Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sedang santai
menunggui anaknya main rumah bola, ponsel Amanda berbunyi. Sedikit kaget dia
melihat nama yang tertera. Kapten Baskoro? Sudah lama sekali mereka tidak
melakukan kontak. Ketika sang kapten pensiun adalah kali terakhir dia memberi
kabar. Bergegas Amanda beranjak dari tempat duduk, melangkah sedikit menjauh dari
suaminya. Apa yang bakal jadi pembicaraan, mungkin saja akan sensitif untuk
didengar orang lain. Terutama sang suami.
“Manda,
maaf nih kalau ganggu.”
“Nggak
apa-apa, Kap. Kok tumben nih?”
“Iya.
Kangen sama suara kamu.”
Amanda
tersenyum. “Kangen suaranya, apa orangnya?”
“Orangnya
juga dong.” Terdengar suara tawa dari seberang.
“Udah ah basa-basinya,
langsung aja to the point ya. Biar
nggak lama.”
Kapten
Bas lalu mulai menuturkan kronologis kenapa dia menelpon. Dia bilang diminta
bantuan untuk menerbangkan jet pribadi dengan tujuan Dubai. Special request dari kedutaan Arab Saudi
di Indonesia. Dia diminta pula mencarikan tenaga pendukung. Satu co-pilot, dan dua pramugari. Disinilah
peran Amanda. Bisa tidak dia ikut terbang pada tanggal tersebut. Sekalian buat
reunian gitu, kata Kapten Bas. Dia bilang Sheila sudah mau. Satu dari rekan
pramugari yang dulu pernah ‘dekat’ juga dengan Kapten Bas. Dekat di sini, tentu
yang dimaksud adalah ‘teman tidur’. Sama halnya seperti Amanda.
“Kalau
minta waktu buat diskusi sama suami boleh nggak, Kap?”
“Boleh
dong. Tapi jangan lama-lama ya. Soalnya klien minta data staf secepatnya.”
“Baik,
Kap.”
“Aku sih pengennya
kamu. Tapi kalau nggak bisa, ya terpaksa deh cari yang lain.”
Kata-kata
Kapten Bas itu mengakhiri pembicaraan di telepon.
Sejenak
Amanda termenung. Memikirkan tawaran dari mantan Kaptennya itu. Sebenarnya sudah
rindu sekali dirinya untuk merasakan lagi terbang. Apalagi anak keduanya
sekarang sudah cukup besar. Sudah bisalah buat ditinggal-tinggal. Tapi
bagaimana cara mengatakan ke suami, itu yang bikin Amanda galau.
Sementara,
di-pending dululah masalah ini.
Melangkah
dia mendekati suami dan anak-anaknya, yang sekarang ada di bagian video game.
“Telepon
dari siapa?”
“Dari
temen lama. Nanyain kabar aja.”
“Oh.” Sang
suami hanya mengangguk.
Kemudian Amanda
kembali fokus menikmati agenda liburan mereka.
***
Amanda
keluar dari kamar mandi sudah berbalut baju tidur. Mirip lingerie. Bahannya tipis serta dihiasi renda. Memperindah lekuk
tubuh Amanda yang sudah indah. Menerawang. Mengundang mata laki-laki manapun untuk
melirik. Baru saja duduk di depan meja rias, pintu kamar terbuka. Suaminya masuk.
Laki-laki itu langsung berjalan mendekati sang istri, dan mendaratkan ciuman.
“Tadi
bikin masakan enak, sekarang pake baju tidur seksi. Pasti ada maunya nih
istrinya Papi.”
Suami
Amanda berbisik. Dia sudah hapal betul dengan kebiasaan sang istri.
Amanda
tersenyum simpul. Ketahuan deh.
“Iya nih,
Pi.”
“Mau apa emang
istrinya Papi tercinta?”
Dia ambil
kursi dan duduk di samping istrinya. Amanda mulai bercerita mengenai tawaran
kerja dari Kapten Bas. Sebagai crew udara sebuah private jet. Satu trip saja, Jakarta-Dubai PP. Cuma memang sih
pakai acara menginap dua malam. Melayani rombongan dari Arab Saudi, yang akan
mengadakan kunjungan kerja. Meeting multi-negara. Jadwal keberangkatan bulan
depan, minggu kedua. Musti dikonfirm dua hari lagi.
“Boleh
kok.”
Amanda terkejut.
Masih belum percaya, dia pun memastikan sekali lagi. “Be-beneran, Pi?”
“Iya.
Katanya Mami emang udah kangen terbang lagi kan?”
“Makasi, Pi.
Makasi.”
Dia peluk
suaminya dengan erat. Didaratkan pula beberapa kali ciuman di kening, pipi, dan
bibir sang suami. Amanda nampak kegirangan.
“Kayaknya
Papi bakal ‘enak’ nih bobonya malem ini.” Dia tertawa kecil.
“Pasti
dong.”
Wanita
cantik itu berdiri. Memberi seringaian binal. Ditarik tangan suaminya untuk
dituntun ke ranjang. Tak perlu waktu lama, pakaian mereka sudah berserakan
kemana-mana.
Ranjang pun
lalu berguncang. Dengan posisi Amanda ada di atas.
***
Begitu landing, Amanda langsung ke hotel pakai
taxi. Hari sudah mulai gelap. Kapten Bas dan Sheila ternyata menunggu dia di lobi.
Keduanya memang sudah tiba sejak kemarin. Mereka lalu saling mendaratkan
pelukan, melepas kangen karena lama tidak bersua. Sewaktu mau permisi ke resepsionis,
Kapten Bas bilang itu tidak perlu. Dia bilang Amanda akan tidur di kamarnya
malam ini. Mendengarnya, Sheila melempar senyum genit. Menangkap makna dari
senyum itu, Amanda ikutan tersenyum. Kebiasaan sang Kapten sama sekali tidak berubah.
Kemarin pasti Sheila sudah dapat giliran.
Koper
dititip dulu di concierge. Sebelum ke
kamar, Kapten Bas mengajak dulu dua wanita cantik itu makan malam. Di restoran
seberang hotel. Sehabis itu baru mereka pisah. Sheila ke kamarnya sendiri,
sedang Amanda ikut dengan sang Kapten.
“Aku mandi
dulu ya, Kap.”
“Boleh
ditemenin?” Laki-laki itu nyengir.
Ganti
Amanda yang nyengir. “Boleh dong.”
Kapten
Bas minta Amanda menelanjangi diri lebih dulu. Dia sendiri cuma berdiri, menikmati
hal indah yang tersaji di depan mata. Tubuh molek yang mulai terbebas dari
penutupnya. Dari mulai tanktop,
sampai terakhir thong. Masih persis
seperti terakhir kali dilihatnya. Masih putih. Masih mulus. Masih ramping.
Masih melekuk sempurna.
“Aku
duluan ya. Nyusulnya jangan pakai lama.”
Amanda
mengerling. Melangkah kemudian dia ke kamar mandi, dalam keadaan bugil.
Buru-buru Kapten Bas membuka pakaian. Sambil menatap nanar ke arah gerak seksi pantat
sang pramugari. Selanjutnya, percumbuan di bawah shower pun terjadi. Lebih mendekati foreplay, karena hanya sebatas cumbu-cumbu manja, tanpa penetrasi.
Percumbuan
lalu pindah ke ranjang. Amanda bergelayut dalam belaian laki-laki tambun tersebut.
Berkali-kali kecupan mendarat di pipi dan bibir. Begitu pula remasan di kedua
payudara.
“Badan
kamu sama sekali nggak berubah, Manda. Masih kayak dulu.”
Si
pemilik tubuh hanya tersipu. Kerja kerasnya pasca melahirkan membuahkan hasil.
“Transferannya
sudah masuk kan?”
“Sudah.
Makasi banget lho Kap, fee-nya
ditransfer full. Pakai ditambah bonus
lagi. Padahal kan belum kerja.”
Kapten
Bas tertawa. “Aku kan percaya sama kamu. Nggak mungkinlah ingkar janji.”
Amanda
tersenyum, sambil membelai-belai dada laki-laki itu.
“Gimana?
Keluarga semua sehat?”
“Iya.
Sehat.”
Sambil
ngobrol, keduanya terus saling membelai. Sampai kecupan berganti jadi kuluman
panas. Percumbuan pun berganti jadi pergumulan.
Tanpa
menunggu lama, Kapten Bas langsung menikmati tubuh mulus itu. Dijelajahi tiap
jengkal dengan teramat antusias. Diciumi, dijilat, dan dikulumi. Dari mulai
dahi, sampai ke jari-jari kaki. Selain mulus, tubuh molek itu juga wangi
sekali. Bagaikan porselen tanpa cacat. Sial,
beruntung banget suamimu, Manda. Membatin sang Kapten dalam hati.
“Aahhh...”
Amanda
melenguh manja, ketika Kapten Bas mengemut puting kirinya. Digigit lembut, sebelum
pindah ke puting kanan. Masih mungil dan ngegemesin.
Bikin laki-laki paruh baya itu gemas.
Bergerak
lagi kemudian bibir itu, sampai tiba di area antara dua paha.
“Sshhh,
sshhh, sshhh...”
Kembali
Amanda melenguh. Disertai desah-desah kecil, setiap kali lidah Kapten Bas
menari-nari di vaginanya. Disruputnya liang nikmat itu dengan rakus.
“Memek
kamu juga sama sekali nggak berubah. Masih wangi kayak dulu.”
Amanda
tersipu malu. Dianggapnya hal itu sebagai pujian.
“Masih
sempit?”
“Dicoba
aja langsung, Kap.” Mengerling dia.
Laki-laki
itu pun kian gemas mendengarnya. Kondom terpasang. Kapten Bas pelan memasukkan
batang penisnya. Berusaha menikmati tiap detik reuni dengan lubang nikmat, milik
mantan anak buahnya itu. Begitu amblas secara penuh, laki-laki itu tersenyum lebar.
Senyum penuh kepuasan.
“Just like old days, Manda.”
Berarti
sensasi jepitan kelaminnya masih sama. Sang pramugari cantik kembali tersipu. Dibalas
kata-kata itu dengan senyum.
Mulai
sang Kapten memainkan pinggul. Amanda sesekali mengeluarkan lenguhan dan
desahan, agar terlihat menikmati. Bagaimana juga kepuasan laki-laki itu adalah prioritasnya.
Meski kalau mau diakui, diakhir-akhir pertemuan mereka, stamina Kapten Bas tak lagi
sekuat dulu. Usia tentu tidak bisa dibohongi. Paling banter semenit-dua menit
dia sudah akan kelelahan. Agaknya malam itu akan berujung sama.
Dan benar
saja, belum lama, Kapten Bas sudah minta Amanda ada di atas.
Diturutinya
kemauan tersebut. Berupaya Amanda membuat sang Kapten tak terlalu cepat keluar.
Pasti akan kecewa berat nantinya laki-laki itu. Dikurangi RPM goyang pinggulnya.
Sesekali juga diajak Kapten Bas ngobrol. Supaya fokus partner seksnya sedikit terbagi.
Cukup berhasil. Paling tidak, sampai detik ini batangnya masih keras dalam
vagina. Walau begitu, tetap saja Kapten Bas cepet ‘bobolnya’. Mendadak lemas,
padahal lagi digoyang enak.
“Nggak
pernah menang lagi aku ngelawan kamu.”
Amanda
tersenyum simpul, sambil melepas kondom dari penis Kapten Bas. Dia lakukan
hati-hati agar cairan kental tak sampai tercecer, sebelum dibuang.
“Pasti Sheila
nih gara-garanya.” Goda Amanda.
Laki-laki
itu ngikik. Berhasil Amanda membesarkan hati pasangan tidurnya itu.
“Istirahat
bentar, pasti Kapten bisa jos lagi
kok.” Meskipun dia tahu itu tidak mungkin terjadi.
“Nggak
deh. Kita tidur aja yuk. Udah malem.”
Tentu
Amanda menuruti kemauan sang Kapten. Demikian pula waktu tidak dibolehin lagi
pakai pakaian. Cuma boleh pakai celana dalam.
Bergelayut
kemudian dia dalam pelukan Kapten Bas, hingga keduanya terlelap.
***
Esok
paginya, mereka bertiga bertemu lagi di restoran hotel. Sheila sampai duluan.
Amanda dan Kapten Bas datang sedikit terlambat. Gara-gara sang Kapten mendadak
masuk kamar mandi, lalu menyetubuhi lagi dirinya. Untungnya sama seperti
semalam, semua itu terjadi tidak lama.
Selesai
sarapan, mereka balik ke kamar untuk bersiap-siap.
Seragam
yang disiapkan ternyata cukup kasual, tetapi tetap formal. Atasan berupa kemeja
silver, dengan panjang lengan tiga
perempat. Ditambah slayer. Bawahan
celana panjang hitam. Sepatu juga bukan hak tinggi. Model rambut pun dibebaskan.
Diikat boleh, digerai juga boleh. Asal rapi. Nggak ribet deh pokoknya. Amanda
dan Sheila pun tak perlu waktu lama untuk menyiapkan diri.
Di lobi, Kapten
Bas terlihat lagi berbincang dengan seorang laki-laki. Dari pakaiannya,
pastilah dia sang co-pilot. Kedua
laki-laki itu berdiri, ketika melihat dua pramugari mereka datang.
“Kenalin
ini Kapten Freddy.” Kapten Bas berujar.
Amanda
dan Sheila pun bergantian bersalaman. Perawakannya tidak terlalu jauh berbeda
dengan Kapten Bas. Tubuh rada tambun, rambut sudah ada yang memutih. Rupanya
dia pensiunan juga, cuma dari maskapai sebelah. Pantas saja kurang familiar.
Kapten
Bas lalu mengajak kami langsung ke mobil. Mereka memang harus datang lebih awal
ke bandara, untuk menyiapkan segala keperluan.
“Semua
sudah siap?”
“Sudah,
Kap.” Amanda berujar, sambil lanjut melipat serbet makan.
Daftar permintaan
konsumsi tidak terlalu banyak. Maka dari itu Amanda dan Sheila tidak terlalu
repot di pantry. Paling hanya perlu
mengecek ulang kebersihan meja, kursi, dan ruangan. Itupun sudah sangat bersih.
“Dari list manifest, penumpang kita ada enam
orang. Empat laki-laki dan dua perempuan. Cukup dilayani seperti biasa aja.
Kayaknya mereka nggak cerewet kok.”
“Baik,
Kap.”
Setengah
jam berselang, rombongan pun datang. Iring-iringan mobil memasuki hanggar.
Diiringi suara sirine. Semua crew
diminta menyambut di bawah tangga. Dari tampilan sekilas sepertinya mereka rata-rata
masih muda. Mungkin dua orang saja yang senior nampaknya. Semua laki-laki pakai
setelan jas. Begitu pula dengan perempuannya, tapi minus dasi. Terlihat sekali
aura formal.
Semua
siap, pesawat pun tinggal landas. Selama penerbangan praktis Amanda dan Sheila
tidak terlalu bekerja keras. Penumpang cuma minta disiapkan makanan ringan dan
air mineral. Mereka sepertinya masih mengerjakan bahan presentasi. Ada yang
sibuk dengan laptopnya sendiri. Ada yang sibuk berdiskusi satu sama lain. Sampai
malam menjelang. Kedua pramugari itu baru mulai bekerja lagi, saat jam makan
malam tiba. Demikian pula saat persiapan tidur.
Pagi harinya,
pesawat sudah landing di Dubai
Internasional Airport. Tanpa sarapan, rombongan sudah langsung meluncur ke
lokasi acara. Mereka akan berada di sana selama tiga hari. Selama durasi waktu
itu, crew pesawat diberi ijin untuk
berkeliling di Dubai. Tentu saja kesempatan itu tak disia-siakan oleh Amanda
dan Sheila. Mereka berburu spot bagus
untuk berfoto ria. Berburu kuliner pula di beberapa tempat. Di lain pihak,
Kapten Bas dan Kapten Fred rupanya sudah juga punya agenda sendiri. Berburu
tempat pijat plus-plus. Nggak
jauh-jauh dari selangkangan. Untuk sementara, dua pramugari cantik itu terbebas
dari tugas penghangat ranjang.
Sampai di
hari terakhir, ponsel Amanda berbunyi. Acara gosip, sambil ngemil-ngemil cantik pun sementara berhenti.
“Siapa?”
Tanya Sheila kepo.
Amanda
mengangkat bahu. Menandakan kalau dia juga tidak tahu. Nomor yang menelepon tak
terdaftar. Hanya nampak display picture
yang kurang jelas. Diterimanya telepon tersebut, dengan menyalakan speaker agar Sheila bisa ikut mendengar.
“Hello, this is Amanda?”
“Yes.”
“Saya Amir from the Embassy.”
Sheila
langsung heboh. Untung saja dia tidak sampai keceplosan teriak. Barusan saja si
Amir ini mereka gosipin. Soal tampilan laki-laki ini yang mereka nilai paling
oke, di antara tiga yang lain. Brewoknya itu
lho ngegemesin, mengulang komentar Sheila tadi.
“May I help you, Sir?”
Amir
kemudian menjelaskan maksud dirinya menelepon. Rupanya dia dapat nomor telepon
dari data crew. Bukan obrolan formal ternyata. Malahan laki-laki
itu berniat mengajak dua pramugari itu untuk karaoke bareng. Kebetulan katanya,
mereka mau santai-santai sehabis berserius ria di lokasi meeting. Mendengar itu
Amanda jadi bingung dong. Musti memberi jawaban apa.
“I need permition from the Captain. Can I contact you latter?”
“Yes,
of course. Tentu saja.”
Sementara
percakapan telepon berhenti.
“Kok elu
yang ditelepon sih. Kalo gue pasti udah langsung gue terima tuh.” Sheila
melengos.
Dia
cemburu, sekaligus sebel. Menggeleng Amanda melihatnya.
“Dasar.
Kita ke sini buat kerja tau, bukan having
fun.”
“Tapi
kalo work and fun bisa jalan bareng,
kenapa ditolak kan?”
Amanda
tersenyum. Benar juga yang dikatakan Sheila tadi, pikir Amanda. Mereka berdua
sudah terlalu lama berkutat dengan rutinitas rumah tangga. Sibuk mengurus
keluarga sampai kadang lupa memanjakan diri sendiri. Kalau ada kesempatan
seperti sekarang ini, kenapa nggak diambil saja kan? Kapan lagi nih dapat
kesempatan bereuni dengan memori masa muda. Cuma sekedar karaoke, apa ruginya
sih? Mana gratisan lagi. Begitu mendapat ijin dari Kapten, wanita cantik itu
langsung menghubungi balik Amir. Dan tentu saja telepon tersebut disambut
dengan sumringah.
Ganti
pakaian, memoles make up secukupnya,
kedua pramugari sudah siap di lobi. Mereka akan dijemput. Tidak lama sebuah
mobil datang. Mereka pun kemudian berkendara.
“This is Fadil.” Amir memperkenalkan si
pengemudi. Salah satu anggota rombongan kedutaan.
“And,
you must be Sheila.”
Langsung disambut
dengan senyum. Sheila tentu senang, karena laki-laki yang sedari berangkat
selalu diliriknya, mengingat namanya.
Tak
sampai setengah jam, mereka tiba di tujuan. Rombongan yang lain sudah sampai
lebih dulu rupanya. Mereka sudah memulai acara lebih dulu. Sudah terdengar
alunan musik, diiringi suara nyanyian. Suara satu, suara dua, dan suara fals
berbaur menjadi satu. Justru itu bikin suasana jadi makin meriah. Amir, Fadil,
Amanda, dan Sheila pun langsung ikut bergabung.
“If you go hard, you gotta get on the floor.
If you’re a party freak then step on the floor. If you’re an animal then tear up the floor...”
Alunan
lagu mengalun. Semua yang ada di ruangan sudah rada ‘menggila’. Terpengaruh irama
musik yang ngebeat. Terpengaruh pula botol-botol
alkohol, yang isinya sudah hampir kosong.
“Okay,
okay, its getting late. Let’s finish this party.”
Meski
disertai dengan seruan protes, tapi rombongan mengikuti instruksi dari pimpinan
mereka. Kembali ke mobil, Sheila sudah ‘nempel banget’ dengan Amir. Sejujurnya,
Amir awalnya naksir pada Amanda. Hanya saja karena Sheila jauh lebih agresif,
hingga mampu merubah niat laki-laki tersebut. Amanda sendiri tak masalah dengan
hal itu. Di kursi belakang, terus saja terdengar riak tawa kedua sejoli itu. Tak
segan pula berciuman. Bikin Amanda dan Fadil jadi sedikit canggung.
Setiba di
hotel, sudah dapat ditebak ke mana dua sejoli itu melangkah. Ke kamar Amir. Si
teman sekamar terpaksa hanya bisa mengalah. Kasihan terhadap Fadil, Amanda
menemani laki-laki itu menuju reseptionis.
“Sorry Sir, our room tonight alredy full book.”
Fadil
mengangkat bahunya. Menandakan kalau dia sudah pasrah.
“You can sleep in my room if you want.” Ujar
Amanda, yang bikin kening si pendengar sontak berkerut. Seakan sadar kalau
kata-katanya tadi multi-tafsir,
wanita cantik itu langsung menimpali lagi. “On
the sofa.”
Langung Fadil
terkekeh. “Sorry, sorry, sometime I just hate my mind.”
Dan Amanda
pun jadi ikut tertawa geli.
Melangkah
kemudian keduanya menuju lift. Menyusuri selasar hotel yang sudah sangat sepi.
“You can take shower first.” Tawar
Amanda.
Dituruti
oleh Fadil. Masuk dia ke kamar mandi, lalu terdengar suara gemericik air.
Kesempatan itu dipakai Amanda untuk merapikan kamar. Sisa-sisa bungkus camilan.
Botol plastik minuman. Semuanya masuk keranjang sampah. Pakaian Sheila yang
masih teronggok di lantai. Masukin ke koper. Dia bersihkan pula sofa, yang
nantinya akan dipakai Fadil berbaring.
Tidak
lama, laki-laki itu keluar dengan memakai kimono. “Your turn,” ujarnya.
Gantian
Amanda yang masuk. Dia langsung bawa pakaian ganti, mengingat di kamar itu kini
ada seorang laki-laki. Segar sekali rasanya guyuran air hangat malam itu. Setelah
tadi berhaving-fun ria untuk beberapa
jam. Keluarnya, Amanda sudah pakai kaos dan celana pendek. Berbeda dari malam
sebelumnya. Waktu sama Sheila, mereka kompak ber-tanktop dan bercelana dalam saja.
Amanda
menemukan Fadil lagi di teras. Menghisap sebatang rokok.
“Can I have one.”
“So,
you drink and smoke? Nice.” Fadil
mengerling.
Disodorkan
bungkus rokok kepada Amanda. Diambil satu batang. Fadil bantu menyalakan, dan
kepulan asap mengiringi obrolan mereka kemudian. Tidak terasa, dua batang, tiga
batang berlalu. Tanpa terasa malam kian larut.
“Its already late, time to sleep.”
Amanda
mengangguk.
Saat
Fadil menuju sofa, pramugari cantik itu memanggil. “Just sleep here on the bed.”
“Seriuosly?”
“Yeah.
Three hours talking, I know you’re a good
man.”
Fadil
tersenyum lebar. Tanpa merasa perlu konfimasi lagi, dia ikut naik ke ranjang.
Meski sudah dapat ‘undangan’, tetapi tetap saja dua bantal jadi pemisah mereka.
“Don’t be nauthy.”
Amanda mengingatkan,
sambil tudingkan telunjuk. Fadil yang melihat itu, cuma tertawa kecil.
***
Pagi
harinya, Amanda terbangun karena sayup-sayup mendengar suara. Sewaktu membuka
mata, dia mendapati Sheila ada di kamar. Sementara Fadil masih terbaring di
sebelah dirinya.
“Sorry, sorry, gue cuma mau ngambil koper aja.”
Sheila
nyengir. Cengiran nakal khasnya.
Amanda
merasa tidak merasa perlu menjelaskan apa yang terjadi. Akan apa yang mungkin
ada di pikiran sahabatnya itu. Mengingat memang sekarang ada seorang laki-laki berbaring
di ranjang bersama dirinya. Dan mereka berdua sama-sama cuma pakai kimono.
Mungkin karena terganggu suara obrolan mereka, Fadil jadi ikut terbangun. Sama
halnya seperti Amanda tadi, laki-laki itu juga ikut kaget melihat Sheila.
Tanpa
menunggu komentar tambahan, Sheila melambai dan langsung keluar dari kamar.
“Oh,
that’s akward.”
Keduanya
saling toleh. Fadil tertawa. Amanda juga ikut tertawa.
“Coffee?”
Amanda
mengangguk.
Beranjak
kemudian Fadil menuju meja di dekat televisi. Di mana pemanas air berada.
Sementara Amanda melangkah ke kamar mandi. Cuci muka, gosok gigi, untuk menyegarkan
diri. Sekeluar dirinya, ganti Fadil yang masuk. Dua gelas kopi panas sudah
tersaji di atas meja. Dia ambil satu gelas sebelum menuju teras. Cahaya matahari
masih amat muda. Terasa hangat di sela-sela kulit Amanda yang luput dari
kimono. Tak lama Fadil menyusul. Di tangannya kini juga ada segelas kopi. Dia
pun sudah terlihat lebih segar.
Kembali
keduanya berbincang. Membahas suasana kota pagi itu. Masih ada waktu untuk
santai, karena pesawat baru akan berangkat sore.
Di tengah
obrolan, Fadil mengajak memesan sarapan. Soalnya mereka mengaku sama-sama lagi mager keluar kamar. Pilihan jatuh pada sandwich dan juice. Sambil makan, obrolan mereka jadi makin personal. Malah
sudah berani saling lempar flirting.
Padahal Fadil sudah tahu akan status Amanda. Wanita cantik itu bukannya memberi
jarak, malah terlihat menikmati keintiman yang terbangun di antara mereka. Memang
sudah lama sekali dirinya tidak berada dalam situasi seperti itu. Berbagi
tatapan nakal dengan laki-laki. Disertai keinginan saling menikmati satu sama
lain.
Entah siapa
yang mulai duluan, tahu-tahu keduanya sudah beradu bibir. Memagut dengan panas
dan semakin panas. Ketika sudah bergumul di ranjang, yang tersisa hanyalah
celana dalam. Dua kimono di lantai jadi saksi bisu, sebagaimana halnya dinding
kamar.
“You must know that you had an amazing body.”
Amanda
tersipu. Akhirnya didengar lagi pujian seperti itu, setelah sekian lama.
Terdengar seperti musik indah di telinganya.
Fadil
melanjutkan ciuman. Menyusuri kulit telinga, leher, pundak, hingga berhenti
cukup lama di payudara. Diselingi dengan jilatan dan kuluman. Terutama pada
areal puting. Membuat Amanda gemetaran, dilanda kenikmatan. Berlanjut kemudian
turun lagi menjelajahi perut, pinggang, dan seluruh kaki jenjang si pramugari
cantik. Sungguh sebuah sensasi yang menyenangkan. Sisi liar yang kembali bangkit,
setelah sekian lama dia hanya ‘mengabdi’ pada suami.
Sedang
dijilati, tangan Amanda bergerak ke area selangkangan. Hendak meraba calon penis
yang akan masuk ke vaginanya. Kaget dia menemukan tonjolan yang ukurannya jauh
dari biasa. Maka dia coba merogoh, memasukkan tangan ke dalam. Dia makin kaget.
Diameter penis itu memang jauh dari ukuran biasa. Besar sekali. Beneran, besar
sekali.
“Do you like it?”
Bisik
Fadil, menyadari kalau tangan Amanda berlama-lama di penisnya.
“I think...” Sahutnya ragu. Khawatir
vaginanya tak mampu mengatasi si calon penis.
Dibalas
Fadil dengan melempar senyum.
“Let make you wet, then...”
Fadil membuka
kedua kaki Amanda, membuatnya mengangkang lebar. Dijilatinya lubang intim milik
pramugari itu dengan telaten. Dibikinnya si cantik bergelinjang, meski bagian
bawah sudah dijejal bantal. Terus lidah Fadil menari sampai di bawah sana jadi basah,
sebasah-basahnya. Area kewanitaan yang bersih tak berbulu, membuat gerakan si
lidah lebih mudah.
“Are you ready?” Ujar laki-laki itu, saat
ujung penisnya sudah mengarah ke lubang vagina. Penis yang kini sudah terbalut kondom.
Amanda
mengangguk. Masih terlihat sedikit ragu. Dia kencangkan remasan pada sprei. Dia
juga memejamkan matanya. Dia tahu proses awal ini tidak akan terasa nyaman.
Dan benar
saja. “OOHHH...!”
Si pramugari
cantik mendesah panjang. Begitu halnya si partner seks. Amanda mendesah, karena
liang yang meregang hebat. Fadil mendesah, karena batang yang terjepit ketat. Hanya
sementara, karena pelan-pelan kedua kelamin mulai bisa beradaptasi. Terlihat
dari mata Amanda yang sudah terbuka kembali. Dua insan itu saling beradu tatap,
seiring tubuh mereka yang bergeliat seirama. Fadil masih melakukan setubuhan
secara halus. Dinikmati benar sempitnya gua Amanda.
“Are you good?”
Kali ini
Amanda mengangguk mantap. Ini beneran enak. Sumpah.
“I’m going faster, okay?”
Dijawab lagi
dengan anggukan. Dan ‘serangan’ pun makin gencar dilakukan. Ranjang empuk itu jadi
berguncang semakin kencang.
Di tengah
adu desah dan adu keringat tersebut, tiba-tiba momen panas itu diganggu suara
ponsel. Ponsel milik Amanda. Fadil menghentikan genjotan. Bertanya apa Amanda
mau menjawabnya. Sadar kalau ponsel itu hanya bisa diakses rekan kerja,
pramugari itu mengangguk. Minta tolong lalu Fadil untuk menjangkaunya. Tangan
yang panjang, membuat Fadil bisa melakukan itu tanpa perlu mencabut penisnya.
“Iya,
Capt. Baik, Capt.”
Hanya dua
jawaban itu yang keluar dari mulut Amanda. Percakapan selesai. Dilempar ponsel
ke samping, lalu menatap Fadil. “You have
five minute to finish it.”
Fadil
tertawa kecil. “Yes, Ma’am.”
Dan tubuh
mereka pun kembali berguncang. Kian lama kian kencang. Fadil mengerahkan segala
yang dia punya, agar orgasme secepatnya datang.
“Aahhh,
aahhh, oohhh, oohhh... Yes, yes, yes...”
Fadil dan Amanda merancau bergantian.
Beberapa
detik kemudian, tubuh sintal Amanda terlihat menegang. Matanya memejam,
mulutnya membuka lebar, dan lenguhan panjang terdengar. Wanita cantik itu
mencapai puncak permainan lebih dulu. Meski begitu, Fadil tidak berhenti. Dia
terus menyerang dan menyerang. Sampai dia menarik penis, melepas kondom, dan
membasahi perut rata Amanda dengan cairan miliknya.
Keduanya ngos-ngosan. Sungguh olah raga ranjang
yang nikmat.
Sadar tak
punya banyak waktu, begitu sudah bisa mengontrol diri kembali, Amanda berbisik
ke Fadil. “Sorry, but now I must get ready.”
Disahut
Fadil dengan anggukan. Sementara Amanda sudah turun dari ranjang, laki-laki itu
masih saja tetap berbaring. Masih mengumpulkan tenaga, yang terkuras demi
menaklukan si pramugari cantik. Dia baru mengangkat tubuhnya, ketika pintu
kamar mandi terbuka. Duduk dia kemudian di tepi ranjang. Mengamati Amanda yang sedang
berpakaian. Wanita cantik itu hanya melempar senyum, ditatap dengan seksama
seperti itu.
Begitu
Amanda selesai, barulah Fadil bangkit berdiri. Masih dalam keadaan polos tanpa
sehelai benang, dia melangkah mendekat.
“Before you put on make up, can I kiss you one more time?”
“I let you fuck me, and you still ask before kissing me? I’m plattered.”
Amanda
tersenyum genit.
Mendengar
itu Fadil tertawa kecil. Tentu dia masih perlu bertanya, mengingat Amanda
bukanlah miliknya. Bibir mereka pun bertemu. Kali ini Fadil memagut dengan
sangat lembut. Seolah ingin mengucap terima kasih. Dibiarkan kemudian Amanda
untuk lanjut berdandan. Sementara Fadil ganti masuk ke kamar mandi.
***
Tanpa
menunggu Fadil, Amanda keluar dari kamar. Sudah dengan tampilan fresh dan cantik. Dia seret koper
sepanjang selasar hotel, menuju lift. Sesampai di lobi, dilihatnya Sheila lagi
ngobrol dengan Kapten Fred di sofa. Sedang Kapten Bas terlihat lagi di
resepsionis. Melambai Amanda pada keduanya, lalu melangkah mendekati sang
pilot.
“Siang,
Kap.”
“Siang,
Manda.” Kapten Bas tersenyum. “Gimana kemarin? Tamu kita having fun?”
Amanda
mengangguk. “Banget. Kayaknya belum pada bangun nih.”
“Nggak
apa-apa. Yang penting kitanya sudah siap. Soal mereka mau berangkat kapan kan suka-suka
mereka aja.”
Namun
perkiraan tersebut salah. Belum ada lima belas menit, para penumpang mulai berkumpul
lobi. Meski dengan raut muka lesu dan masih terlihat pengar. Begitu pula halnya
Amir dan Fadil. Sekilas Amanda dapat melihat Sheila dan Amir saling bertukar
senyum, ketika mereka melintas. Menandakan kalau semalam memang terjadi sesuatu
antara mereka. Tentu Fadil juga melakukan hal yang sama kepada dirinya. Baik
Amanda maupun Sheila belum sempat bertukar cerita. Tidak enak dong ngomongin
hal gituan di depan para Kapten.
Setelah
semua berkumpul, pakai empat mobil kemudian mereka berangkat ke bandara.
Pesawat pun bisa berangkat sesuai dengan jadwal.
“So,
what happen?” Amanda nyeletuk, saat bersama Sheila di pantry.
Pada penerbangan
pulang ini, kedua pramugari cantik lebih tidak sibuk lagi. Malah sama sekali
tidak ada kerjaan. Semua penumpang lebih memilih untuk tidur. Termasuk Amir,
dan juga Fadil. Lampu dalam kabin pun sudah diredupkan.
“Best sex I ever had.” Sheila berseru,
tapi berbisik. “Kontol tergede yang pernah gue rasain.”
Amanda
terkekeh.
“Elu
sendiri gimana?” Rekan kerjanya itu mengerling.
“Sama.”
Keduanya
pun kompak ngikik, berbisik.
Menjelang
sepuluh menit mendarat, penumpang baru satu persatu terbangun. Beda dengan Amir
dan Fadil tentunya. Mereka sudah terjaga lebih dulu. Mereka sempatkan dulu
mampir ke pantry. Malah sekarang Amir
dan Sheila lagi melakukan ‘special good
bye’ di balik tirai.
“So,
we will meet again?” Tanya Fadil ke Amanda.
“I don’t know. I can’t promise you that.”
Laki-laki
itu tersenyum kecil. Dia bilang bisa mengerti keadaanku.
“Well,
thank you for the sweet memories than.”
Amanda
hanya menjawab dengan senyum simpul.
Usai
bersalaman, disertai kecupan pada kedua pipi, Fadil balik ke tempat duduknya.
Sementara Amir baru menyusul beberapa menit kemudian. Sebuah perpisahan yang
heboh sepertinya terjadi di belakang sana. Sampai-sampai Sheila musti merapikan
lagi lipstiknya.
Pesawat
mendarat dengan mulus, meski landasan sedikit basah oleh gerimis hujan. Di
hanggar, iring-iringan mobil dinas kedutaan sudah menunggu mereka. Pimpinan
rombongan menyalami Amanda dan Sheila, mewakili yang lain mengucapkan terima
kasih. Begitu pula kepada Kapten Bas dan Kapten Fred. Iring-iringan itu pun
lalu berangkat, disertai raungan sirine patwal.
Ganti
kemudian mereka berempat yang saling bersalaman, setiba di parkiran bandara.
Amanda
dan Kapten Fred menuju mobil jemputan masing-masing. Sedangkan Sheila melangkah
mengikuti Kapten Bas. Sang Kapten minta ditemani satu malam lagi.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar