Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Makasi
lho Jar, udah mau nganterin kita lagi.”
“Maaf nih
kalo kita-kita hobi ngerepotin.”
Lisa dan
Siska bergantian berujar dari bangku belakang mobil. Waktu itu kami dalam
perjalanan sepulang ikut lomba dance,
di luar kota. Rencana awal kami akan naik bus. Soalnya jarak lokasi yang musti
ditempuh sampai dua setengah jam. Tapi entah apa yang terjadi, ternyata bus
tersebut mendadak berkendala. Rusak mesin gitu deh. Langsung rencana diubah
detik itu juga. Mumpung masih pagi, berusaha kami kumpulin semua mobil yang tersedia.
Berharap bisa mengakomodasi tim dan juga seluruh perlengkapan. Kurang satu
mobil, terpaksalah kami menelepon Fajar lagi. Sampai gelagapan dia menerima
telepon pagi-pagi banget. Padahal sudah dari dua hari kemarin dia bolak-balik mengantar
kami juga ke lokasi. Waktu itu guna mengikuti rangkaian technical meeting. Itu pun sampai malam pula. Niatnya hari ini mau
kasih Fajar buat beristirahat, tapi apa mau dikata. Terpaksa kami ganggu lagi. Untung
saja dia tidak ada kegiatan lain.
“Nggak
apa-apa. Santai aja.” Fajar tersenyum di belakang kemudi.
“MAKASI
SEKALI LAGI YA FAJAR!”
Kali ini Lisa
dan Siska barengan berseru. Kompak bener
dah kedua sahabatku itu.
Tentu
saja itu mengundang kembali senyum si pengemudi. Sementara aku yang duduk di
depan cuma bisa tersipu.
“Oya, katanya
elu mau pulang kampung ya? Kapan emang berangkatnya?”
“Besok malem.”
Sontak
Lisa berseru lagi. “YA AMPUN!” Ekspresif bener memang sahabatku yang satu ini.
“Kok
ngerasa jahat banget ya kita ke elu. Di hari terakhir masih aja kita siksa,” tambahnya
lagi.
“Hehehe nggak
apa-apa. Lagian semuanya udah beres kok. Tinggal berangkat aja besok.”
Nah,
itulah juga yang sebenarnya bikin kami tak enak minta bantuan Fajar lagi.
Habisnya dia kan statusnya bukan mahasiswa di Universitas kami lagi. Tapi masih
saja kami repotkan sama urusan kampus. Dia sudah lulus bulan lalu. Yah namanya terpaksa, gimana dong.
Selain itu harus diakui kalau mobil Fajar ini enak banget interiornya. Nyaman
banget pokoknya buat dipakai perjalanan jauh. Ditambah “sopirnya” polos lagi.
Disuruh mampir sini, mampir sana, nggak bakalan nolak.
“Enak ya elu
begitu lulus udah ada kerjaan menanti di daerah asal.” Ganti Siska yang
berujar.
“Halah, cuma jadi petani aja kok.
“Petani
sih petani, tapi kalo lahannya hektaran ya itu mah namanya petani tajir.”
Mendengar
itu Fajar tersipu.
“Kayaknya
kita ntar sampai malem lagi lho, Jar. Nggak apa-apa kan ya?”
“Iya.
Nggak apa-apa.”
“Sip deh.
Elu emang the best...” Siska ngikik,
sebelum kembali berujar. “Ntar duit bensin sama makan kita yang nanggung deh.
Plus ntar elu dikasi bonus kiss ama
si Dita.”
Lho, lho, kok
gue dibawa-bawa sih. Padahal sudah berusaha duduk kalem sedari tadi. Tuh
kan mukanya si Fajar jadi merona merah lagi. Mengingat apa yang pernah terjadi antara
kami di hari itu (baca cerita: Butuh Kelonan), Fajar memang selalu nampak kikuk
tiap bertemu diriku. Mana tiap naik mobil aku selalu disuruh duduk di depan
lagi. Terus tiap pulang aku selalu yang diantar paling terakhir. Berduaan saja
jadilah dia nambah kikuk. Selalu saja harus berusaha aku cairkan suasana. Semua
itu ulah dari dua temanku di belakang sana. Kan mereka juga tahu bangetlah apa
yang terjadi malam itu. Doyan saja mereka bikin si Fajar salah tingkah.
“Ng-gak
usah. Nggak usah pake kiss-kiss
segala.”
Terus
dikomporin, aku jadi terpancing dong.
“Nggak
apa-apa. Ntar aku kiss kamu deh,
ingetin yah ntar kalo sampe rumah.”
Sorakan
dari bangku belakang pun bergemuruh. Sudah tahu kan wajah Fajar sekarang jadi kayak
apa. Tambah merah, semerah-merahnya.
***
Lomba
berjalan lancar. Meski tim dance kampus
akhirnya hanya dapat peringkat kedua saja, tapi disambut dengan bahagia.
Mengingat tahun-tahun kemarin malah selalu gagal. Mengingat pula kalau
lawan-lawan kami levelnya sudah skala nasional.
Selesai berganti
kostum, kami meluncur balik dulu ke kampus. Menaruh semua perlengkapan ke
sekretariat lagi. Barulah seluruh tim kembali pulang ke rumah masing-masing. Fajar
kebanjiran traktiran dari aku, Siska dan Lisa. Dari traktiran makan, traktiran ngopi,
sampai traktiran nonton. Sebelum ngemall kami mampir dulu ke rumahnya Lisa. Di sana,
bertiga kami invansi kamar dan juga kamar mandinya. Malah terakhirnya kami
sempat dugem merayakan kemenangan, sekaligus acara perpisahan dengan Fajar. Dia
kan mau kembali ke kota asalnya. Lintas pulau. Bakalan sulit ketemu waktu buat
kumpul-kumpul seperti hari itu lagi.
Begitu pisahan,
Fajar beneran dong dapat lagi bonus tambahan. Sebelum turun dari mobil Lisa memberi
Fajar ciuman di pipi kanan dan kiri. Tiba di kosan Siska, ganti bibir Fajar
yang didarati kecupan bibirnya Siska. Ditambah pesan, “Jangan mau cuman dikasi kiss pipi doang ama si Dita ya, minta
pakai lidah.” Tentu aku langsung mendaratkan tepukan di bahu sahabat centilku
itu.
Sampai
juga akhirnya di rumahku. Sengaja aku minta diantar ke rumah, bukan ke kosan.
Soalnya adikku lagi ada acara mendaki gunung. Katanya bakal nginep dua malam. Kasihan
kalau rumah dibiarin kosong. Aku sudah di rumah sejak kemarin. Itu pun rumah aku
temukan dalam keadaan berantakan. Jadilah seharian aku habiskan dengan membereskan
rumah. Memang deh adikku itu paling malas kalau sudah urusan bersih-bersih.
Sampai kamar dia juga musti aku yang beresin.
“Makasi
sekali lagi ya, Jar.”
“Sama-sama.”
“Mau
ambil bonusnya sekarang?” Godaku, sambil mengerling.
Fajar
tersipu. “Nggak usah deh.”
“Lho kok
nggak usah?”
Dia
terdiam sesaat, baru lanjut berujar. “Ha-habis gue udah jahat ama elu sih, Dit.”
Dahiku
berkerut. Fajar makin terbata-bata ketika melanjutkan kata-katanya. Dia
membahas soal malam itu. Malam di mana aku dan dia berakhir di kamar. Masih
terus terbata-bata dia mengakui perbuatannya. Dia juga minta maaf atas
perbuatannya tersebut. Dia bilang tidak tahu kenapa dia bisa senekat itu. Dia bilang
sangat menyesal. Momen itu sudah seperti momen pengakuan dosa.
“Ka-kalo lu
nggak terima dan mau laporin gue, gue siap kok. Gue nggak bakal lari dari
tanggung jawab. Mumpung gue masih di sini.”
Aduh, aku tidak tahu kalau Fajar sampai merasa
sebersalah itu. Padahal dalam kejadian tersebut aku kan juga punya peran
yang besar. Kan aku sedang “butuh” juga waktu itu. Karena dia sudah berterus
terang, maka aku pun merasa perlu untuk ikut berterus terang.
“Waktu
itu aku juga nggak semabuk itu kok sebenernya...”
“Ma-maksud
lu?”
“Gue tahu
kok apa yang elu lakuin.”
“Se-serius?”
Aku
mengangguk.
Fajar
terlihat sangat terkejut. “Terus kok elu diem aja selama ini?”
“Ya abis gue
anggep itu sekedar one night stand doang.
Kita ngeseks ya udah. Lu juga nggak
ada ngebahas lagi soal itu kan. Terus hubungan kita juga masih baik-baik aja.
Ya udah...”
“Be-berarti...
elu sadar waktu kita...”
Kembali
aku mengangguk.
Kali ini Fajar
terlihat menghela nafas. Nafas yang sangat panjang. Raut wajahnya nampak begitu
lega. Seolah beban berat di dirinya terlepas. Dia nampak terbebas dari beban
batin yang memang sangat tergambar setiap kali bertemu aku. Cukup lama lalu dia
terbisu. Seperti sedang mencerna percakapan kami barusan.
“Are you okay?”
Ganti dia
mengangguk.
“Sumpah
dari dulu gue pengen banget ngungkapin ini ke elu. Tiap gue ketemu elu, gue ngerasa
kalo gue ini cowok cemen. Gue ngerasa
kalo gue ini jahat banget ke elu.”
“Jangan
ngerasa gitu dong. Sekarang elu mau jujur kayak gini ke gue aja udah ngebuktiin
kalo elu bukan cowok cemen kok.”
“Ma-makasi
ya, Dit. Dan sekali lagi maafin gue ya.”
“Iya.”
“Ini
berarti, ki-kita masih temenan kan?”
Aku
tersenyum. “Ya, iyalah.”
Kemudian
kami tertawa bersamaan. Meski tawa Fajar masih terdengar tertahan.
Barulah lalu
Fajar nyeletuk meminta bonusnya. Dia minta untuk bisa memeluk diriku. Tentu
saja aku kabulkan. Di dalam mobil itu kami pun berpelukan hangat lumayan lama.
Masih berpelukan, Fajar berbisik di telingaku. “Elu tau kan kalo gue suka ama
elu?”
Kujawab pakai
anggukan pelan.
“Tapi
sayang ya hubungan kita nggak bisa lebih dari sekedar teman.”
Tidak aku
tanggapi pernyataan tersebut. Mengingat kami sudah pernah membahasnya. Sewaktu
Fajar mengungkapkan perasaan cinta. Tentu sudah tahu jawabanku apa. Menimbang keberadaan
kami yang bakal segera terpisah lautan. Status yang beda ras. Sudah gitu beda
agama pula. Bakal banyak sekali halangan kalau sampai kami menjalin sebuah
hubungan serius. Biarlah hubungan kami tetap seperti sekarang.
“Hendra cowok
yang beruntung.” Kembali dia berujar.
Dan lagi tidak
aku tanggapi. Tidak mau kalau sahabatku itu sampai tahu kalau aku dan Hendra
sedang break. Aku tidak mau
memberikan Fajar harapan.
Selepas
berpelukan, Fajar kembali berujar. “Malam itu adalah malam terbaik buat gue,
Dit.”
“Karena elu
bisa ngewe gue?”
Sahabatku
itu tersenyum dengan muka merah tersipu. Terlihat malu-malu. “Salah satunya sih...”
Balas aku
timpali pakai senyuman.
“Tapi sayang
ya keadaannya waktu itu kurang layak. Andai saja lain hari kita bisa ngelakuin
itu sekali lagi, tapi dalam keadaan yang lebih layak, pasti...” Sepertinya memang
sengaja sih Fajar menggantung kalimatnya tersebut. Mungkin untuk mencari tahu
tanggapanku seperti apa.
“Kok elu
yakin banget sih kalau gue mau ngelakuin itu lagi ama lu?” Aku tutup kalimat
itu pakai tawa kecil. Menunjukkan kalau niatku cuma buat menggoda dirinya.
Nah kan, wajah
Fajar jadi merah lagi dong. Merah banget, sumpah. Duh malu-malu banget sih si Fajar ini, sudah dikasih kode juga dari tadi. Tapi itu malah bikin aku makin
gemes padanya.
“I-iya
kan andai saja. A-andai saja lho, Dit. Andai...”
Tuh kan jadi kikuk kan dia sekarang. Ngikik aku dalam hati.
“Kenapa musti
lain hari? Kenapa nggak sekarang aja?”
“Ah?
Ma-maksud lu?”
“Besok kan
elu balik. Belum tahu kan kapan kita bisa ketemuan lagi. Ngewenya sekarang
aja.”
“Se-serius
lu?” Seakan dia perlu banget buat menegaskan kata-kataku barusan.
“Serius
dong. Rumah gue lagi kosong kok. Tapi, ya kalo elu mau sih...”
“Ma-mau,
mau...”
Fajar
terlihat antusias. Ya jelas antusiaslah. Dikasih memek masa sih yang nggak antusias.
“Eh, tapi
kita sepakati dulu beberapa hal.” Diam aku sebentar. Mau menunjukkan kalau apa
yang akan aku katakan adalah sesuatu yang serius. “Kita akan ngelakuinnya
sekali aja. Kita akan pakai kondom. Terus ini cuman seks, jadi elu jangan mikirin
kalau akan ada lanjutannya. Dan habis itu elu musti langsung pulang, no nginep. Gimana? Elu ada masalah
dengan syarat-syaratnya?”
“Ng-gak.
Nggak ada masalah.”
“Good. Mau masuk sekarang?”
Tanpa
menunggu jawaban, aku turun lebih dulu. Fajar menyusul tidak selang lama. Sengaja
aku suruh dia parkir di luar saja. Tidak pas juga depan rumah. Guna menghindari
kecurigaan. Habis ini kan sudah terlalu malam buat menerima tamu. Maklum rumahku
berada di lingkungan emak-emak biang
gosip. Mereka sudah tahu kalau aku lagi sendiri di rumah. Terus tambah dilihat
bawa cowok masuk. Ya dijamin bakalan ramai jadinya nanti.
Begitu sampai
di dalam, aku tawari Fajar mau minum apa. Soalnya aku lihat dia kelihatan masih
gugup. Begitu pula diriku sebenarnya. Hanya saja aku coba tutupi kegugupan
tersebut. Maklum sebentar lagi kami akan berhubungan badan. Meskipun musti diakui
ini bukan kali pertama aku mengajak laki-laki ke rumah. Dan berakhir telanjang.
Tapi ini kan bukan Hendra, yang statusnya adalah pacar. Bukan juga Reza, yang
sudah lama jadi friend with benefit. Nah
Fajar ini kan cuma temen doang statusnya. Wajar dong muncul sedikit kekurang-nyamanan.
Mengingat sudah tidak bisa lagi pakai alasan kalau ini terjadi akibat pengaruh
alkohol.
“Anjirrr, jujur gue kok jadi gugup gini
ya, Dit.”
Fajar berujar
usai meneguk es sirup dari gelas yang aku sajikan.
“Gue juga
kok.”
Kemudian
kami berdua tertawa geli. Supaya tak lama-lama terjebak dalam kondisi tersebut,
aku ajak Fajar ciuman. Kan memang itu sudah jadi janjiku ke dia sedari awal.
Lagi kami
berdua kompak ngikik waktu bibir terpisah.
Kali ini dipicu aroma pasta yang terasa di mulut masing-masing. Asalnya dari
pizza yang tadi kami santap. Fajar lalu nyeletuk di mana bisa beli sikat gigi.
Sumpah buyar sudah kegugupan yang tadi melanda. Berganti jadi tawa cekikikan yang lama. Bagus sih, karena itu
berhasil menepis kekakuan yang sempat melanda.
Berdua lalu
kami keluar berjalan menuju mini market ke dekat rumah. Bukanya 24 jam. Kembali
agar tidak ada yang curiga, kami jalan jauh-jauhan. Di sana Fajar mengambil sikat
dan pasta gigi, sabun wajah, sabun cair, ditambah handuk kecil. Selesai dia membayar,
barulah kusambar kotak kondom. “Stok
habis,” ujarku disertai kerling genit. Muka sahabatku itu sontak memerah.
Begitu pula dengan kasir di depan kami.
Balik
lagi ke rumah, Fajar langsung permisi pinjam kamar mandi. Aku suruh dia pakai
yang di pojok belakang. Memang khusus buat tamu sih biasanya. Sementara dia di
dalam, aku juga turut bersih-bersih diri di kamar mandi yang ada di kamarku. Sekembali
Fajar, aku sudah lebih dahulu selesai dan duduk menunggu di ruang tamu.
“Udah?”
Sahabatku
itu mengangguk pelan. Memang terlihat penampilan dia sudah lebih fresh ketimbang tadi. Kusuruh dia duduk
di sebelahku lagi.
“Mana,
coba sini dicek dulu...”
Aku sodorin
bibirku. Disusul pula oleh Fajar. Sekali lagi bibir kami beradu. Hanya kali ini
aroma yang tercium adalah daun mint. Menyegarkan
sekali. Membuat kuluman jadi berlangsung lebih lama dari yang sebelumnya. Bibir
kami berpisah sejenak. Saling bertukar senyum, lalu balik lagi beradu. Ditambah
dengan sapuan lidah beberapa kali.
Kulihat Fajar
belum juga berani mengambil langkah lanjutan. Kayaknya perlu nih inisiatif lebih dulu, pikirku. Begitu kami
selesai beradu lidah, aku lepas kaos yang dia pakai. Menyusul celana jeans-nya. Barulah kemudian kawanku itu jadi
lebih agresif. Tidak perlu perlu lama-lama, untuk aku dibuatnya ikut cuma bercelana
dalam saja. Setelahnya habis tiap jengkal tubuhku diliuri oleh Fajar.
Benar-benar setiap jengkal. Diciumi, dijilati. Membuat aku bergelinjang.
Terutama begitu sampai di area telinga, leher, dan payudara. Utamanya lagi di bagian
puting. Diakui Fajar kalau payudaraku adalah area favoritnya. Bagus banget bentuknya, kata dia
malu-malu. Kubiarkan dia berlama-lama di sana. Menyusu layaknya seorang bayi,
sebelum mulai lanjut menyusur turun.
“Ih geli tau...”
Melenguh aku
lirih, saat lidahnya meliuk di perut, pusar, dan pinggang. Dia respon cuma dengan
senyum, lalu lanjut menarikan lidah. Kukira akan langsung mengincar area
kewanitaan. Ternyata turun dulu mengulumi jari-jari kaki, baru naik ke betis
dan paha. Titik-titik lain yang juga sukses membuat aku bergelinjang. Sontak
celana dalamku jadi basah. Dan jadi semakin basah sewaktu tarian lidah Fajar akhirnya
tiba di sana.
“Ssshh, ssshh, ssshhh...”
“Aaahh, aaahh, aaahh...”
Desahanku
semakin lirih. Birahiku semakin meninggi.
Tiba-tiba...
TEETTT, TEETTT!
Kaget
kami mendengar suara bel pintu. Kok
malem-malem gini? Segera aku sambar celana jeans, dan dengan susah payah mengenakannya
kembali. Inisiatif Fajar nyodorin bra dan kaos milikku. kusambar kaosnya saja.
Kelamaan kalau musti pakai bra juga. Soalnya bel sudah berbunyi untuk kali kedua.
“Sebentar
ya...” Sempat aku berujar ke Fajar, sebelum berlarian ke teras rumah.
Sekembalinya
ke dalam, aku lihat sahabatku itu sudah berpakaian kembali.
“Lho kok
elu ikutan pake baju?” Aku tersenyum.
“Ya kan
buat jaga-jaga, siapa tahu tamunya masuk ke rumah.”
“Nggaklah.
Masa lagi berduaan ama cowok, gue kasih tamu masuk sih.”
“Emang
siapa?”
“Biasalah...
Ibu tetangga sebelah. Ngakunya sih mau ngecek doang soalnya ngeliat lampu rumah
kok masih nyala, padahal sekalian nyari bahan gosip ke Mama gue.”
“Oh itu
kenapa tadi elu nyuruh gue parkir mobil gak di depan rumah?”
“Nah,
ngerti kan elu sekarang.”
Fajar
cuma nyengir. “Terus ini sekarang kita gimana?”
“Lanjutlah.
Emang elu nggak ‘kentang’ kalo gue
kasi tetek doang?”
Tidak
kuasa Fajar untuk menahan tawa. Maka kembalilah kami saling bantu untuk
menelanjangi diri. Terpaksa kami ulangi lagi proses foreplay yang tadi sempat terhenti. Kembali lidah Fajar meliuk-liuk
lincah di sekujur tubuhku. Begitu juga gantian lidahku di tubuhnya. Cuma kali
ini di akhir, sudah tak ada lagi kain penghalang di antara lidahnya dan liang surgawiku.
Tidak ada pula bulu pubis yang dua
hari lalu aku bersihkan. Mengingat latihan dance
rawan bikin area tersebut banyak
berkeringat. Mendapati itu, Fajar jadi kian antusias menyiapkan diriku agar siap tempur. Demikian sebaliknya. Batang
penisnya aku urut-urut lembut, supaya
kembali tegak menantang. Aku lempar senyuman genit. Dia menangkap makna senyumku
tersebut. Kondom pun sekarang sudah terpasang. Fajar mencium dulu bibirku lembut,
sebelum menyarangkan batang penis itu ke vaginaku.
“Aaahhhh...”
Aku
mendesah nikmat. Begitu pula dengan Fajar. Sangat nampak raut sumringah di wajahnya. Mungkin karena
kali ini dia bisa menyetubuhi aku tanpa rasa bersalah.
Sembari
menusuk-nusukkan penis, Fajar mengatur posisi agar mata kami bisa saling tatap.
Masih mau memastikan sepertinya dia, kalau memang aku lakukan persetubuhan ini
dengan kerelaan. Tentu saja aku tatap balik matanya. Diciumi lagi bibirku. Sesekali
diselingi kuluman pada puting secara bergiliran, selagi di bawah sana kelamin
kami terus beradu. Berbeda dengan kali terakhir, kali ini terasa Fajar lebih piawai
mengatur ritme. Kadang kencang, kadang
pelan. Mungkin ada pengaruh kesepakatan awal kami. Untuk melakukan sekali saja.
Agaknya dia ingin maksimalkan banget kesempatan
langka ini. Berimbas juga kepada diriku. Kenikmatan yang aku peroleh jadi ikut
terasa lebih maksimal.
“Aaahhhh...”
“Aaahhhh...”
Selama persetubuhan
terjadi kami sempat bertukar posisi beberapa kali. Di antara posisi-posisi tadi,
Fajar bilang menikmati sekali waktu aku ada di atas. Terutama saat payudaraku
bergunjang menggoda di hadapan dia. Dengan gemes dia remasi. Dengan gemas pula
berulang kali dikulumi putingnya, saat aku sodorkan padanya. Sembari dua tangannya
ganti meremasi pantatku. Ketika aku hendak bertukar posisi lagi, sahabatku itu melarangnya.
Dia bilang supaya aku tetap saja ada di atas. Kata dia, aku kelihatan cantik banget kalau dilihat dari posisi tersebut.
Tersipu dong aku jadinya. Maka aku lanjutkan goyangan pinggulku, sembari terus saling
beradu senyuman dengan Fajar. Berulang kali dia bisikkan kata makasi, selagi kelamin terus bergesek dan
beradu. Sampai sama-sama tiba di puncak permainan, diiringi lenguhan panjang.
Meski
penis di dalam vagina sudah melemas, Fajar minta agar aku tetap duduk di atas
tubuhnya. “Jangan usir gue dulu ya. Momen terbaik dalam hidup gue nih soalnya,”
pintanya penuh harap.
“Iya.”
“Thank you.”
Memenuhi
permintaan Fajar, tiga puluh menit lamanya kami habiskan dengan perpelukan di
atas sofa. Masih tetap dalam keadaan bertelanjang bulat. Ngobrol-ngobrol ringan, diselingi tawa-tawa kecil. Kecupan-kecupan
juga kerap mendarat di bibir. Selagi membiarkan tangan sahabatku tetap meraba
ke mana-mana. Seolah hendak merekam tiap lekuk tubuhku dalam kenangan. Merasakan
dapat memiliki diriku, meski hanya dalam hitungan jam. Sampai tiba dimana kami
sepakat sudah waktunya untuk berpisah. Dia kenakan lagi seluruh pakaiannya. Sementara
aku tutupi diri hanya pakai kaos dan celana dalam.
Malam itu
kami berpisah, tanpa ada bahasan soal ada tidaknya pertemuan lagi setelahnya.
Selepas
kepergian Fajar, aku tersenyum sendiri dalam hati. Ternyata benar adanya apa yang
acap kali dikatakan Siska dan Lisa. Seks tanpa embel-embel status pacar bisa sama enaknya kok. Seks tanpa ikatan sesudahnya
bukanlah sebuah masalah. Yang penting kita dengan partner sama-sama nyaman. Yang penting kepuasan dicapainya lewat main
aman. Dan malam itu, petualanganku di dunia perlendiran - senggama tanpa asmara
- resmi dimulai...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar