Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Buka, buka,
buka…!!!”
Semua orang
di ruangan berteriak-teriak. Putri hanya cengar-cengir. Kami sedang bermain truth and dare, dan Putri tadi baru saja
memilih dare. Salah satu teman pria
minta dia membuka tiga kancing blusnya. Tantangan atas konsekuensi pilihannya.
Teman-teman pria lain ikut sumringah. Pria mana yang tidak minat melihat dada
montok Putri. Dada yang mungkin selama ini hanya terbayang dalam fantasi nakal
mereka saja. Kini bisa mereka lihat dengan mata kepala sendiri. Sedang kami
para wanita, hanya menggeleng kepala.
Satu
kancing terlepas, suasana jadi semakin heboh. Untungnya kami sedang ada di
sebuah room karaoke. Peredam suara bisa
menutupi keriuhan yang terjadi. Awalnya acara kumpul-kumpul ini hanya sebagai
ajang reuni. Teman-teman lama semasa diklat calon pegawai.
Melihat para
teman pria bersemangat, Putri malah menggoda mereka. Sengaja dia menggoyang
dadanya, sebelum melepas kancing kedua. Belahan dada Putri sudah terlihat. Kini
tidak hanya teman pria yang heboh, beberapa teman wanita pun ikutan heboh.
“BUKA, BUKA,
BUKA…”
Kali ini
Putri melempar senyuman genit. Dia memain-mainkan kancing ketiga. Teriakan,
“buka, buka, buka…” semakin kencang terdengar.
Dan kancing itu pun terbuka. Seisi ruangan kini tahu warna
bra yang dipakai Putri. Termasuk setengah bagian dari payudara miliknya. Para
pria pun langsung bersorak kegirangan. Tantangan telah terbayar, tapi tidak ada
niat Putri untuk menutup semua kancing. Dia hanya menutup satu kancing
terakhir. Para pria menyambut penuh suka cita. Para wanita kembali hanya bisa
menggeleng kepala.
Botol bir
kembali diputar. Kali ini Putri yang melakukannya. Berputar-putar kencang,
semakin lambat dan terus melambat. Di putaran terakhir, ujung botol mengarah
padaku. Untuk kali kedua. Para pria kembali bersorak. Oh, mereka tampak menyesal kenapa bukan yang memutar botolnya.
“Sekarang
giliran lu Dit,” seorang teman pria berucap. Kemudian nyengir.
Satu
teman wanita menimpali. “Truth or dare?”
Aku
sedikit bingung. Kalau memilih ‘truth’,
aku pasti ditanya aneh-aneh. Kalau memilih ‘dare’,
aku pasti diminta ngelakuin
aneh-aneh. Seperti yang pertama tadi aku ditanya, “Terakhir lu ML ama siapa? Suami
nggak dihitung loh yah.” Seorang
teman pria yang mengajukan pertanyaan itu.
Maka aku
jawab,” Sama mahasiswa semester tiga, di hotel deket sini. Mainnya tiga kali, klimaks
dua kali. Pakai kondom loh yah...”
Semuanya jadi
heboh. Aku dibilang berbohong, sampai Putri membenarkan hal itu. Dan mereka pun
tambah heboh. Rusak sudah image ‘lugu
dan polos’ yang aku bangun selama ini.
Akhirnya
aku memilih ‘dare’, habis malas
ditanya yang aneh-aneh lagi. Lagian kini giliran Putri yang memutar botol. Nggak
mungkin dong dia menjuruskan aku, begitu pikirku.
“Mau tau
Dita pakai BH warna apa nggak?” Putri berseru.
Para pria
pun menyambut antusias. Bersamaan mereka kompak menjawab, “MAUUU!!!” Yang
langsung aku sambut dengan seringaian ke arah Putri. Eh, dia malah nyengir kuda.
Putri
lanjut berseru. “Mau tau warna BH-nya, apa CD-nya?”
Kali ini
para pria tidak lagi kompak. Mereka terbelah menjadi tiga kubu. Ada yang
menjawab, “BH-nya!” Ada yang menjawab, “CD-nya!” Dan ada menjawab,
“Dua-duanya!” Sisanya malah berteriak-teriak lagi, “BUKA, BUKA, BUKA...”
Aku
semakin melotot. Bahkan aku sampai pindah ke sofa Putri, dan mencubit-cubit pahanya.
Dia malah terkekeh. Para pria mulai bersorak-sorai. “Putri, Putri, Putri...” Memberi
semangat kepada sahabat usilku itu. Sementara teman wanita lain hanya
tersenyum-senyum kecil. Mereka semua sudah mendapat giliran tadi. Dan mereka
hanya dapat tantangan ditoel hidung atau dijewer saja.
Putri
mengangkat kedua tangannya. Memberi tanda agar kehebohan dihentikan. Semua pria
itu menurut. Sesaat suasana menjadi hening. “Oke, oke, ini udah malem kita
udahan aja yah...” Putri nyengir
lagi.
Langsung
disambut dengar teriakan, “HHUUUU!!!”
Mereka
sih sepakat kalau ini sesi terakhir. Kami harus pulang. Namun, mereka tetap
menuntut kalau aku harus ‘dikerjai’ dulu. Suasana kembali ramai. Sampai Putri
mengangkat kembali kedua tangannya. Suasana pun lagi-lagi jadi hening.
“Dit, gue
mau elu nyium gue. Di bibir.”
Ujaran
Putri tadi langsung disambut sorak-sorai. Lebih heboh dari yang
sebelum-sebelumnya. Beberapa dari teman bahkan sampai menganga mendengar itu.
Termasuk diriku.
“CIUM,
CIUM, CIUM...” Begitu teriakan mereka berganti.
Putri
mengerling ke arahku. Seperti sedang melakukan flirting nakal padaku. Aku menoleh ke teman-teman wanita. Eh mereka malah ikut memanas-manasi
suasana. Ya sudah, kenapa tidak? Pikirku lagi. Maka aku dekati Putri. Sebelum
kami melakukannya, Putri kembali berujar. Kali ini dia mengajukan syarat.
“Tidak boleh ada yang merekam.” Maka dia pun menyuruh semua teman menyimpan
ponsel mereka. Termasuk teman wanita.
Dan
kemudian bibir kami pun bertemu. Awalnya hanya sebuah ciuman kecil, sampai
Putri mulai melumat. Bisa diperkirakan dong bagaimana sambutan para pria.
Mereka tidak berhenti untuk bersorak-sorak. Memberi semangat kami untuk
melakukan yang lebih lagi.
“LIDAH,
LIDAH, LIDAH...”
Lumatan
Putri memacu adrenalin-ku. Pun demikian dengan teriakan teman-teman kami. Aku
dan Putri seakan kompak meningkatkan permainan. Kami mulai saling menyilangkan
lidah. Beradu di dalam mulut masing-masing. Cukup lama bibir dan lidah kami
bercumbu.
“Semoga
kalian terhibur Guys...” ucap Putri,
begitu bibir kami berpisah.
Terdengar
suara tepuk tangan teman-teman kami. Beberapa teman pria sampai bersujud di
depan kami. Goddes of Sex, mereka menyebut
kami berdua. Beberapa lagi tak henti menyalami kami. Mereka bilang salut dengan
pertunjukan tadi. Begitu pun dengan teman-teman wanita.
“Istri
gue musti berterima kasih ke kalian malem ini. Kontol gue ngaceng abis nih!”
Satu teman laki-laki berkomentar. “Rusak otak gue gegara lu berdua. Gue jadi
pengen ikutan nyium cewek nih jadinya.” Sementara begitu komentar dari teman
wanita. Belum lagi komentar lainnya. Kami semua terbahak-bahak mendengar komentar-komentar
itu.
Kegiatan hang out after work, malam itu pun
berakhir. Kami semua lalu keluar dari room,
dan menuju ke parkiran. Aku dan Putri pun kembali ke mobil. Tadi pagi dia
menjemputku ke rumah. Malam ini aku akan menginap di rumah dia. Atas seijin
suami tentunya.
Sampai di
dalam rumah, aku dan Putri masih tertawa-tawa. Geli dengan aksi yang barusan
kami lakukan. Sampai Putri menyeletuk, “Dit, ngelesbi yuk.” Kaget dong aku
mendengarnya.
“Gila lu.
Sekarang elu beneran jadi lesbian?”
Putri
langsung protes. “Nggaklah, gue masih doyan kontol. Cuman pengen sensasi lain
aja nih.”
Lama kami
membahas soal ini. Putri dengan rayuan manisnya terus berusaha meyakinkan aku. Sedang
aku sendiri belum begitu yakin. Di dalam benakku, bercumbu dengan sahabat beresiko
merusak persahabatan itu sendiri. Baik itu pria maupun wanita. Akan sangat
disayangkan kalau persahabatan aku dan Putri sampai terganggu. Namun, rayuan
demi rayuan akhirnya aku luluh.
Kami
berdua tahu-tahu sudah berciuman lagi. Kali ini terjadi di sofa ruang tamu. Anehnya,
kali ini aku sangat menikmati bibir Putri. Entah aku memang ada bakat jadi
lesbi, atau memang Putri yang pandai mencium. Bibir wanita ternyata jauh lebih
lembut dari pria. Begitu pun lidahnya. Kami pun terlarut dalam aksi saling
bertukar liur.
“Bibir lu
enak banget Dit, pantesan si Leo klepek-klepek.”
Putri nyengir.
Tersipu aku
mendengarnya. Aku katakan hal yang sama. Malah Putri lebih banyak membuat pria klepek-klepek ketimbang aku. Bibir
sahabatku itu memang rasanya berbeda. Sensual dan hangat.
“Mandi
dulu yuk. Gerah nih,” ujarku.
“Bareng
aja yuk, Sayang...” Putri mengerling nakal. Sepertinya dia cukup serius
menghayati role play lesbian kami.
Aku tidak
menolak, saat dia menggandeng tanganku ke kamar. Sebelumnya jelas kami pastikan
semua pintu dan jendela sudah terkunci. Musti tetap jaga-jaga juga dong,
mengingat hanya kami berdua yang ada di rumah.
“Bukain
dong, Sayang,” Putri berujar manja. Sebagaimana dia biasa merajuk ke
pacar-pacarnya.
Menggeleng
aku dibuatnya, tetapi tetap aku turuti. Setelah tersisa hanya bra dan celana
dalam, giliran Putri yang membuka pakaianku. Selesai melakukannya Putri lanjut
berujar, “Bodi lu Dit, Dit...” Dia lalu berdecak kagum. Lanjut mengacungkan dua
jempol. Langsung saja aku tangkis. Padahal tubuh Putri sendiri tidak kalah oke.
Terutama ukuran payudaranya. Kalau mau banding-bandingin bagian itu, aku ngaku kalah deh.
Di kamar
mandi kami saling mengusapi sabun. Menggosok punggung. Kemudian membilasnya
bergantian. Di bawah kucuran shower
kami lanjut berciuman, seperti sepasang kekasih. Bahkan mengeringkan tubuh pun
kami lakukan juga bergantian. Kalau saja ada yang melihat, pasti kami akan dikira
pasangan lesbi sungguhan. Kami berdua pun menyadari itu. Tertawa kami
dibuatnya.
Sehabis
mandi, kami tidak lanjut memakai pakaian. Putri mengajakku langsung naik ke ranjang.
Dalam keadaan telanjang bulat. “Kita kan mau ML, ngapain pake baju lagi,” begitu
kata dia, sambil nyengir. Putri sih
tidak risih dengan tubuh polosnya, berbeda dengan diriku. “AC-nya dingin,”
ujarku menutupi kegugupan. Kemudian aku tutupi tubuh dengan selimut. Lagi-lagi
Putri hanya nyengir melihat tingkahku.
Putri
memulai dengan memutar bokep lesbian di ponselnya. Kami nonton berdua, sambil
tertawa geli. Kami bahas adegan-adegan yang bisa kami tiru.
“Gue
duluan deh,” ucap Putri, usai tayangan bokep berakhir.
Dia hanya
meminta aku terlentang polos di ranjang. Maka aku turuti saja dulu. Bercumbu
dengan wanita sudah pernah aku lakukan. Ingat ceritaku yang berjudul ‘Sekamar
Bertiga’? Namun, tetap saja aku deg-degan. Kan ini pertama kali aku ‘one on one’ dengan sesama wanita. Sedang
Putri terlihat lebih percaya diri. Padahal dia mengaku kalau ini pengalaman
pertama dia juga.
Putri menyingkap
selimut dari tubuhku. Dia mulai menciumku. Ciuman Putri kemudian berganti jadi
jilatan. Berawal dari telinga, leher, pundak dan berujung di payudara. Keduanya,
kanan dan kiri. Dia ciumi payudaraku. Dia kulumi putingnya. Aku mulai mendesah
dan bergelinjang. Sungguh nikmat rasanya. Sekali lagi aku dilanda sensasi yang
berbeda. Entah aku memang ada bakat jadi lesbi, atau memang Putri yang pandai
memainkan lidahnya.
Ciuman
dan jilatan Putri beralih dari payudara. Kali ini beranjak menuju perut dan
pinggangku. Permukaan lidah sahabatku itu terasa kasar dan basah. Namun, justru
itu yang membuat nikmat melanda. Menstimulus syaraf-syaraf birahiku. Desahan
yang keluar semakin intens. Apalagi
saat lidah Putri menari-nari di pusar. Sementara dua tangannya meremas-remas
payudaraku. Pantatku sampai terangkat menahan rasa yang melanda.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Oohhh, sshhh,
oohhh...”
Putri
tahu aku menikmatinya. Terus saja bibir dan lidah Putri mengekplorasi tubuhku.
Kali ini tiba di daerah paha. Dia sengaja melewatkan bagian intimku. Disisakan
untuk ‘hidangan’ utama mungkin. Tanpa mempedulikan desahanku, bibir dan lidah
Putri terus saja bekerja. Turun lagi ke lutut, betis, bahkan sampai jari-jari
kakiku. Dia kulumi jari-jari kakiku. Aku semakin tidak kuat untuk bergelinjang.
Putri
mengangkat tubuhnya. Kembali ke wajahku. Dia tersenyum. “Enak nggak?” Tanya
dia.
Dengan
malu-malu aku mengangguk. Putri pun tersenyum puas.
“Idih, yang mukanya merah nahan nafsu...”
Goda Putri lagi. Aku jadi tersipu.
Kembali
dia mengulangi aksinya yang tadi. Namun, kali ini berujung pada vagina. Awalnya
aku malu, karena bulu-bulu dibagian itu sudah mulai numbuh. Beda dengan milik Putri
yang gundul bersih. Belum sempat aku merapikannya. “Nggak apa-apa...” kata
Putri meyakinkan. Maka lalu aku biarkan dia melakukannya. Membiarkan mulut dan
lidah itu memberikan aku kenikmatan.
“Put, oh my god, Putri...” Aku merancau.
Pantatku kembali terangkat, menahan geli.
Kembali
harus diakui kalau teknik oral wanita, berbeda dengan teknik oral pria.
Permainan lidah wanita terasa lebih lembut. Lebih mengena ke titik-titik
sensitif, baik jilatan maupun tusukan. Lebih telaten. Aku membuka kedua paha
lebar-lebar, agar lidah Putri bisa memiliki akses lebih. Di bawah sana Putri
seperti sedang melakukan ‘french kiss’ dengan vaginaku.
Sebagai
sesama wanita, Putri tahu dimana harus mencari klitorisku. Berbeda dengan
pria-pria yang kepalanya pernah ada diantara dua pahaku. Sekujur tubuh sampai
menegang hebat. Otakku seakan mati rasa. Yang tersisa hanya rasa nikmat. The best oral sex I ever had, pokoknya.
Sampai di
titik aku melenguh panjang. “Aaahh... Put...!!!” Aku mencapai klimaks.
Sesaat
aku seperti kehilangan kesadaran. Ketika pulih, aku dapati Putri sedang membelai-belai
rambutku. Dia tersenyum geli. Kembali dia mengejek wajahku, yang semerah udang
bakar, kata dia. Putri memberi aku sedikit lagi tambahan waktu, sebelum kami
berganti posisi.
Maka tiba
giliran aku memuaskan sahabatku itu. Gantian Putri yang terbaring pasrah di
ranjang. Dimulai dengan ciuman dan french
kiss sebagai foreplay. Jujur saja
aku kurang pede dengan kemampuan lesbian-ku. Terutama kemampuan menjilat. Mencari
titik-titik rangsangan yang tepat. Aku akali itu dengan membayangkan Putri
sebagai seorang pria. Tanpa tambahan penis, tentunya. Bukankah kata majalah,
kalau titik rangsang pria tidak berbeda jauh dengan wanita.
Ciuman
dan jilatan di bagian atas aku lalui dengan lancar. Bibir, leher, telinga. Tiba
di payudara aku membatin, “Pantes cowok-cowok pada doyan sama toket Putri.” Kenyal-kenyal
padat, saat sedang dikulum. Begitu pula kedua putingnya. Terdengar
desahan-desahan Putri. Puting dia pun terlihat mulai menegang. Itu berarti aku
melakukannya dengan benar.
Pada bagian-bagian
lain, tidak berbeda rasanya seperti bercinta dengan pria. Berbeda saat tiba di
bagian selangkangan. Masih terasa aneh tidak menemukan ‘belalai’ di bagian itu.
Pelan-pelan mulai aku jilati kemaluan Putri. Ternyata aku dapati bagian itu
sudah basah. Aku jilat dan hisap cairan itu. Di lidah rasanya sangat berbeda jauh
dengan sperma. Sulit deh digambarkan dengan
kata-kata. Yang jelas, aku menikmatinya. Desahan Putri pun semakin terdengar
lirih. Melihat dia bergelinjang. Semakin aku yakin, kalau aku melakukannya
dengan benar.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Oohhh,
oohhh, Dit. Enak Dit...”
Rancauan
Putri membuat aku kian bersemangat. Di sisi dinding atas vagina Putri, berusaha
aku mencari klitoris miliknya. Cukup sulit, namun akhirnya aku temukan. Putri
memekik, artinya aku sudah di lokasi yang tepat. Entah kenapa aku terdorong
untuk memberikan service terbaik
untuk sahabatku itu.
Kalau
diperhatikan, bentuk bibir vagina Putri berbeda dengan milikku. Bibir Putri terlihat
lebih sedikit tebal dan memanjang. ‘Memek tembem’, kalau istilahnya cowok-cowok.
Kalau milikku sih tipis di permukaan, dan tidak begitu lebar. Intinya berbeda dibentuk
vulva, labia minora, dan labia majoranya deh. Kalau kata suami, vaginaku mirip
vagina barbie. Entah apalah maksudnya
itu. Kalau soal baunya, vagina Putri sama sekali tidak berbau. Biasanya kan ada
tuh cowok yang komentar, “Memek lu wangi.” Tadi Putri sih tidak komentar apa-apa
soal bau vaginaku. Entah maksud ‘vagina wangi’ itu seperti apa. Kalau aku sih
merasa fine-fine saja, malah bangga dengan
vaginaku. Mengingat aku sangat menjaga organ intimku tersebut.
Begitu
pun payudara. Bentuk payudara Putri dan aku juga sedikit berbeda. Lebih berbeda
dalam soal ukuran sih. Kalau ibarat buah-buahan, payudara Putri itu ‘semangka’,
sedangkan aku hanya ‘nanas’. Cowok penyuka ‘toge’ jelas pasti akan melirik
milik Putri. Cocok dengan ukuran tubuh kami masing-masing. Putri lebih bahenol deh pokoknya. Bukannya merendah loh, ini beneran. Beda ukuran payudara,
tentu beda pula ukuran puting. Nggak perlu
aku jelasin secara mendetail kan? Takutnya nanti kalian membayangkan yang
tidak-tidak lagi.
Keasyikan
menjilat dan mengulum, tanpa aku sadari tubuh Putri mengejang. Lalu dia mengerang
panjang. Ternyata aku berhasil membuat dia klimaks. Menghela nafas lega aku
dibuatnya. Sama seperti tadi, aku berikan Putri sedikit waktu untuk
beristirahat.
“Thank you Dit,” ucap Putri sambil
mengecup bibirku. Aku balas dengan ucapan yang sama.
Hari
sudah sangat teramat larut, saat kami selesai bercinta. Maka kami putuskan
untuk langsung tidur. Berpelukan telanjang di balik selimut, seperti layaknya sepasang
kekasih.
“Met tidur, Sayang...”
“Met tidur juga, Sayang...”
Dan kami
pun terlelap. Dalam sisa-sisa kenikmatan yang ada. Not bad for a first temptation.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar