Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Hari
Sabtu itu si kecil nampak bersemangat. Mondar-mandir dia sedari pagi, menyiapkan
segala sesuatu untuk liburan. Dia juga sudah membangunkan aku pagi-pagi sekali.
Tersenyum-senyum aku melihat tingkahnya. Ayah mertua akan mengajak kami ke
sebuah waterpark. Kebetulan dia dapat
kupon gratis untuk lima orang. Sudah kami rencanakan seminggu yang lalu.
Sayangnya,
suamiku mendadak harus bekerja. Salah satu klien menelpon kemarin malam. Minta
untuk ditemani main golf. Mau tidak mau dia harus menyetujuinya. Maklum
melibatkan proyek besar. Begitu pula dengan ibu mertua. Mendadak musti keluar
kota, ikut dengan rombongan ibu-ibu arisan. Mengingat dia koordinator, maka
suka tidak suka musti ikut. Tersisalah ayah mertua, aku dan si kecil. Awalnya
ingin aku undur, tapi melihat si kecil begitu antusias, rencana akhirnya dilanjutkan.
“Baju
ganti udah?”
“Udah.”
“Alat
mandi udah?”
“Udaahh
Ma...” Wajah anakku terlihat kesal, ditanya-tanya terus. Aku tersenyum.
Tadi
anakku minta menyiapkan sendiri perlengkapan dia. Katanya, sudah besar malu
kalau terus diurus sama mama. Bagus sih, tapi kan tetap aku khawatir ada yang
ketinggalan. Akhirnya aku mengalah. Aku anggap saja semuanya sudah lengkap.
Saat kami
berdua keluar kamar, suamiku sudah menunggu di meja makan. Kebetulan lapangan
golf dekat dengan kediaman ayah mertua. Nanti suami akan ngantar sampai di sana, kemudian berangkat ke lokasi naik mobil
mertua. Suami memperkirakan acara dia tidak bakal lama. Malah mungkin bisa nyusul
ke waterpark belakangan. Kalau tidak,
ya di jemput di rumah mertua lagi.
“Berangkat
sekarang yuk Pa.” Si kecil menyeletuk.
“Eh, sarapannya di habisin
dulu.”
“Mama
cerewet deh. Ini udah habis. Aaaa...”
Si kecil
membuka mulutnya, membuktikan kalau makanan yang dikunyah sudah habis. Makanan
di piring pun sudah habis. Lagi aku tersenyum. Kalau sudah ada maunya, pasti
anakku mau serba cepat. Terpaksa aku dan suami mempercepat kunyahan.
Mobil
melaju dengan kecepatan sedang. Sedari tadi anakku chat dengan mertua. Memastikan kalau tidak ada yang kurang. Lagi-lagi
aku hanya tersenyum melihatnya. Satu jam akhirnya kami sampai. Basa-basi
sebentar, suami langsung berangkat lagi, agar tidak terlambat.
“Udah
makan Dek? Makan di sini dulu yuk?”
“Udah
Kek. Berangkat sekarang aja, Kek. Makannya nanti siang aja lagi,” sahut si
kecil, dalam gendongan ayah mertua.
Kami lalu
masuk ke mobil. Aku duduk di belakang, sementara si kecil di depan. Kembali di
jalan kami habiskan sekitar satu jam-an. Mungkin karena hari libur, suasana
sangatlah ramai. Berputar dua kali baru kami dapat parkir. Di konter tiket pun
kami menunggu sekitar dua puluh menit-an. Beruntung, di dalam masih tersisa dua
gazebo buat di sewa. Si kecil
langsung melepas kaosnya, setelah aku sewakan pelampung. Begitu pula dengan
ayah mertua. Baru kali itu kulihat tubuh atas ayah mertua, tanpa baju. Ternyata
masih sangat bagus, untuk ukuran pria seumuran dirinya. Termasuk bagian
bawahnya, yang kini hanya tertutup celana pendek ketat. Menggunduk, tanda kalau
apa yang ada dibaliknya berukuran diatas rata-rata. Ketika ayah mertua melirik,
buru-buru aku alihin pandangan. Takut
kepergok menatapi dadanya yang bidang.
Setelah
itu, keduanya masuk ke air. Aku bilang akan nyusul belakangan. Melihat kolam
renang lumayan penuh, aku rada ragu kalau musti ikut nyebur. Selain itu, risih rasanya basah-basahan di depan ayah
mertua. Tahu akibatnya kalau sampai kaosku basah. Dada bakal nyemplak, meski itu akan sedikit tersamarkan
oleh bikini. Untuk menyibukkan diri, aku pesan juice dan camilan.
Beberapa
kali si kecil melambai ke arahku. “Mama sini Ma, ikutan renang...”
Terpaksa
aku beranjak, setelah diminta anakku berkali-kali. Kubuka celana pendek,
menyisakan celana ketat warna gelap. Baju kaos tidak aku buka. Kalau ada suami mungkin
tidak masalah berseksi ria, namun tidak dengan mertua. Turun lalu aku ke kolam,
bergabung dengan mereka.
Lama berendam
dan berenang-renang kecil, aku diajak si kecil mencoba permainan. Dari mulai seluncuran
lurus, sampai yang berlekok-lekok. Aku bersama anakku pakai ban pelampung dobel.
Sementara ayah mertua pakai ban sendiri. Beberapa kali aku berteriak takut,
yang disambut tawa oleh si kecil. “Ih Mama kayak anak kecil...” Mertua juga jadi
ikut tersenyum kecil.
Malu sih
sebenarnya, tapi beneran loh nyeremin.
Sumpah. Itu belum lagi seluncuran yang paling tinggi. Miringnya yang curam bikin
bulu kuduk merinding. Dipaksa lagi sama si kecil, akhirnya aku mau mencoba.
Bersiap-siap
aku di ujung seluncuran. Si kecil dan ayah mertua sudah meluncur duluan.
Kulihat mereka sudah sampai, dan melambai ke arahku. Masih aku ragu. Setelah
menarik nafas panjang, aku mulai meluncur. Ban pelampung melaju lebih kencang
dari sebelumnya, begitu pula dengan teriakanku. Aku pejamkan mata, tahu-tahu
muncratan air menabrak tubuhku. Terpental aku dari ban. Karena panik, tubuhku bergerak
turun. Celakanya, dasar kolam ternyata cukup dalam. Kaki tak kunjung kutemui tempat
berpijak. Berusaha aku tetap mengapung, tapi terus gagal. Beberapa kali pula air
kolam tertelan.
Masih
terus meronta, aku merasa ada yang menyambar. Tubuhku berhasil mengapung dan
pelan-pelan tergiring ke pinggiran kolam. Aku kembali tenang. Rupanya ayah
mertua yang membantu tadi. Dia tersenyum ke arahku. “Kamu nggak apa-apa?”
Aku
mengangguk. Mulai bisa mengatur nafas, saat itu baru kami sadar posisi kami. Ayah
mertua lagi memeluk aku dari belakang. Dengan telapak tangan kanan tepat di
payudara kiriku.
“Maaf,
maaf Dit.” Ayah mertua secara refleks menarik tangannya.
Ayah
mertua tersipu, begitu pun diriku. Guna menghindari suasana kikuk, ayah mertua
langsung berenang menjauh. Ganti si kecil yang mendekat. Beruntung kejadian itu
luput dari anakku.
“Mama mau
udahan. Udahan sekarang nggak apa-apa kok.”
Aku
menggeleng. Sepertinya anakku masih belum puas bermain. Dia sodorkan ban
pelampung padaku. Bersama-sama kemudian kami berenang ke tengah kolam.
Mendekati ayah mertua.
“Maaf ya
Dit, ayah nggak bermaksud...”
Langsung
kupotong kata-kata mertuaku. “Nggak apa-apa kok Yah. Malah Dita yang harus
bilang makasi.” Mengingat tangan mertua mendarat di payudaraku, pastilah bukan
kesengajaan.
Sepertinya
ayah mertua kembali lega. Kekikukan di wajahnya pun sirna. Dalam hati aku
tertawa dalam hati. Ekspresi kikuk ayah mertua sama persis seperti suamiku. Biasanya
akan makin aku ‘kerjai’ suami, kalau
dia sudah seperti itu. Ada sebersit keinginan untuk mengetes ayah mertua juga.
Kusilakan si kecil kembali bermain. Sementara aku tinggal bersama mertua,
mengawasi dia dari kejauhan.
“Kamu
nggak bisa berenang?”
“Bisa sih
Yah. Cuma panikan kalo airnya dalem.” Aku tersenyum kecil. “Renang gaya
punggung doang yang nggak bisa, kecuali pake pelampung.”
“Itu mah
gampang.”
“Ajarin
dong Yah...”
Entah
kenapa kata-kata itu terlontar dari mulutku. Padahal itu berarti mengijinkan
ayah mertua untuk menyentuhku lagi. Mungkin karena dorongan insting ‘genit’ sebagai
wanita. Bagaimana pun mertuaku itu lelaki yang menarik, dengan daya tarik
seksual tinggi. Sekaligus ada rasa ingin tahu, bagaimana dirinya merespon
godaan. Seperti kusangka, dia tidak menolak ajakanku.
Pelajaran
berenang pun di mulai. Ayah mertua minta aku rebahan, sementara dia sangga
tubuhku dengan dua tangan. Aku ingatkan, kalau aku tidak seringan yang terlihat.
“Ah, kamu mungil gini masaan berat
sih,” jawabnya sambil tertawa. Pelan-pelan aku mulai rebahan, sesuai instruksi
dari mertua. Berbaring aku dengan santai.
Sambil menyangga
tubuhku, ayah mertua terus memberi instruksi. Bagaimana posisi tubuh harus
lurus. Bagaimana cara menggerakkan kaki. Bagaimana gerakan tangan. Entah
bagaimana orang-orang di sekitar memandang kami. Sepertinya mereka tidak akan
menyangka, kalau kami adalah mertua dan menantu. Apalagi sesekali kami melempar
senyum. Tertawa santai.
“Tarik
nafasnya pelan-pelan aja.”
Lagi aku
tersenyum, dan mengangguk. Padahal hal itu aku lakukan dengan sengaja. Agar
dada jadi terlihat lebih membusung. Cukup berhasil mengundang ekor mata ayah
mertua melirik. Hari itu aku benar-benar bermain api, dengan mertua sendiri.
Di tengah
dekatnya tubuh kami, terasa keintiman dari cara ayah mertuaku memandang. Terlihat
sekali adanya keinginan untuk berbuat lebih. Pakaian yang basah bisa saja jadi
pemicu. Mungkin kesadaran akan hubungan kami saja, yang bikin ayah mertua nahan
diri. Aku sendiri menikmati ada dalam ‘gendongan’ mertua. Tapi, aku tetap sadar
musti segera menyudahi momen ini. Guna mencegah terjadinya hal yang
tidak-tidak.
“Yah,
Dita mau pipis dulu.”
Ayah
mertua menurunkan tubuhku. Melangkah aku menuju tangga. Celakanya, baru saja naik
dua tangga kakiku slip. Terjatuh lagi
aku ke air. Aku meringis. Terasa nyeri di telapak kaki kiri. Aduh, kenapa sih hari ini? Kok kena sial
mulu sih, runtuk aku dalam hati. Melihat itu mertua bergegas mendekat. Dia
bantu aku menaiki tangga lagi.
Saat melangkah
barulah aku sadar, kalau kaki kiriku sedikit terkilir. Terpaksa aku duduk di
tepi kolam. Terlalu sakit untuk lanjut berjalan. Dengan sigap ayah mertua
menawarkan diri memijat. Dia urut-urut urat kaki yang terkilir. Awalnya sakit
hingga aku meringis, tapi lama-lama rasanya mendingan. Kemudian aku dipapah
menuju gazebo. Ayah mertua lalu
memanggil si kecil untuk mendekat. Mengajak sejenak beristihat makan siang.
“Masih
sakit Dit?” Aku menggeleng. “Nanti di rumah ayah pijitin lagi deh pakai minyak
urut.” Lanjutnya lagi. Kujawab dengan anggukan.
Selesai makan,
si kecil minta berenang lagi. Ayah mertua terpaksa menuruti, meninggalkan aku
di gazebo sendirian. Aku pun tidak
keberatan. Kesempatan itu aku pakai nelpon suami. Ternyata kegiatan dia belum
selesai. Jadi dia tidak bisa bergabung, dan akan menjemput kami di rumah
mertua. Aku bilang tidak apa-apa. Tidak aku sampaikan kejadian aku terkilir.
Takut suami nanti kepikiran.
Sekitar satu
jam, barulah si kecil dan ayah mertua naik dari kolam. Beranjak kemudian kami
dari gazebo untuk membilas diri. Meski
sudah tidak terasa sakit, tetapi jalanku masih sedikit tertatih. Dengan sigap anakku
ikut memapah. Mengantar aku ke ruang ganti wanita.
“Main boom-boom car dibatalin aja Ma. Mama kan
lagi sakit,” ucap anakku, begitu kami ada di mobil. Dewasa sekali anakku,
tersenyum aku dalam hati.
Akhirnya
kami merubah rencana awal. Kami langsung pulang, hanya sempat mampir ke toko
game online. Ayah mertua berjanji
mentraktir aplikasi game komputer baru. Kami juga mampir ke mini mart untuk membeli camilan. Itu pun
aku ditinggal terus di mobil.
Sampai di
rumah, si kecil langsung sibuk dengan tablet miliknya. Sedang ayah mertua
mengantar aku ke kamar untuk berbaring. Sesuai janji, dia memijat lagi kakiku.
Kali ini memakai minyak urut yang dia promosikan sangat mujarab. Aku kulum tawa,
mendengar gaya bicara yang bak tukang obat pasar malam. Ketika mulai mengurut,
harus aku akui ayah mertua sangat terampil. Lincah kedua tangannya memijati
telapak kaki sampai betis. Rasanya enak sekali. Urat-urat yang tadinya tegang,
kini terasa melemas.
“Udah
enakan?” Aku mengangguk.
“Kaki
yang kanan dipijitin juga dong, Yah. Biar sekalian gitu,” godaku padanya. Lagi-lagi
niatku menggoda mertua muncul.
Ayah
mertuaku tertawa. “Tapi bayarannya nambah loh, nggak cukup cuman donat.”
Ganti aku
yang tertawa mendengar godaan baliknya. Pijatan ayah mertua pun berpindah ke
betis kanan. Duh, rasanya nyaman sekali.
Sadar kalau aku menikmati, tanpa diminta pijatan mertua terus bergerak naik. Kini
dia memijati paha kanan dan kiri. Karena aku pakai celana pendek, jadi mudah
saja dilakukan. Pegal gegara sehari-hari pakai high heels mendadak sirna, entah ke mana.
“Pundaknya
mau dipijitin juga nggak sekalian? Gratis, mumpung masih promosi.” Tawar ayah
mertua, sambil tertawa.
Balas dia
menggodaku. Pasti dia menunggu responku seperti apa. Memang pandai nih
mertuaku.
Aku ikut
tertawa. “Mau dong, Yah.”
Ayah
mertua minta aku ganti posisi jadi telungkup. Aku turuti. Mulailah kemudian
terasa pijitan pelan, dimulai dari leher turun ke pundak. Duh, lagi-lagi rasa nyaman menyelimuti diriku. Sekali dua kali
pijatan itu pindah ke punggung dan pinggang.
Keintiman
yang tadi kami alami di kolam, kembali terasa. Kini bisa aku rasakan itu dari setiap
sentuhan mertua. Sengaja kubiarkan tangannya bergerak sebebas mungkin. Termasuk
menyentuh bagian-bagian yang menimbulkan sensasi geli. Bisa saja sih aku
menolak, namun dalam diri aku ingin terus merasakan sentuhannya. Lagi-lagi
mungkin karena pengaruh insting ‘genit’, sekaligus rasa penasaran.
“Kalau
bajunya dibuka pijatannya bisa lebih terasa loh,” bisik ayah mertua.
Duh ini dia momen penentuan, bisikan setan dalam batinku. Apakah aku mau terus bermain api, atau
tidak. Kini api itu sudah memanas. Dan bisa saja terus membesar kalau aku
biarkan.
Entah
kenapa aku mengangguk. Mungkin ayah mertuaku memang punya ‘daya magis’. Mungkin pula karena pengaruh pijatan. Atau mungkin aku
saja lagi binal. Entahlah. Aku seperti tersihir.
Dengan
mudah dia melolosi kaos yang aku pakai. Menyisakan hanya bra di sana. Dalam
pikiran, toh posisi lagi telungkup, jadi
payudara aman dari terlihat. Pasrah aku menerima pijatan lanjutan dari mertua. Sumpah, rasanya enak banget. Seakan dia
tahu benar titik-titik mana yang musti disentuh. Titik mana yang bisa memberi kenikmatan.
Lagi ayah mertua berbisik. Kali ini minta aku pejamkan mata. Dan lagi aku
menurut. Melayang aku dalam kenikmatan.
Sedang
melayang-layang, di antara sadar dan tidak, aku merasakan kecupan di pundak. Seiring
tali bra yang melorot turun. Kecupan mendarat pula di punggung. Terasa pijatan bergerak
ke pinggiran payudara. Begitu pula di bawah pinggang, mendekati pantat. Semuanya
seperti mimpi. Tidak kuasa aku didera rasa nikmat. Dalam keadaan biasa mungkin itu
bisa dianggap pelecehan. Tetapi tidak saat itu, yang bisa dianggap tidak ‘biasa’.
Aku ingin kenikmatan itu terus melanda. Sampai-sampai kugigit pinggiran bibir. Aku
ketagihan, aku seperti terhipnotis.
“Desah
aja, nggak usah ditahan-tahan.” Terdengar lagi bisikan.
Dan desahan
itu pun meluncur dari mulut. “Sshhh, sshhh, aahhh, aahhh...”
Aku terus
melayang dan melayang, dalam buaian birahi. Nikmatnya ‘bermain api’.
Kenikmatan
itu terpecah, saat terdengar suara klakson mobil. Mataku langsung terbuka. Kaget
luar biasa, saat kudapati wajah mertua sudah begitu dekat dengan wajahku. Sedikit
lagi mungkin bibir kami bertemu. Kurasakan pula berat tubuh mertua di atas
tubuhku. Itu berarti saat ini dia sedang menindih aku.
“A-AYAH...”
Aku sedikit berteriak.
Mertua
terlihat ikut terkaget. Mungkin dia tidak menyadari kalau mataku terbuka. Sepertinya
dia juga sedang dilanda birahi. Bergegas dia angkat tubuhnya. Bergidik aku
dalam batin. Andai tidak dikagetkan klakson mobil suami, mungkin aku sudah
bercumbu dengan ayah mertua. Sesuatu yang terlarang untuk dilakukan. Klakson
berbunyi lagi. Sempat kami saling bertukar pandang, sebelum dia beranjak turun
dari ranjang. Memperbaiki posisi celana pendek, lalu keluar kamar.
Begitu sosok
ayah mertua menghilang, buru-buru aku ngecek
keadaan diri. Kembali aku dibikin kaget. Kudapati tali punggung bra sudah
terbuka. Celana pendek melorot sampai paha. Itu berarti tadi bagian bawah kami
bergesekan, dengan hanya dibatasi celana dalam. Kembali aku bergidik, saat
kudapati kain mungil itu basah. Tepat di bagian vital. Itu berarti tadi aku
sempat terangsang. Buru-buru aku merapikan pakaian. Takut suami melihat
kondisiku seperti ini. Saat kupatut diri di cermin, terlihat wajahku memerah.
Aku benar-benar habis dilanda birahi.
Keluar
dari kamar, kulihat suami sedang berbincang dengan ayah mertua. Aku dan mertua
sama-sama menahan kekikukan. Menghindari terjadi tatapan mata. Beruntung, sepertinya
suami tidak menyadari hal itu. Ketika suamiku mendekati si kecil, kesempatan
itu dipakai ayah mertua untuk berbicara padaku.
“Dit,
tadi itu...”
“Jangan
dibahas sekarang ya, Yah. Nantian saja.” Langsung aku potong perkataan dia.
Bukannya bermaksud kurang sopan. Hanya aku perlu mencerna kejadian tadi, dalam
kondisi lebih tenang.
Ayah
mertuaku mengangguk. Sepertinya dia bisa mengerti.
Belum
selesai kekikukan kami, mobil ibu mertuaku datang. Aduh, itu berarti aku akan tertahan di sini sampai makan malam. Dan
benar saja. Ibu mertua datang membawa banyak bahan makanan. Dia minta aku bantu
memasak. Terpaksa aku iyakan. Untungnya, selama sisa hari aku dan ayah mertua
bisa menguasai diri. Tidak lagi kami bahas kejadian itu. Mengobrol seperti
biasa, sampai aku dan suami berpamitan pulang.
Di jalan
aku terima pesan singkat dari ayah mertua. Lewat chat kami sepakat untuk melupakan kejadian itu. Meski jujur,
sensasi yang timbul akan sulit aku lupakan. Mengingatnya saja bikin di antara
paha cenut-cenut. Bukan hanya salah
ayah mertua. Aku pun punya andil kesalahan yang sama. Beruntung sang waktu,
mencegah ‘main api’ itu tidak berujung penyesalan.
“Siapa
Ma?” Suami dibalik kemudi, bertanya dengan siapa aku berkirim chat.
“Dari klien,”
sahutku singkat.
Segera
aku hapus chat itu. Biarlah kejadian
itu tetap menjadi rahasia.
.
Tumben updatenya cuma satu :p
BalasHapusIs it real? baru nemu akun di twitter trus liat2 ini.
BalasHapus