Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Melangkah
aku keluar dari kamar mandi, dengan hanya terbalut handuk. Tubuhku masih
sedikit basah. Pun begitu dengan rambutku. Menyusul keluar Pak Pram dari dalam.
Baru saja tadi kami mandi bareng. Mempersingkat waktu kami yang memang pendek.
Kami sama-sama harus balik ke kantor. Jam istirahat makan siang tidak lama lagi
berakhir.
“Bulan
depan baru jadwalmu kosong ya, Dit?”
“Iya Om,
habis laporan bulan ini belum selesai. Nanti aja kayaknya musti lembur.”
Aku ambil
hair dryer, lalu masuk lagi ke kamar
mandi. Di depan kaca, aku mulai mengeringkan rambut. Mandi bareng cowok memang
sulit bikin rambut tetap kering. Habisnya tangan mereka tidak akan bisa diam. Pasti
meraba sana sini.
“Maaf ya,
kalau tahu kamu sibuk Om nggak bakal ngajakin ketemuan.” Pak Pram bersandar di
ujung pintu. Dia tersenyum ke arahku. Aku lihat itu dari pantulan kaca.
Aku
menoleh ke arah dia, dan balas tersenyum. “Nggak apa-apa kok Om.”
Melangkah
Pak Pram mendekat. Berdiri lalu dia di belakangku. Kulihat cengiran nakal,
sebelum dia menarik handukku lepas. Kini aku pun berdiri polos di depan kaca.
Berikutnya, payudaraku mulai digerayangi oleh Pak Pram.
“Masih belum
puas Om?” Godaku. Kegiatan mengeringkan rambut tetap aku teruskan.
Pak Pram
nyengir. “Sekali doang mana puas...”
Maka aku biarkan
saja tangan Pak Pram. Termasuk saat dia menggesek-gesek penis ke pantatku. Semoga
itu cukup memberi dia kepuasan. Soalnya untuk bercinta satu kali lagi, waktunya
sudah tidak cukup.
“Pak Romi
sudah ada transfer dana?”
“Belum Om, tapi kan waktu ini bilangnya
emang bakal kirim akhir minggu ini,” sahutku, sambil merapikan posisi cup bra.
Pak Romi
adalah rekan bisnis Pak Pram. Dua hari lalu, kami baru saja tanda tangan pra-kontrak
kerja sama. Perusahaan Pak Romi akan memakai jasa bank-ku mengirim payroll. Pun demikian untuk pembayaran
bisnis mereka. Dana yang akan dipindah cukup besar. Deal yang sangat aku syukuri. Maka ajakan sex after lunch dari Pak Pram tidak aku tolak. Bantuan dia sangat
besar, sehingga proses kerja sama ini bisa terwujud.
Tidak
lama, aku selesai memakai seragam. Pak Pram sendiri masih terbalut handuk. Kata
dia, mau santai dulu sebelum balik ke kantor. Ya namanya bos kan bebas-bebas
saja, berbeda dengan diriku. Kami pun kemudian berpisah.
***
Aku sudah
ada di belakang kemudi. Melaju menuju kantor. Saat mobil berhenti di depan traffic light, ponselku berbunyi. “Pak
Romi”, demikian nama yang tertera di layar. Panjang umur nih si Bapak, pikirku
dalam hati. Aku pinggirkan mobil agar bebas berbincang.
“Selamat
siang Pak Romi,” sapaku sopan.
“Siang
Dit, maaf saya menganggu...” Begitu klien baruku itu memulai percakapan.
Selanjutnya
dia meminta aku untuk datang ke kantornya. Kata Pak Romi, ada sesuatu yang
ingin dia bicarakan. Ada kaitan dengan revisi
kontrak, tambah dia waktu itu. Menimbang jarak kantor Pak Romi tidak begitu
jauh, maka aku sanggupi. Saat percakapan selesai, aku menelpon manajer kantor. Bilang
kalau aku akan mampir dulu menemui klien. Kemudian aku putar balik mobil.
Kantor
Pak Romi ada di sebuah gedung perkantoran. Berada di lantai dua puluh dua. Usahanya
bergerak di bidang transportasi. Membawahi cukup banyak pegawai. Kebanyakan
mereka berada di lapangan. Kantor itu hanya mengelola administrasi dan
keuangan.
Begitu sampai
aku disapa seorang wanita. Tidak perlu lagi menunggu, aku dipersilakan masuk ke
sebuah ruangan. Disana sudah menunggu Pak Romi. Dia menyambut dengan senyuman,
dan mempersilakan aku duduk. Pak Romi sudah cukup berumur. Sudah jauh melewati
usia pensiun, namun pemegang saham masih mempercayai dia menjabat Direktur. Rambut
di kepalanya sudah putih, dan menipis. Perawakan dia kurus, tidak terlalu
tinggi. Sosoknya mengingatkan aku pada almarhum kakekku.
“Maaf,
kontrak kemarin ada yang salah Pak?” Aku memulai percakapan.
Lagi Pak
Romi tersenyum. “Saya minta kamu kemari sebenarnya bukan soal kontrak, tapi soal
Pak Pram...”
Mendengar
itu aku kaget. Perasaanku jadi tidak enak, namun aku biarkan Pak Romi melanjutkan
kata-katanya.
“...Saya
dan Pak Pram sudah berkawan dari lama. Kami sangat mengenal satu sama lain. Kalau
dia membantu kamu meyakinkan saya, pasti telah terjadi ‘sesuatu’ diantara
kalian...”
Deg! Perasaanku semakin
tidak enak. Ternyata benarlah kata pepatah. Sepandai-pandainya tupai melompat,
akhirnya jatuh juga. Pak Romi lanjut bertutur. Dia bercerita, saat dia dan Pak
Pram melakukan perjalanan bisnis, malamnya mereka datang ke klub malam. Pak
Pram minum terlalu banyak, dan mulai mengoceh. Salah satunya tentang ‘hubungan
gelap’ kami. Tentang bagaimana nikmatnya jepitan vaginaku. Wajahku sampai merah
padam mendengar cerita itu.
Melihat
ekspresiku yang panik, Pak Romi tersenyum kecil. Dia lalu mengalihkan
pembicaraan. Kini dia bercerita tentang kondisi kesehatannya. Dia bilang dua
bulan lagi akan ke Singapura, guna menjalani operasi. Cangkok jantung, dengan
kemungkinan untuk sukses sangat kecil.
“...Rahasiamu
aman, dengan syarat...” Kata-kata yang aku takutkan akhirnya terucap. Pak Romi
minta aku menghabiskan satu malam bersama dia. Satu malam saja, tidak lebih.
“Anggap saja ini permintaan terakhir saya...” Demikian dia menambahkan.
Sungguh
aku tidak tahu harus berkomentar apa. Otakku seakan tidak bisa mencerna
semuanya. Melihat aku kebingungan, Pak Romi cukup baik untuk tidak mendesakku. Dia
mengijinkan aku berpikir terlebih dahulu. Dia bilang akan menghubungi aku lagi,
dalam beberapa hari.
Aku pun
pamit. Aku kembali ke kantor dengan penuh kegundahan.
***
Tiga hari
setelah hari itu, mau tidak mau aku harus bertemu Pak Romi lagi. Proses kerja
sama antara kami masih jauh dari selesai. Pertemuan itu dia awali dengan meminta
maaf. Dia bilang dia hanya seorang laki-laki normal. Mendengar pengakuan Pak
Pram membuat dia menjadi iri.
“Biasanya,
Pak Pram selalu ‘berbagi’ semuanya dengan saya. Namun, soal kamu dia
benar-benar menutupinya.” Yang Pak Romi maksud dengan ‘berbagi’ ini, adalah
wanita-wanita muda.
Pak Romi
ternyata pria yang gentlement. Dia
bisa membedakan antara bisnis dan kesenangan. Dia masih tetap berharap bisa
tidur denganku, suatu hari nanti. Bahkan setiap kali bertemu, dia pasti sempat
saja ngingetin hal itu. Dengan
lelucon, “Saya sudah nyiapin kamar spesial”. Hanya saja, Pak Romi tidak memakai
kesepakatan kontrak kami sebagai alat barter. Hal ini membuat aku nyaman. Pertemuan
demi pertemuan bisnis kami terus berjalan lancar.
“Saya
dengar suamimu pebisnis?” Ujar Pak Romi, suatu saat kami makan siang.
Aku
mengangguk. Kujelaskan sedikit perihal bisnis suami.
“Bagaimana
kalau kamu pertemukan saya dengan suamimu, mungkin saya bisa ikut berinvestasi di
salah satu bisnis dia.”
“Dengan
syarat istrinya mau tidur dengan Bapak?” Aku menggodanya. Soal tidur bersama,
kini sudah menjadi lelucon fasih diantara
kami.
Pak Romi
terkekeh. “Ide yang bagus. Mungkin nanti bisa saya masukkan itu ke klausul kontrak.”
Kali ini
aku yang terkekeh.
Keesokan
harinya, kuberikan nomor Pak Romi ke suami. Kudengar mereka bertemu setelah itu.
Ternyata keduanya cocok. Pak Romi pun berinvestasi pada salah satu bisnis
suami, dalam bentuk saham. Dana yang diinvestasikan cukup besar. Pembicaraan kontrak
berjalan relatif cepat. Pak Romi minta kesepakatan itu selesai sebelum dia berobat
ke Singapura. Suamiku bercerita dengan antusias. Aku senang mendengarnya.
Bisnisku lancar, bisnis suami pun lancar.
***
Hari itu,
aku mendarat di Bandara Changi. Aku tidak sendirian. Suami dan anakku ikut
bersama, sambil mengisi liburan. Tiket dan akomodasi diberikan oleh Pak Romi. Sebagai
bonus suksesnya pembicaraan bisnis, begitu kata suami. Kenapa musti Singapura?
Aku jadi curiga. Keesokan hari, kecurigaan itu terjawab. Saat Pak Romi
menelponku.
Tiba di
hotel kami hanya menaruh koper. Si kecil merajuk minta langsung diajak
jalan-jalan. Dia sangat antusias. Maka seharian itu kami berkeliling. Tahu
sendiri dong objek wisata Singapura dimana saja. Mengingat luas wilayah yang tidak
terlalu luas. Hanya saja, untuk ketertiban dan kebersihan sangat patut diacungi
jempol.
“Sudah sampai?” Sebuah pesan singkat
masuk ke ponselku. Saat itu kami baru hendak masuk ke Universal Studio. Dari
Pak Romi. “Sudah,” aku jawab pendek. Sehabis
itu tidak ada balasan lagi.
Selesai
makan malam kami baru balik ke hotel. Si kecil tertidur di gendongan suami. Sesampai
di kamar, suami merebahkan si kecil di ranjang. Aku sendiri pamit untuk mandi. Keluar
aku dari kamar mandi, giliran suami yang masuk. Aku bergegas berpakaian.
“Pa, mama
turun bentar ya, mau beli camilan,” ucapku dari balik pintu.
Dari
dalam suamiku menjawab, “Iya Ma.”
Kurapikan
dulu selimut si kecil sebelum keluar kamar. Aku telusuri selasar lorong hotel. Suasana
sangat sunyi. Aku baru berpapasan dengan satu pasangan saat keluar lift. Sampai
di lantai satu, aku melangkah menuju restoran hotel. Di dalam hanya ada
beberapa orang. Dua pasangan dan tiga orang lagi duduk sendiri. Satu orang melambai
kearahku. Dia adalah Pak Romi. Melangkah lalu aku mendekat.
“Terima
kasih sudah mau datang Dit?” Aku kemudian dipersilakan duduk.
“Sama-sama
Pak, maaf agak terlambat.”
Sadar
waktu kami terbatas, Pak Romi langsung mengutarakan niatnya. Awalnya kami baru
akan bertemu lusa, di salah satu kamar, di hotel ini. Aku telah setuju untuk tidur
dengan Pak Romi. Syaratnya, aku minta dua hari dulu bersama keluarga. Syarat
itu disetujui. Telah terbukti kalau Pak Romi bukan maniak seks. Prinsip dia
sama seperti diriku. Seks itu haruslah dilakukan secara elegan. Lagi pula, aku
belum pernah tidur dengan pria tua sebelumnya. Sebuah pengalaman baru tentunya.
Selesai Pak
Romi mengutarakan niatnya itu, aku kaget. Ide yang sangat mengejutkan. Lusa Pak
Romi ingin mengajak seorang escort
pria, alias gigolo. Dia mengaku nggak
pede akan sanggup muasin aku. Berdasar
kejadian di ruang rapat kantornya, dua minggu yang lalu.
Saat itu aku
membawa draft kontrak final untuk ditanda-tangani. Sadar kalau batas diantara
kami sudah menipis, Pak Romi coba merayu demi sebuah ciuman. Bonus tanda
tangan, begitu kata dia. Dia sempat kaget ketika aku mengiyakan. Dengan kucuran
dana sebesar tertera di kontrak, sekedar ciuman sangat layak dia dapatkan. Bibir
kami kemudian bertemu. Untuk ukuran seorang pria tua, lumatan bibir Pak Romi
termasuk lembut. Ciuman itu ternyata berlanjut.
“Kamu
pakai BH warna apa?” Membuat kancing blusku terbuka. “Kamu pakai CD warna apa?”
Membuat rok spanku terangkat. “Ada bulunya apa nggak?” Membuat celana dalamku
melorot ke lutut. “Posisi favorit kamu apa?” Membuat aku mengangkang di
pangkuan Pak Romi.
Pada momen
itu, Pak Romi langsung menanggalkan pakaian bawahnya. Sayang waktu itu penis
dia tidak kunjung tegang. Kalau tidak, mungkin persetubuhan pertama kami akan
terjadi di sana. Akhirnya Pak Romi hanya meraba-raba, sebelum kami merapikan
pakaian lagi.
“Bagaimana
Dit? Kamu setuju?” Sekali lagi Pak Romi meminta konfirmasi.
Berpikir
aku sejenak. “Baik Pak, tapi dengan syarat saya mau ketemu dulu dengan pria
itu. Kalau saya tidak sreg, saya
berhak menolak.”
Kesepakatan
pun tercapai. Aku kemudian pamit untuk kembali ke kamar. Sebelum beranjak, Pak Romi
menyodorkan ponsel bernomor Singapura. Biar nggak
kena roaming, begitu kata dia.
Tidak
lupa aku membeli kue-kue kecil, sebagai alibi ke suami.
***
Keesokan paginya,
aku sekeluarga berangkat ke Sentosa Island. Di sana si kecil kegirangan. Dia berlarian
lincah, dari satu wahana ke wahana lain. Aku dan suami dibuat kerepotan
mengikuti langkahnya. Kami di sana sampai lewat tengah hari, kemudian lanjut
berwisata belanja.
Saat sedang
berbelanja, ponselku bergetar di saku. Ponsel yang diberikan Pak Romi. Permisi
aku ke suami, bilang mau ke toilet. Takut kalau suami melihat ponsel baruku itu.
Di dalam toilet baru aku angkat telepon.
“Kamu
dimana Dit?” Suara Pak Romi.
“Di Little
India Pak.”
“Cowok
yang bakal bareng kita, saya suruh ke sana kalau gitu ya, biar kalian bisa
ketemu.”
Sedikit
ragu aku dengan usul itu. Mengingat aku sedang bersama suami. Namun, kalau dihitung-hitung
akan lebih bahaya ketemu di hotel. Maka aku setujui, dengan menyebut salah satu
counter yang ada di sana. Percakapan
berakhir. Aku kembali bergabung dengan keluarga.
Tidak
sampai setengah jam, ponselku berbunyi lagi. Kali ini hanya berupa miss call. Kode yang berarti cowok itu
sudah sampai. Lagi aku permisi ke suami, kemudian bergegas melangkah ke salah
satu counter pakaian.
“Mrs.
Dita?” Seorang pria menyapa aku, begitu aku masuk ke dalam.
Aku
mengangguk. Pria itu lalu menyodorkan tangan. Kami bersalaman. Dia mengenalkan
diri dengan nama, Alvin. Perawakannya sedikit lebih tinggi dari aku. Postur
tubuhnya sangat bagus. Kulitnya putih. Parasnya tampan dan rapi. Cukup fasih dia berbahasa Indonesia, walau kerap
bercampur bahasa Inggris. Dia mengaku asli dari Singapura, namun sempat kuliah
di Indonesia.
Dari percakapan
singkat tersebut, aku sih bisa menerima sosok Alvin. Dia terlihat cukup baik,
sopan, dan murah senyum. Grooming dia
baguslah, pada intinya.
“Mama,
dicariin kemana-mana taunya ada disini.” Kaget aku mendengar itu. Suara
suamiku.
Untung
aku segera bisa berimprovisasi. “Eh maaf Pa, ini ketemu sama temennya Pak
Romi.”
Suami dan
Alvin kemudian bersalaman. Benar-benar aneh sih rasanya. Ngenalin pria yang akan tidur denganku ke suami sendiri. Guna menutupi
kegugupan, aku gendong si kecil.
“Kita
akan malam malam, you want to join us?”
Ujar suami. Deg! Aku tersentak
mendengarnya. Semakin tersentak, saat aku lihat Alvin mengangguk.
Dan dua
jam berikutnya, kami semua duduk satu meja. Berusaha aku bersikap sewajar
mungkin. Syukur Alvin pun bisa melakukan yang sama. Keduanya justru jadi kian akrab.
Ada hikmahnya juga obrolan malam itu.
Aku jadi semakin mengenal sosok Alvin.
Disela
makan malam, masuk sebuah pesan singkat. “Bagaimana cowoknya?” Aku balas dengan
imoji acungan jempol. Sesaat kemudian
masuk lagi balasan, imoji cengiran.
***
“Yah, masa
mama nggak ikut sih?”
Si kecil
merengut, saat aku bilang sedang tidak enak badan. Meringkuk aku dibalik
selimut.
“Ya udah
Dek, biarin mama istirahat dulu. Sekarang jalan-jalan sama papa aja dulu ya.”
Anakku
masih saja merajuk. Namun, setelah dibujuk dia mau mengalah. Hari itu di hotel
saja, main air di kolam renang. Suamiku lalu mengajak si kecil turun,
meninggalkan aku sendirian di kamar. Selepas kepergian mereka, bergegas aku turun
dari ranjang. Masuk kamar mandi untuk membilas diri. Aku pastikan tubuhku
bersih dan wangi, sebelum berpakaian. Aku memilih mini dress, dengan daleman seksi transparan. Bercermin aku sekali
lagi, sebelum keluar dari kamar.
Naik aku
satu lantai. Aku telusuri lorong hotel, sampai menemukan kamar yang kucari. Di
pintu tertera tiga digit angka, yang kemarin dikirim Pak Romi. Setelah kupencet
tombol bel, pintu pun terbuka. Sosok Pak Romi menyambut aku dengan senyuman.
“Maaf
Dit, saya nggak sopan,” ucap Pak Romi, sehabis langsung memeluk dan melumat
bibirku.
Aku
tersenyum. “Tidak apa-apa Pak.”
Sedetik
kemudian, kami sudah bergumul di atas ranjang. Pak Romi tidak membuang waktu. Dia
langsung menelanjangi aku. Dijilatinya sekujur tubuhku, yang berujung di liang
vagina. Dikulum lubang kenikmatan itu dengan rakus. Sedikit berbeda dengan pria
lain, yang biasanya mengincar payudara lebih dulu. Aku dibuat bergelinjang. Kemudian
Pak Romi melepas celana pendek yang dipakai. Ternyata di balik itu dia tidak pakai
celana dalam. Seperti sebelumnya, penis itu belum juga mengeras.
Syukur
terdengar suara bel pintu. Dengan begitu aku tidak perlu berkomentar. Pak Romi
turun dari ranjang. Sedang aku beringsut masuk ke dalam selimut. Menutupi tubuh
telanjangku.
“Sorry, we already doing a little bit warming up before you came,” ucap Pak
Romi.
Kulihat
Alvin tersenyum. “It’s okay, both of you go on.”
Pak Romi
menolak. Dia mempersilakan Alvin yang melanjutkan. Alvin minta persetujuan dari
aku. Setelah aku mengangguk, Alvin mulai menanggalkan pakaiannya. Seperti aku
duga, tubuh Alvin sangat berbentuk. Sixpack
istilah kerennya. Dia pasti rajin nge-gym,
pikirku. Sangat wajar untuk orang berprofesi ‘sampingan’ seperti dirinya. Selain
ototnya, tentu apa yang menggantung di selangkangan, juga menarik perhatianku. Sudah
mengacung kearahku. Besar, aku membatin.
Setelah
bugil, Alvin naik ke ranjang. Disingkap selimut yang menutupi tubuhku. Dia
tersenyum melihat tubuh bugilku. “Nice,”
demikian dia berkomentar. Aku tersipu.
Bibir
kami lalu bertemu, dan saling melumat. Kami langsung ke ‘menu utama’. Ngobrol panjang lebar, sudah kami lakukan
kemarin. Lagian aku sudah cukup basah oleh Pak Romi.
Alvin mulai
memainkan lidahnya. Kami ber-french kiss
cukup lama. Terlihat sekali Alvin sangat pandai memakai lidahnya. Aku dibuat
mendesah, ketika lidah itu lanjut menari-nari di putingku. Begitu pun saat lanjut
menari di pusarku. Desahanku semakin keras, saat lidah itu bermuara di vagina. Dia
sangat tahu letak klitoris dimana. Teknik menjilat dia sungguh hebat. “OOHHH...”
Alvin membuat aku orgasme untuk pertama kali hari itu, dengan hanya memakai
lidahnya.
“Let me refresh myself first, before we continued.” Demikian kata dia,
sebelum masuk ke kamar mandi. Dia meminta aku melakukan hal yang sama
setelahnya. Sangat profesional.
Sementara
Pak Romi tersenyum-senyum, selesai melihat live
show, babak pertama tadi. Ekspresi dia terlihat puas, walau penisnya belum juga
tegak. Pengaruh dari obat-obatan, begitu alasan dia saat terakhir kami ngobrol.
Alvin
mengajak aku naik lagi ke ranjang. Sebelum itu, aku pastikan Pak Romi tidak
memegang ponsel. Tidak ada aksi rekam-merekam, begitu kesepakatan kami lainnya.
“Have a special position request?” Alvin
mengerling. Dia sangat pintar membuat suasana cair. Padahal itu pertama kalinya
kami telanjang bersama. Namun, aku bisa merasa sangat nyaman.
“No. Just
make me scream.” Aku balas mengerling. Dan dia tertawa.
Kelamin
kami pun kemudian beradu. Dengan dibatasi kondom, tentunya. Sama seperti
lidahnya tadi, Alvin juga sangat ahli memakai penisnya. Dia pandai memainkan ritme. Kapan harus pelan, kapan harus
kencang. Tidak perlu waktu lama, aku sudah larut dalam tusukan penisnya.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...” Aku mendesah-desah. Aku meringis. Aku melenguh.
Aku
pasrah tubuhku dibolak-balik oleh Alvin. Dia ternyata pandai juga memilih gaya
bercinta. Gaya yang memastikan agar penisnya menghujam maksimal. Aku
benar-benar bisa merasakan otot vaginaku berkontraksi. Termasuk, gaya-gaya unik
yang belum pernah aku coba sebelumnya. Aku mendapat referensi baru. Bisa aku
gunakan saat bercinta dengan suami nanti.
Sedang
nikmat disetubuhi, aku mendengar suara Pak Romi. Saat itu aku dan Alvin sedang dalam
posisi doggie. Aku buka mataku, yang
tadi tertutup. Dan kulihat penis Pak Romi mengacung di depanku. Ternyata live show Alvin dan aku, berhasil
membuat penis itu bereaksi.
“Boleh
Dit?” Pak Romi meminta ijin. Ijin untuk memasukan penisnya ke mulutku.
Aku jawab
dengan anggukan. Maka kemudian aku layani dua penis bersamaan. Satu di vagina,
satu lagi di mulut. Oh gini toh rasanya threesome, dengan dua pria. Aku hanya pernah menonton di bokep. Kini
aku bisa merasakannya sendiri. Aku menikmatinya. Sungguh aku menikmatinya.
“May I?” Tanya Pak Romi. Kali ini kepada
Alvin. Dia minta giliran untuk menikmati vaginaku.
Kemudian penis
mereka bertukar posisi. Penis Pak Romi menusukku, sedang penis Alvin dalam
kulumanku. Masih dengan posisi doggie.
Sebelumnya, Pak Romi minta ijin untuk tidak memakai kondom. Dia takut penisnya nanti
jadi ‘layu’ lagi. Dia menjamin akan keluar diluar nanti. Maka aku ijinkan dia
melakukannya tanpa pelindung. “OOHHH...” Ternyata tusukan Pak Romi tidak
berlangsung lama. Hanya semenit, aku merasakan cairan hangat menyiram pantatku.
Pak Romi
kemudian ambruk di sebelahku. Nafasnya memburu.
Tidak
sempat aku berkata-kata, karena Alvin mengajak turun dari ranjang. Bukan untuk berhenti
bersetubuh, namun justru untuk melanjutkan. Dia menggendong aku. Dengan sangat
mudah dia melakukan itu. Kemudian dia menyetubuhi aku di ‘udara’. This is an airplane style, begitu kata
Alvin. Nikmat sekali rasanya.
“Oohhh,
oohhh, aahhh, aahhh.” Pergantian gaya yang intens,
membuat aku kian hanyut. Desahan kini berganti menjadi teriakan. “Fuck me Alvin, fuck me hard...” Sesuatu yang jarang keluar dari mulutku, selama
bercinta.
“OOHHH...”
Akhirnya aku orgasme untuk kedua kalinya. Namun, Alvin terlihat baik-baik saja.
Tak ada tanda-tanda orgasme. Dia masih kencang menusukkan penisnya. Staminanya
sangat luar biasa. Harus aku akui itu. Terbaring aku lemas di ranjang, di bawah
tindihan tubuh Alvin. Masih saja dia menusuk dengan sekuat tenaga.
“OOHHH...”
Orgasme berikutnya menyusul. Barulah Alvin ikut melenguh panjang. Tubuh kami
ambruk bersamaan di ranjang. Tanpa aku sadari, kalau Pak Romi sudah tidak ada
lagi di samping kami. Kudapati dia berdiri di pinggir ranjang. Tersenyum,
sambil bertepuk tangan.
***
Singkat
cerita, Alvin sudah pamit sedari tadi. Pak Romi hanya menyewa dia short time saja. Satu jam yang berkesan
buat aku. Tidak lupa aku ucapkan terima kasih pada Alvin. Pak Romi lanjut
mencumbui aku sekali lagi, sebelum mengijinkan aku berpakaian. Sempat dia masukan
penisnya lagi. Namun, sama seperti tadi tidak berlangsung lama.
Keluar
dari kamar Pak Romi, aku balik ke kamarku. Aku tahu suami dan anakku masih di
kolam, karena tadi aku sempat menelpon mereka. Kali ini aku beneran butuh
istirahat. Tubuhku terasa sangat lelah. Dan kemudian aku pun terlelap.
***
“Pak
Hendra, maaf kita baru bisa bertemu sekarang.”
Pak Romi menjabat
tangan suamiku. Harus diakui, kalau pria tua itu sangat pandai bersandiwara.
Aktingnya seolah-olah baru saja tiba dari bandara, benar-benar meyakinkan. Tidak
lupa dia juga ikut menyalami aku, dan si kecil.
“Bagaimana
liburannya di Singapura? Menyenangkan?” Tambahnya lagi.
Suamiku menjawab
dengan sumringah. Suamiku berterima kasih untuk semua akomodasi yang diberikan.
Mengingat segala yang kami lakukan, dibiayai oleh Pak Romi. Tanpa mengetahui
apa yang terjadi antara aku dan Pak Romi kemarin. Aku biarkan kemudian kedua
pria itu berbincang. Aku memilih menemani si kecil bermain pasir.
Tengah
hari, Pak Romi mengajak kami makan siang. Sebuah restoran bintang empat jadi
pilihan. Kata Pak Romi, dia salah satu pemegang saham di restoran tersebut. Pantas
saja para pegawai di sana sangat hormat padanya.
“Maaf Pak
Hendra, boleh saya mengajak Ibu Dita berkeliling? Soalnya saya akan membangun
restoran seperti ini di Indonesia. Mungkin saya akan meminjam modal dari bank
tempat istri anda bekerja. Hitung-hitung cek lokasi langsung.” Demikian ujar
Pak Romi, usai kami memesan makanan.
“Silakan
saja,” sahut suamiku.
Maka aku
ikut beranjak dari kursi. Kuikuti langkah Pak Romi, menuju ke dapur restoran.
Lanjut kemudian ke bar dan longue, di
sisi utara. Sambil berjalan pelan, Pak Romi menjelaskan tentang konsep dari
restoran tersebut. Terakhir dia mengajak aku naik ke lantai atas, menuju ke
ruangan kerjanya. Ruangannya sangat luas. Sebagian besar terdiri dari kaca riben. Kata Pak Romi, agar dia bisa
mengawasi kinerja pegawai. Dari posisiku berdiri, aku bisa melihat suami dan
anakku.
Di momen
itu, tiba-tiba Pak Romi mengucapkan hal mengejutkan. Dia mengajak aku bercinta.
Sekedar quicky, kata dia. Tentu saja
aku menolak, tetap dengan sopan. Hal itu tidak ada di dalam perjanjian. Mendadak
Pak Romi berlutut di depanku. Memohon agar diijinkan menyetubuhi aku sekali
lagi. Melihat itu tentu aku jadi tidak enak hati. Bagaimana pun dia itu jauh
lebih tua dari aku. Maka aku minta dia untuk berdiri.
“Please Dit, besok saya akan mulai
opname, tolong berikan orang tua ini sebuah memori indah untuk dikenang.”
Begitu kata Pak Romi. Ditambah berbagai janji-janji setibanya dia kembali ke
Indonesia. Bantuan melebihi bantuan yang diberikan Pak Pram.
Mendengar
itu aku jadi bimbang. Entah setan dari mana, aku iyakan permintaan Pak Romi itu.
Tahu-tahu saja celana panjangku sudah melorot. Disusul celana dalamku.
“Aaahhhh…”
Aku melenguh panjang saat penis Pak Romi menusuk, dari belakang.
Berpegangan
aku di kaca jendela. Kupakai itu sebagai tumpuan. Dipaksa aku mengambil posisi
tersebut. Dengan begitu aku bisa melihat suami dan anakku, disaat penis pria
lain menyetubuhi aku. Hal itu membuat Pak Romi terangsang hebat. Penisnya ber-ereksi
dengan cepat. Ditambah rancauan ketika sedang bersetubuh. “Memek istri anda
enak sekali Pak Hendra”, “Sekarang saya sedang ngentotin istri anda Pak
Hendra.” Begitu beberapa kata-kata ‘kotor’ yang dia serukan.
Seperti
fantasi-fantasi pria pada umumnya. Menyetubuhi istri teman, selalu ada di
urutan paling atas. Begitu pula fantasi Pak Romi, sepertinya.
Berbeda
dengan kemarin, kali ini daya tahan Pak Romi jauh lebih baik. Cukup lama dia
bertahan untuk tidak keluar. Kali ini, dia sempat mengangkat kaos yang kupakai.
Menggeser cup bra, dan meremas-remas payudaraku. Pak Romi melakukan itu tanpa
berhenti menggenjot.
Akhirnya
ketahanan pria tua itu jebol juga. “OOHHH...” Dia melenguh lantang.
Barulah
aku sadar, kalau Pak Romi tidak memakai kondom. Dan dia keluar di dalam. Aku
tak kuasa menghindari itu, karena tangannya kuat menahanku. Terpaksa aku terima
semprotan demi semprotan itu di dalam rahim. Pak Romi sepertinya sengaja
melakukan itu. Sampai aku rasakan batang penisnya mengecil, di dalam sana.
Begitu
penis itu ditarik, aku segera melepas celana panjang dan celana dalam. Agar
tidak terkena sperma yang merembes lewat paha. Barusan keduanya hanya melorot
turun selutut. Berlari lalu ke kamar mandi, yang ada dalam ruangan. Kuraih shower, dan menyemprot kencang kewanitaan.
Berusaha aku keluarkan seluruh sperma yang ada. Aku sedang ada di masa subur
saat itu.
Keluar
dari kamar mandi, kulihat senyuman Pak Romi. Senyuman penuh kepuasan.
Sebenarnya aku dongkol melihat itu, namun aku berusaha terlihat tenang. Aku
sudah terlatih untuk itu. Aku pakai lagi pakaian bawahku. Kurapikan lagi pakaian
atasku. “Sudah boleh kita turun sekarang?” Itu jawaban yang aku beri, saat Pak
Romi meminta maaf padaku. Sebuah maaf yang percuma.
“Bagaimana
suasana di dalam?” Tanya suamiku, begitu aku dan Pak Romi tiba.
“Bagus,”
sahutku singkat.
Makanan
kami kemudian datang. Kami pun lalu menyantap hidangan yang ada.
***
Total aku
ada di Singapura selama seminggu, dari rencana empat hari. Pak Romi memberi kami
tambahan tiga hari. Bonus keluar di dalam waktu ini, mungkin. Sesuai rencana,
Pak Romi lalu menjalani operasi. Aku dan suami tidak sempat menjenguk, karena
harus kembali ke Indonesia.
Hanya
saja, kemudian aku dengar operasi itu tidak berjalan lancar. Suami mendengar
dari rekan bisnisnya. Terjadi komplikasi, yang menyebabkan kelumpuhan. Sempat stroke juga, kalau tidak salah. Pak Romi
sempat dirujuk ke Australia, namun usaha itu sia-sia. Akhirnya dia dipulangkan
ke Indonesia. Metode rawat jalan disepakati keluarga. Aku shock mendengar berita itu. Bersama suami, aku pun ke rumah Pak
Romi untuk menjenguk.
Kondisi
Pak Romi sangat memprihatinkan. Dia hanya bisa terbaring lemah. Untuk berbicara
pun sulit. Berbagai peralatan penyokong hidup, ada di kanan dan kiri ranjang. Pak
Romi bahkan tidak mengenali aku dan suami, saat kami datang.
“Semua asset almarhum nantinya akan diurus oleh
ahli waris Beliau. Anak tertua Beliau,” begitu penjelasan salah satu anggota
keluarga. Saudara kandung termuda Pak Romi. Barulah aku tahu, kalau Pak Romi dalam
proses perceraian dengan istrinya. Istri kedua, tepatnya. Istri pertamanya
telah lama meninggal.
“Nah, itu
dia orangnya datang...” Dia menambahkan.
Seorang
pemuda muncul dari balik pintu.
“Loh kak
Dita?” Seru pemuda itu sedikit kaget.
Aku pun
ikutan kaget. “Yu-Yudhi?”
Untuk
sesaat kami berdua saling tertegun...
*) Buat kalian
lupa siapa sosok ‘Yudhi’ ini, dibaca deh cerita yang judulnya “Menemani
Futsal.”
.
Anjriiit.... Semua ceritanya ngacengin :p
BalasHapusTumben update cuma satu, biasanya 2. Hehe.,,
BalasHapusUdah tanggal 21 msh blm update aja. Udah pada ngantri nungguin Ditha kena Entot + Crot didalem :D
BalasHapusLama bener updatenya. Padahal seru banget
BalasHapus