Sabtu, 31 Desember 2022

Sekali Lagi


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.

***

“Makasi lho Jar, udah mau nganterin kita lagi.”

“Maaf nih kalo kita-kita hobi ngerepotin.”

Lisa dan Siska bergantian berujar dari bangku belakang mobil. Waktu itu kami dalam perjalanan sepulang ikut lomba dance, di luar kota. Rencana awal kami akan naik bus. Soalnya jarak lokasi yang musti ditempuh sampai dua setengah jam. Tapi entah apa yang terjadi, ternyata bus tersebut mendadak berkendala. Rusak mesin gitu deh. Langsung rencana diubah detik itu juga. Mumpung masih pagi, berusaha kami kumpulin semua mobil yang tersedia. Berharap bisa mengakomodasi tim dan juga seluruh perlengkapan. Kurang satu mobil, terpaksalah kami menelepon Fajar lagi. Sampai gelagapan dia menerima telepon pagi-pagi banget. Padahal sudah dari dua hari kemarin dia bolak-balik mengantar kami juga ke lokasi. Waktu itu guna mengikuti rangkaian technical meeting. Itu pun sampai malam pula. Niatnya hari ini mau kasih Fajar buat beristirahat, tapi apa mau dikata. Terpaksa kami ganggu lagi. Untung saja dia tidak ada kegiatan lain.

“Nggak apa-apa. Santai aja.” Fajar tersenyum di belakang kemudi.

“MAKASI SEKALI LAGI YA FAJAR!”

Kali ini Lisa dan Siska barengan berseru. Kompak bener dah kedua sahabatku itu.

Tentu saja itu mengundang kembali senyum si pengemudi. Sementara aku yang duduk di depan cuma bisa tersipu.

“Oya, katanya elu mau pulang kampung ya? Kapan emang berangkatnya?”

“Besok malem.”

Sontak Lisa berseru lagi. “YA AMPUN!” Ekspresif bener memang sahabatku yang satu ini.

“Kok ngerasa jahat banget ya kita ke elu. Di hari terakhir masih aja kita siksa,” tambahnya lagi.

“Hehehe nggak apa-apa. Lagian semuanya udah beres kok. Tinggal berangkat aja besok.”

Nah, itulah juga yang sebenarnya bikin kami tak enak minta bantuan Fajar lagi. Habisnya dia kan statusnya bukan mahasiswa di Universitas kami lagi. Tapi masih saja kami repotkan sama urusan kampus. Dia sudah lulus bulan lalu. Yah namanya terpaksa, gimana dong. Selain itu harus diakui kalau mobil Fajar ini enak banget interiornya. Nyaman banget pokoknya buat dipakai perjalanan jauh. Ditambah “sopirnya” polos lagi. Disuruh mampir sini, mampir sana, nggak bakalan nolak.

“Enak ya elu begitu lulus udah ada kerjaan menanti di daerah asal.” Ganti Siska yang berujar.

Halah, cuma jadi petani aja kok.

“Petani sih petani, tapi kalo lahannya hektaran ya itu mah namanya petani tajir.”

Mendengar itu Fajar tersipu.

“Kayaknya kita ntar sampai malem lagi lho, Jar. Nggak apa-apa kan ya?”

“Iya. Nggak apa-apa.”

“Sip deh. Elu emang the best...” Siska ngikik, sebelum kembali berujar. “Ntar duit bensin sama makan kita yang nanggung deh. Plus ntar elu dikasi bonus kiss ama si Dita.”

Lho, lho, kok gue dibawa-bawa sih. Padahal sudah berusaha duduk kalem sedari tadi. Tuh kan mukanya si Fajar jadi merona merah lagi. Mengingat apa yang pernah terjadi antara kami di hari itu (baca cerita: Butuh Kelonan), Fajar memang selalu nampak kikuk tiap bertemu diriku. Mana tiap naik mobil aku selalu disuruh duduk di depan lagi. Terus tiap pulang aku selalu yang diantar paling terakhir. Berduaan saja jadilah dia nambah kikuk. Selalu saja harus berusaha aku cairkan suasana. Semua itu ulah dari dua temanku di belakang sana. Kan mereka juga tahu bangetlah apa yang terjadi malam itu. Doyan saja mereka bikin si Fajar salah tingkah.

“Ng-gak usah. Nggak usah pake kiss-kiss segala.”

Terus dikomporin, aku jadi terpancing dong.

“Nggak apa-apa. Ntar aku kiss kamu deh, ingetin yah ntar kalo sampe rumah.”

Sorakan dari bangku belakang pun bergemuruh. Sudah tahu kan wajah Fajar sekarang jadi kayak apa. Tambah merah, semerah-merahnya.

***

Lomba berjalan lancar. Meski tim dance kampus akhirnya hanya dapat peringkat kedua saja, tapi disambut dengan bahagia. Mengingat tahun-tahun kemarin malah selalu gagal. Mengingat pula kalau lawan-lawan kami levelnya sudah skala nasional.

Selesai berganti kostum, kami meluncur balik dulu ke kampus. Menaruh semua perlengkapan ke sekretariat lagi. Barulah seluruh tim kembali pulang ke rumah masing-masing. Fajar kebanjiran traktiran dari aku, Siska dan Lisa. Dari traktiran makan, traktiran ngopi, sampai traktiran nonton. Sebelum ngemall kami mampir dulu ke rumahnya Lisa. Di sana, bertiga kami invansi kamar dan juga kamar mandinya. Malah terakhirnya kami sempat dugem merayakan kemenangan, sekaligus acara perpisahan dengan Fajar. Dia kan mau kembali ke kota asalnya. Lintas pulau. Bakalan sulit ketemu waktu buat kumpul-kumpul seperti hari itu lagi.

Begitu pisahan, Fajar beneran dong dapat lagi bonus tambahan. Sebelum turun dari mobil Lisa memberi Fajar ciuman di pipi kanan dan kiri. Tiba di kosan Siska, ganti bibir Fajar yang didarati kecupan bibirnya Siska. Ditambah pesan, “Jangan mau cuman dikasi kiss pipi doang ama si Dita ya, minta pakai lidah.” Tentu aku langsung mendaratkan tepukan di bahu sahabat centilku itu.

Sampai juga akhirnya di rumahku. Sengaja aku minta diantar ke rumah, bukan ke kosan. Soalnya adikku lagi ada acara mendaki gunung. Katanya bakal nginep dua malam. Kasihan kalau rumah dibiarin kosong. Aku sudah di rumah sejak kemarin. Itu pun rumah aku temukan dalam keadaan berantakan. Jadilah seharian aku habiskan dengan membereskan rumah. Memang deh adikku itu paling malas kalau sudah urusan bersih-bersih. Sampai kamar dia juga musti aku yang beresin.

“Makasi sekali lagi ya, Jar.”

“Sama-sama.”

“Mau ambil bonusnya sekarang?” Godaku, sambil mengerling.

Fajar tersipu. “Nggak usah deh.”

“Lho kok nggak usah?”

Dia terdiam sesaat, baru lanjut berujar. “Ha-habis gue udah jahat ama elu sih, Dit.”

Dahiku berkerut. Fajar makin terbata-bata ketika melanjutkan kata-katanya. Dia membahas soal malam itu. Malam di mana aku dan dia berakhir di kamar. Masih terus terbata-bata dia mengakui perbuatannya. Dia juga minta maaf atas perbuatannya tersebut. Dia bilang tidak tahu kenapa dia bisa senekat itu. Dia bilang sangat menyesal. Momen itu sudah seperti momen pengakuan dosa.

“Ka-kalo lu nggak terima dan mau laporin gue, gue siap kok. Gue nggak bakal lari dari tanggung jawab. Mumpung gue masih di sini.”

Aduh, aku tidak tahu kalau Fajar sampai merasa sebersalah itu. Padahal dalam kejadian tersebut aku kan juga punya peran yang besar. Kan aku sedang “butuh” juga waktu itu. Karena dia sudah berterus terang, maka aku pun merasa perlu untuk ikut berterus terang.

“Waktu itu aku juga nggak semabuk itu kok sebenernya...”

“Ma-maksud lu?”

“Gue tahu kok apa yang elu lakuin.”

“Se-serius?”

Aku mengangguk.

Fajar terlihat sangat terkejut. “Terus kok elu diem aja selama ini?”

“Ya abis gue anggep itu sekedar one night stand doang. Kita ngeseks ya udah. Lu juga nggak ada ngebahas lagi soal itu kan. Terus hubungan kita juga masih baik-baik aja. Ya udah...”

“Be-berarti... elu sadar waktu kita...”

Kembali aku mengangguk.

Kali ini Fajar terlihat menghela nafas. Nafas yang sangat panjang. Raut wajahnya nampak begitu lega. Seolah beban berat di dirinya terlepas. Dia nampak terbebas dari beban batin yang memang sangat tergambar setiap kali bertemu aku. Cukup lama lalu dia terbisu. Seperti sedang mencerna percakapan kami barusan.

Are you okay?”

Ganti dia mengangguk.

“Sumpah dari dulu gue pengen banget ngungkapin ini ke elu. Tiap gue ketemu elu, gue ngerasa kalo gue ini cowok cemen. Gue ngerasa kalo gue ini jahat banget ke elu.”

“Jangan ngerasa gitu dong. Sekarang elu mau jujur kayak gini ke gue aja udah ngebuktiin kalo elu bukan cowok cemen kok.”

“Ma-makasi ya, Dit. Dan sekali lagi maafin gue ya.”

“Iya.”

“Ini berarti, ki-kita masih temenan kan?”

Aku tersenyum. “Ya, iyalah.”

Kemudian kami tertawa bersamaan. Meski tawa Fajar masih terdengar tertahan.

Barulah lalu Fajar nyeletuk meminta bonusnya. Dia minta untuk bisa memeluk diriku. Tentu saja aku kabulkan. Di dalam mobil itu kami pun berpelukan hangat lumayan lama. Masih berpelukan, Fajar berbisik di telingaku. “Elu tau kan kalo gue suka ama elu?”

Kujawab pakai anggukan pelan.

“Tapi sayang ya hubungan kita nggak bisa lebih dari sekedar teman.”

Tidak aku tanggapi pernyataan tersebut. Mengingat kami sudah pernah membahasnya. Sewaktu Fajar mengungkapkan perasaan cinta. Tentu sudah tahu jawabanku apa. Menimbang keberadaan kami yang bakal segera terpisah lautan. Status yang beda ras. Sudah gitu beda agama pula. Bakal banyak sekali halangan kalau sampai kami menjalin sebuah hubungan serius. Biarlah hubungan kami tetap seperti sekarang.

“Hendra cowok yang beruntung.” Kembali dia berujar.

Dan lagi tidak aku tanggapi. Tidak mau kalau sahabatku itu sampai tahu kalau aku dan Hendra sedang break. Aku tidak mau memberikan Fajar harapan.

Selepas berpelukan, Fajar kembali berujar. “Malam itu adalah malam terbaik buat gue, Dit.”

“Karena elu bisa ngewe gue?”

Sahabatku itu tersenyum dengan muka merah tersipu. Terlihat malu-malu. “Salah satunya sih...”

Balas aku timpali pakai senyuman.

“Tapi sayang ya keadaannya waktu itu kurang layak. Andai saja lain hari kita bisa ngelakuin itu sekali lagi, tapi dalam keadaan yang lebih layak, pasti...” Sepertinya memang sengaja sih Fajar menggantung kalimatnya tersebut. Mungkin untuk mencari tahu tanggapanku seperti apa.

“Kok elu yakin banget sih kalau gue mau ngelakuin itu lagi ama lu?” Aku tutup kalimat itu pakai tawa kecil. Menunjukkan kalau niatku cuma buat menggoda dirinya.

Nah kan, wajah Fajar jadi merah lagi dong. Merah banget, sumpah. Duh malu-malu banget sih si Fajar ini, sudah dikasih kode juga dari tadi. Tapi itu malah bikin aku makin gemes padanya.

“I-iya kan andai saja. A-andai saja lho, Dit. Andai...”

Tuh kan jadi kikuk kan dia sekarang. Ngikik aku dalam hati.

“Kenapa musti lain hari? Kenapa nggak sekarang aja?”

“Ah? Ma-maksud lu?”

“Besok kan elu balik. Belum tahu kan kapan kita bisa ketemuan lagi. Ngewenya sekarang aja.”

“Se-serius lu?” Seakan dia perlu banget buat menegaskan kata-kataku barusan.

“Serius dong. Rumah gue lagi kosong kok. Tapi, ya kalo elu mau sih...”

“Ma-mau, mau...”

Fajar terlihat antusias. Ya jelas antusiaslah. Dikasih memek masa sih yang nggak antusias.

“Eh, tapi kita sepakati dulu beberapa hal.” Diam aku sebentar. Mau menunjukkan kalau apa yang akan aku katakan adalah sesuatu yang serius. “Kita akan ngelakuinnya sekali aja. Kita akan pakai kondom. Terus ini cuman seks, jadi elu jangan mikirin kalau akan ada lanjutannya. Dan habis itu elu musti langsung pulang, no nginep. Gimana? Elu ada masalah dengan syarat-syaratnya?”

“Ng-gak. Nggak ada masalah.”

Good. Mau masuk sekarang?”

Tanpa menunggu jawaban, aku turun lebih dulu. Fajar menyusul tidak selang lama. Sengaja aku suruh dia parkir di luar saja. Tidak pas juga depan rumah. Guna menghindari kecurigaan. Habis ini kan sudah terlalu malam buat menerima tamu. Maklum rumahku berada di lingkungan emak-emak biang gosip. Mereka sudah tahu kalau aku lagi sendiri di rumah. Terus tambah dilihat bawa cowok masuk. Ya dijamin bakalan ramai jadinya nanti.

Begitu sampai di dalam, aku tawari Fajar mau minum apa. Soalnya aku lihat dia kelihatan masih gugup. Begitu pula diriku sebenarnya. Hanya saja aku coba tutupi kegugupan tersebut. Maklum sebentar lagi kami akan berhubungan badan. Meskipun musti diakui ini bukan kali pertama aku mengajak laki-laki ke rumah. Dan berakhir telanjang. Tapi ini kan bukan Hendra, yang statusnya adalah pacar. Bukan juga Reza, yang sudah lama jadi friend with benefit. Nah Fajar ini kan cuma temen doang statusnya. Wajar dong muncul sedikit kekurang-nyamanan. Mengingat sudah tidak bisa lagi pakai alasan kalau ini terjadi akibat pengaruh alkohol.

Anjirrr, jujur gue kok jadi gugup gini ya, Dit.”

Fajar berujar usai meneguk es sirup dari gelas yang aku sajikan.

“Gue juga kok.”

Kemudian kami berdua tertawa geli. Supaya tak lama-lama terjebak dalam kondisi tersebut, aku ajak Fajar ciuman. Kan memang itu sudah jadi janjiku ke dia sedari awal.

Lagi kami berdua kompak ngikik waktu bibir terpisah. Kali ini dipicu aroma pasta yang terasa di mulut masing-masing. Asalnya dari pizza yang tadi kami santap. Fajar lalu nyeletuk di mana bisa beli sikat gigi. Sumpah buyar sudah kegugupan yang tadi melanda. Berganti jadi tawa cekikikan yang lama. Bagus sih, karena itu berhasil menepis kekakuan yang sempat melanda.

Berdua lalu kami keluar berjalan menuju mini market ke dekat rumah. Bukanya 24 jam. Kembali agar tidak ada yang curiga, kami jalan jauh-jauhan. Di sana Fajar mengambil sikat dan pasta gigi, sabun wajah, sabun cair, ditambah handuk kecil. Selesai dia membayar, barulah kusambar kotak kondom. “Stok habis,” ujarku disertai kerling genit. Muka sahabatku itu sontak memerah. Begitu pula dengan kasir di depan kami.

Balik lagi ke rumah, Fajar langsung permisi pinjam kamar mandi. Aku suruh dia pakai yang di pojok belakang. Memang khusus buat tamu sih biasanya. Sementara dia di dalam, aku juga turut bersih-bersih diri di kamar mandi yang ada di kamarku. Sekembali Fajar, aku sudah lebih dahulu selesai dan duduk menunggu di ruang tamu.

“Udah?”

Sahabatku itu mengangguk pelan. Memang terlihat penampilan dia sudah lebih fresh ketimbang tadi. Kusuruh dia duduk di sebelahku lagi.

“Mana, coba sini dicek dulu...”

Aku sodorin bibirku. Disusul pula oleh Fajar. Sekali lagi bibir kami beradu. Hanya kali ini aroma yang tercium adalah daun mint. Menyegarkan sekali. Membuat kuluman jadi berlangsung lebih lama dari yang sebelumnya. Bibir kami berpisah sejenak. Saling bertukar senyum, lalu balik lagi beradu. Ditambah dengan sapuan lidah beberapa kali.

Kulihat Fajar belum juga berani mengambil langkah lanjutan. Kayaknya perlu nih inisiatif lebih dulu, pikirku. Begitu kami selesai beradu lidah, aku lepas kaos yang dia pakai. Menyusul celana jeans-nya. Barulah kemudian kawanku itu jadi lebih agresif. Tidak perlu perlu lama-lama, untuk aku dibuatnya ikut cuma bercelana dalam saja. Setelahnya habis tiap jengkal tubuhku diliuri oleh Fajar. Benar-benar setiap jengkal. Diciumi, dijilati. Membuat aku bergelinjang. Terutama begitu sampai di area telinga, leher, dan payudara. Utamanya lagi di bagian puting. Diakui Fajar kalau payudaraku adalah area favoritnya. Bagus banget bentuknya, kata dia malu-malu. Kubiarkan dia berlama-lama di sana. Menyusu layaknya seorang bayi, sebelum mulai lanjut menyusur turun.

Ih geli tau...”

Melenguh aku lirih, saat lidahnya meliuk di perut, pusar, dan pinggang. Dia respon cuma dengan senyum, lalu lanjut menarikan lidah. Kukira akan langsung mengincar area kewanitaan. Ternyata turun dulu mengulumi jari-jari kaki, baru naik ke betis dan paha. Titik-titik lain yang juga sukses membuat aku bergelinjang. Sontak celana dalamku jadi basah. Dan jadi semakin basah sewaktu tarian lidah Fajar akhirnya tiba di sana.

Ssshh, ssshh, ssshhh...”

Aaahh, aaahh, aaahh...”

Desahanku semakin lirih. Birahiku semakin meninggi.

Tiba-tiba... TEETTT, TEETTT!

Kaget kami mendengar suara bel pintu. Kok malem-malem gini? Segera aku sambar celana jeans, dan dengan susah payah mengenakannya kembali. Inisiatif Fajar nyodorin bra dan kaos milikku. kusambar kaosnya saja. Kelamaan kalau musti pakai bra juga. Soalnya bel sudah berbunyi untuk kali kedua.

“Sebentar ya...” Sempat aku berujar ke Fajar, sebelum berlarian ke teras rumah.

Sekembalinya ke dalam, aku lihat sahabatku itu sudah berpakaian kembali.

“Lho kok elu ikutan pake baju?” Aku tersenyum.

“Ya kan buat jaga-jaga, siapa tahu tamunya masuk ke rumah.”

“Nggaklah. Masa lagi berduaan ama cowok, gue kasih tamu masuk sih.”

“Emang siapa?”

“Biasalah... Ibu tetangga sebelah. Ngakunya sih mau ngecek doang soalnya ngeliat lampu rumah kok masih nyala, padahal sekalian nyari bahan gosip ke Mama gue.”

“Oh itu kenapa tadi elu nyuruh gue parkir mobil gak di depan rumah?”

“Nah, ngerti kan elu sekarang.”

Fajar cuma nyengir. “Terus ini sekarang kita gimana?”

“Lanjutlah. Emang elu nggak ‘kentang’ kalo gue kasi tetek doang?”

Tidak kuasa Fajar untuk menahan tawa. Maka kembalilah kami saling bantu untuk menelanjangi diri. Terpaksa kami ulangi lagi proses foreplay yang tadi sempat terhenti. Kembali lidah Fajar meliuk-liuk lincah di sekujur tubuhku. Begitu juga gantian lidahku di tubuhnya. Cuma kali ini di akhir, sudah tak ada lagi kain penghalang di antara lidahnya dan liang surgawiku. Tidak ada pula bulu pubis yang dua hari lalu aku bersihkan. Mengingat latihan dance rawan bikin area tersebut banyak berkeringat. Mendapati itu, Fajar jadi kian antusias menyiapkan diriku agar siap tempur. Demikian sebaliknya. Batang penisnya aku urut-urut lembut, supaya kembali tegak menantang. Aku lempar senyuman genit. Dia menangkap makna senyumku tersebut. Kondom pun sekarang sudah terpasang. Fajar mencium dulu bibirku lembut, sebelum menyarangkan batang penis itu ke vaginaku.

Aaahhhh...”

Aku mendesah nikmat. Begitu pula dengan Fajar. Sangat nampak raut sumringah di wajahnya. Mungkin karena kali ini dia bisa menyetubuhi aku tanpa rasa bersalah.

Sembari menusuk-nusukkan penis, Fajar mengatur posisi agar mata kami bisa saling tatap. Masih mau memastikan sepertinya dia, kalau memang aku lakukan persetubuhan ini dengan kerelaan. Tentu saja aku tatap balik matanya. Diciumi lagi bibirku. Sesekali diselingi kuluman pada puting secara bergiliran, selagi di bawah sana kelamin kami terus beradu. Berbeda dengan kali terakhir, kali ini terasa Fajar lebih piawai mengatur ritme. Kadang kencang, kadang pelan. Mungkin ada pengaruh kesepakatan awal kami. Untuk melakukan sekali saja. Agaknya dia ingin maksimalkan banget kesempatan langka ini. Berimbas juga kepada diriku. Kenikmatan yang aku peroleh jadi ikut terasa lebih maksimal.

Aaahhhh...”

Aaahhhh...”

Selama persetubuhan terjadi kami sempat bertukar posisi beberapa kali. Di antara posisi-posisi tadi, Fajar bilang menikmati sekali waktu aku ada di atas. Terutama saat payudaraku bergunjang menggoda di hadapan dia. Dengan gemes dia remasi. Dengan gemas pula berulang kali dikulumi putingnya, saat aku sodorkan padanya. Sembari dua tangannya ganti meremasi pantatku. Ketika aku hendak bertukar posisi lagi, sahabatku itu melarangnya. Dia bilang supaya aku tetap saja ada di atas. Kata dia, aku kelihatan cantik banget kalau dilihat dari posisi tersebut. Tersipu dong aku jadinya. Maka aku lanjutkan goyangan pinggulku, sembari terus saling beradu senyuman dengan Fajar. Berulang kali dia bisikkan kata makasi, selagi kelamin terus bergesek dan beradu. Sampai sama-sama tiba di puncak permainan, diiringi lenguhan panjang.

Meski penis di dalam vagina sudah melemas, Fajar minta agar aku tetap duduk di atas tubuhnya. “Jangan usir gue dulu ya. Momen terbaik dalam hidup gue nih soalnya,” pintanya penuh harap.

“Iya.”

Thank you.”

Memenuhi permintaan Fajar, tiga puluh menit lamanya kami habiskan dengan perpelukan di atas sofa. Masih tetap dalam keadaan bertelanjang bulat. Ngobrol-ngobrol ringan, diselingi tawa-tawa kecil. Kecupan-kecupan juga kerap mendarat di bibir. Selagi membiarkan tangan sahabatku tetap meraba ke mana-mana. Seolah hendak merekam tiap lekuk tubuhku dalam kenangan. Merasakan dapat memiliki diriku, meski hanya dalam hitungan jam. Sampai tiba dimana kami sepakat sudah waktunya untuk berpisah. Dia kenakan lagi seluruh pakaiannya. Sementara aku tutupi diri hanya pakai kaos dan celana dalam.

Malam itu kami berpisah, tanpa ada bahasan soal ada tidaknya pertemuan lagi setelahnya.

Selepas kepergian Fajar, aku tersenyum sendiri dalam hati. Ternyata benar adanya apa yang acap kali dikatakan Siska dan Lisa. Seks tanpa embel-embel status pacar bisa sama enaknya kok. Seks tanpa ikatan sesudahnya bukanlah sebuah masalah. Yang penting kita dengan partner sama-sama nyaman. Yang penting kepuasan dicapainya lewat main aman. Dan malam itu, petualanganku di dunia perlendiran - senggama tanpa asmara - resmi dimulai...

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar