Senin, 26 Februari 2018

Cerita Suami


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Malam itu aku melangkah naik ke ruang kerja suami. Maunya nanya soal rencana dinner sama kliennya. Suami minta aku ikut menemani, jadi aku musti atur jadwal. Ternyata di ruangan tidak aku temukan dia. Namun, aku temukan ada kertas tergeletak di meja. Rupanya sebuah undangan resepsi pernikahan. Ada nama suami tertera disana, lengkap dengan gelar. Dahiku berkerut. Ini buat besok, tapi kok suami nggak ada bilang apa-apa, pikirku.
Maka lanjut aku mencari suami, sambil membawa undangan itu. Aku temukan dia di halaman belakang. Sibuk di depan laptop. Pindah kerja ternyata. Kebiasaan suami, kalau lagi jenuh ada di ruang kerjanya. Duduk kemudian aku di sebelahnya.
“Pa, ini undangan apa sih?”
Pandangan suami beralih dari layar laptop. “Oh, itu undangan dari temen lama, dia nikah.”
“Temen papa yang mana nih?”
“Yang cewek.”
“Temen apa ‘temen’? Kok mama nggak pernah denger namanya?”
Mendengar itu suamiku langsung tersenyum. Dia meminggirkan laptop, dan meminta aku duduk dipangkuannya. Sudah hapal dia dengan ekspresi penuh selidik itu. Musti dipeluk, agar tekukan di wajahku tidak semakin menguat.
“Rumit tau Ma, ceritanya...”
“Nggak peduli. Terus?” Wajahku masih menekuk. Suamiku kembali tersenyum.
“Mama, masih inget sama Indri kan?”
Aku mengangguk. Indri itu dulu adalah pacar suamiku, sebelum ketemu aku. Mereka putus baru kemudian kami berpacaran. Sempat putus denganku, suami sempat balikan dengan Indri, tetapi lalu putus lagi. Diselat beberapa cewek lain, akhirnya suami pacaran lagi dengan aku. Putus, nyambung, putus, nyambung, akhirnya kami menikah. Ternyata beneran rumit.
Nah, cewek ini teman baiknya si Indri. Namanya Dina.”
Dina? Beda-beda tipis amat ama Dita? Renungku dalam hati.
“Terus papa pacaran juga sama Dina ini?” Tanyaku, melanjutkan proses ‘investigasi’.
“Nggak.”
Jawaban yang terlalu singkat. Sangat mencurigakan. Masa sih, temen baiknya pacar sampai inget sebegitu lama? Sampai pakai acara ngundang ke nikahannya lagi. Kecuali...
“Papa pernah nidurin Dina ya?”
Suami jadi salah tingkah. Dia kelihatan bingung harus menjawab apa. Kebongkar deh rahasianya dia. Setelah didesak-desak, akhirnya suamiku mengaku. Kalau dia telah meniduri sahabat dari mantan pacarnya. Tanpa sepengetahuan sang mantan lagi. Suami mengaku kalau mereka khilaf. Tetapi, saat ditanya lagi, ternyata mereka melakukannya sampai tiga kali. Khilaf kok sampai tiga kali? Langsung aku jewer kuping suami.
Dan aku minta suami terus bercerita. Kali ini musti sedetail-detailnya. Proses ‘investigasi’ pun terus berlanjut...
***
“Aaahh, aaahh, aaahh...”
“Aaahh, aaahh, aaahh...”
Kedua kaki Indri sedang mengangkang lebar. Dia ada di bawah tindihan tubuh Hendra. Puluhan menit sudah kelamin mereka beradu. Tubuh polos keduanya dibasahi keringat, meski AC sedang berhembus dengan kencang. Percintaan, sekaligus peresmian dari hubungan mereka yang bersatu kembali. Lama tidak bertemu, bisa terbayang bagaimana dasyatnya persetubuhan itu. Bisa dilihat dari ranjang Indri yang tak henti berguncang.
Berganti posisi, kini Indri duduk di atas tubuh Hendra. Kelamin mereka kembali menyatu, hanya kini gantian Indri yang bergoyang. Pinggulnya terlihat bergerak liar. Merasakan kenikmatan, saat akhirnya lubang miliknya kembali dijejali penis.
“Udah mau keluar?” Tanya Indri, masih tetap bergoyang.
“Dikit lagi.”
“Kalo mau keluar bilang ya, biar nggak telat nyabutnya.”
Masih dengan mata terpincing, Hendra menganggukkan kepala. Meski lagi dilanda birahi, Indri masih tetap sadar diri. Sadar kalau kelamin mereka tidak dibatasi kondom.
Lanjut bergoyang, tiba-tiba terdengar suara ponsel. Indri menghentikan gerakannya. Itu membuat mata Hendra kembali terbuka. Berusaha Indri menggapai ponsel, dengan penis masih tertancap di vaginanya.
“Lu udah di depan, Din? Udah lu masuk aja, gue masih sama Hendra nih di kamar atas. Tunggu bentar di ruang tamu ya...” Percakapan selesai.
“Dina?” Tanya Hendra.
Indri mengangguk, lalu melempar ponsel ke ranjang.
“Mau udahan?”
“Nanggung ih, lanjutin aja dikit lagi...”
Hendra tersenyum. Berbalik kembali posisi tubuh mereka. Kali ini Hendra menusuk-nusukkan penisnya dengan lebih bertenaga. Tidak ada penolakan dari Indri. Gadis cantik itu justru terlihat menikmatinya. Dua-tiga menit berikutnya, terdengar suara lenguhan panjang. Cairan kental putih memenuhi perut rata milik Indri. Beberapa lagi mengenai bulu lebat diantara selangkangan.
Bergegas Indri turun dari ranjang. Dilapnya ceceran sperma dengan tissue, lalu merapikan lagi penampilannya. Hendra sendiri masih ada ranjang. Ketika hendak menyambar kotak rokok, Indri melotot. Dia tidak mau kamarnya jadi berbau aneh. Hendra hanya nyengir. Keduanya kemudian kembali berpakaian.
Sorry, sorry, lu jadi nunggu kita lama.”
Indri menghempaskan diri di samping Dina.
“Nggak apa-apa. Lagian gue datengnya kecepetan. Kalian nggak usah buru-buru loh padahal...” Dina mengerling, yang langsung disanggah oleh Indri.
“Nggak usah pake boong ama gue, aahhh, aahhh, lu kedengeran ampe bawah,” lanjut Dina lagi.
Dina dan Indri tertawa berbarengan. Sementara Hendra di sofa seberang, hanya tersenyum kecil.
“Berangkat sekarang aja yuk. Biar nggak kemaleman,” ajak Indri.
Dan singkat cerita, ketiganya sudah ada di sebuah klub. Sedang ada pementasan band papan atas nasional di sana. Baik Indri, Hendra, dan Dina, kemudian larut dalam alunan musik. Berdendang dan bergoyang. Bersama dengan ratusan penonton lainnya Lirik-lirik lagu dengan fasih mereka nyanyikan. Band tersebut memang jadi favorit mereka. Lewat tengah malam, perhelatan musik spesial itu baru selesai. Sebelum balik pulang, ketiganya mampir dulu ke gerai waralaba ayam goreng. Buat sekedar mengganjal perut. Paling dulu Hendra mengantar Dina. Tentu agar sang pacar itu tidak diomeli nyokap. Beruntung orang tua Dina belum sampai dari luar kota, setibanya mereka di rumah.
“Nggak apa-apa kan lu nganter Dina dulu, Dra? Kasihan dia kalo musti naik taxi jam segini.”
Hendra menggeleng. Lagian kosan Dina dan rumahnya kan searah. Didaratkan kecupan mesra di bibir Hendra, sebelum Indri melepas kepergian mereka. Mobil pun lanjut melaju.
“Cowok lu nggak pernah balik lagi ke Indonesia, Din?” Tanya Hendra dari belakang kemudi.
“Nggak.”
“Tapi kalian masih pacaran kan?”
“Nggak tau deh.” Dina mengangkat bahunya.
Dahi Hendra berkerut. Mendengar dari Dina, Hendra tahu kalau Dina lagi pacaran sama bule Australia. Mereka kenalan di sebuah klub malam. Sebulan jalan, si bule balik lagi ke negaranya. Pacaran jarak jauh pun mereka jalani. Dua kali dia pernah datang lagi buat ketemu Dina. Hanya saja, dari pengakuan Dina, sudah tiga bulan ini si bule tidak ada kabar.
“Gue sih nggak pernah maksain dia buat tinggal. Kita mah sama-sama free.”
Mendengar itu sih Hendra tidak begitu heran. Mengingat gaya hidup Dina yang ‘open minded’.
“Lu musti buru-buru balik ya, Dra?”
Hendra menggeleng. “Nggak sih. Kenapa?”
“Temenin gue minum bentar yuk. Gue punya temen punya pub deket sini.”
Mobil pun berbelok arah. Dan tidak lama, keduanya sudah duduk di sebuah meja. Satu botol dan dua gelas minuman menemani mereka. Beralkohol, tetapi tidak begitu keras. Sementara sayup-sayup terdengar alunan musik jazz, dari speaker di sudut-sudut ruangan. Hanya ada dua atau tiga pasangan lain disana. Berbincang mereka tentang bermacam hal. Sekali waktu terdengar tawa dari keduanya.
“Lu mau lanjut minum di kosan gue nggak?” Usulan yang lagi-lagi disetujui Hendra.
Awalnya sih obrolan memang berlanjut. Namun, saat pagi hampir menjelang, entah disadari atau tidak, mereka berdua telah bergumul di ranjang. Berciuman dengan panasnya. Mereka saling menyentuh, meraba, dan meremas. Semuanya mengalir begitu saja. Termasuk ketika satu persatu pakaian tidak lagi menempel di tubuh. Alkohol telah menyulut birahi mereka. Tidak ada diantara mereka, yang berusaha menghalangi persetubuhan itu terjadi.
“Aaahhh, aaahhh, aaahhh...”
“Aaahhh, aaahhh, aaahhh...”
Alkohol membuat Hendra jadi begitu bergairah. Begitupun dengan diri Dina. Kelamin keduanya beradu dengan dasyatnya. Berusaha menggapai pencapaian tertinggi dari bercinta. Orgasme.
“Aaahhh, aaahhh, aaahhh...”
“Aaahhh, aaahhh, aaahhh...”
Tangan Dina meremas-remas sprei. Seiring genjotan penis Hendra yang semakin kencang. Pada momen lain, tangan Dina meremas-remas bahu Hendra. Tanpa sadar dia juga mencakar-cakar. Dina benar-benar terlihat ‘haus’ saat itu. Sampai dia berteriak panjang, penuh kepuasan. Disusul kemudian oleh Hendra. “AAAKKKHHH...!!!”
Hendra memenuhi liang kewanitaan Dina, dengan sperma miliknya. Disemprot dengan kencang sampai tetes terakhir. Dina sendiri terlihat ikut menikmati sensasi tersebut. Kehangatan menjalar di setiap syaraf kemaluannya.
Selepas melepaskan gairah dengan begitu dasyatnya, keduanya tumbang. Tergolek lemas, dalam kondisi saling memeluk. Mereka berdua tertidur dengan lelapnya.
***
Matahari sudah cukup tinggi, saat Hendra membuka matanya. Perlahan baru dia menyadari kalau tidak ada di kamarnya sendiri. Ditambah dia bangun dalam kondisi telanjang. Sedang mengingat-ingat apa yang telah terjadi, pintu kamar terbuka. Ingatan semalam langsung menyeruak, ketika Hendra melihat sosok Dina.
Hei tukang tidur...” Sapa Dina. Terlihat Dina terbalut pakaian ketat untuk senam.
“Dari mana lu?”
Fitnes ama Indri.”
DUEER!! Mendengar nama Indri, Hendra jadi panik. Segera dia mencari-cari jeans yang dipakai semalam, lalu mengambil ponsel dari sakunya. Sepuluh misscall, lima pesan masuk.
“Tenang. Tadi udah gue bilang ke Indri, kalo semalem lu ama gue lanjut minum, jadi palingan lu masih tepar.”
“Semalem kita...?” Ucapan Hendra tersekat. Sepertinya dia bingung memilih kata yang tepat.
Dina berbalik sambil membawa dua buah piring. “Ngewe? Iya, semalem kita ngewe.” Lalu dia duduk di lantai yang berlapis karpet.
“Lu cerita juga soal itu ke Indri?”
“Nggaklah. Gila aja gue cerita gituan ke pacar lu,” sahut Dina dengan santainya. “Turun gih, kita sarapan dulu, nih gue beli bubur ayam.”
Dengan ragu Hendra turun dari ranjang. Dia sambar boxer dan jeans, lalu memakainya. Begitu dia ikut duduk bersila, Dina menyodorinya piring. Mereka pun mulai makan. Sebenarnya Hendra ingin membahas soal kemarin, hanya saja mulutnya seperti tersekat. Selain itu, Dina juga terlihat tidak ambil pusing dengan kejadian semalam. Itu kian membuat Hendra ragu.
“Oya, semalem elu ngeluarin pejuh di dalem kan? Kalo bulan depan gue nggak mens, gue minta tanggung jawab lu yah...” Celetuk Dina selesai mereka makan, sambil merapikan piring. Masih dengan nada yang datar.
Tanpa menunggu jawaban Hendra, Dina beranjak berdiri. Lanjut kemudian dia mencuci piring dan gelas. Sementara Hendra masih mematung. Bingung harus berkomentar apa.
***
Selepas hari itu, hubungan Indri, Hendra, dan Dina, berjalan normal. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Diawal-awal Hendra sempat kikuk, setiap kali mereka bertiga hang out bareng. Namun, karena Dina tetap bersikap biasa saja, berlahan Hendra kembali tenang. Termasuk dikala bulan berikutnya, Indri sempat bilang kalo Dina lagi menstruasi. Hendra pun semakin lega. Lagi pula, Dina sudah dapat pacar baru. Kali ini cowok lokal, tapi bawaannya BMW. Memang pintar dia cari pacar.
“Makasi ya Din, elu tetep mau bertemen ama gue, setelah apa yang gue lakuin malem itu.”
Hendra menyeletuk, ketika pada satu kesempatan dia berdua saja dengan Dina. Kala itu ada Indri juga sih, cuma dia lagi mengurus pembagian konsumsi. Hendra datang sewaktu Fakultas Indri dan Dina, mengadakan acara kerja sosial, dalam rangka penerimaan mahasiswa baru. Hendra diminta Indri untuk ikut membantu transportasi.
“Serius lu mau ngebahas kejadian malam itu lagi?” Dina nyengir.
“Nggak juga sih. Cuma gue tetep aja ngerasa bersalah ke elu.”
Kali ini Dina tersenyum kecil. “Gini deh Dra. Buat elu catet aja ya, kejadian itu nggak bakalan terjadi, kalo gue nggak mau kejadian itu sampai terjadi...”
“Ma-maksud lu?” Hendra tergagap.
“Dasar cowok. Peka dikit napa. Maksudnya, gue itu pada dasarnya emang mau diewe ama elu.”
Kembali Hendra tergagap. “Se-serius lu?” Seakan tidak percaya dengan jawaban Dina.
“Elu taulah kalo gue doyan gonta-ganti cowok, cuman milih temen ngewe gue tu selektif. Nggak sembarang kontol bisa masuk ke meki gue. So, mustinya lu bangga ama diri lu, bukannya malah ngerasa bersalah…” Dina terkekeh. “Lagian lu kira malem itu gue mabok? Elu doang kale yang mabok.” Ditambahkannya pula soal pil KB, yang baru dia buka sekarang. Sengaja katanya biar bikin aku sebulan deg-degan.
Hendra kagum dengan keterus-terangan Dina, sekaligus kesal. “Terus kenapa musti gue?”
“Elu baik, terus Indri bilang lu jago ngewe. Ya udah...”
“Gitu doang?” Hendra tercengang. Dia pikir akan mendapat jawaban yang lebih ‘rumit’.
Dina mengangguk santai. “Oya, selain gue juga tahu kalo lu dari dulu nafsu ke gue.”
Ditembak langsung seperti itu, Hendra tidak kuasa mengelak. Itu memang fakta.
“Seandainya nih Din, seandainya gue ngajakin lu ngewe lagi. Elu mau nggak?”
“Mikir deh Dra. Setelah blak-blakan gini ke elu, terus gue ngewe lagi ama elu, yang masih pacar dari sohib gue. Kira-kira gimana perasaan Indri? Lu sebenernya sayang ama Indri nggak sih?”
Kali ini Hendra kena skak-ster. Masuk akal banget kata-kata Dina tadi. Dia pun langsung minta maaf, yang dibalas Dina dengan senyuman.
Percakapan itu berakhir, ketika Indri datang. Soal malam itu pun tidak pernah terungkit lagi, baik oleh Hendra maupun Dina. Paling tidak sampai hubungan Hendra dan Indri, kembali berakhir.
***
Singkat cerita, hampir satu tahun sudah Hendra men-jomblo. Belum ada gadis yang membuatnya tertarik. Ada sih sebenarnya. Dita, mantan pertamanya Hendra. Cuma yah gitu, Dita belum juga kunjung mau diajakin balikan. Memang salahnya Hendra juga sih, yang nyakitin hati Dita cukup dalam.
Buat mengisi kekosongan diri, malam itu Hendra pergi nonton konser. Keki juga sih dia datang sendirian, tapi gimana lagi. Kagetlah dia saat seorang gadis menepuk bahunya. “Eh Dra, gue tau lu pasti dateng. Ini kan band favorit elu.”
Hendra tertawa kecil. Ternyata gadis itu Dina. Dia datang bersama teman-temannya. Tidak lama, mereka berdua sudah larut dalam alunan musik. Mulai dari band pembuka, sampai band utama. Selama konser, Dina ditempel terus oleh Hendra. Dina pun tidak nampak keberatan. Hari masih belum begitu larut, ketika konser berakhir.
“Lu pulang sama siapa?”
“Sama temen-temen.”
“Gue aja yang nganter lu gimana? Kita nongkrong bentarlah dulu, masih belum malem-malem banget kan ini?”
Tersenyum Dina mendengarnya. Ajakan Hendra tersebut diterimanya. Setengah jam perjalanan naik mobil, mereka tiba di sebuah cafe.
“Tumben nih elu nggak pesen yang ‘keras-keras’,” Hendra nyengir. Menyindir Dina yang hanya memesan juice.
Dina terbahak. “Gue lagi nyoba insyaf. Ngerokok aja gue udah nggak lagi.”
Hendra berdecak kagum. “Bentar lagi gue bakal ngeliat Dina yang pake baju gamis nih jangan-jangan?”
Tawa Dina semakin pecah. Langsung saja pernyataan Hendra itu dibantahnya. Kalau stop minum alkohol sama ngerokok, semata-mata buat kesehatan, begitu kata Dina. Namun, bukan berarti dia lepas dari ‘keduniawian’, tambah Dina lagi. Obrolan lanjut mengalir dengan lancar. Banyak cerita-cerita baru yang bisa mereka bagi. Membahas hal lama pun mereka lakukan, termasuk soal Indri. Ternyata Indri sudah lulus, dan kini ada di luar kota bersama tunangannya. Sudah lama memang Hendra tidak kontak dengan mantannya itu. Dulu kan belum ada sosial media, yang memudahkan stalking mantan.
“Udah berapa lama dong elu nggak ngerasain meki?” Bukan pertanyaan yang mengagetkan. Mengingat gaya Dina yang memang blak-blakan.
“Enam bulan lebih. Terus elu sendiri, u-udah berapa lama?”
“Kontol terakhir gue ya kontolnya elu.”
Kaget Hendra mendengarnya. “Lah, terus cowok lu si BMW itu gimana?”
Ah, dia mah nggak nafsuin...”
Mereka berdua terkekeh. Lalu, tawa Hendra tersekat ketika tanpa diduga Dina nyeletuk. “Ngewe yuk, Dra.”
Mana ada sih kucing nolak disodori ikan. Tanpa ba-bi-bu, keduanya langsung balik ke parkiran. Melaju kencang mobil Hendra, menuju ke sebuah hotel. Begitu sampai di kamar, Hendra dan Dina langsung saling pagut. Langsung memanas. Berkali-kali tubuh mereka terpentok dinding, sewaktu saling menelanjangi. Keduanya sempat terjerembab ke lantai, ketika Hendra kesulitan menarik lepas jeans ketat Dina. Tertawa geli mereka bersamaan.
Menyisakan hanya pakaian dalam, keduanya bergumul di lantai. Bibir dan lidah mereka terus saja beradu. Proses foreplay mereka lewati. Birahi sudah terlanjur ada di ubun-ubun. Terlihat sekali kalau mereka ingin bergegas menyatukan kelamin. Tidak peduli kalau itu terjadi bukan di atas ranjang.
“Aaahhh, aaahhh, aaahhh...”
“AAAHHH, AAAHHH, AAAHHH...”
Desahan dan lenguhan makin nyaring terdengar. Dengan posisi kelamin masih menyatu, Hendra membopong tubuh Dina ke ranjang. Mudah baginya karena tubuh Dina mungil, namun begitu padat dan sintal. Akhirnya, Hendra bisa menikmati jepitan Dina dengan nyaman. Dengan sadar, tanpa pengaruh alkohol. Dina rupanya tipe wanita perawat bulu vagina. Tidak gundul, tapi tidak pula selebat milik Indri. Soal jepitan sih keduanya sebanding.
Persetubuhan pertama malam itu berlangsung relatif singkat. Tidak mengherankan, kalau melihat birahi keduanya yang begitu memuncak. Pertubuhan ditutup dengan saling membelai.
Hanya berselang setengah jam, Hendra dan Dina kembali terbakar birahi. Hanya saja, kali ini mereka sempat melakukan foreplay. Pada kesempatan ini, Hendra sempat memperhatikan setiap jengkal tubuh Dina. Begitu mulus, dengan kulit hitam manis. Ada bekas lecet di betis, tapi siapa yang sempat peduli dengan itu. Selain itu, semuanya sempurna. Termasuk wangi aroma vagina Dina, saat lidah Hendra menari-nari disana. Begitu pula kedua payudara Dina, yang tidak besar, tetapi sekal mempesona.
Sempat pula, Hendra merasakan sensasi kuluman Dina pada penisnya. Soal sepong-menyepong Dina sih sudah pro. Sangat wajar, mengingat pengalamannya dengan beragam model penis.
Akhirnya penis Hendra kembali ‘menusuk’ Dina. Disela tusukan, iseng Hendra bertanya, “Elu udah pernah ama bule, kontol gue ini nggak kekecilan buat lu, Din?”
“Lu nyindir kalo meki gue longgar ya?”
Suasana jadi berubah canggung. Melihat Dina merengut, Hendra langsung berhenti menggenjot.
“Bu-bukan gitu maksud gue...”
Sedetik kemudian, Dina malah terbahak. “Liat deh muka lu Dra, lucu banget...”
Ternyata lagi-lagi Dina mengerjai Hendra. Bukan Dina namanya, kalau sampai nggak pede sama jepitan vagina sendiri. Sadar kalau sedang dikerjai, Hendra ikut terbahak. Dia gelitiki pinggang Dina, saking gemasnya. Dina kian terbahak, sambil bergelinjang. Penis Hendra sampai tercabut karenanya. Berselang beberapa saat, keduanya kemudian saling menatap mesra. Kembali mereka berciuman. Penis Hendra pun kembali tertusuk dengan mantapnya.
“Aaahhh, aaahhh, aaahhh...”
“Aaahhh, aaahhh, aaahhh...”
“Mau dikeluarin dimana sekarang?” Tanya Hendra, menjelang akhir permainan.
“Terserah lu. Tanggung jawab aja sama konsekuensinya.”
Dan sperma Hendra pun tumpah di rahim Dina. Setiap tetesnya, tidak ada yang tersisa.
“Serius? Lu mau bikin gue bunting?” Dina tersenyum, masih ada di tindihan Hendra.
Hendra balas tersenyum, lalu mengangguk.
Keduanya berciuman lagi. Memadu birahi kembali mereka lanjutkan, sampai pagi menjelang.
***
Hari-hari berikutnya, Dina seperti menghilang begitu saja. Tidak ada kabar beritanya. Menyesal Hendra malam itu lupa minta nomor baru Dina. Tapi begitulah Dina. Dia memang susah untuk ‘diikat’ dalam sebuah hubungan. Malam itu, nyeletuk Hendra minta Dina untuk jadi pacarnya. Dengan dasar pikiran, Dina mengijinkan Hendra keluar di dalam. Tetapi, Dina hanya tersenyum simpul. “Udah, kita nikmati aja malem ini,” hanya itu jawaban gadis cantik itu.
Ketika Hendra sudah pasrah, tiba-tiba saja Dina muncul di depan pintu kosannya. Tepat sebulan setelah malam terakhir mereka bersama. Malam pun sudah cukup larut ketika itu.
“Gue mau ikut sama kenalan gue ke Perancis.” Hanya itu penjelasan dia. Entah yang dimaksud Dina dengan ‘kenalan’ itu. Teman, pacar, atau teman tapi mesra?
Mau tidak mau, Hendra hanya bisa mengikhlaskan. Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang bisa mengikat Dina, kecuali atas kemauannya sendiri.
“Terus lu kesini cuma buat pamitan aja?”
“Nggak. Sebelum pergi, gue pengen diewe sekali lagi ama lu.” Ciri khas Dina banget. Langsung ke poinnya, tanpa pakai embel-embel. “Itu juga kalo lu mau, kalo nggak ya...”
Kalimat Dina terputus, begitu bibir Hendra mendarat di bibirnya. Sedetik kemudian, tubuh sintal mendarat mulus di ranjang. Malam itu Hendra menyetubuhi Dina, seperti tak akan ada lagi hari esok. Panas, dan penuh gairah.
Dan benar saja, hari-hari berikutnya tak ada lagi Dina di hidup Hendra. Sampai undangan resepsi tersebut datang...
***
“Mama pengen ketemu sama Dina,” ucapku begitu cerita suami selesai.
“Buat apa sih Ma?”
“Pengen tau aja, rupa saingannya mama kayak apa...”
Suamiku tersenyum lagi. Dia daratkan kecupan mesra di dahiku. “Mama, mama itu nggak punya saingan, mama itu satu-satunya di hati papa.”
“Pokoknya mama mau ketemu Dina. Titik.”
“Ya udah, terserah mama deh.” Suamiku pasrah.
Good. Sekarang mama tunggu di kamar, nggak ada lagi alasan capek kayak kemarin.”
Aku beranjak dari kursi, dan melangkah menuju kamar tidur. Sampai di depan pintu, eh aku lihat suami masih berusaha mematikan laptop. “SEKARAAANG !!”
“I-iya, iya...”
Suami langsung tergopoh-gopoh menyusul langkahku.
.

5 komentar:

  1. Tumben updatenya cuma satu :p

    BalasHapus
  2. Updatenya Selalu aja bikin panas dingin. Good job sist

    BalasHapus
  3. Kira2 mungkin ga ya Dita kena Gangbang?

    Bayanginya aja bikin ngaceng. Hehehe

    BalasHapus
  4. Blm ada update lg nih?

    BalasHapus