Sabtu, 23 Juni 2018

Bermain Api


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Hari Sabtu itu si kecil nampak bersemangat. Mondar-mandir dia sedari pagi, menyiapkan segala sesuatu untuk liburan. Dia juga sudah membangunkan aku pagi-pagi sekali. Tersenyum-senyum aku melihat tingkahnya. Ayah mertua akan mengajak kami ke sebuah waterpark. Kebetulan dia dapat kupon gratis untuk lima orang. Sudah kami rencanakan seminggu yang lalu.
Sayangnya, suamiku mendadak harus bekerja. Salah satu klien menelpon kemarin malam. Minta untuk ditemani main golf. Mau tidak mau dia harus menyetujuinya. Maklum melibatkan proyek besar. Begitu pula dengan ibu mertua. Mendadak musti keluar kota, ikut dengan rombongan ibu-ibu arisan. Mengingat dia koordinator, maka suka tidak suka musti ikut. Tersisalah ayah mertua, aku dan si kecil. Awalnya ingin aku undur, tapi melihat si kecil begitu antusias, rencana akhirnya dilanjutkan.
“Baju ganti udah?”
“Udah.”
“Alat mandi udah?”
“Udaahh Ma...” Wajah anakku terlihat kesal, ditanya-tanya terus. Aku tersenyum.
Tadi anakku minta menyiapkan sendiri perlengkapan dia. Katanya, sudah besar malu kalau terus diurus sama mama. Bagus sih, tapi kan tetap aku khawatir ada yang ketinggalan. Akhirnya aku mengalah. Aku anggap saja semuanya sudah lengkap.
Saat kami berdua keluar kamar, suamiku sudah menunggu di meja makan. Kebetulan lapangan golf dekat dengan kediaman ayah mertua. Nanti suami akan ngantar sampai di sana, kemudian berangkat ke lokasi naik mobil mertua. Suami memperkirakan acara dia tidak bakal lama. Malah mungkin bisa nyusul ke waterpark belakangan. Kalau tidak, ya di jemput di rumah mertua lagi.
“Berangkat sekarang yuk Pa.” Si kecil menyeletuk.
“Eh, sarapannya di habisin dulu.”
“Mama cerewet deh. Ini udah habis. Aaaa...”
Si kecil membuka mulutnya, membuktikan kalau makanan yang dikunyah sudah habis. Makanan di piring pun sudah habis. Lagi aku tersenyum. Kalau sudah ada maunya, pasti anakku mau serba cepat. Terpaksa aku dan suami mempercepat kunyahan.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sedari tadi anakku chat dengan mertua. Memastikan kalau tidak ada yang kurang. Lagi-lagi aku hanya tersenyum melihatnya. Satu jam akhirnya kami sampai. Basa-basi sebentar, suami langsung berangkat lagi, agar tidak terlambat.
“Udah makan Dek? Makan di sini dulu yuk?”
“Udah Kek. Berangkat sekarang aja, Kek. Makannya nanti siang aja lagi,” sahut si kecil, dalam gendongan ayah mertua.
Kami lalu masuk ke mobil. Aku duduk di belakang, sementara si kecil di depan. Kembali di jalan kami habiskan sekitar satu jam-an. Mungkin karena hari libur, suasana sangatlah ramai. Berputar dua kali baru kami dapat parkir. Di konter tiket pun kami menunggu sekitar dua puluh menit-an. Beruntung, di dalam masih tersisa dua gazebo buat di sewa. Si kecil langsung melepas kaosnya, setelah aku sewakan pelampung. Begitu pula dengan ayah mertua. Baru kali itu kulihat tubuh atas ayah mertua, tanpa baju. Ternyata masih sangat bagus, untuk ukuran pria seumuran dirinya. Termasuk bagian bawahnya, yang kini hanya tertutup celana pendek ketat. Menggunduk, tanda kalau apa yang ada dibaliknya berukuran diatas rata-rata. Ketika ayah mertua melirik, buru-buru aku alihin pandangan. Takut kepergok menatapi dadanya yang bidang.
Setelah itu, keduanya masuk ke air. Aku bilang akan nyusul belakangan. Melihat kolam renang lumayan penuh, aku rada ragu kalau musti ikut nyebur. Selain itu, risih rasanya basah-basahan di depan ayah mertua. Tahu akibatnya kalau sampai kaosku basah. Dada bakal nyemplak, meski itu akan sedikit tersamarkan oleh bikini. Untuk menyibukkan diri, aku pesan juice dan camilan.
Beberapa kali si kecil melambai ke arahku. “Mama sini Ma, ikutan renang...”
Terpaksa aku beranjak, setelah diminta anakku berkali-kali. Kubuka celana pendek, menyisakan celana ketat warna gelap. Baju kaos tidak aku buka. Kalau ada suami mungkin tidak masalah berseksi ria, namun tidak dengan mertua. Turun lalu aku ke kolam, bergabung dengan mereka.
Lama berendam dan berenang-renang kecil, aku diajak si kecil mencoba permainan. Dari mulai seluncuran lurus, sampai yang berlekok-lekok. Aku bersama anakku pakai ban pelampung dobel. Sementara ayah mertua pakai ban sendiri. Beberapa kali aku berteriak takut, yang disambut tawa oleh si kecil. “Ih Mama kayak anak kecil...” Mertua juga jadi ikut tersenyum kecil.
Malu sih sebenarnya, tapi beneran loh nyeremin. Sumpah. Itu belum lagi seluncuran yang paling tinggi. Miringnya yang curam bikin bulu kuduk merinding. Dipaksa lagi sama si kecil, akhirnya aku mau mencoba.
Bersiap-siap aku di ujung seluncuran. Si kecil dan ayah mertua sudah meluncur duluan. Kulihat mereka sudah sampai, dan melambai ke arahku. Masih aku ragu. Setelah menarik nafas panjang, aku mulai meluncur. Ban pelampung melaju lebih kencang dari sebelumnya, begitu pula dengan teriakanku. Aku pejamkan mata, tahu-tahu muncratan air menabrak tubuhku. Terpental aku dari ban. Karena panik, tubuhku bergerak turun. Celakanya, dasar kolam ternyata cukup dalam. Kaki tak kunjung kutemui tempat berpijak. Berusaha aku tetap mengapung, tapi terus gagal. Beberapa kali pula air kolam tertelan.
Masih terus meronta, aku merasa ada yang menyambar. Tubuhku berhasil mengapung dan pelan-pelan tergiring ke pinggiran kolam. Aku kembali tenang. Rupanya ayah mertua yang membantu tadi. Dia tersenyum ke arahku. “Kamu nggak apa-apa?”
Aku mengangguk. Mulai bisa mengatur nafas, saat itu baru kami sadar posisi kami. Ayah mertua lagi memeluk aku dari belakang. Dengan telapak tangan kanan tepat di payudara kiriku.
“Maaf, maaf Dit.” Ayah mertua secara refleks menarik tangannya.
Ayah mertua tersipu, begitu pun diriku. Guna menghindari suasana kikuk, ayah mertua langsung berenang menjauh. Ganti si kecil yang mendekat. Beruntung kejadian itu luput dari anakku.
“Mama mau udahan. Udahan sekarang nggak apa-apa kok.”
Aku menggeleng. Sepertinya anakku masih belum puas bermain. Dia sodorkan ban pelampung padaku. Bersama-sama kemudian kami berenang ke tengah kolam. Mendekati ayah mertua.
“Maaf ya Dit, ayah nggak bermaksud...”
Langsung kupotong kata-kata mertuaku. “Nggak apa-apa kok Yah. Malah Dita yang harus bilang makasi.” Mengingat tangan mertua mendarat di payudaraku, pastilah bukan kesengajaan.
Sepertinya ayah mertua kembali lega. Kekikukan di wajahnya pun sirna. Dalam hati aku tertawa dalam hati. Ekspresi kikuk ayah mertua sama persis seperti suamiku. Biasanya akan makin aku ‘kerjai’ suami, kalau dia sudah seperti itu. Ada sebersit keinginan untuk mengetes ayah mertua juga. Kusilakan si kecil kembali bermain. Sementara aku tinggal bersama mertua, mengawasi dia dari kejauhan.
“Kamu nggak bisa berenang?”
“Bisa sih Yah. Cuma panikan kalo airnya dalem.” Aku tersenyum kecil. “Renang gaya punggung doang yang nggak bisa, kecuali pake pelampung.”
“Itu mah gampang.”
“Ajarin dong Yah...”
Entah kenapa kata-kata itu terlontar dari mulutku. Padahal itu berarti mengijinkan ayah mertua untuk menyentuhku lagi. Mungkin karena dorongan insting ‘genit’ sebagai wanita. Bagaimana pun mertuaku itu lelaki yang menarik, dengan daya tarik seksual tinggi. Sekaligus ada rasa ingin tahu, bagaimana dirinya merespon godaan. Seperti kusangka, dia tidak menolak ajakanku.
Pelajaran berenang pun di mulai. Ayah mertua minta aku rebahan, sementara dia sangga tubuhku dengan dua tangan. Aku ingatkan, kalau aku tidak seringan yang terlihat. “Ah, kamu mungil gini masaan berat sih,” jawabnya sambil tertawa. Pelan-pelan aku mulai rebahan, sesuai instruksi dari mertua. Berbaring aku dengan santai.
Sambil menyangga tubuhku, ayah mertua terus memberi instruksi. Bagaimana posisi tubuh harus lurus. Bagaimana cara menggerakkan kaki. Bagaimana gerakan tangan. Entah bagaimana orang-orang di sekitar memandang kami. Sepertinya mereka tidak akan menyangka, kalau kami adalah mertua dan menantu. Apalagi sesekali kami melempar senyum. Tertawa santai.
“Tarik nafasnya pelan-pelan aja.”
Lagi aku tersenyum, dan mengangguk. Padahal hal itu aku lakukan dengan sengaja. Agar dada jadi terlihat lebih membusung. Cukup berhasil mengundang ekor mata ayah mertua melirik. Hari itu aku benar-benar bermain api, dengan mertua sendiri.
Di tengah dekatnya tubuh kami, terasa keintiman dari cara ayah mertuaku memandang. Terlihat sekali adanya keinginan untuk berbuat lebih. Pakaian yang basah bisa saja jadi pemicu. Mungkin kesadaran akan hubungan kami saja, yang bikin ayah mertua nahan diri. Aku sendiri menikmati ada dalam ‘gendongan’ mertua. Tapi, aku tetap sadar musti segera menyudahi momen ini. Guna mencegah terjadinya hal yang tidak-tidak.
“Yah, Dita mau pipis dulu.”
Ayah mertua menurunkan tubuhku. Melangkah aku menuju tangga. Celakanya, baru saja naik dua tangga kakiku slip. Terjatuh lagi aku ke air. Aku meringis. Terasa nyeri di telapak kaki kiri. Aduh, kenapa sih hari ini? Kok kena sial mulu sih, runtuk aku dalam hati. Melihat itu mertua bergegas mendekat. Dia bantu aku menaiki tangga lagi.
Saat melangkah barulah aku sadar, kalau kaki kiriku sedikit terkilir. Terpaksa aku duduk di tepi kolam. Terlalu sakit untuk lanjut berjalan. Dengan sigap ayah mertua menawarkan diri memijat. Dia urut-urut urat kaki yang terkilir. Awalnya sakit hingga aku meringis, tapi lama-lama rasanya mendingan. Kemudian aku dipapah menuju gazebo. Ayah mertua lalu memanggil si kecil untuk mendekat. Mengajak sejenak beristihat makan siang.
“Masih sakit Dit?” Aku menggeleng. “Nanti di rumah ayah pijitin lagi deh pakai minyak urut.” Lanjutnya lagi. Kujawab dengan anggukan.
Selesai makan, si kecil minta berenang lagi. Ayah mertua terpaksa menuruti, meninggalkan aku di gazebo sendirian. Aku pun tidak keberatan. Kesempatan itu aku pakai nelpon suami. Ternyata kegiatan dia belum selesai. Jadi dia tidak bisa bergabung, dan akan menjemput kami di rumah mertua. Aku bilang tidak apa-apa. Tidak aku sampaikan kejadian aku terkilir. Takut suami nanti kepikiran.
Sekitar satu jam, barulah si kecil dan ayah mertua naik dari kolam. Beranjak kemudian kami dari gazebo untuk membilas diri. Meski sudah tidak terasa sakit, tetapi jalanku masih sedikit tertatih. Dengan sigap anakku ikut memapah. Mengantar aku ke ruang ganti wanita.
“Main boom-boom car dibatalin aja Ma. Mama kan lagi sakit,” ucap anakku, begitu kami ada di mobil. Dewasa sekali anakku, tersenyum aku dalam hati.
Akhirnya kami merubah rencana awal. Kami langsung pulang, hanya sempat mampir ke toko game online. Ayah mertua berjanji mentraktir aplikasi game komputer baru. Kami juga mampir ke mini mart untuk membeli camilan. Itu pun aku ditinggal terus di mobil.
Sampai di rumah, si kecil langsung sibuk dengan tablet miliknya. Sedang ayah mertua mengantar aku ke kamar untuk berbaring. Sesuai janji, dia memijat lagi kakiku. Kali ini memakai minyak urut yang dia promosikan sangat mujarab. Aku kulum tawa, mendengar gaya bicara yang bak tukang obat pasar malam. Ketika mulai mengurut, harus aku akui ayah mertua sangat terampil. Lincah kedua tangannya memijati telapak kaki sampai betis. Rasanya enak sekali. Urat-urat yang tadinya tegang, kini terasa melemas.
“Udah enakan?” Aku mengangguk.
“Kaki yang kanan dipijitin juga dong, Yah. Biar sekalian gitu,” godaku padanya. Lagi-lagi niatku menggoda mertua muncul.
Ayah mertuaku tertawa. “Tapi bayarannya nambah loh, nggak cukup cuman donat.”
Ganti aku yang tertawa mendengar godaan baliknya. Pijatan ayah mertua pun berpindah ke betis kanan. Duh, rasanya nyaman sekali. Sadar kalau aku menikmati, tanpa diminta pijatan mertua terus bergerak naik. Kini dia memijati paha kanan dan kiri. Karena aku pakai celana pendek, jadi mudah saja dilakukan. Pegal gegara sehari-hari pakai high heels mendadak sirna, entah ke mana.
“Pundaknya mau dipijitin juga nggak sekalian? Gratis, mumpung masih promosi.” Tawar ayah mertua, sambil tertawa.
Balas dia menggodaku. Pasti dia menunggu responku seperti apa. Memang pandai nih mertuaku.
Aku ikut tertawa. “Mau dong, Yah.”
Ayah mertua minta aku ganti posisi jadi telungkup. Aku turuti. Mulailah kemudian terasa pijitan pelan, dimulai dari leher turun ke pundak. Duh, lagi-lagi rasa nyaman menyelimuti diriku. Sekali dua kali pijatan itu pindah ke punggung dan pinggang.
Keintiman yang tadi kami alami di kolam, kembali terasa. Kini bisa aku rasakan itu dari setiap sentuhan mertua. Sengaja kubiarkan tangannya bergerak sebebas mungkin. Termasuk menyentuh bagian-bagian yang menimbulkan sensasi geli. Bisa saja sih aku menolak, namun dalam diri aku ingin terus merasakan sentuhannya. Lagi-lagi mungkin karena pengaruh insting ‘genit’, sekaligus rasa penasaran.
“Kalau bajunya dibuka pijatannya bisa lebih terasa loh,” bisik ayah mertua.
Duh ini dia momen penentuan, bisikan setan dalam batinku. Apakah aku mau terus bermain api, atau tidak. Kini api itu sudah memanas. Dan bisa saja terus membesar kalau aku biarkan.
Entah kenapa aku mengangguk. Mungkin ayah mertuaku memang punya ‘daya magis’. Mungkin pula karena pengaruh pijatan. Atau mungkin aku saja lagi binal. Entahlah. Aku seperti tersihir.
Dengan mudah dia melolosi kaos yang aku pakai. Menyisakan hanya bra di sana. Dalam pikiran, toh posisi lagi telungkup, jadi payudara aman dari terlihat. Pasrah aku menerima pijatan lanjutan dari mertua. Sumpah, rasanya enak banget. Seakan dia tahu benar titik-titik mana yang musti disentuh. Titik mana yang bisa memberi kenikmatan. Lagi ayah mertua berbisik. Kali ini minta aku pejamkan mata. Dan lagi aku menurut. Melayang aku dalam kenikmatan.
Sedang melayang-layang, di antara sadar dan tidak, aku merasakan kecupan di pundak. Seiring tali bra yang melorot turun. Kecupan mendarat pula di punggung. Terasa pijatan bergerak ke pinggiran payudara. Begitu pula di bawah pinggang, mendekati pantat. Semuanya seperti mimpi. Tidak kuasa aku didera rasa nikmat. Dalam keadaan biasa mungkin itu bisa dianggap pelecehan. Tetapi tidak saat itu, yang bisa dianggap tidak ‘biasa’. Aku ingin kenikmatan itu terus melanda. Sampai-sampai kugigit pinggiran bibir. Aku ketagihan, aku seperti terhipnotis.
“Desah aja, nggak usah ditahan-tahan.” Terdengar lagi bisikan.
Dan desahan itu pun meluncur dari mulut. “Sshhh, sshhh, aahhh, aahhh...”
Aku terus melayang dan melayang, dalam buaian birahi. Nikmatnya ‘bermain api’.
Kenikmatan itu terpecah, saat terdengar suara klakson mobil. Mataku langsung terbuka. Kaget luar biasa, saat kudapati wajah mertua sudah begitu dekat dengan wajahku. Sedikit lagi mungkin bibir kami bertemu. Kurasakan pula berat tubuh mertua di atas tubuhku. Itu berarti saat ini dia sedang menindih aku.
“A-AYAH...” Aku sedikit berteriak.
Mertua terlihat ikut terkaget. Mungkin dia tidak menyadari kalau mataku terbuka. Sepertinya dia juga sedang dilanda birahi. Bergegas dia angkat tubuhnya. Bergidik aku dalam batin. Andai tidak dikagetkan klakson mobil suami, mungkin aku sudah bercumbu dengan ayah mertua. Sesuatu yang terlarang untuk dilakukan. Klakson berbunyi lagi. Sempat kami saling bertukar pandang, sebelum dia beranjak turun dari ranjang. Memperbaiki posisi celana pendek, lalu keluar kamar.
Begitu sosok ayah mertua menghilang, buru-buru aku ngecek keadaan diri. Kembali aku dibikin kaget. Kudapati tali punggung bra sudah terbuka. Celana pendek melorot sampai paha. Itu berarti tadi bagian bawah kami bergesekan, dengan hanya dibatasi celana dalam. Kembali aku bergidik, saat kudapati kain mungil itu basah. Tepat di bagian vital. Itu berarti tadi aku sempat terangsang. Buru-buru aku merapikan pakaian. Takut suami melihat kondisiku seperti ini. Saat kupatut diri di cermin, terlihat wajahku memerah. Aku benar-benar habis dilanda birahi.
Keluar dari kamar, kulihat suami sedang berbincang dengan ayah mertua. Aku dan mertua sama-sama menahan kekikukan. Menghindari terjadi tatapan mata. Beruntung, sepertinya suami tidak menyadari hal itu. Ketika suamiku mendekati si kecil, kesempatan itu dipakai ayah mertua untuk berbicara padaku.
“Dit, tadi itu...”
“Jangan dibahas sekarang ya, Yah. Nantian saja.” Langsung aku potong perkataan dia. Bukannya bermaksud kurang sopan. Hanya aku perlu mencerna kejadian tadi, dalam kondisi lebih tenang.
Ayah mertuaku mengangguk. Sepertinya dia bisa mengerti.
Belum selesai kekikukan kami, mobil ibu mertuaku datang. Aduh, itu berarti aku akan tertahan di sini sampai makan malam. Dan benar saja. Ibu mertua datang membawa banyak bahan makanan. Dia minta aku bantu memasak. Terpaksa aku iyakan. Untungnya, selama sisa hari aku dan ayah mertua bisa menguasai diri. Tidak lagi kami bahas kejadian itu. Mengobrol seperti biasa, sampai aku dan suami berpamitan pulang.
Di jalan aku terima pesan singkat dari ayah mertua. Lewat chat kami sepakat untuk melupakan kejadian itu. Meski jujur, sensasi yang timbul akan sulit aku lupakan. Mengingatnya saja bikin di antara paha cenut-cenut. Bukan hanya salah ayah mertua. Aku pun punya andil kesalahan yang sama. Beruntung sang waktu, mencegah ‘main api’ itu tidak berujung penyesalan.
“Siapa Ma?” Suami dibalik kemudi, bertanya dengan siapa aku berkirim chat.
“Dari klien,” sahutku singkat.
Segera aku hapus chat itu. Biarlah kejadian itu tetap menjadi rahasia.
.

2 komentar:

  1. Tumben updatenya cuma satu :p

    BalasHapus
  2. Is it real? baru nemu akun di twitter trus liat2 ini.

    BalasHapus