Jumat, 08 Juli 2016

Menemani Futsal


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Ssshh.. ssshh.. ssshh..”
“Geli Leo.. aduh.. aahh..”
Merancau dan bergelinjang aku di atas ranjang kosan Leo. Celana pendekku tidak lagi terpasang. Demikian pula celana dalamku. Di bawah sana, Leo sedang asyik dengan mainan seks baru yang dibelinya secara online. Bentuknya bulat sedikit lonjong mungil berkabel. Ketika menyala benda itu bergetar pelan dan berdengung. Leo menjadikan aku sebagai objek eksperimen, bukannya pacar sendiri. Sudah sepuluh menit lebih benda itu bergesekan dengan kelaminku.
Terpaksa kusetujui keinginan Leo itu. Liburan kali itu suamiku minta untuk ditemani Mila. Buat yang belum tahu, Mila adalah pacar Leo. Sebelumnya aku, suami dan Mila pernah ber-threesome ria. Karena hari itu Mila menemani suamiku, maka konsekuensinya aku musti ganti menemani Leo. Sebuah pertukaran pasangan yang cukup adil. Sebagai syarat tambahan, aku juga harus mau dijadikan percobaan mainan seks barunya. Maka jadilah kini aku bergelinjang di ranjang Leo.
“Enak Kak?” tanya Leo. Sekilas kudengar pula suara tawanya.
Tidak kujawab pertanyaan itu. Aku terlalu sibuk didera rangsangan pada kewanitaanku. Apalagi kemudian Leo mengeluarkan sebuah mainan seks lain. Yang diincarnya kini puting payudaraku. Diangkatnya ujung tanktop, berikut cup bra-ku. Mainan seks kedua itu digesekkan di putingku bergiliran. Semakin bergelinjanglah aku.
“Aduh Leo, ssshh.. ssshh..” Aku hanya bisa mendesah dan mendesis. Tidak kuasa aku melawan, karena dari awal tadi kedua tanganku diikat Leo. Tanganku ada di belakang, terikat oleh baju kaos miliknya. Katanya agar aku bisa lebih menikmati sensasinya.
Cairan kewanitaanku sudah membanjir. Sepertinya Leo memang tidak berniat menyetubuhiku. Dia hanya mau bermain-main dengan tubuhku. Kini mainan seks itu ditekannya agak dalam, mengenai klitorisku. Rasanya bukan main. Otakku rasanya mau meledak dilanda kenikmatan. Ternyata begini toh rasanya menjadi bintang porno. Biasanya adegan macam ini hanya kutonton dalam bokep-bokep Jepang.
Selang beberapa menit, tubuhku mengejang. Di bawah sana sudah tidak kuat lagi bertahan. Maka berteriak aku sekencang-kencangnya. “AAKKHHH..!!” Aku orgasme dengan dasyatnya.
Selepas itu semuanya gelap untuk sesaat. Mataku terpejam, tubuhku lunglai, nafasku tersengal-sengal. “Kak Dita, Kak Dita..” sayup-sayup kudengar suara Leo. Tubuhku terguncang-guncang pelan. Sepertinya Leo khawatir kalau aku pingsan. Perlahan kubuka mataku.
“Kakak nggak apa-apa? Maafin Leo Kak,” ucapnya, sambil bergegas melepas ikatanku. Kulihat guratan kecemasan di wajahnya.
Begitu tanganku terbebas, aku tersenyum kecil. Kemudian menggeleng.
Kulihat Leo buru-buru turun dari ranjang. Berikutnya dia membantuku bangun. Disodorkan lalu botol air mineral untuk kuminum. Tubuhku kembali segar setelah menegak air tersebut. Melihat keadaanku sudah membaik, Leo langsung menghujaniku dengan pertanyaan. Pertanyaan tentang rasanya digesek mainan seks. Kujawab apa adanya. Kubilang kalau sensasinya luar biasa. Belum pernah kurasakan sensasi seperti itu. Leo semakin antusias mendengarnya. Dia malah menawari mainan seks lain, berupa dildo karet berukuran jumbo. Kutolak mentah-mentah waktu Leo bilang mau masukin itu ke vaginaku. Kuancam kalau dia melakukan itu, maka dia nggak boleh masukin penisnya lagi. Langsung Leo jadi ciut mendengarnya. Tersenyum geli aku melihat raut wajahnya waktu itu.
Turun kemudian aku dari ranjang, menuju kamar mandi. Di dalam sana aku mencuci muka, dan membersihkan diri. Masih belum kupakai celana, karena merasa perlu mencuci juga kelaminku. Di depan kaca, kurapikan posisi bra dan tanktop. Begitu pula geraian rambut. Tubuhku kembali terasa segar. Keluar dari kamar mandi, kulihat Leo lagi berbicara lewat ponselnya. Kuperhatikan dia sambil memakai kembali pakaian bawahku.
“Kak, aku lupa nih musti main futsal. Kakak aku tinggal bentar yah,” jelasnya, setelah obrolan di ponselnya berakhir.
Kupikir-pikir malas juga kalau ditinggal sendirian. Bakal bingung harus ngapain buat mengisi waktu. “Aku ikut aja deh ama kamu,” demikian kuputuskan. Kata temanku Putri, sering-sering hang out ama anak muda bikin awet muda. Kucoba mengikuti sarannya itu.
Maka akhirnya aku duduk cantik di jok depan mobil, di samping Leo. Kami menuju lapangan futsal dimana teman-temannya sudah menunggu. Ini pertama kali aku naik mobil Leo. Ternyata interior dalam mobilnya tidak lepas dari modifikasi. Kadang aku heran sama selera anak muda, mobil sudah bener-bener kok dirubah-rubah. Mending duitnya dipakai buat yang lebih penting atau ditabung. Leo hanya nyengir saat kukatakan itu soal cat mobilnya. Habis sudah hobi sih, itu saja alasan dia. Alasan yang sama dipakainya saat kukomentari double sound system, full bass di bagasi belakang.
Sambil nyetir berkali-kali Leo memuji pakaianku. Dia bilang tumben melihat aku pakai tanktop dipadu celana pendek ketat. Katanya jadi kelihatan lebih muda, nggak kalah sama cewek-cewek di kampus. Sempat aku tersipu, sebelum kutoel telinganya saat komentar itu disertai rabaan di paha. Dia mengaduh pelan sambil nyengir. Dan tangan itu mendarat lagi di pahaku. Kubiarkan saja akhirnya. Lebih baik kunikmati musik hip hop yang mengalun kencang dari belakang.
“Rame juga ya,” komentarku waktu kami berjalan masuk ke lapangan.
“Kampus aku ditantang sama kampus lain soalnya Kak, tapi kalo ada aku sih dijamin menang,” ucapnya sambil menepuk dada. Tersenyum aku mendengar ke-pede-an dirinya itu.
“Wih, siapa nih yang nemenin lu Leo? Cakep bener..” Terdengar celetukan saat kami sampai di kerumunan anak-anak muda. Dibalas Leo dengan cengiran. Dia mengenalkan aku sebagai kakak sepupu yang sedang liburan. Gantian kemudian cowok-cowok itu berkenalan. Tidak semua aku ingat namanya. Diantaranya ada yang bertanya dimana aku kuliah dan basa-basi lain. Kujawab saja seadanya, berharap mereka percaya. Leo senyum-senyum mendengar jawabanku.
Leo lalu mengantar aku duduk di deretan cewek-cewek. Mereka tersenyum dan kami berkenalan. Mereka adalah pacar-pacar para pemain. Minder juga aku berada di dekat gadis-gadis itu. Usiaku mungkin terpaut empat atau lima tahun dari mereka. Namun sepertinya mereka tidak menyadari itu. Saat Leo datang lagi membawa minuman untukku, kami sudah larut dalam obrolan seru.
Tidak lama pertandingan babak pertama dimulai. Leo ternyata tidak main-main dengan ke-pede-annya tadi. Dia ternyata ditunjuk sebagai kapten tim. Dia melambai padaku saat sudah ada dalam lapangan. Kubalas pula dengan lambaian. Teringat aku masa-masa kuliah dulu. Hanya waktu itu aku lebih sering berada di pinggir lapangan basket.
“GOOLL..!!” Aku dan gadis-gadis lain berteriak heboh.
Bukan Leo yang mencetak gol, tapi dia yang menyuplai umpan. Teriakan itu langsung disambut senyuman kecut dari suporter kubu lawan. Rata-rata sih mereka juga gadis-gadis sebaya kami, eh sebaya teman-teman baruku maksudnya.
“GOOLL..!!” Kini giliran suporter kami yang tersenyum masam.
Dalam waktu singkat tim lawan membalas gol. Suasana pun semakin memanas, baik di dalam maupun di luar lapangan. Jual beli serangan semakin gencar dilakukan. Gol demi gol tercipta bergantian. Sampai peluit panjang turun minum, skor akhir 3-5. Tim Leo sementara tertinggal, dimana Leo sama sekali belum mencetak gol. Begitu para pemain keluar lapangan, berhamburan pula para suporter mendekati mereka. Termasuk aku dan gadis-gadis lain tentunya.
“Nih diminum dulu,” kusodori Leo botol air mineral. Keringat membasahi seluruh seragamnya. Nafasnya memburu. Lebih memburu ketimbang saat kami bercinta. Kusuruh dia menarik nafas pelan. Leo tersenyum, lalu mengambil botol itu dariku. “Makasi Kak,” ucapnya.
Saat aku berbincang dengan Leo, seorang anak muda mendekat. Dia datang ditemani seorang gadis. Tadi aku sempat mengobrol dengan gadis itu. Namanya Wulan. Kulirik belakang seragam bernomor tujuh yang dipakai pemuda itu. Nama Yudhi tertera disana.
“Kenapa tumben lu mainnya lemes amat? Gue aja udah nyetak dua gol,” ucap pemuda itu.
“Tenang Dhi, ntar babak kedua gue cetak gol deh.”
Pemuda itu tertawa. “Oke, kita buktiin omongan lu. Nih gue kasi elu tawaran biar tambah seru. Ntar kalo selesai tanding lu bisa nyetak gol lebih banyak dari gue, lu boleh nyipok cewek gue.” Lagi pemuda itu tertawa. Kali ini bernada sedikit menantang.
Leo terlihat kaget, begitu pula aku dan Wulan. Tentu saja Wulan langsung protes. Mereka berdua lalu berdebat, tapi Yudhi berhasil meyakinkan pacarnya. Dia bilang santai aja, kan dirinya sudah unggul dua gol dari Leo. Wulan lalu melengos pasrah. Tidak sampai sana, ternyata tantangan itu ada buntutnya. Kalau Leo kalah, balik Yudhi yang boleh mencium aku. Nah loh, tentu ganti aku yang protes. Masa aku musti terjebak dalam taruhan aneh-aneh macam ini lagi.
Leo menarikku menjauh. Sambil berbisik, Leo mengaku sudah lama mengincar Wulan. Buat Leo tawaran Yudhi ini adalah sebuah kesempatan. Paling tidak dia bisa ngerasain bibir si Wulan, itu katanya. Leo meyakinkan aku kalau dia bisa menang. Kalau pun nanti dia kalah, kan ujungnya cuman ciuman doang. Leo terus berusaha meyakinkan aku. Akhirnya aku menyerah. Kuiyakan taruhan berat sebelah itu. Kulihat Yudhi tersenyum mesum.
Babak kedua sebentar lagi dimulai. Pemain-pemain kembali masuk ke dalam lapangan. Kali ini Wulan duduk menjauh. Mungkin dia merasa kini aku ini adalah saingannya. Tidak bisa disalahin sih, kalau melihat gimana cara Yudhi menatap aku. Kekesalan terlihat sekali di wajahnya. Si Leo juga ada-ada saja. Pakai acara naksir sama pacar teman, padahal pacar sendiri nggak kalah cantik dan seksi. Mungkin benar kata pepatah, kalau rumput tetangga kadang kelihatan lebih hijau. Itu terjadi pula padaku kan? Kalau tidak, tentu aku tak akan berakhir di ranjang Leo. Dan pacar Leo berakhir dengan suamiku.
“GOOLL..!! Baru tiga menit dimulai, Leo sudah mencetak gol pertamanya. Kalau sudah berniat, Leo memang selalu bersungguh-sungguh. Tersenyum aku melihatnya.
Gol kedua Leo menyusul tidak lama. Yudhi terlihat kesal melihat itu. Kulirik Wulan, dia terlihat tegang menonton pertandingan. Mungkin rasa suka Leo bertepuk sebelah tangan. Sepertinya sih Wulan tidak rela kalau pacarnya sampai kalah. Entah karena tidak mau dicium Leo, atau tidak mau pacarnya mencium aku. Menjelang akhir pertandingan, Yudhi menambah satu gol. Namun menit berikutnya Leo pun melakukan hal yang sama. Sampai peluit panjang dibunyikan, Leo dan Yudhi total sama-sama mencetak tiga gol. Kedudukan keduanya pun seri. Hasil pertandingan 9-7 untuk kemenangan tim kampus Leo. Para suporter berhamburan memasuki lapangan. Termasuk aku dan Wulan. Kulihat Leo dan Yudhi saling bersalaman. Sepertinya mereka saling memuji.
Sampai Leo selesai membersihkan diri dan sebagainya, tidak dibahas lagi soal taruhan. Demikian pun saat kami sudah kembali ke mobil. Hanya saja, lalu terdengar ketukan pada jendela mobil. Terlihatlah wajah nyengir Yudhi. Leo menurunkan kaca, dan bertanya ada apa.
“Sumpah Leo, gue pengen banget nyipok kakak sepupu lu.” Itulah kata-kata yang keluar pertama dari mulut Yudhi. Kaget, namun sekaligus membuatku salut. Suka aku laki-laki tipe seperti itu. Blak-blakan, dan berani mengambil resiko.
“Terus?” Sepertinya Leo sama kagetnya seperti aku.
“Lu ikutin mobil gue, ntar gue jelasin di telpon.”
Masih terlihat keheranan, tapi Leo mengangguk. Yudhi lalu melenggang pergi menuju mobilnya. Leo memandang kearahku seolah mencari jawab. Kujawab dengan mengangkat bahu. Terdengar kemudian suara klakson. Yudhi melambai kearah kami. Leo pun menginjak gas mengikuti mobil tersebut. Mobil yang modifikasinya tidak kalah dengan mobil Leo. Belum lama berjalan, ponsel Leo berbunyi. Telpon dari Yudhi. Percakapan antara keduanya mulai terjadi. Leo mengaktifkan speaker ponselnya agar aku juga bisa mendengar.
Inti percakapan adalah Yudhi minta tukar pasangan. Dia dengan aku, Leo dengan Wulan. Sama seperti taruhan mereka semula, masing-masing hanya boleh mencium. Di tempat tujuan nanti, keduanya akan bertukar mobil. Dimana ciuman itu akan terjadi di dalam mobil. Waktunya hanya lima menit. Setelah itu, mereka kembali ke mobil dan pasangan masing-masing. Tersenyum kecil aku mendengar percakapan itu. Harus kuakui kalau Yudhi seorang yang pintar bernegosiasi. Leo kembali memandangku. Kali ini dia meminta persetujuan. Kujawab dengan anggukan. Penasaran juga aku, bagaimana sih tipe ciuman si Yudhi itu. Kesepakatan pun tercapai.
Mobil kami lalu masuk ke parkir basement sebuah apartemen. Kata Leo sih ayah Yudhi pemilik apartemen tersebut. Pantas saja tadi kami bebas melenggang masuk. Parkiran terlihat sepi sekali. Hanya ada deretan mobil-mobil, tanpa ada orang yang berlalu lalang. Sungguh pemilihan tempat yang tepat. Leo minta ijin keluar dari mobil. Kujawab lagi dengan anggukan. Dikejauhan Leo dan Yudhi bertemu. Berbincang sebentar lalu berpisah. Kulihat Yudhi berjalan mendekat. Pintu mobil terbuka dan terlihat senyuman Yudhi. Kubalas senyuman itu. Dia lalu masuk ke dalam.
“Aku Yudhi Kak, kita tadi belum sempet resmi kenalan,” ucapnya sopan, sambil menyodorkan tangan. Kusambut tangannya. “Dita,” sahutku.
Kukira setelah itu Yudhi akan langsung menyosorku, ternyata tidak. Dia mengajakku berbasa-basi sebentar. Dia bahkan sempat bikin aku tertawa. Sepertinya dia mau membuat suasana lebih santai, mengingat kami baru kenalan. Dan itu berhasil. Tak ada lagi keengganan saat dia minta untuk memulai. Bibir kami pun bertemu. Beberapa kali pagutan, sudah kurasakan kalau anak muda ini memiliki keahlian. Pagutannya tidak terburu-buru. Pelan, lembut dan basah. Mau tidak mau, harus kuakui kalau aku menikmatinya. Saat disela-sela ciuman tangannya sedikit nakal, aku pun tidak keberatan. Sesekali tangan Yudhi mengusap pinggang, perut dan payudaraku. Dibuat seolah-olah itu terjadi tidak sengaja. Namun bisa kubedakan mana sengaja, mana tidak sengaja. Melihat tidak ada reaksi apa-apa atas aksi tangannya, dia pun melanjutkan itu. Kali ini pantatku yang diincarnya. Sepertinya kali ini dia merasa tidak perlu lagi menyamarkan aksinya. Dengan sengaja dia meremas keras pantatku.
“Tangan kamu ternyata nakal yah,” godaku dengan bisikan.
Yudhi malah balik menggogaku. “Aku nggak keberatan kok kalo tangan kamu ngelakuin yang sama.” Dan tertawa kecil-lah dia kemudian. Kubalas dengan senyuman.
Mendengar itu aku jadi jengah. Maka kuraba selangkangan dia saat kami berciuman lagi. Tidak hanya meraba, tanganku juga meremas. Bibir kami terlepas, dan kami saling tatap. Kami saling mengerti makna tatapan itu. Ciuman pun terjadi lagi. Kali ini pagutan berlangsung ganas. Seolah saling ingin memakan satu sama lain. Sementara di bawah sana, remasan terjadi lebih intens. Di bawah sana, bukan hanya bagian belakangku yang dirogohnya. Pun demikian bagian depanku.
Sampai akhirnya terdengar suara alarm jam. Kami pun menarik bibir bersamaan. Ternyata Yudhi dan Leo telah men-setting jam tangan mereka. Lima menit, sesuai waktu yang telah disepakati. Nafasku dan Yudhi berangsur normal kembali. Setelah tadi sempat memburu. Kami berdua lalu saling pandang dan tertawa. Meredakan lagi nafsu yang tadi sempat terpicu.
“Makasi Kak. Nggak salah perkiraan aku kalau bibir kakak pasti enak dicipok,” dia lalu tertawa. Aku ikut tertawa. “Hei, ternyata kita punya perkiraan yang sama.” Kembali kami tertawa. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya.
Yudhi meminta ijin menciumku sekali lagi. Kali ini hanya sebuah kecupan perpisahan. Kuijinkan dia melakukan itu. Kemudian Yudhi keluar dari mobil. Dari kejauhan kulihat Leo juga keluar dari mobil. Saat berpapasan mereka saling menepuk bahu masing-masing. Dasar kelakuan anak muda jaman sekarang, ucapku dalam hati. Leo pun masuk kembali ke dalam mobil. Dengan raut wajah penuh kepuasan tentunya.
“Gimana bibirnya si Wulan? Enak?” godaku padanya. Dia kemudian nyengir.
“Enak dong Kak. Tapi yang paling mantep sih toketnya si Wulan Kak. Empuk!” balasnya sambil melakukan gerakan meremas-remas dengan dua tangan.
Aku hanya menggeleng kepala mendengarnya. Ternyata mereka berdua sama saja, ucapku lagi dalam hati. Yah, namanya juga anak muda. Aku pun sama liar-nya saat seusia mereka. Beberapa menit kemudian terdengar bunyi klakson. Terlihat Yudhi melambaikan tangannya dari belakang kemudi. Leo membalasnya. Suasana pun kembali sunyi.
“Kak, mumpung sepi banget nih, sex in the car yuk,” Leo berujar.
Tidak kaget sih aku dengan ajakan bercinta dari Leo, mengingat gundukan di celananya. Yang aku kagetkan adalah dia ingin melakukan itu dalam mobil. Bukan karena aku belum pernah, justru karena aku sudah pernah mencoba. Aku tahu bagaimana sulitnya mengatur posisi bercinta di atas jok, baik di depan maupun belakang. Buat kalian yang sudah pernah mencoba juga, pasti mengerti bagaimana kecanggungan yang akan terjadi.
“Serius? Mending kita balik ke kosan kamu aja, atau kita buka kamar hotel deh.”
“Udah nggak tahan nih Kak, lagian aku juga belum pernah nyoba sex in the car,” mulai deh anak satu ini merajuk. Kalau tidak dipenuhi pasti kami akan larut dalam perdebatan.
Kucoba lagi untuk membujuknya, “Nggak enak tau gituan di mobil itu. Ribet, sama sekali nggak nyaman. Percaya deh.”
Seperti kuduga sebelumnya, usahaku sia-sia belaka. Leo terus merajuk dan memelas. Dia bilang ingin mencobanya sekali saja. Memang perbedaan usia tidak bisa dibohongi. Dalam hubungan kami umumnya aku terus yang mengalah. Kadang kala aku seperti berhadapan dengan seorang adik yang manja. Diluar hubungan persetubuhan yang kami lakukan tentunya. Demikian pula untuk permintaannya kali ini. Mau tidak mau terpaksa kuiyakan. Dengan syarat kami melakukan itu di jok belakang, dan tidak melepas pakaian atas. Leo setuju. Ekspresinya langsung berubah sumringah.
Kami lalu berpindah ke jok belakang. Sebelum masuk kupastikan suasana disekitar benar-benar sepi. Memang selama kami disana belum ada orang yang melintas. Kamera CCTV pun tidak ada disekitar kami. Begitu masuk, kulihat Leo sudah melepas celana pendek dan boxer-nya. Penis miliknya pun mengacung dengan keras. “Ayo Kak, sebelum ada yang lewat nanti.”
Mendengar itu segera kuambil kondom dari tas. Kupasang kondom itu di penisnya Leo, sebelum mulai meloloskan celana pendekku. Menyusul kemudian celana dalam. Leo segera berpindah ke hadapanku. Dimintanya aku rebahan, kemudian dia membuka kedua kakiku.
“Tuh kan dibilangin juga ribet.” Aku tertawa kecil melihat Leo kebingungan mencari posisi.
Leo ikut nyengir. Mobil Leo bukanlah jenis yang punya ruangan belakang lega. Berkali-kali dia harus menggeser tubuhnya, namun dia terus berusaha. Kuhargai usahanya itu. Tetap kubuka kaki lebar-lebar, walau otot-otot mulai terasa pegal. Akhirnya dia menemukan posisi yang pas untuk melakukan penetrasi. Leo berhasil juga memasukkan penisnya. Perlahan dia mulai memainkan batang miliknya. Betapapun dia berusaha, penis itu tetap tidak menghujam sempurna. Bahkan beberapa kali tusukannya slip keluar dari lubang vagina.
Tersenyum geli aku melihatnya. “Udah, kita ganti posisi aja. Biar aku deh yang diatas,” ucapku.
Leo menurut. Sepertinya dia juga sudah kebingungan mencari posisi pas. Kini giliran dia yang duduk bersandar di jok. Kuambil posisi mengangkang di atas kedua paha Leo. Kupegang penis dia memakai tangan kiri. Sedang tangan kananku lurus menggapai jok, menjaga keseimbangan. Pelan-pelan kuarahkan penis itu ke antara paha. Begitu ujungnya bergesekan dengan permukaan vagina, kuturunkan pantat Penis itu pun menusuk dengan sempurna. Leo tersenyum. Sepertinya dia bisa merasakan jepitan hangat di bawah sana. Kubalas senyumannya, dan mulai menggoyang pinggul. Ganti kupegang pundak Leo sebagai tumpuan.
“Aaahhh..” Leo mulai mendesah pelan.
“Gimana? Enak? Udah seneng kan sekarang?” tanyaku sambil mentoel hidungnya.
Lagi-lagi Leo nyengir. Dia mengangguk sambil mendesah. Masih kugoyangkan pinggul dengan pelan. Kupastikan Leo menikmati jepitan vaginaku dengan maksimal. Bisa kulihat dia memang menikmatinya. Cirinya adalah kepala sedikit mendongak dan mata tertutup. Tangan Leo sendiri keduanya ada di pantatku, meremasi bongkahan empuk yang ada disana. Dengan ruangan yang terbatas, terpaksa kami hanya bertahan pada posisi woman on top.
Sedang asyik bergoyang, tiba-tiba terdengar suara mendekat. Langkah kaki dan orang bercakap-cakap. Langsung kuminta Leo berhenti mendesah. Aku pun berhenti bergoyang. Kami lalu sama-sama berkonsentrasi pada suara yang terus mendekat. Ternyata suara itu berasal dari dua orang laki-laki. Mereka seperti pebisnis, karena tampilannya yang berjas dan berdasi. Mereka terus saja melangkah, tanpa mempedulikan keberadaan kami dalam mobil. Ternyata mobil mereka berjarak dua mobil disebelah kami. Sejenak kami bisa bernafas lega. Begitu mobil itu melaju, aku dan Leo tertawa kecil. Inilah keseruan dari bercinta di dalam mobil. Ada rasa deg-degan yang timbul. Apalagi kaca mobil Leo tidaklah terlalu gelap.
“Dilanjutin apa mau udahan aja?” tanyaku. Masih duduk dipangkuan Leo.
“Lanjutin bentar lagi ya Kak, udah mau keluar kok tadi.”
Maka aku lanjut bergoyang. Kali ini goyangan sengaja kubuat agak cepat. Tidak ada protes dari Leo, goyangan pinggul pun terus kutingkatkan. Desahan Leo juga semakin sering terdengar. Dia nampak menikmati betul goyanganku yang terus mengencang itu.
Sambil mendesah Leo berujar, “Kak, boleh aku keluarin pejuhnya di mulut kakak nggak?”
“Ih, apaan sih aneh-aneh aja deh maunya.” Langsung saja kutoel hidungnya lagi.
Dan kemudian keluar lagi-lah rajukan khas Leo. Aku tetap pada pendirianku menolak. Terasa aneh berdebat sambil bersenggama seperti itu. Entah seberapa kencang pun aku bergoyang, Leo belum juga ejakulasi. Sepertinya dia menahan spermanya tetap di dalam. Dia memang cukup ahli melakukan itu. Malah justru kewanitaanku yang terus membanjir. Kucapai orgasme-ku sambil masih berdebat dengan Leo. Entah dia menyadari itu atau tidak, karena aku berusaha menahan diri tidak melenguh. Klimaks sudah kucapai, maka perdebatan kuakhiri dengan persetujuan.
“Boleh deh, asal abis ini kamu nraktir aku makan,” kuucapkan itu, disertai dengan menyebut sebuah nama restoran. Sengaja kupilih restoran mahal. Berharap Leo akan berpikir ulang untuk mengeluarkan spermanya di mulutku.
Namun, dugaanku itu meleset. Leo menyetujuinya tanpa protes sedikit pun. Maka mau tidak mau aku harus menuruti kemauannya. Kuangkat pantatku dan ganti posisi. Karena berjongkok terasa agak sulit, maka aku hanya membungkuk. Kutarik karet kondom, lalu mulai mengulum batang Leo. Ternyata tidaklah perlu waktu lama untuk membuatnya melenguh panjang. “AAKKHH..!!” Cairan kental pun memenuhi mulutku dengan cepat. Agak kelabakan aku dibuatnya. Semprotan terakhir langsung kutarik kepalaku. Kutelan sperma Leo sampai habis. Dia pun terlihat puas melihat itu. Malah dia menggodaku untuk membuka mulut seperti bintang porno. Dan kata-kata itu kuhadiahi dengan jeweran di telinga.
Kami lalu membersihkan kelamin masing-masing, kemudian berbenah. Selesai memakai celana kuambil telpon. Kutelpon suamiku. Ternyata Mila yang mengangkat telpon. Dia bilang suamiku sedang mandi. Kuminta padanya untuk mengajak suamiku datang ke restoran. Leo yang traktir, kukatakan itu sebagai tambahan. Kata-kata yang langsung mendapat protes dari si pemilik nama. Giliran aku yang nyengir. Kubilang padanya cum in mouth itu mahal harganya. Kusertakan pula dengan ancaman, kalau tidak mau aku bakal pulang naik taxi. Leo pun hanya bisa pasrah sambil menepuk jidatnya. Diseberang telpon, terdengar suara Mila terkekeh.
“Kalo gitu kita mampir ke ATM dulu yah,” kata Leo dengan nada pasrah.
Sungguh geli aku melihatnya. Kupeluk dan kucium bibirnya dengan mesra. “Makasi traktirannya ya Leo sayang,” godaku.
“Iya,” sahutnya, masih dengan nada pasrah. “Tau gini tadi nggak usah pake keluar di mulut deh.”
Aku tertawa lebar. Leo kemudian menyusul tertawa. Dan mobil pun melaju perlahan.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar