Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Tadi sore
aku lihat arak-arakan anak SMU. Mereka ramai-ramai merayakan kelulusan. Lengkap
dengan seragam penuh coretan pastinya. Walau bikin macet, tapi geli juga
melihat tingkah polah mereka. Aku pun juga begitu saat kelulusan dulu. Sudah
lama banget sih.
Masa SMU
memang masa yang indah. Segala hal pertama terjadi di masa itu. Keluyuran malam
pertama, pacaran pertama, ciuman pertama, sampai buka-bukaan pertama. Sebatas
buka pakaian luar doang sih. Belum buka daleman, apalagi buka selangkangan.
Takut hamil masih jadi momok menakutkan kala itu. Masih ingat betapa lugu dan malu-malunya
saat itu. Kalian mengalaminya juga kan pasti? Mungkin tahapan masanya saja yang
beda. Aku di masa SMU, mungkin kalian di masa kuliah. Ada yang masa SMP? Atau
SD? Kebangetan sih kalo ini.
Ciuman
pertama? Kulakukan bersama kakak kelas, sekaligus pacarku. Aku memanggilnya Kak
Alan. Bukan pacar pertama, tapi penisnya adalah pengalaman pertamaku. Hanya
sebatas bantu ‘ngocokin’ sih, kalau memakai istilah dia. Dengan segala kekikukan,
aku bisa membuat dia crot. Lumayan juga kalau diingat-ingat. Kulakukan itu
dengan hanya memakai celana dalam. Iya, aku memang satu dari adik kelas, yang keluguannya
dimanfaatkan kakak kelas.
Tidak
bisa dibilang sepenuhnya salah dia sih. Rasa penasaranku pun ikut andil
kejadian itu bisa terjadi. Disaat teman se-geng bercerita bagaimana enaknya
ciuman, aku hanya bisa ngebayangin. Saat itu akses internet masih sangat
terbatas. Bokep tidak bebas lalu lalang dari satu ponsel ke ponsel lain. Satu-satunya
cara menjawab rasa penasaran ya dengan ‘praktek’ langsung.
“Sshhh,
sshhh, sshhh...”
Aku
mendesah. Kak Alan sedang mengulum putingku. Tidak tahu kapan dia melepas
seragam atas, juga braku. Dilanda birani memang bikin lupa diri. Setelah sekian
kali berusaha, hari itu dia bisa menikmati payudaraku. Hari itu pertama kali
aku netekin cowok. Beneran se-dahsyat cerita teman-teman cewekku. Beneran bisa bikin
celana dalam basah.
“Sshhh, sshhh, sshhh...”
Aku masih
mendesah. Terbaring pasrah di sebuah ranjang. Sedangkan diatasku, Kak Alan
masih sibuk menciumi bibir, leher dan kedua payudaraku. Itu bahkan bukan
ranjang dia, bukan pula kamar kos dia. Kami ‘meminjam’ kamar kos milik
temannya. Menyewa hotel? Tahu dong uang jajan anak SMU berapa sih.
Baru aku
tersentak, saat Kak Alan menarik rok abu-abuku. Kakiku terantuk tepi ranjang. Gagal
aku mencegah rok itu terlepas. Beruntung celana dalam bisa kucegah ikut
terlepas. Benar-benar bersyukur aku saat itu. Andai rasa sakit tidak
menyadarkan aku, mungkin aku sudah digagahi. Habisnya kudapati Kak Alan sudah tak
lagi bercelana. Penisnya mengacung tegak kearahku. Itu pertama kalinya aku
melihat penis cowok.
“Jangan
Kak, jangan...”
Aku
memelas saat Kak Alan mulai kalap. Dia menindih, berusaha melepaskan celana
dalamku. Benar-benar menyeramkan melihat cowok dilanda birahi tinggi. Tahu
sendiri saat itu adalah pengalaman pertamaku. Maka aku pun mulai menangis. Aku benar-benar
ketakutan. Ternyata tangisan itu meredakan emosi kakak kelasku. Syukurnya. Pelan-pelan
semuanya kembali tenang.
“Maaf
ya,” Kak Alan mengelus rambutku, dipelukannya. Aku sendiri masih sesenggukan.
Dia
menutupi tubuhku dengan selimut. Perlahan rasa takut sirna. Kembali aku merasa
aman. Tak ada lagi sosok seram yang tadi hendak menyetubuhi aku. Kak Alan
mencium lagi. Saat itulah permintaan untuk mengocok miliknya terlontar. Karena
dia meminta dengan lembut, akhirnya aku luluh. Tanganku pun memegang penis
untuk pertama kalinya.
“Sshhh,
sshhh, sshhh...”
Kini giliran
Kak Alan yang mendesah. Jujur aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan. Apa
cara mengocokku benar atau tidak. Kulakukan saja seperti yang dia mau. Yang
jelas, aku kaget saat ujung penis itu menyemburkan cairan kental. Oh ini toh
yang namanya pejuh, pikirku. Aku dengar itu juga dari cerita teman. Kak Alan nyengir
melihat ekspresiku. Dia sih terlihat santai. Tidak heran karena status playboy yang melekat padanya.
Selesai
itu kami berbenah. Aku harus mengikuti les tambahan sore. Selesai memakai bra,
tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku kaget, begitu pula Kak Alan. Dia pun baru
selesai memakai celana dalam. Si pemilik kos rupanya datang. Kak Feri, teman
seangkatan Kak Alan. Bukannya ikut kaget, Kak Feri malah cuma nyengir. Langsung
aku menyambar seragamku, dan berlari menuju kamar mandi. Sumpah malunya
setengah mati. Dari dalam, sayup-sayup kudengar percakapan keduanya.
“Sialan lu
main masuk-masuk sembarangan.”
“Sorry, sorry. Kirain lu udah kelar, habis pintu kagak kekunci sih.”
Kemudian
terdengar suara keduanya mengecil. Mungkin Kak Alan minta agar mereka berbisik.
Masih kudengar sih sedikit-sedikit. “Udah lu bugilin aja si Dita. Udah lu entot
belom?”
Wajahku semakin
memerah. Segera aku memakai seragam. Tanpa merapikan diri lagi, buru-buru aku keluar.
Kusambar tas sekolah, lalu pamit tanpa menoleh lagi ke kedua kakak kelasku itu.
***
Keesokan
hari di sekolah, gosip-gosip mulai bertebaran. Gosip-gosip tentang kejadian
kemarin. Terutama di kalangan kakak kelas. Pasti Kak Feri yang ‘ember’ nih,
pikirku. Ciutan-ciutan nakal terdengar saat aku lewat kelas mereka. Belum lagi saat
di kantin dan lapangan olah raga. Kian hari kian mengganggu. Lama-lama gosip
itu terdengar juga oleh teman sekelas, adik kelas, dan kalangan guru. Syukurnya
tidak sampai ke telinga orang tuaku. Kalau sampai mama denger, bisa
habis-habisan aku diomelin.
‘Dita
udah nggak perawan’, ‘Dita bisa dipake’, ‘Dita pernah digilir’ hanya sebagian
dari gosip-gosip yang tersebar. Tatapan-tatapan genit kian membuat aku tidak
nyaman di sekolah.
Untungnya
teman geng-ku terus mendukung dan melindungi aku. Kata mereka gosip seperti itu
lama-lama bakal mereda sendiri kok. Namun, gosip itu cukup mengganggu
hubunganku dengan Kak Alan. Hubungan kami menjadi renggang, karena aku tidak
nyaman berada diantara teman-temannya. Celah ini dimanfaatkan oleh Yesi, teman
angkatanku. Kami memang bersaing dalam berbagai hal. Yesi sempat sebal karena
Kak Alan memilihku jadi pacar. Sudah lama kami terlibat perang dingin.
Sadar
memiliki saingan, mati-matian aku berusaha mempertahankan pacarku. Rupanya Kak
Alan tahu persainganku dengan Yesi. Dia memanfaatkan situasi ini. Dia menuntut
hubungan yang lebih intim sebagai bukti cinta. Lebih dari yang terakhir kami
lakukan.
“Uhuuk,
uhuuk...” Aku terbatuk-batuk.
Barusan
penis Kak Alan ada di mulutku. Beberapa kali dia mendorong batang penisnya, aku
tidak kuasa lagi menahan rasa mual. Saat itu, secara mental aku belum siap
melakukan oral seks.
Kak Alan
terlihat kesal. Dia memintaku melepas celana dalam, tapi lagi-lagi aku menolak.
Dia pun jadi makin kesal. Mungkin kesabarannya kepadaku sudah habis. Kata-kata
umpatan mulai keluar dari mulutnya. Dia bilang aku sok alim, cewek nggak asyik,
dan lainnya. Aku hanya bisa menangis mendengarnya. Untungnya saat itu dia tidak
melakukan kekerasan fisik. Kemudian puas memaki-maki, Kak Alan keluar dari
kamarku. Meninggalkan aku meringkuk dalam sendiri. Hubungan kami resmi berakhir
saat itu. Sesuatu yang sama sekali tidak aku sesali.
***
Seminggu
kemudian, aku masih dilanda kesedihan. Kesedihan itu kian bertambah, saat
kudengar Kak Alan jadian dengan Yesi. Mereka tidak berusaha menutupi dariku. Dengan
santai keduanya menunjukan kemesraan mereka. Berusaha aku tetap tegar. Aku tahu
Yesi bisa memberi apa yang tidak bisa aku beri. Kenikmatan duniawi, diantara
kedua pahanya. Namun, hubungan itu tidak berlangsung lama. Setelah Kak Alan
lulus, mereka pun putus. Dengan gampang Yesi pindah ke pelukan cowok lain.
Dasar perek, umpatku.
Aku
sendiri selepas putus tidak memiliki pasangan. Sempat dekat dengan beberapa
cowok, tapi tidak sampai jadian. Lebih senang aku menjalin hubungan ‘teman tapi
mesra’. Konteks mesra disini tidak melibatkan kontak fisik. Hanya sebatas jalan
ke mall, nonton, hang out, dan
lainnya. Mungkin karena putus dengan Kak Alan masih meninggalkan trauma. Selain
itu, karena aku juga harus mempersiapkan diri menghadapi ujian. Jadwal les-les
yang padat membuat tidak sempat memikirkan pacar.
“Dit, lu
liat deh Yesi dateng sama siapa. Itu kan si Yoga, temen SMP kita.”
Sahabat
geng-ku, Linda, menunjuk ke sebuah mobil di parkiran. Dari kejauhan memang
kulihat Yesi diantar seorang cowok. Dan cowok itu benar Yoga. Apa mereka
pacaran? Tanyaku dalam hati. Sepeninggal Yesi, aku ambil ponsel dan menekan
sebuah nomor. Nomor si Yoga. Ternyata dia belum mengganti nomor telepon. Yoga
melambai saat menemukan posisiku berdiri. Dia lalu melangkah mendekati aku dan
Linda.
“Elu
pacaran sama Yesi?” Tanyaku langsung, setelah berbasa-basi menanyakan kabar.
Sejak pisah sekolah, kami memang jadi jarang komunikasi.
“Iya,
nggak tau gue kalo elu satu sekolah ama Yesi.”
Singkat
cerita, setelah beberapa kali telpon-telponan, aku jalan bareng Yoga. Aku tahu
dari SMP dia naksir padaku, jadi tidak sulit dong untuk menggodanya. Dalam pikiranku,
lewat Yoga aku bisa membalas Yesi. “Elu ngambil cowok gue, sekarang ganti cowok
elu gue ambil,” demikian isi benak jahatku. Yoga ini memang tipikal cowok
favorit Yesi. Cakep, bodi tinggi, dan yang paling penting tajir. Ayah Yoga
seorang Direksi di salah satu BUMN. Tahu sendirilah bawaanya apa? Mobil yang merk-nya tidak bisa disaingi cowok
seusia.
Makin
lama hubungan kami makin dekat. Hubungan yang lebih ke ‘teman tapi mesra’ juga sih.
Akhirnya hubungan kami diketahui Yesi. Dia langsung mendamprat aku di sekolah.
Adu mulut di antara kami pun berlangsung seru, sampai berakhir di ruang BP. Itu
loh ruangan konsultasi khusus buat anak-anak ‘bandel’, entah sekarang masih ada
atau tidak. Setelah itu Yoga mutusin Yesi. Tapi di sekolah Yesi mati-matian
menepis gosip itu. Aku sih senyum-senyum saja, toh niat untuk ‘balas dendam’
sudah terlaksana. Perang dingin diantara aku dan Yesi makin menjadi. Sementara
aku dan Yoga tetap berstatus ‘teman tapi mesra’. Yoga pernah minta aku jadi
pacar dia, tapi aku tolak. Alasannya, aku males pacaran lagi dengan cowok playboy. Yoga menanggapi itu dengan
santai. Dia malah cengengesan. Yang penting bagi dia, masih bisa jalan
denganku.
“Gue
nawarin bibir gue gratis loh ni Dit, emang lu nggak kangen cipokan?” Goda Yoga
padaku. Kami sedang membahas status hubungan kami. Dia mengejek, “Katanya kita
‘teman tapi mesra’, tapi ‘mesra’-nya mana?”
“Emang
elu nggak punya cewek lain buat lu cipok?” Aku berusaha berkilah. Lagak jual
mahal dong dikit. Padahal sebenarnya sudah bosen juga sih masturbasi.
Berdebat
dan terus berdebat, akhirnya bibir kami bertemu. Terjadi dalam mobil dia, di
parkiran bioskop. Sepanjang pemutaran film, Yoga terus menggoda aku. Terutama
ketika di layar muncul adegan ciuman atau bermesraan. Dan dia berhasil. Ditambah
sentuhan-sentuhan kecil darinya, membuat birahiku terpancing.
“Kita ke
hotel temen Papaku yuk, kebetulan gue dikasi kamar gratis nih satu.”
“Gila aja
lu Ga, baru ciuman sekali elu udah ngajak gue ngamar.” Aku langsung protes.
Yoga
terbahak-bahak. “Gue nggak ngajakin elu ngentot kali Dit, disana tuh kan lebih
nyaman ketimbang di mobil. Sempit kan ini.”
“Ah,
modus banget sih lu. Nggak mau gue.”
Lagi-lagi
Yoga terbahak. Akhirnya dia nyerah, dengan syarat ciuman tadi dilanjutin. Bibir
kami pun bertemu lagi. Kali ini lengkap dengan rabaan dan remasan, tapi tetap
berpakaian. Itu ciuman pertama dan terakhir? Tentu nggak dong. Pernah nonton
film ‘No String Attached’ kan? Nah, hubungan kami jadi seperti itu. Minus
adegan persetubuhan, tentunya.
***
Sebulan berlalu,
setelah Ujian Nasional berakhir.
Ujian aku
lalui dengan lancar. Gimana nggak lancar, kunci jawaban ujian sudah di tangan. Yoga
melalui akses ayahnya, bisa mewujudkan hal itu. Aku sih memang sudah siap.
Kunci jawaban itu hanya buat referensi semata. Buktinya, nilai ujianku bukan
yang tertinggi di kotaku, namun lebih dari cukup untuk masuk perguruan tinggi
favorit.
Pasca
pengumuman, langsung corat-coret dong. Konvoi keliling kota juga kami lakukan.
Ramai-ramai kami meluapkan kegembiraan. Aku sendiri ikut rombongan sekolahku,
dan juga sekolah Yoga. Menjelang siang Yoga menjemput ke sekolah, sekalian
ngajak makan siang. Seru juga sih, jadi nambah kenalan baru.
“Serius
lu masih perawan Dit? Emang nggak ada cowok yang minat merawanin lu?”
Langsung
kutepuk pundak Yoga. Cukup keras, dan memang niat sekeras-kerasnya. Dia
meringis tapi tetap nyengir. “Gini-gini gue laku kale...”
Kembali
aku hujani dia dengan tepukan. Yoga hanya mengaduh, sambil minta ampun. Sampai
akhirnya kami tertawa geli bersama. Selesai berkonvoi, aku dan Yoga berakhir di
sebuah kamar hotel. Itu loh hotel milik teman ayahnya. Kali ini aku tidak
menolak, karena percaya kalau Yoga tidak akan memperkosaku. Selain kamar hotel,
dia juga mendapat bonus voucher dinner.
Sambil menunggu jam makan malam, kami ‘bercengkrama’ di kamar.
“Lu tanda
tangan juga dong, buat kenang-kenangan.” Yoga menyodorkan spidol.
Iya, kami
memang masih memakai seragam penuh coretan. Saat masuk lobi hotel kami langsung
jadi pusat perhatian. Namun, bukan Yoga namanya kalau tidak cuek. Di lift kami
terbahak-bahak menertawai aksi nekat itu.
Saat
ingin bikin coretan di bajunya, Yoga menghentikan aku. Dia malah membuka celana
abu-abunya, lalu menyuruh aku tanda tangan di boxer-nya. Tepat di atas tonjolan penisnya. Kata dia buat aku
posisi tanda tangan musti spesial. Aku cekikikan mendengar itu. Pun demikian
dengan dirinya. Yoga menyingkap rok abu-abuku, dan menulis di celana dalamku.
Tulisan itu bunyinya, “For my special TTM.
Yoga.”
Setelah
itu, kami bermesraan. Saling cium, raba, dan meremas. Disusul melepas seragam
sekolah masing-masing. Tidak seperti Kak Alan, Yoga tidak keberatan kalau aku
tetap memakai celana dalam. Meskipun setiap kali bermesraan dia pasti bugil.
Dia juga tidak memaksa aku melakukan oral pada penisnya. Kata dia, “Kalau pengen
disepong sama yang lain aja’. Dan dia jujur dengan kata-katanya itu. Selain
sama aku, dia memang bermesraan dengan cewek-cewek lain. Diantara mereka malah
disetubuhinya. Dia menceritakan semua itu padaku. Katanya lagi, kalau bersama
aku adalah soal kepuasanku, bukan soal kepuasan dia. Yoga malah menganggap
dirinya sendiri, gigolo pribadiku.
“Dit, praktekin
yang semalem kita bahas yuk.”
Aku ragu
memberi jawaban. Antara menolak, atau menerima.
“Nggak
apa-apa kok. Lu percaya gue kan?”
Aku
mengangguk. Maka tangan Yoga mulai beraksi. Dia minta aku berbaring santai.
Ditekuknya kedua kakiku. Diambilnya lalu karet celana dalamku, di bagian
pinggang. Ditariknya turun kain terakhir di tubuhku itu. Aku menutup mataku.
Pertama kali aku memperlihatkan bagian itu pada cowok. Daerah kewanitaanku.
“Jembut
lu lebat ternyata ya.”
Wajahku
merona merah mendengar itu. Langsung aku tutup daerah itu dengan telapak
tangan. Yoga terkekeh melihat tingkahku. Tidak aneh sih, mengingat vaginaku
bukanlah yang pertama buatnya. Aku pasti terlihat norak dimatanya. Dengan
rayuan, tanganku berhasil digesernya.
Setelah
itu dia mendekatkan mulutnya ke vaginaku. Dipagutnya seperti sedang mencium
bibir. Bulu kuduk langsung berdiri. Geli-geli enak gimana gitu rasanya. Kemarin
malam, lewat chat kami membahas soal
oral seks, untuk wanita. Ternyata rasanya lebih enak dari yang selama ini aku
bayangkan. Makin lama tubuhku makin bergelinjang. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun.
“Ga oh
Ga, sshhh, ssshhh, oohhh...”
Kedua
kakiku bergerak ke kanan dan kiri. Sesekali aku mengapit kepala Yoga, yang ada
diantara kedua pahaku. Semakin lincah lidah Yoga bergerak, semakin geli aku
dibuatnya. Terlihat sekali kalau Yoga sudah fasih melakukan itu. Berbeda dengan
aku yang masih amatir. Sampai akhirnya aku mengerang panjang, “AAAKHHH...” Aku
orgasme.
Selepas
itu kami berpelukan. Masih dalam keadaan telanjang.
Malam itu
kami tidak jadi menukar voucher dinner.
Kami habiskan sisa malam di dalam kamar, sampai dia mengantarku pulang. ‘Les privat’
itu berlanjut. Bagaimana cara mengulum penis, tanpa kena gigi.
Sebagai
catatan, malam itu keperawananku masih terjaga.
***
Sekarang
Yoga ada dimana? Aku sendiri juga tidak tahu. Dia melanjutkan kuliah di luar
negeri, dan mungkin langsung bekerja disana. Terakhir kali dia mengirim email, isinya
attachment foto boxer yang aku tanda
tangani. Gila memang itu anak. Yah, dimana pun dirimu berada sekarang Ga, “Thanks for the lesson.”
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar