Romi,” sapaku sopan.
“Siang Dit, maaf saya menganggu...” Begitu klien baruku itu memulai percakapan.
Selanjutnya dia meminta aku untuk datang ke kantornya. Kata Pak Romi, ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Ada kaitan dengan revisi kontrak, tambah dia waktu itu. Menimbang jarak kantor Pak Romi tidak begitu jauh, maka aku sanggupi. Saat percakapan selesai, aku menelpon manajer kantor. Bilang kalau aku akan mampir dulu menemui klien. Kemudian aku putar balik mobil.
Kantor Pak Romi ada di sebuah gedung perkantoran. Berada di lantai dua puluh dua. Usahanya bergerak di bidang transportasi. Membawahi cukup banyak pegawai. Kebanyakan mereka berada di lapangan. Kantor itu hanya mengelola administrasi dan keuangan.
Begitu sampai aku disapa seorang wanita. Tidak perlu lagi menunggu, aku dipersilakan masuk ke sebuah ruangan. Disana sudah menunggu Pak Romi. Dia menyambut dengan senyuman, dan mempersilakan aku duduk. Pak Romi sudah cukup berumur. Sudah jauh melewati usia pensiun, namun pemegang saham masih mempercayai dia menjabat Direktur. Rambut di kepalanya sudah putih, dan menipis. Perawakan dia kurus, tidak terlalu tinggi. Sosoknya mengingatkan aku pada almarhum kakekku.
“Maaf, kontrak kemarin ada yang salah Pak?” Aku memulai percakapan.
Lagi Pak Romi tersenyum. “Saya minta kamu kemari sebenarnya bukan soal kontrak, tapi soal Pak Pram...”
Mendengar itu aku kaget. Perasaanku jadi tidak enak, namun aku biarkan Pak Romi melanjutkan kata-katanya.
“...Saya dan Pak Pram sudah berkawan dari lama. Kami sangat mengenal satu sama lain. Kalau dia membantu kamu meyakinkan saya, pasti telah terjadi ‘sesuatu’ diantara kalian...”
Deg! Perasaanku semakin tidak enak. Ternyata benarlah kata pepatah. Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Pak Romi lanjut bertutur. Dia bercerita, saat dia dan Pak Pram melakukan perjalanan bisnis, malamnya mereka datang ke klub malam. Pak Pram minum terlalu banyak, dan mulai mengoceh. Salah satunya tentang ‘hubungan gelap’ kami. Tentang bagaimana nikmatnya jepitan vaginaku. Wajahku sampai merah padam mendengar cerita itu.
Melihat ekspresiku yang panik, Pak Romi tersenyum kecil. Dia lalu mengalihkan pembicaraan. Kini dia bercerita tentang kondisi kesehatannya. Dia bilang dua bulan lagi akan ke Singapura, guna menjalani operasi. Cangkok jantung, dengan kemungkinan untuk sukses sangat kecil.
“...Rahasiamu aman, dengan syarat...” Kata-kata yang aku takutkan akhirnya terucap. Pak Romi minta aku menghabiskan satu malam bersama dia. Satu malam saja, tidak lebih. “Anggap saja ini permintaan terakhir saya...” Demikian dia menambahkan.
Sungguh aku tidak tahu harus berkomentar apa. Otakku seakan tidak bisa mencerna semuanya. Melihat aku kebingungan, Pak Romi cukup baik untuk tidak mendesakku. Dia mengijinkan aku berpikir terlebih dahulu. Dia bilang akan menghubungi aku lagi, dalam beberapa hari.
Aku pun pamit. Aku kembali ke kantor dengan penuh kegundahan.
***
Tiga hari setelah hari itu, mau tidak mau aku harus bertemu Pak Romi lagi. Proses kerja sama antara kami masih jauh dari selesai. Pertemuan itu dia awali dengan meminta maaf. Dia bilang dia hanya seorang laki-laki normal. Mendengar pengakuan Pak Pram membuat dia menjadi iri.
“Biasanya, Pak Pram selalu ‘berbagi’ semuanya dengan saya. Namun, soal kamu dia benar-benar menutupinya.” Yang Pak Romi maksud dengan ‘berbagi’ ini, adalah wanita-wanita muda.
Pak Romi ternyata pria yang gentlement. Dia bisa membedakan antara bisnis dan kesenangan. Dia masih tetap berharap bisa tidur denganku, suatu hari nanti. Bahkan setiap kali bertemu, dia pasti sempat saja ngingetin hal itu. Dengan lelucon, “Saya sudah nyiapin kamar spesial”. Hanya saja, Pak Romi tidak memakai kesepakatan kontrak kami sebagai alat barter. Hal ini membuat aku nyaman. Pertemuan demi pertemuan bisnis kami terus berjalan lancar.
“Saya dengar suamimu pebisnis?” Ujar Pak Romi, suatu saat kami makan siang.
Aku mengangguk. Kujelaskan sedikit perihal bisnis suami.
“Bagaimana kalau kamu pertemukan saya dengan suamimu, mungkin saya bisa ikut berinvestasi di salah satu bisnis dia.”
“Dengan syarat istrinya mau tidur dengan Bapak?” Aku menggodanya. Soal tidur bersama, kini sudah menjadi lelucon fasih diantara kami.
Pak Romi terkekeh. “Ide yang bagus. Mungkin nanti bisa saya masukkan itu ke klausul kontrak.”
Kali ini aku yang terkekeh.
Keesokan harinya, kuberikan nomor Pak Romi ke suami. Kudengar mereka bertemu setelah itu. Ternyata keduanya cocok. Pak Romi pun berinvestasi pada salah satu bisnis suami, dalam bentuk saham. Dana yang diinvestasikan cukup besar. Pembicaraan kontrak berjalan relatif cepat. Pak Romi minta kesepakatan itu selesai sebelum dia berobat ke Singapura. Suamiku bercerita dengan antusias. Aku senang mendengarnya. Bisnisku lancar, bisnis suami pun lancar.
***
Hari itu, aku mendarat di Bandara Changi. Aku tidak sendirian. Suami dan anakku ikut bersama, sambil mengisi liburan. Tiket dan akomodasi diberikan oleh Pak Romi. Sebagai bonus suksesnya pembicaraan bisnis, begitu kata suami. Kenapa musti Singapura? Aku jadi curiga. Keesokan hari, kecurigaan itu terjawab. Saat Pak Romi menelponku.
Tiba di hotel kami hanya menaruh koper. Si kecil merajuk minta langsung diajak jalan-jalan. Dia sangat antusias. Maka seharian itu kami berkeliling. Tahu sendiri dong objek wisata Singapura dimana saja. Mengingat luas wilayah yang tidak terlalu luas. Hanya saja, untuk ketertiban dan kebersihan sangat patut diacungi jempol.
Sudah sampai?” Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Saat itu kami baru hendak masuk ke Universal Studio. Dari Pak Romi. “Sudah,” aku jawab pendek. Sehabis itu tidak ada balasan lagi.
Selesai makan malam kami baru balik ke hotel. Si kecil tertidur di gendongan suami. Sesampai di kamar, suami merebahkan si kecil di ranjang. Aku sendiri pamit untuk mandi. Keluar aku dari kamar mandi, giliran suami yang masuk. Aku bergegas berpakaian.
“Pa, mama turun bentar ya, mau beli camilan,” ucapku dari balik pintu.
Dari dalam suamiku menjawab, “Iya Ma.”
Kurapikan dulu selimut si kecil sebelum keluar kamar. Aku telusuri selasar lorong hotel. Suasana sangat sunyi. Aku baru berpapasan dengan satu pasangan saat keluar lift. Sampai di lantai satu, aku melangkah menuju restoran hotel. Di dalam hanya ada beberapa orang. Dua pasangan dan tiga orang lagi duduk sendiri. Satu orang melambai kearahku. Dia adalah Pak Romi. Melangkah lalu aku mendekat.
“Terima kasih sudah mau datang Dit?” Aku kemudian dipersilakan duduk.
“Sama-sama Pak, maaf agak terlambat.”
Sadar waktu kami terbatas, Pak Romi langsung mengutarakan niatnya. Awalnya kami baru akan bertemu lusa, di salah satu kamar, di hotel ini. Aku telah setuju untuk tidur dengan Pak Romi. Syaratnya, aku minta dua hari dulu bersama keluarga. Syarat itu disetujui. Telah terbukti kalau Pak Romi bukan maniak seks. Prinsip dia sama seperti diriku. Seks itu haruslah dilakukan secara elegan. Lagi pula, aku belum pernah tidur dengan pria tua sebelumnya. Sebuah pengalaman baru tentunya.
Selesai Pak Romi mengutarakan niatnya itu, aku kaget. Ide yang sangat mengejutkan. Lusa Pak Romi ingin mengajak seorang escort pria, alias gigolo. Dia mengaku nggak pede akan sanggup muasin aku. Berdasar kejadian di ruang rapat kantornya, dua minggu yang lalu.
Saat itu aku membawa draft kontrak final untuk ditanda-tangani. Sadar kalau batas diantara kami sudah menipis, Pak Romi coba merayu demi sebuah ciuman. Bonus tanda tangan, begitu kata dia. Dia sempat kaget ketika aku mengiyakan. Dengan kucuran dana sebesar tertera di kontrak, sekedar ciuman sangat layak dia dapatkan. Bibir kami kemudian bertemu. Untuk ukuran seorang pria tua, lumatan bibir Pak Romi termasuk lembut. Ciuman itu ternyata berlanjut.
“Kamu pakai BH warna apa?” Membuat kancing blusku terbuka. “Kamu pakai CD warna apa?” Membuat rok spanku terangkat. “Ada bulunya apa nggak?” Membuat celana dalamku melorot ke lutut. “Posisi favorit kamu apa?” Membuat aku mengangkang di pangkuan Pak Romi.
Pada momen itu, Pak Romi langsung menanggalkan pakaian bawahnya. Sayang waktu itu penis dia tidak kunjung tegang. Kalau tidak, mungkin persetubuhan pertama kami akan terjadi di sana. Akhirnya Pak Romi hanya meraba-raba, sebelum kami merapikan pakaian lagi.
“Bagaimana Dit? Kamu setuju?” Sekali lagi Pak Romi meminta konfirmasi.
Berpikir aku sejenak. “Baik Pak, tapi dengan syarat saya mau ketemu dulu dengan pria itu. Kalau saya tidak sreg, saya berhak menolak.”
Kesepakatan pun tercapai. Aku kemudian pamit untuk kembali ke kamar. Sebelum beranjak, Pak Romi menyodorkan ponsel bernomor Singapura. Biar nggak kena roaming, begitu kata dia.
Tidak lupa aku membeli kue-kue kecil, sebagai alibi ke suami.
***
Keesokan paginya, aku sekeluarga berangkat ke Sentosa Island. Di sana si kecil kegirangan. Dia berlarian lincah, dari satu wahana ke wahana lain. Aku dan suami dibuat kerepotan mengikuti langkahnya. Kami di sana sampai lewat tengah hari, kemudian lanjut berwisata belanja.
Saat sedang berbelanja, ponselku bergetar di saku. Ponsel yang diberikan Pak Romi. Permisi aku ke suami, bilang mau ke toilet. Takut kalau suami melihat ponsel baruku itu. Di dalam toilet baru aku angkat telepon.
“Kamu dimana Dit?” Suara Pak Romi.
“Di Little India Pak.”
“Cowok yang bakal bareng kita, saya suruh ke sana kalau gitu ya, biar kalian bisa ketemu.”
Sedikit ragu aku dengan usul itu. Mengingat aku sedang bersama suami. Namun, kalau dihitung-hitung akan lebih bahaya ketemu di hotel. Maka aku setujui, dengan menyebut salah satu counter yang ada di sana. Percakapan berakhir. Aku kembali bergabung dengan keluarga.
Tidak sampai setengah jam, ponselku berbunyi lagi. Kali ini hanya berupa miss call. Kode yang berarti cowok itu sudah sampai. Lagi aku permisi ke suami, kemudian bergegas melangkah ke salah satu counter pakaian.
“Mrs. Dita?” Seorang pria menyapa aku, begitu aku masuk ke dalam.
Aku mengangguk. Pria itu lalu menyodorkan tangan. Kami bersalaman. Dia mengenalkan diri dengan nama, Alvin. Perawakannya sedikit lebih tinggi dari aku. Postur tubuhnya sangat bagus. Kulitnya putih. Parasnya tampan dan rapi. Cukup fasih dia berbahasa Indonesia, walau kerap bercampur bahasa Inggris. Dia mengaku asli dari Singapura, namun sempat kuliah di Indonesia.
Dari percakapan singkat tersebut, aku sih bisa menerima sosok Alvin. Dia terlihat cukup baik, sopan, dan murah senyum. Grooming dia baguslah, pada intinya.
“Mama, dicariin kemana-mana taunya ada disini.” Kaget aku mendengar itu. Suara suamiku.
Untung aku segera bisa berimprovisasi. “Eh maaf Pa, ini ketemu sama temennya Pak Romi.”
Suami dan Alvin kemudian bersalaman. Benar-benar aneh sih rasanya. Ngenalin pria yang akan tidur denganku ke suami sendiri. Guna menutupi kegugupan, aku gendong si kecil.
“Kita akan malam malam, you want to join us?” Ujar suami. Deg! Aku tersentak mendengarnya. Semakin tersentak, saat aku lihat Alvin mengangguk.
Dan dua jam berikutnya, kami semua duduk satu meja. Berusaha aku bersikap sewajar mungkin. Syukur Alvin pun bisa melakukan yang sama. Keduanya justru jadi kian akrab. Ada hikmahnya juga obrolan malam itu. Aku jadi semakin mengenal sosok Alvin.
Disela makan malam, masuk sebuah pesan singkat. “Bagaimana cowoknya?” Aku balas dengan imoji acungan jempol. Sesaat kemudian masuk lagi balasan, imoji cengiran.
***
“Yah, masa mama nggak ikut sih?”
Si kecil merengut, saat aku bilang sedang tidak enak badan. Meringkuk aku dibalik selimut.
“Ya udah Dek, biarin mama istirahat dulu. Sekarang jalan-jalan sama papa aja dulu ya.”
Anakku masih saja merajuk. Namun, setelah dibujuk dia mau mengalah. Hari itu di hotel saja, main air di kolam renang. Suamiku lalu mengajak si kecil turun, meninggalkan aku sendirian di kamar. Selepas kepergian mereka, bergegas aku turun dari ranjang. Masuk kamar mandi untuk membilas diri. Aku pastikan tubuhku bersih dan wangi, sebelum berpakaian. Aku memilih mini dress, dengan daleman seksi transparan. Bercermin aku sekali lagi, sebelum keluar dari kamar.
Naik aku satu lantai. Aku telusuri lorong hotel, sampai menemukan kamar yang kucari. Di pintu tertera tiga digit angka, yang kemarin dikirim Pak Romi. Setelah kupencet tombol bel, pintu pun terbuka. Sosok Pak Romi menyambut aku dengan senyuman.
“Maaf Dit, saya nggak sopan,” ucap Pak Romi, sehabis langsung memeluk dan melumat bibirku.
Aku tersenyum. “Tidak apa-apa Pak.”
Sedetik kemudian, kami sudah bergumul di atas ranjang. Pak Romi tidak membuang waktu. Dia langsung menelanjangi aku. Dijilatinya sekujur tubuhku, yang berujung di liang vagina. Dikulum lubang kenikmatan itu dengan rakus. Sedikit berbeda dengan pria lain, yang biasanya mengincar payudara lebih dulu. Aku dibuat bergelinjang. Kemudian Pak Romi melepas celana pendek yang dipakai. Ternyata di balik itu dia tidak pakai celana dalam. Seperti sebelumnya, penis itu belum juga mengeras.
Syukur terdengar suara bel pintu. Dengan begitu aku tidak perlu berkomentar. Pak Romi turun dari ranjang. Sedang aku beringsut masuk ke dalam selimut. Menutupi tubuh telanjangku.
Sorry, we already doing a little bit warming up before you came,” ucap Pak Romi.
Kulihat Alvin tersenyum. “It’s okay, both of you go on.”
Pak Romi menolak. Dia mempersilakan Alvin yang melanjutkan. Alvin minta persetujuan dari aku. Setelah aku mengangguk, Alvin mulai menanggalkan pakaiannya. Seperti aku duga, tubuh Alvin sangat berbentuk. Sixpack istilah kerennya. Dia pasti rajin nge-gym, pikirku. Sangat wajar untuk orang berprofesi ‘sampingan’ seperti dirinya. Selain ototnya, tentu apa yang menggantung di selangkangan, juga menarik perhatianku. Sudah mengacung kearahku. Besar, aku membatin.
Setelah bugil, Alvin naik ke ranjang. Disingkap selimut yang menutupi tubuhku. Dia tersenyum melihat tubuh bugilku. “Nice,” demikian dia berkomentar. Aku tersipu.
Bibir kami lalu bertemu, dan saling melumat. Kami langsung ke ‘menu utama’. Ngobrol panjang lebar, sudah kami lakukan kemarin. Lagian aku sudah cukup basah oleh Pak Romi.
Alvin mulai memainkan lidahnya. Kami ber-french kiss cukup lama. Terlihat sekali Alvin sangat pandai memakai lidahnya. Aku dibuat mendesah, ketika lidah itu lanjut menari-nari di putingku. Begitu pun saat lanjut menari di pusarku. Desahanku semakin keras, saat lidah itu bermuara di vagina. Dia sangat tahu letak klitoris dimana. Teknik menjilat dia sungguh hebat. “OOHHH...” Alvin membuat aku orgasme untuk pertama kali hari itu, dengan hanya memakai lidahnya.
Let me refresh myself first, before we continued.” Demikian kata dia, sebelum masuk ke kamar mandi. Dia meminta aku melakukan hal yang sama setelahnya. Sangat profesional.
Sementara Pak Romi tersenyum-senyum, selesai melihat live show, babak pertama tadi. Ekspresi dia terlihat puas, walau penisnya belum juga tegak. Pengaruh dari obat-obatan, begitu alasan dia saat terakhir kami ngobrol.
Alvin mengajak aku naik lagi ke ranjang. Sebelum itu, aku pastikan Pak Romi tidak memegang ponsel. Tidak ada aksi rekam-merekam, begitu kesepakatan kami lainnya.
Have a special position request?” Alvin mengerling. Dia sangat pintar membuat suasana cair. Padahal itu pertama kalinya kami telanjang bersama. Namun, aku bisa merasa sangat nyaman.
No. Just make me scream.” Aku balas mengerling. Dan dia tertawa.
Kelamin kami pun kemudian beradu. Dengan dibatasi kondom, tentunya. Sama seperti lidahnya tadi, Alvin juga sangat ahli memakai penisnya. Dia pandai memainkan ritme. Kapan harus pelan, kapan harus kencang. Tidak perlu waktu lama, aku sudah larut dalam tusukan penisnya.
“Aahhh, aahhh, aahhh...” Aku mendesah-desah. Aku meringis. Aku melenguh.
Aku pasrah tubuhku dibolak-balik oleh Alvin. Dia ternyata pandai juga memilih gaya bercinta. Gaya yang memastikan agar penisnya menghujam maksimal. Aku benar-benar bisa merasakan otot vaginaku berkontraksi. Termasuk, gaya-gaya unik yang belum pernah aku coba sebelumnya. Aku mendapat referensi baru. Bisa aku gunakan saat bercinta dengan suami nanti.
Sedang nikmat disetubuhi, aku mendengar suara Pak Romi. Saat itu aku dan Alvin sedang dalam posisi doggie. Aku buka mataku, yang tadi tertutup. Dan kulihat penis Pak Romi mengacung di depanku. Ternyata live show Alvin dan aku, berhasil membuat penis itu bereaksi.
“Boleh Dit?” Pak Romi meminta ijin. Ijin untuk memasukan penisnya ke mulutku.
Aku jawab dengan anggukan. Maka kemudian aku layani dua penis bersamaan. Satu di vagina, satu lagi di mulut. Oh gini toh rasanya threesome, dengan dua pria. Aku hanya pernah menonton di bokep. Kini aku bisa merasakannya sendiri. Aku menikmatinya. Sungguh aku menikmatinya.
May I?” Tanya Pak Romi. Kali ini kepada Alvin. Dia minta giliran untuk menikmati vaginaku.
Kemudian penis mereka bertukar posisi. Penis Pak Romi menusukku, sedang penis Alvin dalam kulumanku. Masih dengan posisi doggie. Sebelumnya, Pak Romi minta ijin untuk tidak memakai kondom. Dia takut penisnya nanti jadi ‘layu’ lagi. Dia menjamin akan keluar diluar nanti. Maka aku ijinkan dia melakukannya tanpa pelindung. “OOHHH...” Ternyata tusukan Pak Romi tidak berlangsung lama. Hanya semenit, aku merasakan cairan hangat menyiram pantatku.
Pak Romi kemudian ambruk di sebelahku. Nafasnya memburu.
Tidak sempat aku berkata-kata, karena Alvin mengajak turun dari ranjang. Bukan untuk berhenti bersetubuh, namun justru untuk melanjutkan. Dia menggendong aku. Dengan sangat mudah dia melakukan itu. Kemudian dia menyetubuhi aku di ‘udara’. This is an airplane style, begitu kata Alvin. Nikmat sekali rasanya.
“Oohhh, oohhh, aahhh, aahhh.” Pergantian gaya yang intens, membuat aku kian hanyut. Desahan kini berganti menjadi teriakan. “Fuck me Alvin, fuck me hard...” Sesuatu yang jarang keluar dari mulutku, selama bercinta.
“OOHHH...” Akhirnya aku orgasme untuk kedua kalinya. Namun, Alvin terlihat baik-baik saja. Tak ada tanda-tanda orgasme. Dia masih kencang menusukkan penisnya. Staminanya sangat luar biasa. Harus aku akui itu. Terbaring aku lemas di ranjang, di bawah tindihan tubuh Alvin. Masih saja dia menusuk dengan sekuat tenaga.
“OOHHH...” Orgasme berikutnya menyusul. Barulah Alvin ikut melenguh panjang. Tubuh kami ambruk bersamaan di ranjang. Tanpa aku sadari, kalau Pak Romi sudah tidak ada lagi di samping kami. Kudapati dia berdiri di pinggir ranjang. Tersenyum, sambil bertepuk tangan.
***
Singkat cerita, Alvin sudah pamit sedari tadi. Pak Romi hanya menyewa dia short time saja. Satu jam yang berkesan buat aku. Tidak lupa aku ucapkan terima kasih pada Alvin. Pak Romi lanjut mencumbui aku sekali lagi, sebelum mengijinkan aku berpakaian. Sempat dia masukan penisnya lagi. Namun, sama seperti tadi tidak berlangsung lama.
Keluar dari kamar Pak Romi, aku balik ke kamarku. Aku tahu suami dan anakku masih di kolam, karena tadi aku sempat menelpon mereka. Kali ini aku beneran butuh istirahat. Tubuhku terasa sangat lelah. Dan kemudian aku pun terlelap.
***
“Pak Hendra, maaf kita baru bisa bertemu sekarang.”
Pak Romi menjabat tangan suamiku. Harus diakui, kalau pria tua itu sangat pandai bersandiwara. Aktingnya seolah-olah baru saja tiba dari bandara, benar-benar meyakinkan. Tidak lupa dia juga ikut menyalami aku, dan si kecil.
“Bagaimana liburannya di Singapura? Menyenangkan?” Tambahnya lagi.
Suamiku menjawab dengan sumringah. Suamiku berterima kasih untuk semua akomodasi yang diberikan. Mengingat segala yang kami lakukan, dibiayai oleh Pak Romi. Tanpa mengetahui apa yang terjadi antara aku dan Pak Romi kemarin. Aku biarkan kemudian kedua pria itu berbincang. Aku memilih menemani si kecil bermain pasir.
Tengah hari, Pak Romi mengajak kami makan siang. Sebuah restoran bintang empat jadi pilihan. Kata Pak Romi, dia salah satu pemegang saham di restoran tersebut. Pantas saja para pegawai di sana sangat hormat padanya.
“Maaf Pak Hendra, boleh saya mengajak Ibu Dita berkeliling? Soalnya saya akan membangun restoran seperti ini di Indonesia. Mungkin saya akan meminjam modal dari bank tempat istri anda bekerja. Hitung-hitung cek lokasi langsung.” Demikian ujar Pak Romi, usai kami memesan makanan.
“Silakan saja,” sahut suamiku.
Maka aku ikut beranjak dari kursi. Kuikuti langkah Pak Romi, menuju ke dapur restoran. Lanjut kemudian ke bar dan longue, di sisi utara. Sambil berjalan pelan, Pak Romi menjelaskan tentang konsep dari restoran tersebut. Terakhir dia mengajak aku naik ke lantai atas, menuju ke ruangan kerjanya. Ruangannya sangat luas. Sebagian besar terdiri dari kaca riben. Kata Pak Romi, agar dia bisa mengawasi kinerja pegawai. Dari posisiku berdiri, aku bisa melihat suami dan anakku.
Di momen itu, tiba-tiba Pak Romi mengucapkan hal mengejutkan. Dia mengajak aku bercinta. Sekedar quicky, kata dia. Tentu saja aku menolak, tetap dengan sopan. Hal itu tidak ada di dalam perjanjian. Mendadak Pak Romi berlutut di depanku. Memohon agar diijinkan menyetubuhi aku sekali lagi. Melihat itu tentu aku jadi tidak enak hati. Bagaimana pun dia itu jauh lebih tua dari aku. Maka aku minta dia untuk berdiri.
Please Dit, besok saya akan mulai opname, tolong berikan orang tua ini sebuah memori indah untuk dikenang.” Begitu kata Pak Romi. Ditambah berbagai janji-janji setibanya dia kembali ke Indonesia. Bantuan melebihi bantuan yang diberikan Pak Pram.
Mendengar itu aku jadi bimbang. Entah setan dari mana, aku iyakan permintaan Pak Romi itu. Tahu-tahu saja celana panjangku sudah melorot. Disusul celana dalamku.
“Aaahhhh…” Aku melenguh panjang saat penis Pak Romi menusuk, dari belakang.
Berpegangan aku di kaca jendela. Kupakai itu sebagai tumpuan. Dipaksa aku mengambil posisi tersebut. Dengan begitu aku bisa melihat suami dan anakku, disaat penis pria lain menyetubuhi aku. Hal itu membuat Pak Romi terangsang hebat. Penisnya ber-ereksi dengan cepat. Ditambah rancauan ketika sedang bersetubuh. “Memek istri anda enak sekali Pak Hendra”, “Sekarang saya sedang ngentotin istri anda Pak Hendra.” Begitu beberapa kata-kata ‘kotor’ yang dia serukan.
Seperti fantasi-fantasi pria pada umumnya. Menyetubuhi istri teman, selalu ada di urutan paling atas. Begitu pula fantasi Pak Romi, sepertinya.
Berbeda dengan kemarin, kali ini daya tahan Pak Romi jauh lebih baik. Cukup lama dia bertahan untuk tidak keluar. Kali ini, dia sempat mengangkat kaos yang kupakai. Menggeser cup bra, dan meremas-remas payudaraku. Pak Romi melakukan itu tanpa berhenti menggenjot.
Akhirnya ketahanan pria tua itu jebol juga. “OOHHH...” Dia melenguh lantang.
Barulah aku sadar, kalau Pak Romi tidak memakai kondom. Dan dia keluar di dalam. Aku tak kuasa menghindari itu, karena tangannya kuat menahanku. Terpaksa aku terima semprotan demi semprotan itu di dalam rahim. Pak Romi sepertinya sengaja melakukan itu. Sampai aku rasakan batang penisnya mengecil, di dalam sana.
Begitu penis itu ditarik, aku segera melepas celana panjang dan celana dalam. Agar tidak terkena sperma yang merembes lewat paha. Barusan keduanya hanya melorot turun selutut. Berlari lalu ke kamar mandi, yang ada dalam ruangan. Kuraih shower, dan menyemprot kencang kewanitaan. Berusaha aku keluarkan seluruh sperma yang ada. Aku sedang ada di masa subur saat itu.
Keluar dari kamar mandi, kulihat senyuman Pak Romi. Senyuman penuh kepuasan. Sebenarnya aku dongkol melihat itu, namun aku berusaha terlihat tenang. Aku sudah terlatih untuk itu. Aku pakai lagi pakaian bawahku. Kurapikan lagi pakaian atasku. “Sudah boleh kita turun sekarang?” Itu jawaban yang aku beri, saat Pak Romi meminta maaf padaku. Sebuah maaf yang percuma.
“Bagaimana suasana di dalam?” Tanya suamiku, begitu aku dan Pak Romi tiba.
“Bagus,” sahutku singkat.
Makanan kami kemudian datang. Kami pun lalu menyantap hidangan yang ada.
***
Total aku ada di Singapura selama seminggu, dari rencana empat hari. Pak Romi memberi kami tambahan tiga hari. Bonus keluar di dalam waktu ini, mungkin. Sesuai rencana, Pak Romi lalu menjalani operasi. Aku dan suami tidak sempat menjenguk, karena harus kembali ke Indonesia.
Hanya saja, kemudian aku dengar operasi itu tidak berjalan lancar. Suami mendengar dari rekan bisnisnya. Terjadi komplikasi, yang menyebabkan kelumpuhan. Sempat stroke juga, kalau tidak salah. Pak Romi sempat dirujuk ke Australia, namun usaha itu sia-sia. Akhirnya dia dipulangkan ke Indonesia. Metode rawat jalan disepakati keluarga. Aku shock mendengar berita itu. Bersama suami, aku pun ke rumah Pak Romi untuk menjenguk.
Kondisi Pak Romi sangat memprihatinkan. Dia hanya bisa terbaring lemah. Untuk berbicara pun sulit. Berbagai peralatan penyokong hidup, ada di kanan dan kiri ranjang. Pak Romi bahkan tidak mengenali aku dan suami, saat kami datang.
“Semua asset almarhum nantinya akan diurus oleh ahli waris Beliau. Anak tertua Beliau,” begitu penjelasan salah satu anggota keluarga. Saudara kandung termuda Pak Romi. Barulah aku tahu, kalau Pak Romi dalam proses perceraian dengan istrinya. Istri kedua, tepatnya. Istri pertamanya telah lama meninggal.
“Nah, itu dia orangnya datang...” Dia menambahkan.
Seorang pemuda muncul dari balik pintu.
“Loh kak Dita?” Seru pemuda itu sedikit kaget.
Aku pun ikutan kaget. “Yu-Yudhi?”
Untuk sesaat kami berdua saling tertegun...





*) Buat kalian lupa siapa sosok ‘Yudhi’ ini, dibaca deh cerita yang judulnya “Menemani Futsal.”
.

4 komentar:

  1. Anjriiit.... Semua ceritanya ngacengin :p

    BalasHapus
  2. Tumben update cuma satu, biasanya 2. Hehe.,,

    BalasHapus
  3. Udah tanggal 21 msh blm update aja. Udah pada ngantri nungguin Ditha kena Entot + Crot didalem :D

    BalasHapus
  4. Lama bener updatenya. Padahal seru banget

    BalasHapus