Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sejak
malam itu, seks menjadi bagian hidupku. Malam saat kulepas keperawananku. Aku
masih ingat benar momen itu. Aku hanya terbaring pasrah diatas ranjang. Menunggu
pacarku, Hendra, berusaha memasukiku. Status perjaka membuatnya sedikit sulit
melakukan itu. Kami masih sama-sama lugu saat itu. Akhirnya datang yang
ditunggu. Penisnya menembus selaput daraku. Aku mengerang, dia mengejang.
Seminggu
setelahnya, masih kurasakan perih dibawah sana. Itu tidak membuatku kapok. Kami
melakukannya lagi untuk kedua kalinya. Disusul yang ketiga, keempat dan
seterusnya. Perlahan aku menikmatinya, begitupun dia. Pacarku semakin suka menelanjangiku,
akupun suka telanjang untuknya. Pacarku semakin suka memasukiku, akupun suka
dimasukinya. Seiring waktu, seks pun jadi sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu
yang penuh kenikmatan.
Kami
bercinta dimana saja. Dimana kesempatan ada, disana kami bercinta. Salah satunya
di rumah kontrakanku. Disana kami bebas melakukannya. Sampai akhirnya adikku,
Rido, tinggal bersamaku.
Papa dan
mama harus tinggal sementara diluar negeri. Kantor cabang baru perusahaan papaku
butuh kehadirannya. Aku dan Rido tetap tinggal di Indonesia. Faktor studi
menghalangi kami untuk bisa ikut. Kala itu aku masih semester awal, sedang Rido
menjelang ujian akhir SMU. Untuk bisa saling menjaga, Rido pun diminta tinggal
bersamaku.
“Sayang
jangan, Rido ada di rumah loh.”
Kutepis
tangan pacarku. Dia membandel. Lagi-lagi disentuhnya payudaraku.
“Dikit
aja.” Dia nyengir.
“Tunggu
adikku berangkat les dong,” bisikku.
“Udah
nggak tahan nih.”
Tangannya
tetap lincah, tanpa bisa kucegah. Kaitan braku dibuatnya terlepas.
“Sabar,
sabar…”
Demikian yang
terjadi setiap kali pacarku datang. Tidak ada lagi privasi untuk kami. Bercinta
kami lakukan sembunyi-sembunyi. Itu pun terkadang tak lebih dari sekedar quicky.
***
Sampai disuatu
hari, disuatu siang. Aku pulang dari kampus diluar jadwal. Dosen jam terakhir
tidak mengajar. Cuaca panas membuatku memilih segera pulang. Saat memasuki
ruang tamu aku mendengar suara aneh. Suara itu berasal dari kamar adikku.
Kudekati berlahan. Semakin dekat suara itu terdengar mirip desahan dan erangan.
Apakah adikku menonton bokep, tanyaku dalam hati. Sempat kubatalkan niatku
membuka pintu. Hanya saja rasa ingin tahuku lebih besar. Perlahan kuputar knop
pintu. Ketika terbuka kagetlah aku. Diatas ranjang adikku bersama seorang gadis.
Keduanya telanjang. Mereka sedang bersetubuh.
“Kakak!”
Adikku
menoleh kearahku. Masih dalam posisi memompa, tentunya.
“Sorry, sorry.”
Refleks aku
menutup pintu. Diluar kamar pikiranku kacau. Apa yang baru kulihat tidak pernah
kubayangkan. Tak lama berselang pintu terbuka. Adikku keluar sendirian. Dia
sudah berpakaian. Wajahnya terlihat ketakutan. Kami saling memandang.
“Si-siapa
itu?” ucapku memecah kebisuan kami.
“A-adik
kelas kak.”
Saat
itulah aku tahu segalanya. Kami berbicara banyak setelahnya. Ternyata adikku
mengenal seks jauh lebih dulu dariku. Pertama kali dia melakukannya bersama
kakak kelasnya. Diusianya yang baru tujuh belas. Gadis di kamar itu adalah
pacarnya. Diperawaninya gadis itu sebulan yang lalu. Aku tidak tahu harus
berkata apa. Aku tidak berani menilai, apakah itu benar atau salah. Aku sendiri
melakukannya juga. Akhirnya aku hanya mengingatkan dia tentang pentingnya save sex. Dia pun sudah mengerti hal
itu.
Sejak itu
kami saling menjaga rahasia masing-masing. Terutama kepada orang tua. Sebenarnya
orang tua kami bukan tipe yang kolot. Kami sudah diajari pendidikan seks sejak
kecil. Hanya saja sepertinya akan lebih baik kalau mereka tidak tahu. Disisi
lain, kami jadi terbuka soal seks satu sama lain. Kami tidak lagi melakukan
seks sembunyi-sembunyi. Aku biasa mengajak pacarku ke kamar, demikian pula
adikku. Kami sama-sama tahu apa yang terjadi dalam kamar. Selama tidak saling ganggu,
kami tidak mempermasalahnya.
***
Suatu
hari, diakhir minggu. Adikku menemuiku di kamar. Wajahnya terlihat lesu.
Rupanya dia ingin curhat tentang pacarnya.
“Kak,
adek putus sama Desi.”
“Loh kok
bisa?”
“Nggak
tau, tiba-tiba aja dia mutusin adek.”
Kedua
matanya berkaca-kaca. Aku tersentuh melihatnya. Kupeluk adikku dan dia pun
menangis. Semaleman dia curhat denganku. Bahkan malam itu dia sampai tertidur
di kamarku.
Sampai dua
minggu setelahnya, adikku masih terlihat shock.
Aku kasihan dengannya. Hampir setahun mereka berpacaran. Pacarnya pun sudah sering
main ke rumah. Terkadang pacar adikku itu menginap. Tentu berat harus kembali
menjalani semuanya sendiri.
“Dek,
ntar malem nonton yuk.”
“Nonton
film apa?”
“The
Avengers. Mau nggak?”
“Iya deh.”
Pasca adikku
putus, aku terus berusaha menghiburnya. Pada beberapa kesempatan kuajak dia
keluar bersamaku. Sekedar agar dia bisa melupakan kesedihannya. Bahkan kukenalkan
beberapa gadis kenalanku kepadanya. Berharap salah satu bisa klik dihatinya. Sampai kini usahaku
masih sia-sia. Aku pun musti tetap membagi waktu antara adik dan pacarku.
Kini aku
harus menjaga perasaan adikku kala pacarku datang. Begitu juga pacarku. Kami
sedikit menahan diri saat bermesraan. Namun, tidak dihari itu. Hari itu pacarku
datang ke rumah. Sudah hampir seminggu lebih kami tidak bertemu. Dia harus
keluar daerah mengurus bisnisnya. Ini pun kami hanya bisa bertemu beberapa jam
saja. Terbayang besarnya rasa kangen kami. Aku sampai bolos kuliah hanya untuk
bisa melepas kangen. Sejak dia datang tadi kami pun bercinta, bercinta dan
bercinta.
“AAKKHH..!!”
Entah ini
adalah orgasmeku yang keberapa. Entah berapa kali juga kami sudah bersenggama. Dua
pax kondom telah kami habiskan. Itu pun belum cukup kami rasakan. Hanya saja
waktu membatasi kami untuk melanjutkan. Hari sudah menjelang malam. Kami
sama-sama enggan berpisah. Andai tak ada pesawat yang musti dikejarnya, akan
kutahan dia selama mungkin dalam pelukan.
“Kamu
harus balik sekarang ya? Masih kangen,” aku merajuk.
“Aku juga,
cuma ya gitu waktunya kan mepet. Maaf ya.”
Kurelakan
dia mulai berpakaian. Aku sendiri berpakaian ala kadarnya. Kupakai hanya tanktop
dan celana dalam, sisanya kuabaikan. Kami keluar kamar sambil tetap berciuman. Terus
kami lakukan sampai di gerbang depan. Taxi sudah menunggunya disana. Kami masih
saja berpelukan dan berciuman. Tak kami pedulikan sopir taxi yang mengambil
koper pacarku.
“Udah
dong. Kalo gini terus nggak berangkat-berangkat nih.”
Pacarku
mentoel hidungku.
“Biarin.”
Kudaratkan
lagi ciuman dibibirnya.
“Udah
masuk sana. Bodi seksi kamu jadi pameran tuh.”
Pacarku
melirik ke arah spion taxi. Aku ikutan melirik kesana. Kulihat pak sopir sedang
menatap nanar kearahku. Entah menatap atasku yang tidak ber-bra, atau bawahku
yang hanya bercelana dalam. Kumengerling nakal kepadanya.
“Dasar,
mulai genit ya.”
Lagi-lagi
ditoelnya hidungku.
“Makanya
cepetan pulangnya, biar genitku nggak keburu kambuh.”
Kami
berdua tertawa. Ciuman terakhir mengantar pacarku masuk ke dalam taxi. Kami saling
melambai. Taxi itu pun perlahan terus menjauh.
Selepas
kepergian pacarku, aku masuk kembali ke rumah. Kukunci pintu gerbang dan pintu
depan. Kucek sekali lagi semua pintu dan jendela. Kumatikan beberapa lampu yang
tidak diperlukan. Saat berjalan menuju kamar mandi, kulihat kamar adikku
sedikit terbuka. Lampu kamarnya masih menyala. Aku melangkah mendekat. Tanpa
mengintip lagi kedalam, kubuka pintu kamar.
“Adek?”
Aku
terkaget, demikian pun adikku. Kupergoki dia duduk diatas ranjang. Hanya memakai kaos oblong, tanpa celana. Tangan
kirinya memegang penis. Dia sedang beronani. Melihatku, adikku panik. Dengan
cepat disambar celana pendek disebelahnya. Buru-buru dipakai dan menutupinya
dengan bantal. Dia menunduk, wajahnya merah padam. Percis seperti pertama kali
kupergoki dia bercinta dulu. Dia terlihat kikuk.
“Nggak
apa-apa dek.”
Aku
tersenyum. Kudekati dia, dan duduk ditepi ranjang. Kupindahkan bandal diatas
tubuhnya.
“Lagi
horni ya?”
Dia ragu
menjawab. “I-iya kak.”
“Kok
bisa?”
“A-abis
dengerin suara kakak dari dalam kamar.”
Rupanya
ini karena diriku. Tersenyum aku mendengar kejujurannya.
“Maaf ya,
harusnya kakak bisa nahan diri tadi.” Kulirik tonjolan dibawah sana. “Mau kakak
bantuin?”
Entah apa
yang ada diotakku. Tiba-tiba kalimat itu keluar begitu saja.
“Ban-bantuin
apa?”
“Bantuin
ngocokin itu,” kutunjuk selangkangannya.
Sepertinya
dia kaget mendenganya. Dengan ragu dia mengangkat kepala. Ditatapnya mataku.
“Be-beneran
kak?”
“Iya beneran
dong.”
Aku
berdiri, mengambil lotion dan duduk kembali. Kutarik celana pendeknya sampai
sebatas paha. Adikku duduk pasrah, tanpa melawan. Penisnya mengacung kearahku. Sedikit
menegang, tapi belum maksimal.
“Wao,
ternyata gede ya,” godaku. Dia tersipu.
Kuoleskan
lotion secara merata. Kuakui penis adikku cukup besar, dan panjang. Diameternya
pas digenggaman. Kalo dilihat-lihat sih mirip seperti punya mantan. Gila, kakak
macam apa aku ini. Membandingkan penis adik sendiri dengan mantan pacar.
“Nggak
apa-apa kan kalo kakak pegang?”
Adikku
mengangguk pelan. Pertanyaan apa itu, pikirku. Basa-basi banget. Mana pernah ada
laki-laki menolak penisnya kupegang. Bodohnya aku. Mulai kulakukan gerakan mengocok.
Naik, turun, naik, turun. Awalnya adikku masih terlihat canggung. Beberapa
kocokan, penisnya belum juga mengeras. Kucoba mengajaknya mengobrol. Semakin
adikku tenang, penis itu pun semakin merenggang.
“Mmhh..
mmhh.. sshh.. sshh..”
“Enak?”
Adikku
mengangguk lagi. Lagi-lagi pertanyaan basa-basi. Dari ekspresinya, dia jelas menikmati.
“Mmhh..
mmhh.. sshh.. sshh..”
Sambil
mengocok kulihat sesuatu menyelip dibalik bantal. Kuangkat sedikit bantal itu.
Adikku berusaha mencegah, tapi terlambat. Benda itu ternyata sebuah celana
dalam. Salah satu celana dalam milikku. Seharusnya benda itu ada di jemuran. Lagi-lagi
adikku menunduk. Wajahnya memerah untuk kedua kalinya. Aku tersenyum sambil
menggelengkan kepala.
“Tadi ngocoknya
make ini?”
Dengan
ragu, adikku mengangguk.
“Mau dikocok
make ini lagi?”
Adikku
tidak menjawab. Dia tetap tertunduk, membisu. Penis ditanganku kembali
mengendur. Melihat itu kulanjutkan kocokanku. Kali ini dengan dibalut celana
dalamku itu. Penisnya lagi-lagi kesulitan untuk mengeras. Kuajak lagi adikku
ngobrol. Kutunjukkan kalau aku tidak marah. Marah karena dia ‘meminjam’ celana
dalamku. Berlahan dia mulai tenang. Pelan-pelan penis itu pun membesar kembali.
Sekian
lama kukocok, belum juga ada tanda-tanda ejakulasi. Kuat juga daya tahan penis adikku
ini, pikirku. Pantas saja dulu pacarnya betah menginap. Vagina mana yang bisa menolak
penis macam ini. Kecuali vaginaku, tentunya. Incest belum terlintas dalam imajinasiku.
Kuperhatikan
beberapa kali adikku melirik dadaku. Tanpa kusadari putingku sedikit menegang. Mungkin
sudah saatnya mempercepat permainan ini, pikirku.
“Mau
megang ini?”
Pertanyaan
retoris ketigaku. Kulirik payudaraku. Dia juga melirik ke arah yang sama.
Sepertinya adikku malu menjawab. Hanya saja aku sudah tahu jawabannya. Kuangkat
tangan kanannya, dan kubawa kebalik tanktopku. Tanpa komando tangan itu langsung
meremas. Malu-malu mau rupanya. Kubiarkan saja adikku melakukan remasan demi
remasan. Payudara kiri dan kanan bergantian. Aku sendiri berkonterasi dengan
kocokanku.
Tak lama,
adikku menarik tangannya. Aku sedikit heran, tapi kubiarkan saja. Tangan itu
rupanya berpindah posisi. Mengincar kewanitaanku. Dirabanya celana dalam yang
kukenakan. Dirabanya juga kedua paha dalamku. Tetap kubiarkan saja.
“Nakal
ya.” godaku.
Wajah
adikku merona. Dia tersipu.
“Kok
belum basah kak?”
“Kita ini
saudara, nggak mungkin dong kakak nafsu sama adiknya sendiri.”
“Tapi kok
adek nafsu ya kak?”
Dia
nyengir. Kujewer telinga kanannya. Dia meringis.
“Itu sih
gara-gara kebanyakan nonton bokep.”
Kami
berdua tertawa geli. Tertawa terhadap kegilaan kami lakukan ini. Mungkin kami satu-satunya
kakak adik yang melakukan ini. Mungkin ada juga kakak adik lain diluar sana.
Entahlah.
“Boleh ya
kak? Pengen tau ada bulunya apa nggak.”
Ujung
jarinya menyelip dikaret celana dalamku.
“Mulai
ngelunjak ya.” Kali ini kutoel hidungnya. Dia nyengir lagi. “Ya udah, asal jangan
dilepas saja celana dalamnya.”
Mendapat
ijin dariku, tangannya terus menyusup masuk. Tahu sendirilah kelanjutannya
seperti apa. Kini kami saling merangsang kelamin masing-masing. Kubiarkan
adikku melakukan apa saja dibawah sana, kecuali memasukkan jarinya. Pada suatu
kesempatan, adikku mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia ingin mencium bibirku. Kutarik
wajahku menjauh. Aku takut kalau kubiarkan, akan terjadi hal lain yang lebih
gila. Sepertinya adikku mengerti. Dia membatalkan niatnya.
Akhirnya
kurasakan kedutan ditanganku. Kedutan disusul kedutan lainnya. Adikku menarik
tangannya dari bawah sana. Tubuhnya terlihat mengejang. Dia memakai kedua
tangan untuk menyangga tubuhnya.
“OOHHH…”
Penis itu
pun menumpahkan isinya. Cairan putih kental. Celana dalam yang membalutnya
dibuat basah. Begitu pula tanganku. Semburan demi semburan, penis itu terus mengkerut
dalam genggamanku. Sampai pada semburan terakhir, tubuh adikku pun ambruk. Dia
terlentang lemas dengan nafas terengah. Kuambil beberapa lembar tisue basah.
Kupakai mengelap sprei dari tetesan sperma. Kupakai juga membersihkan tanganku.
Kucium
pipi adikku. “Hayo bilang apa ama kakak.”
“Makasi banyak
kak.”
Dia tersenyum.
Kepuasan terpancar diwajahnya. Kuelus rambut adikku sebelum berdiri.
“Oya sebelum
bobo cuci celana dalam kakak, taruh lagi dijemuran.”
Aku
mengerling. Dia mengacungkan jempol.
“Kakak..”
“Iya, kenapa?”
“Lain
kali disepong ya.”
Kuambil
bantal, dan kulempar kearahnya.
“Huu,
maunya tuh..”
Adikku tertawa,
aku pun demikian.
.
kwkwkwkwkwkwk anjir ini beneran ? asli dah gw ngakak . pengalaman yang sangat luar biasa ... di tunggu ah update'an nya
BalasHapus