Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Terus
terang di masa remaja aku sedikit ‘bebas’. Layaknya remaja seumuranku, internet
berperan besar dalam pergaulanku. Sebelum berpacaran, internet sudah meracuni
pikiranku. Racun itu mempengaruhi birahiku. Meraba daerah-daerah sensitif
menjadi rutinitasku. Sampai akhirnya aku memiliki pacar. Saat berpacaran meraba
bukan lagi tugasku, itu tugas pacarku.
Sebulan
setelah ospek SMU, beberapa orang kakak kelas menyatakan cintanya padaku. Kuterima
cinta salah satunya. Dia seniorku, anak eskul basket. Bersamanya pertama kali aku
melakukan kontak fisik. Kontak fisik sebatas petting saja tentunya. Ciuman dan rabaan,
tanpa melepas pakaian. Masa pacaran kami hanya bertahan setahun. Setelah itu, beberapa laki-laki
bergantian menjadi pacarku. Diantaranya petting juga denganku. Diantaranya bahkan
bertelanjang ria denganku. Rata-rata berlangsung relatif singkat, sampai aku
memasuki akhir masa kuliah.
“Sakit?”
Masih
kugigit bibir bawahku. Aku membuka mata.
“Sedikit.”
Aku
berbohong. Dibawah sana sakit sekali. Dibawah sana ada sebatang penis dalam
vaginaku. Itu pertama kalinya aku disetubuhi. Keperawananku akhirnya kulepas
saat semester ketiga. Laki-laki beruntung itu adalah Hendra. Laki-laki yang kini
menjadi suamiku. Dia delapan tahun lebih tua dariku. Hubungan kami tidaklah
begitu mulus. Ada pasang surut dan putus nyambungnya. Sampai menjelang
kelulusanku, akhirnya kami menikah.
Menikah
sedikit banyak meredam birahiku. Birahi tinggiku mampu dipuaskan oleh suamiku.
Diawal pernikahan, tidak ada hari kami lewatkan tanpa seks. Berbagai gaya
senggama kami praktekkan. Adanya penis dalam vaginaku kini menjadi kebutuhan. Seks
membuatku kecanduan.
“Berapa
lama Mama diklatnya?”
“Sebulan
Pa.”
Tiga
bulan menikah, aku diterima disebuah bank negeri. Sebagai pegawai baru aku
diwajibkan ikut diklat. Suamiku tidak menghalangi. Dia mendukungku untuk
berkarier. Apalagi saat itu kami belum memiliki anak. Tidak ada yang perluku
khawatirkan, kecuali rasa kangen tentunya.
Malam
sebelum keberangkatan kami berhubungan seks. Seks terlama yang pernah kami
lakukan. Seakan kami sama-sama tidak ingin berpisah. Saat kami lelah, hari
sudah menjelang pagi. Aku terpaksa tidur dalam pesawat.
***
Minggu
pertama diklat tidak begitu berat. Ditengah jadwal diklat yang padat, teman-teman
baru membuatku bersemangat. Memasuki tengah minggu kedua, gejolak birahi mulai
mengganggu konsentrasi. Tidak pernah aku berpuasa seks selama ini. Phone sex bersama suami cukup mengobati.
Demikian juga dengan masturbasi. Hanya saja aku butuh lebih dari semua ini. Aku
butuh penetrasi. Aku tahu hal itu tidak mungkin terjadi. Walau penis suami
terus membayangi, aku harus kuat menahan diri.
“Dita,
kita sekelompok nih.”
Seorang laki-laki
menghampiriku.
“Iya nih.”
Jadwal diklat
dua hari lagi akan berakhir. Diakhir ada tugas yang harus kami selesaikan.
Tugas ini wajib dibuat berkelompok. Panitia membagi kami menjadi beberapa
kelompok. Setiap kelompok terdiri dari empat orang, dipilih secara acak.
Salah satu
kelompokku adalah laki-laki yang menyapaku tadi. Sebut saja namanya, Edi. Selama
pelatihan kami sudah cukup dekat. Dari awal dia kerap mendekatiku. Ada saja
alasannya untuk bisa berbicara denganku. Instingku berkata dia tertarik padaku.
Edi orangnya cukup lumayan. Selain dari tampilan fisik, juga dari sikap. Dia ramah
dan supel. Dia juga pintar menghidupkan suasana dengan joke-joke nya.
“Bagaimana
kalo bikin tugasnya sambil makan siang?”
“Aku sih mau
aja. Bagaimana sama yang lain?”
“Tadi aku
sudah ketemu sama Rina, dia mau. Cokro yang belum tahu nih.” Edi melirik kearah
kerumunan orang didepan kami. “Nah, itu mereka.”
Dia berteriak
memanggil dua teman kami. Mereka berdua lalu berjalan mendekati kami.
“Bagaimana
kalo kita bikin tugas sambil makan siang? Aku tahu tempat yang pas buat kumpul.”
Edi
kembali mengurakan idenya.
Setelah
makan siang tidak ada lagi jadwal diklat. Jadwal diklat berikutnya adalah besok
pagi. Saat itu peserta wajib mempresentasikan tugas kelompok mereka, termasuk
kami tentunya. Setiap kelompok dipersilakan memilih sendiri tempat mengerjakan
tugas.
Rina
menjawab terlebih dahulu. “Aku sih oke-oke
aja. Pengen keluar juga nih, mumet liat tempat ini melulu.”
Kami
tertawa mendengarnya. Persetujuan yang sama juga diutarakan Cokro.
“Bagus
deh. Yuk kalo gitu kita berangkat sekarang.”
Kami pun
berada di dalam mobil Edi. Edi bukan peserta dari luar kota. Dia bisa dibilang
peserta tuan rumah. Maka dari itu dia membawa transportasinya sendiri.
“Bagaimana
enak kan Dit?”
Aku
mengangguk. “Enak, cuma sambelnya agak pedes.”
Dia
tertawa kecil melihat wajahku yang memerah.
Edi
mengajak kami ke sebuah restoran bernuansa tradisional. Tempat makannya dibuat
menyerupai bilik-bilik bambu. Satu bilik dengan bilik lain disusun
terpisah-pisah. Suasananya sangat nyaman. Sepertinya dia mengenal pemilik restoran
itu, sehingga kami bisa berlama-lama disana. Selesai makan, kami membahas tugas
kelompok yang akan kami presentasikan. Hari sudah menjelang gelap ketika kami
selesai. Kami pun meninggalkan restoran.
“Kita
jangan langsung balik ke mess yuk, kita lanjut hang out aja gimana?” ucap Edi dari belakang kemudi.
“Aku
ngantuk nih, mana gerah lagi.” sahut Rina.
Jawaban
yang sama juga diberikan Cokro. “Sorry
bro, gue juga tepar. Kebanyakan mikir nih, otak gue overload.”
Kami
tertawa kecil mendengarnya.
“Kalo
kamu gimana Dit? Mau beli oleh-oleh sekarang? Mumpung ada transport gratis
nih.”
Aku bingung
antara menolak dan setuju. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Jika
setuju, terlalu malam untuk berduaan dengan laki-laki. Jika menolak, apakah
nanti akan ada waktu lagi untuk berbelanja. Diawal perkenalan, Edi memang menawari
untuk mengantarku keliling kota. Sekedar melihat-lihat atau membeli oleh-oleh. Akan
lebih nyaman jika kami berkeliling tidak hanya berdua. Bagaimana pikiran orang
kalau melihat kami. Aku dan Edi kan sama-sama sudah berkeluarga. Tapi apa yang mau
dikata. Keadaan yang membuat kami tidak bisa mengajak teman lain.
“Kalo ngantuk
juga? Aku sih nggak maksa loh,” sambung Edi lagi.
“Hhmm boleh
deh, tapi jangan jauh-jauh ya.”
Edi
tersenyum. “Siap komandan.”
Selepas mengantar
balik kedua teman kami, Edi langsung mengajakku ke sebuah toko souvenir. Aku
tidak menemukan apa yang kucari disana. Mengetahui itu, Edi memaksa mengantarku
ke toko yang lain. Aku menolak, tapi dia terus memaksa. Akhirnya kutemukan
setelah memasuki toko ketiga. Aku sedikit malu dengan Edi, walau dia terus
berkata tidak keberatan. Hari beranjak semakin malam. Dia sampai ditelpon istrinya.
Dia berbohong sedang bersama rombongan peserta diklat. Aku juga ditelpon
suamiku. Kukatakan kebohongan yang sama. Kebohongan pertamaku sejak kami
menikah.
“Di deket
sini ada night club asyik loh. Mau
mampir nggak?”
“Nggak
ah, udah malem nih.” tolakku.
“Ayo
dong, bentar aja. Ada live band juga
loh.”
“Pake
pakaian gini?”
Kami
memang belum berganti pakaian. Kami masih memakai seragam putih hitam. Ketika
mengantar kedua teman tadi, aku tidak mengganti pakaian. Aku takut kalau mampir
lagi ke mess, baliknya akan terlalu malam. Selain itu, kulihat juga Edi tidak
membawa pakaian ganti.
“Emang
kenapa kalau kita pake pakaian ini?”
“Ya nggak
enak aja.”
Aku
bingung harus menjawab apa.
“Ayo
dong. Abis live band kita balik ke
mess, janji.”
Aku
luluh. Sejak menikah aku memang tidak pernah lagi hang out. Dalam hati ingin juga aku mengenang masa-masa itu. Mumpung
ada kesempatan kenapa tidak, pikirku. Aku mengiyakan ajakan Edi. Dia
menyambutnya dengan antusias.
Night club yang kami tuju
ternyata cukup ramai. Kenangan masa muda langsung menyelimutiku. Aku langsung
klik dengan suasana temaram dan hingar bingarnya. Edi tersenyum melihatku.
Agaknya dia bisa menangkap kalau aku juga menikmati.
“Keren ya
musiknya!”
“Iya
keren!”
Kami
sampai harus sedikit berteriak. Kerasnya alunan musik menghalangi suara kami.
Ditempat
itu Edi juga memiliki beberapa kenalan. Sebuah mix martini diberikan pada kami sebagai welcome drink. Begitu memasuki kerongkongan, aku tahu kalau ada
alkohol dalam campurannya. Bukan sebuah masalah buatku. Alkohol juga pernah
mengisi hidupku dimasa kuliah. Melihat itu, Edi dengan sukarela merogoh
dompetnya mentraktirku beberapa gelas lagi. Bukan minuman beralkohol tinggi
tentunya. Aku juga tidak ingin mengalami sakit kepala saat terbangun besok. Aku
masih cukup sadar, besok masih ada jadwal diklat yang harus ditempuh.
Live band mulai beraksi.
Aku tidak begitu jelas mendengar nama band-nya.
Aliran musiknya pop rock. Sang
vokalis pintar memancing emosi penonton. Suasana menjadi semakin meriah.
“Gimana band-nya? Keren juga kan?”
“Iya nih,
musiknya asyik,” ucapku sambil menggoyangkan tubuhku.
Beberapa
kenalan Edi datang dan pergi. Sesekali kali ada yang ikut ngobrol dengan kami. Bahkan ada juga yang mentraktir kami minuman. Aku
tidak bohong, aku benar-benar enjoy
dengan suasananya. Rasa penat semalam mengikuti diklat sejenak menghilang. Ditambah
Edi kerap membuatku tertawa dengan joke-joke
segarnya. Belum lagi joke-joke porno
yang mampu membuatku geli.
“Turun
yuk.”
Edi
berdiri dan menarik tanganku.
“Nggak
ah,” tolakku.
“Ayo dong.
Ayo,” desaknya lagi.
Untuk
kesekian kalinya aku tak kuasa menolak. Aku mengikutinya. Kami pun berbaur
dengan orang-orang lain. Awalnya aku canggung menggerakkan tubuhku, namun Edi
bisa membuatku santai. Aku pun perlahan mulai menikmati alunan musik. Kami
berdua bergerak luwes sambil menertawai gaya masing-masing. Sampai alunan musik
DJ berubah menjadi slow. Edi memeluk
tubuhku. Mendadak suasana menjadi sedikit panas, ketika Edi mendaratkan ciuman
dibibirku.
Sejenak aku
tersentak. Sekujur tubuhku kaget mencerna ciuman itu. Tiga minggu lebih tidak disentuh,
membuat tubuhku sensitif. Pelukan dan ciuman Edi terasa begitu nikmat. Mungkin
beberapa gelas alkohol tadi turut mempengaruhi reaksiku. Melihat aku terdiam,
Edi mendaratkan ciuman kedua. Kali ini dia memagut bibirku. Gilanya, aku
membalas pagutan itu. Kami berciuman dengan panasnya, tanpa memperdulikan sekitar.
Entah apa
yang terjadi kemudian, tiba-tiba saja kami sudah di dalam mobil. Kami kembali
berciuman. Kali ini tangan Edi ikut beraksi. Kedua payudaraku diremas-remasnya.
Ini membuat kemeja yang kupakai kusut. Ini juga membuat celana dalamku basah.
Sepertinya Edi menyadari itu, ketika tangannya merogoh masuk ke dalam rokku.
Puas
mencumbuiku, Edi menyalakan mobilnya. Aku tak bertanya kemana dia akan
membawaku. Aku terlalu malu. Malu sekaligus terlalu bergairah untuk berbicara.
Sepanjang jalan kami hanya diam. Dalam diam kami tahu, kalau ada dua gairah
yang sedang membara.
Mobil
yang kami kendarai berhenti di sebuah hotel. Hanya itu yang aku ingat. Sisanya,
tahu-tahu Edi sudah menindihku di atas ranjang. Kami melanjutkan percumbuan
kami yang sempat terputus. Birahi yang membara membuatku lupa. Aku lupa kalau
laki-laki yang mencumbuiku belum lama kukenal. Parahnya lagi, aku lupa sudah
terikat dalam tali pernikahan. Aku sudah dilanda gairah tingkat tinggi, dan itu
harus segera dituntaskan. Itu saja yang terpenting.
“Sshh..
sshh.. sshh..”
“Sshh..
sshh.. sshh..”
Entah kapan
pakaianku dilepas Edi. Aku tidak merasakannya. Yang kurasakan hanyalah
cumbuannya. Kulumannya diputingku. Ciumannya disekujur tubuhku. Tarian lidahnya di daerah selangkanganku. Puncaknya, hujaman
penisnya di dalam vaginaku. Penis milik laki-laki lain, selain suamiku. Penis
yang seharusnya tidak berada di dalam sana. Namun, kenikmatan yang aku rasakan
mengalahkan segalanya.
“Aaahh..
aaahh.. aaahh..”
“Ooohh..
ooohh.. ooohh..”
Teriakan
dan eranganku memenuhi seisi kamar. Demikian juga lenguhan Edi.
Tanganku
menggenggam erat sprei, saat Edi menggarapku dalam posisi doggie. Entah berapa kali kami berganti posisi. Aku hanya merasakan
posisi tubuhku berubah-ubah beberapa kali. Hujaman penis Edi makin lama makin
nikmat kurasakan. Semakin cepat penis itu menghujam semakin aku menggila.
Sampai akhirnya, muntahan orgasme melandaku.
“AAKKHH..!!”
Aku
berteriak lantang. Tubuhku melengkung. Tubuh Edi mengejang. Bersamaan dengan
itu semprotan hangat memenuhi rahimku. Tubuh kami ambruk di ranjang. Ketegangan
berlahan mereda. Berlahan yang terdengar hanya tarikan nafas kami. Tarikan
nafas yang semakin tenang.
Mataku
menatap kosong ke langit-langit kamar. Otakku belum bisa mencerna apa yang baru
terjadi. Sekujur tubuhku berteriak penuh kepuasan. Dahagaku akan seks baru saja
terpenuhi. Tadi nafasku bak pelari yang baru mencapai finis. Perlahan kesadaranku
pulih. Perlahan kusadari baru saja disetubuhi Edi. Aku menyesalinya, sekaligus
menikmatinya.
“Kamu
luar biasa Dita.”
Kalimat
pertama yang bisa kucerna. Sebuah ciuman mendarat di pipi dan keningku. Ciuman
itu berakhir dibibirku. Kembali aku tidak tahu harus bereaksi apa. Tubuh
telanjang Edi sudah berada diatasku lagi.
“Kamu
menikmatinya?”
Aku
menatap matanya. Gilanya, aku menjawab dengan anggukan. Entah dimana akal
sehatku. Dia tersenyum penuh kepuasan.
Tak
berapa lama, kami sudah kembali bergumul. Untuk kali ini tidak hanya Edi yang
aktif, aku pun melakukan hal yang sama. Bahkan, persetubuhan kedua diselingi kulumanku
pada penisnya. Diselingi juga goyanganku dalam posisi woman on top. Birahi tinggiku telah menguasaiku sepenuhnya. Aku
menggila.
“AAKKHH..!!”
Orgasme
kedua kuperoleh menjelang tengah malam. Tetap tidak ada percakapan antara kami setelahnya.
Hanya melalui tatapan mata, persetubuhan ketiga kami mulai. Disusul
persetubuhan keempat dan seterusnya. Entah berapa kali kami melakukannya. Hari
menjelang pagi, ketika akhirnya kami tertidur pulas.
Paginya
aku terbangun mendengar nada ponselku. Aku terbangun telanjang dalam pelukan
Edi. Langsung kusambar sebuah kemeja. Entah itu milikku atau milik Edi. Selesai
memakainya, aku berhasil menemukan ponselku. Rupanya panggilan dari suamiku.
Aku memang memintanya menelpon setiap pagi selama diklat. Sekedar menjaga-jaga
agar aku tidak bangun kesiangan.
“Halo sayang,”
ucapku parau.
Rasa
bersalah langsung menderaku. Mengucapkan kata ‘sayang’ saat tubuh lengket oleh
sperma laki-laki lain, membuatku risih. Mendadak aku merasa sebagai istri yang
tidak bertanggung jawab. Belum genap enam bulan usia pernikahanku, aku sudah
berselingkuh. Aku kesal dengan diriku. Kekesalanku bertambah saat kulihat
lelehan putih dipahaku. Kusadari kalau semalam aku melupakan satu hal penting.
Kondom.
“Kamu
udah bangun?”
Terdengar
suara suamiku diujung telpon.
“I-iya,
baru aja.”
“Ya udah,
kalo gitu buruan mandi. Sekarang diklat hari terakhir kan?”
“Iya sayang,
makasi ya sudah nelpon.”
Sebuah
kecupan jauh mengakhiri percakapan kami. Kulihat Edi masih tidur dengan
nyenyaknya. Kami seharusnya tidak ada lagi ditempat ini. Jam segini seharusnya
kami sudah di mess. Jika tidak buru-buru, maka kami bisa terlambat mengikuti
jadwal diklat. Kugoncang-goncangkan tubuhnya sambil memanggil namanya.
“Edi, Edi,
bangun!”
Akhirnya
aku bisa membangunkan Edi. Dia juga panik ketika melihat jam tangannya. Untuk
menghemat waktu kami masuk kamar mandi berdua. Toh, dia sudah melihatku
telanjang jadi buat apa malu lagi. Pikiranku saat itu. Di sana baru kuperhatikan
tubuh Edi secara jelas, khususnya bagian penis. Penis itulah yang semalam berkali-kali
memberikanku kepuasaan. Seukuran suamiku, hanya diameternya lebih besar.
Melihat tubuh polosku, Edi minta melakukan quicky
sex.
“Nggak
Di, nggak!”
Awalnya kutolak,
tapi lagi-lagi aku dibuat tidak berdaya. Aku pun hanya bisa kesal dalam ketidak-berdayaan.
Untuk kesekian kalinya penis itu ada didalamku. Disetubuhinya aku dari
belakang. Hanya kali ini aku sempat mencegah spermanya mengalir dirahimku.
Sesuatu yang sudah terlambat pastinya.
“Edi,
balikin, balikin!”
Kesekian
kalinya aku dibuat kesal olehnya. Sudah tahu kami akan terlambat, dia masih saja
mempermainkanku. Dia menyambar celana dalamku. Dibuatnya aku berlarian berusaha
merebut dari tangannya.
“Santai
aja Dit, aku sudah nelpon tempat diklat bilang kita terlambat.”
“Kamu
bilang apa?” tanyaku sambil memakai celana dalam.
“Aku
bilang kamu mendadak sakit, jadi aku anter kamu dulu ke klinik.”
Harus
kuakui selain ngeselin, Edi adalah
sosok yang menarik dan cerdas. Kuakui juga kalau aku sedikit kagum padanya.
Mungkin ini juga yang membuatku bisa jatuh kepelukannya.
Sesampainya
di mess aku bergegas berganti pakaian. Beruntung tidak ada teman diklat yang memergoki
kami. Saat diruangan juga tidak ada yang bertanya keberadaanku semalam.
Sepertinya mereka terlalu sibuk dengan tugas kelompok masing-masing. Kulihat
Edi sudah berganti pakaian juga. Entah dia meminjamnya dari siapa.
Presentasi
kelompokku berjalan lancar. Sepanjang acara kami tidak lagi saling berbicara. Hari
ini adalah diklat terakhir. Jadwalnya sedikit panjang dan berakhir menjelang
malam. Saat peserta diklat bubar aku tidak lagi melihat Edi. Mungkin dia pulang
kerumahnya, pikirku. Keesokan paginya, pada acara penutupan aku tidak
melihatnya juga. Aku baru melihat sosok Edi di depan mess. Sepertinya dia
memang menungguku. Melihat aku menarik koper, Edi melepar senyum.
“Hati-hati
dijalan ya.”
Aku
tersenyum canggung. Wajahku sedikit merona. Entah dia menyadarinya atau tidak.
“Ma-makasi.”
“Ini
kartu namaku.” Dia menjulurkan tangannya. “Kalo kamu mau nelpon boleh, kalo
nggak juga nggak apa-apa.”
Aku menerimanya.
Dia membantuku memasukkan koper ke dalam taxi. Kami saling melambai. Itu
terakhir aku melihat Edi, selingkuhan pertamaku. Dosa pertama atas janji suciku.
Kartu namanya masih aku simpan, hanya saja aku tidak menelpon. Entah suatu hari
nanti.
***
Sesampainya
dikotaku sudah bisa ditebak. Saking kangennya kami bercinta di dalam mobil, begitu
masuk garasi. Ruang tamu menjadi tempat berikutnya. Sebenarnya suamiku ingin
menggendongku ke kamar. Ditengah jalan dia mengubah pikiran, sofa terasa jauh lebih
menantang. Malam itu kami habiskan dengan persetubuhan panas. Aku memberikan service terbaikku guna menebus dosaku.
Suamiku sampai heran dibuatnya. Heran sekaligus senang tentunya. Bahkan
keesokan paginya aku harus menelpon kantor. Aku terpaksa meminta ijin, karena
penis suamiku tidak mau lepas dariku. Itupun aku lakukan dalam posisi doggie. Kembali kami habisnya hari
dengan bercinta, bercinta dan bercinta. Itu seperti bulan madu kedua kami. Seharian
itu, kami tidak pernah sempat berpakaian.
Hasilnya,
dua minggu kemudian aku positif hamil. Aku bahagia, begitu pun suamiku. Hanya
saja dalam hatiku ada sebuah tanya. Apakah bayi ini benih suamiku, atau benih
Edi. Pertanyaan yang akan terus menghantuiku. Sembilan bulan berikutnya, anak
pertamaku lahir. Seorang laki-laki.
.
ngentot yuk Dit..
BalasHapus