Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Malam itu
aku melangkah naik ke ruang kerja suami. Maunya nanya soal rencana dinner sama kliennya. Suami minta aku ikut
menemani, jadi aku musti atur jadwal. Ternyata di ruangan tidak aku temukan dia.
Namun, aku temukan ada kertas tergeletak di meja. Rupanya sebuah undangan
resepsi pernikahan. Ada nama suami tertera disana, lengkap dengan gelar. Dahiku
berkerut. Ini buat besok, tapi kok suami nggak ada bilang apa-apa, pikirku.
Maka
lanjut aku mencari suami, sambil membawa undangan itu. Aku temukan dia di
halaman belakang. Sibuk di depan laptop. Pindah kerja ternyata. Kebiasaan
suami, kalau lagi jenuh ada di ruang kerjanya. Duduk kemudian aku di
sebelahnya.
“Pa, ini
undangan apa sih?”
Pandangan
suami beralih dari layar laptop. “Oh, itu undangan dari temen lama, dia nikah.”
“Temen
papa yang mana nih?”
“Yang
cewek.”
“Temen
apa ‘temen’? Kok mama nggak pernah denger namanya?”
Mendengar
itu suamiku langsung tersenyum. Dia meminggirkan laptop, dan meminta aku duduk
dipangkuannya. Sudah hapal dia dengan ekspresi penuh selidik itu. Musti
dipeluk, agar tekukan di wajahku tidak semakin menguat.
“Rumit tau
Ma, ceritanya...”
“Nggak peduli.
Terus?” Wajahku masih menekuk. Suamiku kembali tersenyum.
“Mama,
masih inget sama Indri kan?”
Aku mengangguk. Indri itu dulu adalah pacar suamiku, sebelum ketemu
aku. Mereka putus baru kemudian kami berpacaran. Sempat putus denganku, suami
sempat balikan dengan Indri, tetapi lalu putus lagi. Diselat beberapa cewek
lain, akhirnya suami pacaran lagi dengan aku. Putus, nyambung, putus, nyambung,
akhirnya kami menikah. Ternyata beneran rumit.
“Nah, cewek ini teman baiknya si Indri.
Namanya Dina.”
Dina? Beda-beda
tipis amat ama Dita? Renungku dalam hati.
“Terus
papa pacaran juga sama Dina ini?” Tanyaku, melanjutkan proses ‘investigasi’.
“Nggak.”
Jawaban
yang terlalu singkat. Sangat mencurigakan. Masa sih, temen baiknya pacar sampai
inget sebegitu lama? Sampai pakai acara ngundang ke nikahannya lagi. Kecuali...
“Papa pernah
nidurin Dina ya?”
Suami
jadi salah tingkah. Dia kelihatan bingung harus menjawab apa. Kebongkar deh
rahasianya dia. Setelah didesak-desak, akhirnya suamiku mengaku. Kalau dia
telah meniduri sahabat dari mantan pacarnya. Tanpa sepengetahuan sang mantan
lagi. Suami mengaku kalau mereka khilaf. Tetapi, saat ditanya lagi, ternyata
mereka melakukannya sampai tiga kali. Khilaf kok sampai tiga kali? Langsung aku
jewer kuping suami.
Dan aku
minta suami terus bercerita. Kali ini musti sedetail-detailnya. Proses
‘investigasi’ pun terus berlanjut...
***
“Aaahh,
aaahh, aaahh...”
“Aaahh,
aaahh, aaahh...”
Kedua
kaki Indri sedang mengangkang lebar. Dia ada di bawah tindihan tubuh Hendra. Puluhan
menit sudah kelamin mereka beradu. Tubuh polos keduanya dibasahi keringat,
meski AC sedang berhembus dengan kencang. Percintaan, sekaligus peresmian dari hubungan
mereka yang bersatu kembali. Lama tidak bertemu, bisa terbayang bagaimana
dasyatnya persetubuhan itu. Bisa dilihat dari ranjang Indri yang tak henti berguncang.
Berganti
posisi, kini Indri duduk di atas tubuh Hendra. Kelamin mereka kembali menyatu,
hanya kini gantian Indri yang bergoyang. Pinggulnya terlihat bergerak liar. Merasakan
kenikmatan, saat akhirnya lubang miliknya kembali dijejali penis.
“Udah mau
keluar?” Tanya Indri, masih tetap bergoyang.
“Dikit
lagi.”
“Kalo mau
keluar bilang ya, biar nggak telat nyabutnya.”
Masih
dengan mata terpincing, Hendra menganggukkan kepala. Meski lagi dilanda birahi,
Indri masih tetap sadar diri. Sadar kalau kelamin mereka tidak dibatasi kondom.
Lanjut
bergoyang, tiba-tiba terdengar suara ponsel. Indri menghentikan gerakannya. Itu
membuat mata Hendra kembali terbuka. Berusaha Indri menggapai ponsel, dengan
penis masih tertancap di vaginanya.
“Lu udah
di depan, Din? Udah lu masuk aja, gue masih sama Hendra nih di kamar atas.
Tunggu bentar di ruang tamu ya...” Percakapan selesai.
“Dina?”
Tanya Hendra.
Indri
mengangguk, lalu melempar ponsel ke ranjang.
“Mau
udahan?”
“Nanggung
ih, lanjutin aja dikit lagi...”
Hendra
tersenyum. Berbalik kembali posisi tubuh mereka. Kali ini Hendra
menusuk-nusukkan penisnya dengan lebih bertenaga. Tidak ada penolakan dari
Indri. Gadis cantik itu justru terlihat menikmatinya. Dua-tiga menit berikutnya,
terdengar suara lenguhan panjang. Cairan kental putih memenuhi perut rata milik
Indri. Beberapa lagi mengenai bulu lebat diantara selangkangan.
Bergegas Indri
turun dari ranjang. Dilapnya ceceran sperma dengan tissue, lalu merapikan lagi penampilannya. Hendra sendiri masih ada
ranjang. Ketika hendak menyambar kotak rokok, Indri melotot. Dia tidak mau
kamarnya jadi berbau aneh. Hendra hanya nyengir. Keduanya kemudian kembali
berpakaian.
“Sorry, sorry, lu jadi nunggu kita lama.”
Indri
menghempaskan diri di samping Dina.
“Nggak
apa-apa. Lagian gue datengnya kecepetan. Kalian nggak usah buru-buru loh padahal...” Dina mengerling, yang
langsung disanggah oleh Indri.
“Nggak
usah pake boong ama gue, aahhh, aahhh, lu kedengeran ampe bawah,” lanjut
Dina lagi.
Dina dan
Indri tertawa berbarengan. Sementara Hendra di sofa seberang, hanya tersenyum
kecil.
“Berangkat
sekarang aja yuk. Biar nggak kemaleman,” ajak Indri.
Dan
singkat cerita, ketiganya sudah ada di sebuah klub. Sedang ada pementasan band papan atas nasional di sana. Baik
Indri, Hendra, dan Dina, kemudian larut dalam alunan musik. Berdendang dan
bergoyang. Bersama dengan ratusan penonton lainnya Lirik-lirik lagu dengan
fasih mereka nyanyikan. Band tersebut
memang jadi favorit mereka. Lewat tengah malam, perhelatan musik spesial itu
baru selesai. Sebelum balik pulang, ketiganya mampir dulu ke gerai waralaba
ayam goreng. Buat sekedar mengganjal perut. Paling dulu Hendra mengantar Dina.
Tentu agar sang pacar itu tidak diomeli nyokap. Beruntung orang tua Dina belum
sampai dari luar kota, setibanya mereka di rumah.
“Nggak
apa-apa kan lu nganter Dina dulu, Dra? Kasihan dia kalo musti naik taxi jam segini.”
Hendra
menggeleng. Lagian kosan Dina dan rumahnya kan searah. Didaratkan kecupan mesra
di bibir Hendra, sebelum Indri melepas kepergian mereka. Mobil pun lanjut
melaju.
“Cowok lu
nggak pernah balik lagi ke Indonesia, Din?” Tanya Hendra dari belakang kemudi.
“Nggak.”
“Tapi kalian
masih pacaran kan?”
“Nggak
tau deh.” Dina mengangkat bahunya.
Dahi
Hendra berkerut. Mendengar dari Dina, Hendra tahu kalau Dina lagi pacaran sama
bule Australia. Mereka kenalan di sebuah klub malam. Sebulan jalan, si bule
balik lagi ke negaranya. Pacaran jarak jauh pun mereka jalani. Dua kali dia
pernah datang lagi buat ketemu Dina. Hanya saja, dari pengakuan Dina, sudah tiga
bulan ini si bule tidak ada kabar.
“Gue sih
nggak pernah maksain dia buat tinggal. Kita mah sama-sama free.”
Mendengar
itu sih Hendra tidak begitu heran. Mengingat gaya hidup Dina yang ‘open minded’.
“Lu musti
buru-buru balik ya, Dra?”
Hendra
menggeleng. “Nggak sih. Kenapa?”
“Temenin
gue minum bentar yuk. Gue punya temen punya pub deket sini.”
Mobil pun
berbelok arah. Dan tidak lama, keduanya sudah duduk di sebuah meja. Satu botol
dan dua gelas minuman menemani mereka. Beralkohol, tetapi tidak begitu keras. Sementara
sayup-sayup terdengar alunan musik jazz,
dari speaker di sudut-sudut ruangan.
Hanya ada dua atau tiga pasangan lain disana. Berbincang mereka tentang
bermacam hal. Sekali waktu terdengar tawa dari keduanya.
“Lu mau
lanjut minum di kosan gue nggak?” Usulan yang lagi-lagi disetujui Hendra.
Awalnya
sih obrolan memang berlanjut. Namun, saat pagi hampir menjelang, entah disadari
atau tidak, mereka berdua telah bergumul di ranjang. Berciuman dengan panasnya.
Mereka saling menyentuh, meraba, dan meremas. Semuanya mengalir begitu saja. Termasuk
ketika satu persatu pakaian tidak lagi menempel di tubuh. Alkohol telah
menyulut birahi mereka. Tidak ada diantara mereka, yang berusaha menghalangi
persetubuhan itu terjadi.
“Aaahhh,
aaahhh, aaahhh...”
“Aaahhh,
aaahhh, aaahhh...”
Alkohol
membuat Hendra jadi begitu bergairah. Begitupun dengan diri Dina. Kelamin
keduanya beradu dengan dasyatnya. Berusaha menggapai pencapaian tertinggi dari
bercinta. Orgasme.
“Aaahhh,
aaahhh, aaahhh...”
“Aaahhh,
aaahhh, aaahhh...”
Tangan
Dina meremas-remas sprei. Seiring genjotan penis Hendra yang semakin kencang. Pada
momen lain, tangan Dina meremas-remas bahu Hendra. Tanpa sadar dia juga
mencakar-cakar. Dina benar-benar terlihat ‘haus’ saat itu. Sampai dia berteriak
panjang, penuh kepuasan. Disusul kemudian oleh Hendra. “AAAKKKHHH...!!!”
Hendra
memenuhi liang kewanitaan Dina, dengan sperma miliknya. Disemprot dengan
kencang sampai tetes terakhir. Dina sendiri terlihat ikut menikmati sensasi
tersebut. Kehangatan menjalar di setiap syaraf kemaluannya.
Selepas
melepaskan gairah dengan begitu dasyatnya, keduanya tumbang. Tergolek lemas,
dalam kondisi saling memeluk. Mereka berdua tertidur dengan lelapnya.
***
Matahari
sudah cukup tinggi, saat Hendra membuka matanya. Perlahan baru dia menyadari
kalau tidak ada di kamarnya sendiri. Ditambah dia bangun dalam kondisi
telanjang. Sedang mengingat-ingat apa yang telah terjadi, pintu kamar terbuka. Ingatan
semalam langsung menyeruak, ketika Hendra melihat sosok Dina.
“Hei tukang tidur...” Sapa Dina. Terlihat
Dina terbalut pakaian ketat untuk senam.
“Dari
mana lu?”
“Fitnes ama Indri.”
DUEER!!
Mendengar nama Indri, Hendra jadi panik. Segera dia mencari-cari jeans yang dipakai
semalam, lalu mengambil ponsel dari sakunya. Sepuluh misscall, lima pesan masuk.
“Tenang.
Tadi udah gue bilang ke Indri, kalo semalem lu ama gue lanjut minum, jadi
palingan lu masih tepar.”
“Semalem kita...?”
Ucapan Hendra tersekat. Sepertinya dia bingung memilih kata yang tepat.
Dina
berbalik sambil membawa dua buah piring. “Ngewe? Iya, semalem kita ngewe.” Lalu
dia duduk di lantai yang berlapis karpet.
“Lu
cerita juga soal itu ke Indri?”
“Nggaklah.
Gila aja gue cerita gituan ke pacar lu,” sahut Dina dengan santainya. “Turun
gih, kita sarapan dulu, nih gue beli bubur ayam.”
Dengan
ragu Hendra turun dari ranjang. Dia sambar boxer
dan jeans, lalu memakainya.
Begitu dia ikut duduk bersila, Dina menyodorinya piring. Mereka pun mulai
makan. Sebenarnya Hendra ingin membahas soal kemarin, hanya saja mulutnya
seperti tersekat. Selain itu, Dina juga terlihat tidak ambil pusing dengan
kejadian semalam. Itu kian membuat Hendra ragu.
“Oya,
semalem elu ngeluarin pejuh di dalem kan? Kalo bulan depan gue nggak mens, gue minta tanggung jawab lu
yah...” Celetuk Dina selesai mereka makan, sambil merapikan piring. Masih
dengan nada yang datar.
Tanpa
menunggu jawaban Hendra, Dina beranjak berdiri. Lanjut kemudian dia mencuci
piring dan gelas. Sementara Hendra masih mematung. Bingung harus berkomentar
apa.
***
Selepas
hari itu, hubungan Indri, Hendra, dan Dina, berjalan normal. Seperti tidak
pernah terjadi apa-apa. Diawal-awal Hendra sempat kikuk, setiap kali mereka
bertiga hang out bareng. Namun,
karena Dina tetap bersikap biasa saja, berlahan Hendra kembali tenang. Termasuk
dikala bulan berikutnya, Indri sempat bilang kalo Dina lagi menstruasi. Hendra
pun semakin lega. Lagi pula, Dina sudah dapat pacar baru. Kali ini cowok lokal,
tapi bawaannya BMW. Memang pintar dia cari pacar.
“Makasi
ya Din, elu tetep mau bertemen ama gue, setelah apa yang gue lakuin malem itu.”
Hendra menyeletuk,
ketika pada satu kesempatan dia berdua saja dengan Dina. Kala itu ada Indri
juga sih, cuma dia lagi mengurus pembagian konsumsi. Hendra datang sewaktu
Fakultas Indri dan Dina, mengadakan acara kerja sosial, dalam rangka penerimaan
mahasiswa baru. Hendra diminta Indri untuk ikut membantu transportasi.
“Serius
lu mau ngebahas kejadian malam itu lagi?” Dina nyengir.
“Nggak
juga sih. Cuma gue tetep aja ngerasa bersalah ke elu.”
Kali ini
Dina tersenyum kecil. “Gini deh Dra. Buat elu catet aja ya, kejadian itu nggak
bakalan terjadi, kalo gue nggak mau kejadian itu sampai terjadi...”
“Ma-maksud
lu?” Hendra tergagap.
“Dasar
cowok. Peka dikit napa. Maksudnya, gue itu pada dasarnya emang mau diewe ama
elu.”
Kembali
Hendra tergagap. “Se-serius lu?” Seakan tidak percaya dengan jawaban Dina.
“Elu
taulah kalo gue doyan gonta-ganti cowok, cuman milih temen ngewe gue tu selektif.
Nggak sembarang kontol bisa masuk ke meki gue. So, mustinya lu bangga ama diri lu, bukannya malah ngerasa
bersalah…” Dina terkekeh. “Lagian lu kira malem itu gue mabok? Elu doang kale
yang mabok.” Ditambahkannya pula soal pil KB, yang baru dia buka sekarang.
Sengaja katanya biar bikin aku sebulan deg-degan.
Hendra
kagum dengan keterus-terangan Dina, sekaligus kesal. “Terus kenapa musti gue?”
“Elu
baik, terus Indri bilang lu jago ngewe. Ya udah...”
“Gitu
doang?” Hendra tercengang. Dia pikir akan mendapat jawaban yang lebih ‘rumit’.
Dina
mengangguk santai. “Oya, selain gue juga tahu kalo lu dari dulu nafsu ke gue.”
Ditembak
langsung seperti itu, Hendra tidak kuasa mengelak. Itu memang fakta.
“Seandainya
nih Din, seandainya gue ngajakin lu ngewe lagi. Elu mau nggak?”
“Mikir
deh Dra. Setelah blak-blakan gini ke
elu, terus gue ngewe lagi ama elu, yang masih pacar dari sohib gue. Kira-kira gimana
perasaan Indri? Lu sebenernya sayang ama Indri nggak sih?”
Kali ini
Hendra kena skak-ster. Masuk akal banget kata-kata Dina tadi. Dia pun langsung
minta maaf, yang dibalas Dina dengan senyuman.
Percakapan
itu berakhir, ketika Indri datang. Soal malam itu pun tidak pernah terungkit
lagi, baik oleh Hendra maupun Dina. Paling tidak sampai hubungan Hendra dan
Indri, kembali berakhir.
***
Singkat
cerita, hampir satu tahun sudah Hendra men-jomblo.
Belum ada gadis yang membuatnya tertarik. Ada sih sebenarnya. Dita, mantan
pertamanya Hendra. Cuma yah gitu,
Dita belum juga kunjung mau diajakin balikan. Memang salahnya Hendra juga sih, yang
nyakitin hati Dita cukup dalam.
Buat mengisi
kekosongan diri, malam itu Hendra pergi nonton konser. Keki juga sih dia datang
sendirian, tapi gimana lagi. Kagetlah dia saat seorang gadis menepuk bahunya.
“Eh Dra, gue tau lu pasti dateng. Ini kan band favorit elu.”
Hendra
tertawa kecil. Ternyata gadis itu Dina. Dia datang bersama teman-temannya. Tidak
lama, mereka berdua sudah larut dalam alunan musik. Mulai dari band pembuka,
sampai band utama. Selama konser, Dina ditempel terus oleh Hendra. Dina pun
tidak nampak keberatan. Hari masih belum begitu larut, ketika konser berakhir.
“Lu
pulang sama siapa?”
“Sama
temen-temen.”
“Gue aja
yang nganter lu gimana? Kita nongkrong bentarlah dulu, masih belum malem-malem
banget kan ini?”
Tersenyum
Dina mendengarnya. Ajakan Hendra tersebut diterimanya. Setengah jam perjalanan
naik mobil, mereka tiba di sebuah cafe.
“Tumben nih
elu nggak pesen yang ‘keras-keras’,” Hendra nyengir. Menyindir Dina yang hanya
memesan juice.
Dina
terbahak. “Gue lagi nyoba insyaf. Ngerokok aja gue udah nggak lagi.”
Hendra
berdecak kagum. “Bentar lagi gue bakal ngeliat Dina yang pake baju gamis nih
jangan-jangan?”
Tawa Dina
semakin pecah. Langsung saja pernyataan Hendra itu dibantahnya. Kalau stop minum
alkohol sama ngerokok, semata-mata buat kesehatan, begitu kata Dina. Namun,
bukan berarti dia lepas dari ‘keduniawian’, tambah Dina lagi. Obrolan lanjut
mengalir dengan lancar. Banyak cerita-cerita baru yang bisa mereka bagi.
Membahas hal lama pun mereka lakukan, termasuk soal Indri. Ternyata Indri sudah
lulus, dan kini ada di luar kota bersama tunangannya. Sudah lama memang Hendra
tidak kontak dengan mantannya itu. Dulu kan belum ada sosial media, yang
memudahkan stalking mantan.
“Udah
berapa lama dong elu nggak ngerasain meki?” Bukan pertanyaan yang mengagetkan.
Mengingat gaya Dina yang memang blak-blakan.
“Enam
bulan lebih. Terus elu sendiri, u-udah berapa lama?”
“Kontol
terakhir gue ya kontolnya elu.”
Kaget
Hendra mendengarnya. “Lah, terus
cowok lu si BMW itu gimana?”
“Ah, dia mah nggak nafsuin...”
Mereka
berdua terkekeh. Lalu, tawa Hendra tersekat ketika tanpa diduga Dina nyeletuk.
“Ngewe yuk, Dra.”
Mana ada sih kucing nolak disodori ikan. Tanpa ba-bi-bu, keduanya langsung balik ke parkiran.
Melaju kencang mobil Hendra, menuju ke sebuah hotel. Begitu sampai di kamar, Hendra
dan Dina langsung saling pagut. Langsung memanas. Berkali-kali tubuh mereka
terpentok dinding, sewaktu saling menelanjangi. Keduanya sempat terjerembab ke lantai,
ketika Hendra kesulitan menarik lepas jeans ketat Dina. Tertawa geli mereka
bersamaan.
Menyisakan
hanya pakaian dalam, keduanya bergumul di lantai. Bibir dan lidah mereka terus
saja beradu. Proses foreplay mereka
lewati. Birahi sudah terlanjur ada di ubun-ubun. Terlihat sekali kalau mereka ingin
bergegas menyatukan kelamin. Tidak peduli kalau itu terjadi bukan di atas
ranjang.
“Aaahhh,
aaahhh, aaahhh...”
“AAAHHH,
AAAHHH, AAAHHH...”
Desahan
dan lenguhan makin nyaring terdengar. Dengan posisi kelamin masih menyatu,
Hendra membopong tubuh Dina ke ranjang. Mudah baginya karena tubuh Dina mungil,
namun begitu padat dan sintal. Akhirnya, Hendra bisa menikmati jepitan Dina
dengan nyaman. Dengan sadar, tanpa pengaruh alkohol. Dina rupanya tipe wanita
perawat bulu vagina. Tidak gundul, tapi tidak pula selebat milik Indri. Soal
jepitan sih keduanya sebanding.
Persetubuhan
pertama malam itu berlangsung relatif singkat. Tidak mengherankan, kalau
melihat birahi keduanya yang begitu memuncak. Pertubuhan ditutup dengan saling
membelai.
Hanya
berselang setengah jam, Hendra dan Dina kembali terbakar birahi. Hanya saja,
kali ini mereka sempat melakukan foreplay.
Pada kesempatan ini, Hendra sempat memperhatikan setiap jengkal tubuh Dina.
Begitu mulus, dengan kulit hitam manis. Ada bekas lecet di betis, tapi siapa yang
sempat peduli dengan itu. Selain itu, semuanya sempurna. Termasuk wangi aroma vagina
Dina, saat lidah Hendra menari-nari disana. Begitu pula kedua payudara Dina,
yang tidak besar, tetapi sekal mempesona.
Sempat
pula, Hendra merasakan sensasi kuluman Dina pada penisnya. Soal sepong-menyepong
Dina sih sudah pro. Sangat wajar, mengingat pengalamannya dengan beragam model
penis.
Akhirnya
penis Hendra kembali ‘menusuk’ Dina. Disela tusukan, iseng Hendra bertanya, “Elu
udah pernah ama bule, kontol gue ini nggak kekecilan buat lu, Din?”
“Lu
nyindir kalo meki gue longgar ya?”
Suasana
jadi berubah canggung. Melihat Dina merengut, Hendra langsung berhenti
menggenjot.
“Bu-bukan
gitu maksud gue...”
Sedetik
kemudian, Dina malah terbahak. “Liat deh muka lu Dra, lucu banget...”
Ternyata
lagi-lagi Dina mengerjai Hendra. Bukan Dina namanya, kalau sampai nggak pede sama jepitan vagina sendiri. Sadar
kalau sedang dikerjai, Hendra ikut terbahak. Dia gelitiki pinggang Dina, saking
gemasnya. Dina kian terbahak, sambil bergelinjang. Penis Hendra sampai tercabut
karenanya. Berselang beberapa saat, keduanya kemudian saling menatap mesra.
Kembali mereka berciuman. Penis Hendra pun kembali tertusuk dengan mantapnya.
“Aaahhh,
aaahhh, aaahhh...”
“Aaahhh,
aaahhh, aaahhh...”
“Mau
dikeluarin dimana sekarang?” Tanya Hendra, menjelang akhir permainan.
“Terserah
lu. Tanggung jawab aja sama konsekuensinya.”
Dan
sperma Hendra pun tumpah di rahim Dina. Setiap tetesnya, tidak ada yang
tersisa.
“Serius?
Lu mau bikin gue bunting?” Dina tersenyum, masih ada di tindihan Hendra.
Hendra
balas tersenyum, lalu mengangguk.
Keduanya
berciuman lagi. Memadu birahi kembali mereka lanjutkan, sampai pagi menjelang.
***
Hari-hari
berikutnya, Dina seperti menghilang begitu saja. Tidak ada kabar beritanya. Menyesal
Hendra malam itu lupa minta nomor baru Dina. Tapi begitulah Dina. Dia memang
susah untuk ‘diikat’ dalam sebuah hubungan. Malam itu, nyeletuk Hendra minta Dina untuk jadi pacarnya. Dengan dasar pikiran,
Dina mengijinkan Hendra keluar di dalam. Tetapi, Dina hanya tersenyum simpul. “Udah,
kita nikmati aja malem ini,” hanya itu jawaban gadis cantik itu.
Ketika
Hendra sudah pasrah, tiba-tiba saja Dina muncul di depan pintu kosannya. Tepat
sebulan setelah malam terakhir mereka bersama. Malam pun sudah cukup larut
ketika itu.
“Gue mau
ikut sama kenalan gue ke Perancis.” Hanya itu penjelasan dia. Entah yang
dimaksud Dina dengan ‘kenalan’ itu. Teman, pacar, atau teman tapi mesra?
Mau tidak
mau, Hendra hanya bisa mengikhlaskan. Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang
bisa mengikat Dina, kecuali atas kemauannya sendiri.
“Terus lu
kesini cuma buat pamitan aja?”
“Nggak.
Sebelum pergi, gue pengen diewe sekali lagi ama lu.” Ciri khas Dina banget. Langsung ke poinnya, tanpa pakai
embel-embel. “Itu juga kalo lu mau,
kalo nggak ya...”
Kalimat
Dina terputus, begitu bibir Hendra mendarat di bibirnya. Sedetik kemudian, tubuh
sintal mendarat mulus di ranjang. Malam itu Hendra menyetubuhi Dina, seperti tak
akan ada lagi hari esok. Panas, dan penuh gairah.
Dan benar
saja, hari-hari berikutnya tak ada lagi Dina di hidup Hendra. Sampai undangan
resepsi tersebut datang...
***
“Mama
pengen ketemu sama Dina,” ucapku begitu cerita suami selesai.
“Buat apa
sih Ma?”
“Pengen
tau aja, rupa saingannya mama kayak apa...”
Suamiku
tersenyum lagi. Dia daratkan kecupan mesra di dahiku. “Mama, mama itu nggak
punya saingan, mama itu satu-satunya di hati papa.”
“Pokoknya
mama mau ketemu Dina. Titik.”
“Ya udah,
terserah mama deh.” Suamiku pasrah.
“Good. Sekarang mama tunggu di kamar, nggak
ada lagi alasan capek kayak kemarin.”
Aku
beranjak dari kursi, dan melangkah menuju kamar tidur. Sampai di depan pintu, eh aku lihat suami masih berusaha
mematikan laptop. “SEKARAAANG !!”
“I-iya,
iya...”
Suami langsung
tergopoh-gopoh menyusul langkahku.
.
Tumben updatenya cuma satu :p
BalasHapusUpdatenya Selalu aja bikin panas dingin. Good job sist
BalasHapusKira2 mungkin ga ya Dita kena Gangbang?
BalasHapusBayanginya aja bikin ngaceng. Hehehe
Blm ada update lg nih?
BalasHapusGood story..
BalasHapus