Senin, 06 Juni 2016

Kamar Hotel


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Mobilku melaju pelan masuk parkiran basement sebuah hotel berbintang. Hari itu aku semobil dengan Andre, keponakanku. Dia datang ke kantorku untuk meng-upgrade software beberapa komputer. Kebetulan satu teknisi kantorku cuti, dan satu lagi harus bertugas ke kantor cabang lain. Daripada memanggil teknisi luar, lebih baik kuberdayakan keponakan sendiri. Bayarannya murah, cukup traktiran makan. Malah terkadang cukup sekedar ciuman. Namun, justru bayaran terakhir ini yang paling disukai Andre. Tadi pagi dia diantar teman, sehingga pulangnya nebeng mobilku. Tentu saja dia yang mengemudi. Buat apa ada tenaga muda kalau disia-siakan.
Kami memang mampir ke sebuah hotel, tapi jangan salah sangka dulu. Bukan niatku mengajak keponakanku bermesum ria disana. Seorang nasabah menelpon sejam lalu. Dia mendadak harus ke bandara, dan tidak bisa mampir ke kantorku. Berkas yang harus ditandatangani terpaksa harus kuantar sendiri. Beruntung dia menghubungi mendekati jam pulang. Sehingga setelah urusan ini, aku tidak perlu kembali lagi ke kantor.
“Kamu tunggu sebentar disini ya, tante nggak lama kok.”
Dijawab Andre dengan anggukan. Dia lalu memilih duduk di salah satu sudut lobi hotel. Kulihat dia mengeluarkan ponsel dari saku. Semoga dia nyaman ada di sana, harapku. Aku tahu Andre tipe pemalu. Apalagi kalau berada di ruang publik. Dia kurang bisa bergaul dengan orang-orang baru. Namun kalau sudah akrab, dia sebenarnya anak yang ramah.
“Ting!” Pintu lift terbuka. Aku keluar dan melangkah sepanjang koridor. Kucari nomor kamar yang tadi dikirim ke ponselku.
Saat kutemukan, kutekan tombol bergambar bel. Pintu pun terbuka. Muncullah seorang laki-laki seumuranku. Tersenyum lebar dia saat melihatku. Dia adalah Reza, sahabatku di kampus dulu. Dan kini adalah nasabah prioritas baruku.
“Hei Dit, ayo masuk.”
Kubalas senyumannya. Aku melangkah ke dalam kamar. Kulihat sebuah koper sudah ter-packing rapi di samping ranjang. Kamar terlihat masih sangat rapi. Mungkin dari tadi malam kamar ini tidak berpenghuni. Dugaan itu bisa saja benar adanya, mengingat kesibukan Reza.
“Duduk Dit, kamu mau minum apa?”
“Nggak usah repot-repot Rez. Lu kan juga buru-buru, ntar telat loh.”
Melangkah aku ke sudut kamar. Sudut itu memang diperuntukkan menerima ruang tamu. Disana ada dua kursi sofa dan sebuah meja kaca. Diatas meja terhadap sebuah vas mungil. Duduk aku di kursi, dan Reza menyusul tidak lama.
“Oke, sekarang mana yang harus aku tandatangani?”
Kukeluarkan berkas kontrak kerja sama dari tas. Kutaruh di meja. Kuminta Reza membacanya terlebih dahulu. Barangkali ada klausul yang dia rasa kurang sesuai. Dia mengambil berkas itu dan mulai membaca. Lembar demi lembar dibaca dengan seksama. Beberapa kali dia berdehem.
Tersenyum aku melihat pemandangan itu. Belum pernah aku lihat sosok Reza yang sedemikian serius. Reza yang dulu kutahu adalah anak yang urakan dan selengean. Kaos dan jeans biasa jadi pilihannya dalam berbusana. Kini dia telah menjelma menjadi sosok eksekutif muda. Kesan itu kian terasa lewat balutan kemeja dan dasi.
“Udah pas kok Dit, di mana nih gue musti tanda tangan?”
“Disini.” Kutunjuk bagian bawah dari lembar kontrak terakhir. Aku minta dia menandatangani rangkap lima. Kukatakan aslinya akan dikirimkan via kurir.
“Ada lagi yang harus gue lengkapin?”
“Nggak ada lagi sih. Sekarang gue tinggal nunggu transferan dana awal dari lu,” ucapku, sambil memasukkan lagi berkas kontrak itu ke dalam tas.
“Sip. Gue bakal minta manager keuangan buat ngirim duitnya besok.” Reza lalu berdiri. Dia juga minta aku berdiri. Kuikuti kemauannya. “Karena urusan administrasi kita udah beres, sekarang boleh dong gue cium lu?”
Reza nyengir. Aku ikut tersenyum. Memang aku yang menjanjikan hal itu. Semula niatku hanya ingin menggodanya, tapi dia menanggapi dengan serius. Kuanggukkan kepalaku. Harus kuakui, aku juga merindukan hangatnya bibir Reza.
Maka bertemulah bibir kami. Awalnya hanya sekedar pelepas kangen, tapi lama-lama jadi terasa makin intim. Dari ciuman berubah jadi pagutan. Harus kuakui romansa diantara kami tidak akan pernah hilang. Diantara kami ada birahi yang terpendam, layaknya api dalam sekam. Sedikit saja bergesekan, birahi itu akan terpicu. Begitu pun yang terjadi hari itu. Tahu-tahu saja kami sudah bergumul di atas ranjang. Entah kapan dia membawaku kesana. Sejak dulu, memang tidak sulit bagi Reza untuk membawaku kepelukannya.
Pagutan kami terus semakin memanas. Lidah kini ikut bermain disela-sela pagutan. Nafas kami memburu. Bibir kami terus saja beradu, sampai terdengar dering telepon. Pada dering ketiga baru bibir kami berpisah. Saat itu baru aku sadar kalau Reza sedang menindihku. Tiga kancing blusku terbuka, dengan posisi tangan Reza ada di payudaraku. Sadar akan hal itu, Reza refleks menarik tangannya. Suasana menjadi canggung. Langsung dia berguling dari atasku, dan bergeser ke tepi ranjang. Diangkatnya telepon itu. Sedang aku merapikan kembali pakaianku. Rupanya telepon itu dari resepsionis, memberitahu pesanan taxi Reza sudah menunggu. Ucapan terima kasih Reza mengakhiri perbicaraan.
Kini kami berdiri saling memandang. Pergumulan tadi menyisakan rona merah di wajah kami. Kecanggungan masih menguasai. Andai saja telepon tidak berbunyi, entah apa yang akan terjadi.
“Taxi gue udah datang,” ujar Reza. Berusaha dia tersenyum. Dia lalu berjalan mendekat, lalu memegang kedua tanganku. “Maaf Dit, tadi gue kebawa suasana.”
Aku pun berusaha tersenyum. “Nggak apa-apa, gue juga sama.”
Senyuman itu mengurangi kecanggungan diantara kami. Reza kemudian memelukku. Kunikmati ada dalam pelukannya. Entah kenapa ingin aku berlama-lama merasakan kehangatan itu. Walau tanpa kata, pelukan itu menenangkan kami berdua. Dikecupnya lalu keningku.
“Kalo gitu gue pergi sekarang. Sampai kita ketemu lagi, kapan-kapan.” Kujawab singkat dengan anggukan kepala. “Oya, kamar ini udah gue bayar sampai lusa. Gue belum check out, mubazir kalo dikosongin. Lu pake aja buat bulan madu sama suami lu, atau mungkin sama yang lain juga boleh.” Reza mengerling usil.
Langsung kutepuk bahunya. Dia mengerang pelan, lalu tertawa kecil. Reza tahu aku tipe wanita yang setia, namun “selingan” tetap ada. Sebelum melangkah keluar kamar, dipeluknya lagi aku. Ciuman mendarat lagi di bibirku. Barulah kemudian dia melambai, dan pergi. Tinggallah aku sendirian. Duduk di atas ranjang, menenangkan diri. Berusaha menurunkan kembali gairah yang tadi sempat naik. Tiba-tiba saja tercetus sebuah ide. Kuambil ponsel dan menekan sebuah nomor.
Tidak lama, terdengar suara ketukan. Aku melangkah dan membuka pintu. Disana berdiri Andre. Kusuruh dia masuk, dan dia menurut.
“Wao beneran bagus banget kamarnya..” seru Andre begitu dia melihat keseliling.
Memang aku yang mengundang keponakanku itu. Kukatakan padanya, disini ada tempat nyaman untuk bekerja. Mengerjakan proyek kami yang tadi sempat terputus. Ternyata dia menanggapi secara harfiah kata-kataku, padahal ada sedikit niat untuk menggodanya. Geli kadang aku dengan kepolosannya. Kalau saja laki-laki lain mungkin akan menanggapi berbeda. Bayangkan wanita mengundang laki-laki ke kamar hotel, dimana di sana hanya ada kalian berdua. Kalau anda yang menjadi Andre, apa yang akan anda bayangkan?
“Kita bisa mulai kerja sekarang Tante?” tanya keponakanku itu. Kuanggukkan kepala sajalah sebagai jawaban. Entah konteks kata ‘kerja’ ini sama dengan yang aku pikirkan. Tersenyum geli aku dalam hati.
Ternyata Andre membuka tasnya, bukan bajunya. Yang artinya konteks kata ‘kerja’ yang aku dan dia pikirkan berbeda. Tersenyum geli lagi aku dalam hati. Dia lalu mengeluarkan laptop, dan meletakkannya di atas meja. Kuperhatikan saja tingkahnya sambil tersenyum kecil.
“Di kasur aja yuk, biar enak bisa sambil rebahan,” ucapku. Ucapan yang jelas bernada godaan. Dan lagi-lagi ditanggapi Andre secara harfiah. Dia membawa laptopnya yang sudah menyala ke atas ranjang, tanpa memperdulikan keberadaanku.
“Tante, naik juga ke kasur dong. Gimana bisa kerja kalo jauh-jauhan.”
Akhirnya dia menyadari keberadaanku. Kali ini aku cekikikan dalam hati. Aku pun menyusulnya naik ke atas ranjang. Saat mengangkat kaki, sengaja kuangkat tinggi-tinggi. Padahal aku sangat sadar sedang memakai rok pendek. Kupastikan isi rokku terlihat dengan jelas oleh Andre. Dan aku yakin dia pun melihat itu, dari wajahnya yang kini memerah. Refleks dia menolehkan kepala ke arah berlawanan. Duh sopan banget sih keponakan tante ini, ucapku dalam hati. Tengkurap aku lalu ikut disampingnya.
Sesi goda menggoda kuhentikan sejenak. Kini aku konsen mendengarkan penjelasan Andre. Dia sedang menjelaskan cara mengoperasikan program Photoshop. Saat ini aku sedang keranjingan hobi fotografi. Dengan belajar Photoshop, aku bisa mengedit sendiri foto-foto sebelum di-upload ke Instagram. Beberapa kali Andre memegang tangan kananku guna mengarahkan cursor, entah sengaja atau tidak. Kubiarkan saja, kubiarkan dia menikmatinya. Selain mengolah foto, Andre juga mengajarkan program komputer lain. Hanya saja, tidak semua program itu nyantol dalam otak. Satu yang cukup menarik perhatianku, yaitu program Movie Maker. Kukatakan agar nanti aku bisa mengedit sendiri film bokep pribadi dengan suami, atau sama yang lain. Wajah Andre lagi-lagi berubah merah mendengar itu.
“Aduh Tante seksi banget sih,” komentar Andre saat kubuka file fotoku yang ber-bikini.
Sengaja kupilih foto itu guna menggodanya. Kuminta dia mengedit kecerahan warnanya. Dia pun serius mengerjakannya, sampai pada bagian bikini bawah cursor-nya berhenti. Bertanya aku ada apa, lagi-lagi dia hanya tersipu malu. Dia menjawab nggak apa-apa. Namun, terus kudesak sampai akhirnya dia berterus terang. “Ma-maaf Tante, cu-cuma penasaran aja sih. Di sana itu ada bulunya nggak yah?” Tergagap dia menjawab, sambil mengubah posisi cursor ke bagian bawah foto. Tepat ke arah selangkanganku. Melihat itu aku tertawa kecil.
“Kalo penasaran, kamu liat sendiri aja langsung,” godaku lagi.
Andre terlihat kaget mendengarnya. “E-emang bo-boleh Tante?”
“Boleh. Lagian kan Tante udah janji ama kamu waktu itu di rumah sakit.”
“Tan-tante masih inget?” Dia tersenyum ragu. Dia terlihat senang, tapi berusaha menutupinya.
Memang aku pernah berjanji padanya. Saat itu kami ada di rumah sakit, menemani si kecil yang mengalami panas tinggi. Kebetulan suami sedang diklat ke luar kota. Terpaksa kuminta bantuan Andre menunggui si kecil selama aku bekerja. Beruntung dia sedang libur semesteran. Saat itu, hampir satu minggu lebih aku bikin dia repot. Disanalah tercetus keinginan Andre untuk melihat tubuhku. Keinginan yang berbalut candaan, tapi ada unsur keseriusan. Kuiyakan saja mengingat jasanya membantuku waktu itu. Dengan syarat, aku juga boleh melihat tubuhnya.
Maka mulailah Andre membuka kaitan celana jeansnya. Menyusul lalu membuka yang lainnya. Saat hendak membuka boxer yang dipakainya, dia terlihat ragu sesaat. Tersenyum aku melihat itu. Namun, akhirnya celana dalam itu terlepas juga. “Ih kok udah ‘bangun’ sih?” godaku, sambil mengerling. Andre langsung tersipu, dan refleks menutup penisnya yang mengacung dengan dua tangan. Aku pun tertawa melihatnya.
“Udah Andre buka, Tan-tante nggak buka juga?” tanyanya dengan nada ragu. Mempertanyakan kesepakatan kami. Kembali aku tertawa. “Loh kamu bantuin buka dong..” Kupancing lagi dia dengan godaan. Niatnya sih biar tangannya tidak lagi menutup selangkangan. Dengan demikian, bisa kulihat bentuk dan ukuran penis keponakanku itu.
Bergeser aku ke tepi ranjang. Disana kupakai bantal sebagai alas sandar. Kubuka lebar kemudian kedua kaki, memperlihatkan isi dalam rokku. Andre menelan ludah melihat itu. Beberapa detik dia hanya tertegun, sampai kuberi kode jari. Kusertai pula dengan kerlingan nakal. Dia menuruti isyaratku. Masih dengan pandangan nanar, bergeser dia perlahan mendekat. Selanjutnya tanpa kuberi kode lagi, dia menyasar resleting rokku. Dibukanya dan rokku lalu melorot turun. Sasaran berikutnya karet celana dalamku. Tapi sebelum dia sempat menariknya, kutahan tangan Andre.
“Ke-kenapa Tan..” Pertanyaan Andre terputus. Kututup mulutnya dengan bibirku. Kulumat lalu bibirnya. Dia terlihat kaget awalnya, tapi kemudian dia mulai menikmatinya. Sengaja kucegah Andre membuka langsung celana dalamku. Kulakukan agar rasa penasaran kian bertambah. Aku tahu vaginaku adalah incaran utamanya.
Ciuman kami perlahan semakin intim. Lidah kami mulai beradu. Keponakanku semakin terbuai permainan lidah kami. Kesempatan itu kupakai memegang batang penis Andre, incaranku sejak tadi. Diameter batang penis Andre terasa pas ditanganku. Sambil tetap berciuman, kukocok pelan penis keponakanku. Sepertinya dia menikmati kocokan itu. Kudengar desahan kecil keluar dari mulutnya.
Begitu bibir kami terpisah, Andre menoleh ke bawah. Dipandangi tangan kananku yang sedang mengocok penisnya. Sesekali terdengar lagi desahan dari mulutnya. Kutanya apakah kocokanku terasa enak, dijawabnya dengan anggukan. Balik dia bertanya, apakah aku suka ukuran penisnya. Kujawab pula dengan anggukan. Dia pun tersenyum bangga.
“Bisa tambah panjang lagi nggak?” godaku padanya.
Andre nyengir sambil mengangguk. “Ka-kalo ngeliat toket kayaknya masih bisa nambah panjang sih.” Eh malah keponakanku menggoda balik, walau ucapannya terdengar sedikit ragu. Mungkin dia takut membuatku tersinggung.
Tertawa kecil aku mendengarnya. Maka godaan itu pun kubalas lagi. Kubuka kancing paling atas blusku dengan tangan kiri. “Kayak gini?” tanyaku dengan sedikit mendesah. Andre nyengir dan mengangguk. Kubuka lagi kancing kedua. “Kayak gini juga?” tanyaku lagi. Cengiran Andre jadi makin lebar. Kepalanya juga mengangguk mantap. Menyusul lalu kancing ketiga dan seterusnya, sampai payudaraku yang masih tertutup bra terlihat jelas.
Kutanggalkan blus guna memanaskan suasana. Kini tubuhku hanya terbalut pakaian dalam. Dan benar saja, hal itu memang makin memancing birani Andre. Penisnya terasa kian memanjang dalam genggamanku. Aku menyukai bentuknya, sungguh aku menyukainya. Bibir kami kembali beradu. Dia mendorongku pelan. Terbaringlah aku dengan tubuh Andre berada di atas tubuhku. Bibir kami terus melumat, tangan kami terus meremas. Kurasakan penisnya bergesekan dengan perutku. Pada momen itu, tiba-tiba Andre melenguh panjang. Menyusul lalu kurasakan beberapa kali semburan hangat, tepat di atas perutku.
“Ma-maaf Tante..” Andre hendak mengangkat tubuhnya, namun kucegah. Kalau kubiarkan dia bergerak, maka sisa sperma akan mengenai sprei.
Sambil terbaring kugapai batang penis Andre. Lalu kukocok sampai seluruh sperma tumpah di perutku. Seluruhnya sampai tak ada lagi yang tersisa. Barulah kubiarkan dia mengangkat tubuh.
“Tolong ambilin tissue di tas Tante dong.” Kutunjuk sisi kanan Andre.
Kemudian Andre membantu aku membersihkan diri. Baru kusadari banyak sekali sperma yang keluar tadi. Membasahi perutku, dan sebagian tertampung di pusar. Berkali-kali Andre meminta maaf lagi padaku. Persis seperti kejadian pertama kami di ruang tamu. Berkali-kali pula kubilang tidak apa-apa. Melihat masih ada sisa-sisa sperma yang menempel, akhirnya kuputuskan untuk sekalian mandi. Kutinggal Andre duduk di tepi ranjang. Terlihat kekecewaan di wajahnya.
Selesai mandi, tubuhku terasa segar. Aku hanya mengenakan kimono keluar dari kamar mandi. Kulihat posisi duduk Andre belum berubah. Guratan kekecewaan masih juga terlihat. Kepalanya tertunduk menatap lantai. Kudekati dia, dan duduk disampingnya. Kupancing dia bercerita.
“Ada apa Dre?” Kuhaluskan suaraku. Kupeluk bahunya.
“Andre ini cowok lemah ya Tante...”
Mulailah Andre mengutarakan kegundahan hatinya. Dia bilang kecewa berat karena tidak bisa mengontrol ereksinya. Sudah dua kali kejadian yang sama terulang. Dengan jujur dia mengaku ingin sekali menyetubuhiku. Ingin sekali dia memasukkan kelaminnya ke kelaminku. Namun, saat kesempatan itu ada dia malah menyia-nyiakannya. Tersenyum kudengar pengakuan lugu itu. Dia sampai meneteskan air mata. Suaranya jadi terbata-bata. Langsung kupeluk dirinya. Perlahan kutenangkan dirinya. Setelah Andre mulai tenang, kuminta dia untuk mandi. Semoga kucuran air bisa memperbaiki suasana hatinya, harapku. Dia menurut. Melangkah lalu dia ke kamar mandi.
Saat Andre keluar dari kamar mandi, aku baru selesai menelpon suami. Kukatakan pada suami kalau aku sedang bersama Andre. Aku minta ijin untuk pulang agak malam. Suami mengijinkan, dan justru terdengar antusias. Dia malah menyuruhku untuk ‘having fun’ dengan Andre. Dia juga menawarkan diri menjemput si kecil, agar aku punya waktu lebih banyak. Tersenyum aku saat menutup telpon. Lalu kuberi isyarat agar Andre duduk disampingku. Kini kami berdua hanya terbalut kimono. “Gimana udah baikan?” tanyaku pelan. Kuelus rambut keponakanku itu.
Andre mengangguk pelan. Dia lalu menunduk. Wajahnya memerah. Kembali dia meminta maaf padaku. Kali ini untuk kata-katanya tadi, terutama saat bilang ingin menyetubuhiku. Tersenyum aku dan bilang tidak apa-apa. Malah kuminta dia bercerita mengenai fantasinya. Fantasi seksnya atas diriku. Mulailah dia bercerita. Tertawa-tawa aku mendengar ceritanya. Dia pun berkali-kali tersipu malu. Kemudian dia menawarkan untuk menonton bokep miliknya. Katanya ada adegan keponakan bersetubuh dengan tantenya. Dengan antusias aku minta dia memutarkannya untukku. Andre menghidupkan lagi laptop. Dan kami pun larut dalam adegan di layar.
“Kenapa Dre? ‘Bangun’ lagi?” tanyaku, karena melihat keponakanku mulai gelisah. Andre malu-malu mengangguk. Tersenyum geli aku melihat raut wajahnya. “Masukin yuk,” tambahku.
Mendengar itu mulut Andre menganga lebar. Dia terlihat luar biasa kaget. Mungkin tidak pernah disangkanya kata-kata itu akan keluar dari mulutku. Barulah dia percaya saat aku mengeluarkan sebungkus kondom dari tas. Andre terpaku saat kubuka kimononya. Kagum aku dengan bentuk tubuh keponakanku. Jadwal fitnes rutinnya berbuah hasil. Dia masih terpaku saat kupasang karet kondom pada penisnya. Lalu kubuka pula kimonoku. Kini mata Andre yang terbelalak. Kini dia tahu kalau dibawah sana tidak ada bulu. Kuajak dia naik ke ranjang.
Duduk lalu aku di depan Andre. Kubuka kedua kaki lebar-lebar. Andre terlihat bingung melihat aku mengangkang seperti itu. Dia terlihat kikuk. Mungkin ini kali pertamanya dia melihat vagina asli. Maka kusuruh dia mendekat. Kupegang batang penisnya yang sudah tegang maksimal.
“Sini Tante bantu ngepasin lubangnya,” ucapku sambil tersenyum.
Andre minta agar aku tidak lagi mengocok penisnya. Dia takut nantinya keburu keluar lagi. Aku mengangguk. Kuarahkan ujung penis Andre tepat di depan vaginaku. Kuminta dia mendorong pinggulnya pelan. Sama-sama kami mendesah, ketika batang penis itu perlahan masuk. Melihat penisnya sudah ada dalam vaginaku, wajah Andre jadi sumringah. Mimpinya akhirnya terwujud.
“Jangan cuma diliatin aja, digerakin dong..” Tidak bisa kutahan tawa. Andre masih saja terpukau melihat kelamin kami yang menyatu. “I-iya Tante, ma-maaf..” Demikian sahutnya.
Mulai Andre memainkan pinggulnya. Penisnya mulai menusuk-nusuk lubangku. Kupegang erat sprei, karena Andre langsung menggenjot kasar. Padahal vaginaku belum terlumasi dengan baik. Aku tahu kalau keponakanku belum pernah bersetubuh sebelumnya. Dia belum pandai mengatur ritme permainan. Akhirnya akulah yang mengalah. Kutahan sebisa mungkin rasa sakit di bawah sana. Ternyata rasa sakit itu tidak berlangsung lama. Tidak sampai dua menit, Andre melenguh panjang. “AAAKKHH..!” Seperti kusangka, permainan kami akan berlangsung singkat.
Tubuh Andre ambruk di atas tubuhku, sebelum berguling ke samping. Nafasnya terengah-engah. Aku menoleh kearahnya dan tersenyum. Keponakanku terlihat begitu puas. Kuseka keringat di dahinya. Dia masih butuh banyak belajar soal seks.
Setelah berhasil menguasai diri, Andre tersenyum padaku. Dia mengucapkan terima kasih karena telah mengijinkan dia menyetubuhiku. Dia juga mengucapkan maaf, karena lagi-lagi tidak bisa bertahan lama. Kubalas pula dengan senyuman. Kami berdua lalu berciuman. Andre minta agar aku jangan dulu berpakaian. Dia masih ingin bertelanjang ria denganku. Kukabulkan permintaan itu. Kemudian kami lanjut ngobrol, sambil diselingi ciuman, merabaan dan meremasan. Andre minta ijin ‘mempelajari’ tubuhku. Dari atas, bawah, depan, dan belakang. Setiap jengkal tubuhku disentuhnya. Pelajaran ‘biologi’ itu baru selesai saat pesanan makanan datang. Kami pun makan malam di atas ranjang. Tetap dengan tubuh tidak terbalut sehelai benang.
“Tante, Andre ‘bangun’ lagi..” ungkap Andre malu-malu.
Dasar anak muda cepat sekali ereksinya. Kulihat penis itu memang menegang lagi. Tersenyum aku sambil menggeleng. Padahal aku baru saja memakai celana dalam. Andre juga baru selesai memakai kaosnya. Dia meminta padaku satu kali lagi kesempatan. Mumpung masih tersisa satu bungkus kondom di dalam tas, maka kutarik turun lagi celana dalamku. Dan kelamin kami pun kembali menyatu. Kali ini berlangsung sedikit lebih lama. Dua menit lebih sekian detik.
Setelahnya, kami kenakan kembali pakaian. Kegembiraan begitu terpancar di wajah Andre. Lagi dia mengucapkan terima kasih. Ekspresi itu akan bertahan disana sampai beberapa hari ke depan, aku yakin itu. Sebelum keluar kamar, Andre berjanji padaku. Kesempatan berikut dia pasti akan membuatku orgasme. Kutoel hidungnya. Kuingatkan padanya agar tidak sembarangan memakai penisnya. Karena kalau tidak, maka kesempatan bersetubuh lagi denganku akan tertutup. Dia pun mengangguk tanpa mengerti.
Malam sudah beranjak larut, saat aku tiba di rumah. Anakku sudah tertidur, dan pembantuku pun sudah pulang. Hanya ada suami yang menyambut dengan senyuman. Langsung aku ditariknya ke dalam kamar. Kucapai orgasme-ku di depan meja rias, dengan pakaian masih lengkap terpasang. 
.

2 komentar: