Minggu, 07 Mei 2017

Masa Sekolah


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Tadi sore aku lihat arak-arakan anak SMU. Mereka ramai-ramai merayakan kelulusan. Lengkap dengan seragam penuh coretan pastinya. Walau bikin macet, tapi geli juga melihat tingkah polah mereka. Aku pun juga begitu saat kelulusan dulu. Sudah lama banget sih.
Masa SMU memang masa yang indah. Segala hal pertama terjadi di masa itu. Keluyuran malam pertama, pacaran pertama, ciuman pertama, sampai buka-bukaan pertama. Sebatas buka pakaian luar doang sih. Belum buka daleman, apalagi buka selangkangan. Takut hamil masih jadi momok menakutkan kala itu. Masih ingat betapa lugu dan malu-malunya saat itu. Kalian mengalaminya juga kan pasti? Mungkin tahapan masanya saja yang beda. Aku di masa SMU, mungkin kalian di masa kuliah. Ada yang masa SMP? Atau SD? Kebangetan sih kalo ini.
Ciuman pertama? Kulakukan bersama kakak kelas, sekaligus pacarku. Aku memanggilnya Kak Alan. Bukan pacar pertama, tapi penisnya adalah pengalaman pertamaku. Hanya sebatas bantu ‘ngocokin’ sih, kalau memakai istilah dia. Dengan segala kekikukan, aku bisa membuat dia crot. Lumayan juga kalau diingat-ingat. Kulakukan itu dengan hanya memakai celana dalam. Iya, aku memang satu dari adik kelas, yang keluguannya dimanfaatkan kakak kelas.
Tidak bisa dibilang sepenuhnya salah dia sih. Rasa penasaranku pun ikut andil kejadian itu bisa terjadi. Disaat teman se-geng bercerita bagaimana enaknya ciuman, aku hanya bisa ngebayangin. Saat itu akses internet masih sangat terbatas. Bokep tidak bebas lalu lalang dari satu ponsel ke ponsel lain. Satu-satunya cara menjawab rasa penasaran ya dengan ‘praktek’ langsung.
“Sshhh, sshhh, sshhh...”
Aku mendesah. Kak Alan sedang mengulum putingku. Tidak tahu kapan dia melepas seragam atas, juga braku. Dilanda birani memang bikin lupa diri. Setelah sekian kali berusaha, hari itu dia bisa menikmati payudaraku. Hari itu pertama kali aku netekin cowok. Beneran se-dahsyat cerita teman-teman cewekku. Beneran bisa bikin celana dalam basah.
“Sshhh, sshhh, sshhh...”
Aku masih mendesah. Terbaring pasrah di sebuah ranjang. Sedangkan diatasku, Kak Alan masih sibuk menciumi bibir, leher dan kedua payudaraku. Itu bahkan bukan ranjang dia, bukan pula kamar kos dia. Kami ‘meminjam’ kamar kos milik temannya. Menyewa hotel? Tahu dong uang jajan anak SMU berapa sih.
Baru aku tersentak, saat Kak Alan menarik rok abu-abuku. Kakiku terantuk tepi ranjang. Gagal aku mencegah rok itu terlepas. Beruntung celana dalam bisa kucegah ikut terlepas. Benar-benar bersyukur aku saat itu. Andai rasa sakit tidak menyadarkan aku, mungkin aku sudah digagahi. Habisnya kudapati Kak Alan sudah tak lagi bercelana. Penisnya mengacung tegak kearahku. Itu pertama kalinya aku melihat penis cowok.
“Jangan Kak, jangan...”
Aku memelas saat Kak Alan mulai kalap. Dia menindih, berusaha melepaskan celana dalamku. Benar-benar menyeramkan melihat cowok dilanda birahi tinggi. Tahu sendiri saat itu adalah pengalaman pertamaku. Maka aku pun mulai menangis. Aku benar-benar ketakutan. Ternyata tangisan itu meredakan emosi kakak kelasku. Syukurnya. Pelan-pelan semuanya kembali tenang.
“Maaf ya,” Kak Alan mengelus rambutku, dipelukannya. Aku sendiri masih sesenggukan.
Dia menutupi tubuhku dengan selimut. Perlahan rasa takut sirna. Kembali aku merasa aman. Tak ada lagi sosok seram yang tadi hendak menyetubuhi aku. Kak Alan mencium lagi. Saat itulah permintaan untuk mengocok miliknya terlontar. Karena dia meminta dengan lembut, akhirnya aku luluh. Tanganku pun memegang penis untuk pertama kalinya.
“Sshhh, sshhh, sshhh...”
Kini giliran Kak Alan yang mendesah. Jujur aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan. Apa cara mengocokku benar atau tidak. Kulakukan saja seperti yang dia mau. Yang jelas, aku kaget saat ujung penis itu menyemburkan cairan kental. Oh ini toh yang namanya pejuh, pikirku. Aku dengar itu juga dari cerita teman. Kak Alan nyengir melihat ekspresiku. Dia sih terlihat santai. Tidak heran karena status playboy yang melekat padanya.
Selesai itu kami berbenah. Aku harus mengikuti les tambahan sore. Selesai memakai bra, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku kaget, begitu pula Kak Alan. Dia pun baru selesai memakai celana dalam. Si pemilik kos rupanya datang. Kak Feri, teman seangkatan Kak Alan. Bukannya ikut kaget, Kak Feri malah cuma nyengir. Langsung aku menyambar seragamku, dan berlari menuju kamar mandi. Sumpah malunya setengah mati. Dari dalam, sayup-sayup kudengar percakapan keduanya.
“Sialan lu main masuk-masuk sembarangan.”
Sorry, sorry. Kirain lu udah kelar, habis pintu kagak kekunci sih.”
Kemudian terdengar suara keduanya mengecil. Mungkin Kak Alan minta agar mereka berbisik. Masih kudengar sih sedikit-sedikit. “Udah lu bugilin aja si Dita. Udah lu entot belom?”
Wajahku semakin memerah. Segera aku memakai seragam. Tanpa merapikan diri lagi, buru-buru aku keluar. Kusambar tas sekolah, lalu pamit tanpa menoleh lagi ke kedua kakak kelasku itu.
***
Keesokan hari di sekolah, gosip-gosip mulai bertebaran. Gosip-gosip tentang kejadian kemarin. Terutama di kalangan kakak kelas. Pasti Kak Feri yang ‘ember’ nih, pikirku. Ciutan-ciutan nakal terdengar saat aku lewat kelas mereka. Belum lagi saat di kantin dan lapangan olah raga. Kian hari kian mengganggu. Lama-lama gosip itu terdengar juga oleh teman sekelas, adik kelas, dan kalangan guru. Syukurnya tidak sampai ke telinga orang tuaku. Kalau sampai mama denger, bisa habis-habisan aku diomelin.
‘Dita udah nggak perawan’, ‘Dita bisa dipake’, ‘Dita pernah digilir’ hanya sebagian dari gosip-gosip yang tersebar. Tatapan-tatapan genit kian membuat aku tidak nyaman di sekolah.
Untungnya teman geng-ku terus mendukung dan melindungi aku. Kata mereka gosip seperti itu lama-lama bakal mereda sendiri kok. Namun, gosip itu cukup mengganggu hubunganku dengan Kak Alan. Hubungan kami menjadi renggang, karena aku tidak nyaman berada diantara teman-temannya. Celah ini dimanfaatkan oleh Yesi, teman angkatanku. Kami memang bersaing dalam berbagai hal. Yesi sempat sebal karena Kak Alan memilihku jadi pacar. Sudah lama kami terlibat perang dingin.
Sadar memiliki saingan, mati-matian aku berusaha mempertahankan pacarku. Rupanya Kak Alan tahu persainganku dengan Yesi. Dia memanfaatkan situasi ini. Dia menuntut hubungan yang lebih intim sebagai bukti cinta. Lebih dari yang terakhir kami lakukan.
“Uhuuk, uhuuk...” Aku terbatuk-batuk.
Barusan penis Kak Alan ada di mulutku. Beberapa kali dia mendorong batang penisnya, aku tidak kuasa lagi menahan rasa mual. Saat itu, secara mental aku belum siap melakukan oral seks.
Kak Alan terlihat kesal. Dia memintaku melepas celana dalam, tapi lagi-lagi aku menolak. Dia pun jadi makin kesal. Mungkin kesabarannya kepadaku sudah habis. Kata-kata umpatan mulai keluar dari mulutnya. Dia bilang aku sok alim, cewek nggak asyik, dan lainnya. Aku hanya bisa menangis mendengarnya. Untungnya saat itu dia tidak melakukan kekerasan fisik. Kemudian puas memaki-maki, Kak Alan keluar dari kamarku. Meninggalkan aku meringkuk dalam sendiri. Hubungan kami resmi berakhir saat itu. Sesuatu yang sama sekali tidak aku sesali.
***
Seminggu kemudian, aku masih dilanda kesedihan. Kesedihan itu kian bertambah, saat kudengar Kak Alan jadian dengan Yesi. Mereka tidak berusaha menutupi dariku. Dengan santai keduanya menunjukan kemesraan mereka. Berusaha aku tetap tegar. Aku tahu Yesi bisa memberi apa yang tidak bisa aku beri. Kenikmatan duniawi, diantara kedua pahanya. Namun, hubungan itu tidak berlangsung lama. Setelah Kak Alan lulus, mereka pun putus. Dengan gampang Yesi pindah ke pelukan cowok lain. Dasar perek, umpatku.
Aku sendiri selepas putus tidak memiliki pasangan. Sempat dekat dengan beberapa cowok, tapi tidak sampai jadian. Lebih senang aku menjalin hubungan ‘teman tapi mesra’. Konteks mesra disini tidak melibatkan kontak fisik. Hanya sebatas jalan ke mall, nonton, hang out, dan lainnya. Mungkin karena putus dengan Kak Alan masih meninggalkan trauma. Selain itu, karena aku juga harus mempersiapkan diri menghadapi ujian. Jadwal les-les yang padat membuat tidak sempat memikirkan pacar.
“Dit, lu liat deh Yesi dateng sama siapa. Itu kan si Yoga, temen SMP kita.”
Sahabat geng-ku, Linda, menunjuk ke sebuah mobil di parkiran. Dari kejauhan memang kulihat Yesi diantar seorang cowok. Dan cowok itu benar Yoga. Apa mereka pacaran? Tanyaku dalam hati. Sepeninggal Yesi, aku ambil ponsel dan menekan sebuah nomor. Nomor si Yoga. Ternyata dia belum mengganti nomor telepon. Yoga melambai saat menemukan posisiku berdiri. Dia lalu melangkah mendekati aku dan Linda.
“Elu pacaran sama Yesi?” Tanyaku langsung, setelah berbasa-basi menanyakan kabar. Sejak pisah sekolah, kami memang jadi jarang komunikasi.
“Iya, nggak tau gue kalo elu satu sekolah ama Yesi.”
Singkat cerita, setelah beberapa kali telpon-telponan, aku jalan bareng Yoga. Aku tahu dari SMP dia naksir padaku, jadi tidak sulit dong untuk menggodanya. Dalam pikiranku, lewat Yoga aku bisa membalas Yesi. “Elu ngambil cowok gue, sekarang ganti cowok elu gue ambil,” demikian isi benak jahatku. Yoga ini memang tipikal cowok favorit Yesi. Cakep, bodi tinggi, dan yang paling penting tajir. Ayah Yoga seorang Direksi di salah satu BUMN. Tahu sendirilah bawaanya apa? Mobil yang merk-nya tidak bisa disaingi cowok seusia.
Makin lama hubungan kami makin dekat. Hubungan yang lebih ke ‘teman tapi mesra’ juga sih. Akhirnya hubungan kami diketahui Yesi. Dia langsung mendamprat aku di sekolah. Adu mulut di antara kami pun berlangsung seru, sampai berakhir di ruang BP. Itu loh ruangan konsultasi khusus buat anak-anak ‘bandel’, entah sekarang masih ada atau tidak. Setelah itu Yoga mutusin Yesi. Tapi di sekolah Yesi mati-matian menepis gosip itu. Aku sih senyum-senyum saja, toh niat untuk ‘balas dendam’ sudah terlaksana. Perang dingin diantara aku dan Yesi makin menjadi. Sementara aku dan Yoga tetap berstatus ‘teman tapi mesra’. Yoga pernah minta aku jadi pacar dia, tapi aku tolak. Alasannya, aku males pacaran lagi dengan cowok playboy. Yoga menanggapi itu dengan santai. Dia malah cengengesan. Yang penting bagi dia, masih bisa jalan denganku.
“Gue nawarin bibir gue gratis loh ni Dit, emang lu nggak kangen cipokan?” Goda Yoga padaku. Kami sedang membahas status hubungan kami. Dia mengejek, “Katanya kita ‘teman tapi mesra’, tapi ‘mesra’-nya mana?”
“Emang elu nggak punya cewek lain buat lu cipok?” Aku berusaha berkilah. Lagak jual mahal dong dikit. Padahal sebenarnya sudah bosen juga sih masturbasi.
Berdebat dan terus berdebat, akhirnya bibir kami bertemu. Terjadi dalam mobil dia, di parkiran bioskop. Sepanjang pemutaran film, Yoga terus menggoda aku. Terutama ketika di layar muncul adegan ciuman atau bermesraan. Dan dia berhasil. Ditambah sentuhan-sentuhan kecil darinya, membuat birahiku terpancing.
“Kita ke hotel temen Papaku yuk, kebetulan gue dikasi kamar gratis nih satu.”
“Gila aja lu Ga, baru ciuman sekali elu udah ngajak gue ngamar.” Aku langsung protes.
Yoga terbahak-bahak. “Gue nggak ngajakin elu ngentot kali Dit, disana tuh kan lebih nyaman ketimbang di mobil. Sempit kan ini.”
“Ah, modus banget sih lu. Nggak mau gue.”
Lagi-lagi Yoga terbahak. Akhirnya dia nyerah, dengan syarat ciuman tadi dilanjutin. Bibir kami pun bertemu lagi. Kali ini lengkap dengan rabaan dan remasan, tapi tetap berpakaian. Itu ciuman pertama dan terakhir? Tentu nggak dong. Pernah nonton film ‘No String Attached’ kan? Nah, hubungan kami jadi seperti itu. Minus adegan persetubuhan, tentunya.
***
Sebulan berlalu, setelah Ujian Nasional berakhir.
Ujian aku lalui dengan lancar. Gimana nggak lancar, kunci jawaban ujian sudah di tangan. Yoga melalui akses ayahnya, bisa mewujudkan hal itu. Aku sih memang sudah siap. Kunci jawaban itu hanya buat referensi semata. Buktinya, nilai ujianku bukan yang tertinggi di kotaku, namun lebih dari cukup untuk masuk perguruan tinggi favorit.
Pasca pengumuman, langsung corat-coret dong. Konvoi keliling kota juga kami lakukan. Ramai-ramai kami meluapkan kegembiraan. Aku sendiri ikut rombongan sekolahku, dan juga sekolah Yoga. Menjelang siang Yoga menjemput ke sekolah, sekalian ngajak makan siang. Seru juga sih, jadi nambah kenalan baru.
“Serius lu masih perawan Dit? Emang nggak ada cowok yang minat merawanin lu?”
Langsung kutepuk pundak Yoga. Cukup keras, dan memang niat sekeras-kerasnya. Dia meringis tapi tetap nyengir. “Gini-gini gue laku kale...”
Kembali aku hujani dia dengan tepukan. Yoga hanya mengaduh, sambil minta ampun. Sampai akhirnya kami tertawa geli bersama. Selesai berkonvoi, aku dan Yoga berakhir di sebuah kamar hotel. Itu loh hotel milik teman ayahnya. Kali ini aku tidak menolak, karena percaya kalau Yoga tidak akan memperkosaku. Selain kamar hotel, dia juga mendapat bonus voucher dinner. Sambil menunggu jam makan malam, kami ‘bercengkrama’ di kamar.
“Lu tanda tangan juga dong, buat kenang-kenangan.” Yoga menyodorkan spidol.
Iya, kami memang masih memakai seragam penuh coretan. Saat masuk lobi hotel kami langsung jadi pusat perhatian. Namun, bukan Yoga namanya kalau tidak cuek. Di lift kami terbahak-bahak menertawai aksi nekat itu.
Saat ingin bikin coretan di bajunya, Yoga menghentikan aku. Dia malah membuka celana abu-abunya, lalu menyuruh aku tanda tangan di boxer-nya. Tepat di atas tonjolan penisnya. Kata dia buat aku posisi tanda tangan musti spesial. Aku cekikikan mendengar itu. Pun demikian dengan dirinya. Yoga menyingkap rok abu-abuku, dan menulis di celana dalamku. Tulisan itu bunyinya, “For my special TTM. Yoga.”
Setelah itu, kami bermesraan. Saling cium, raba, dan meremas. Disusul melepas seragam sekolah masing-masing. Tidak seperti Kak Alan, Yoga tidak keberatan kalau aku tetap memakai celana dalam. Meskipun setiap kali bermesraan dia pasti bugil. Dia juga tidak memaksa aku melakukan oral pada penisnya. Kata dia, “Kalau pengen disepong sama yang lain aja’. Dan dia jujur dengan kata-katanya itu. Selain sama aku, dia memang bermesraan dengan cewek-cewek lain. Diantara mereka malah disetubuhinya. Dia menceritakan semua itu padaku. Katanya lagi, kalau bersama aku adalah soal kepuasanku, bukan soal kepuasan dia. Yoga malah menganggap dirinya sendiri, gigolo pribadiku.
“Dit, praktekin yang semalem kita bahas yuk.”
Aku ragu memberi jawaban. Antara menolak, atau menerima.
“Nggak apa-apa kok. Lu percaya gue kan?”
Aku mengangguk. Maka tangan Yoga mulai beraksi. Dia minta aku berbaring santai. Ditekuknya kedua kakiku. Diambilnya lalu karet celana dalamku, di bagian pinggang. Ditariknya turun kain terakhir di tubuhku itu. Aku menutup mataku. Pertama kali aku memperlihatkan bagian itu pada cowok. Daerah kewanitaanku.
“Jembut lu lebat ternyata ya.”
Wajahku merona merah mendengar itu. Langsung aku tutup daerah itu dengan telapak tangan. Yoga terkekeh melihat tingkahku. Tidak aneh sih, mengingat vaginaku bukanlah yang pertama buatnya. Aku pasti terlihat norak dimatanya. Dengan rayuan, tanganku berhasil digesernya.
Setelah itu dia mendekatkan mulutnya ke vaginaku. Dipagutnya seperti sedang mencium bibir. Bulu kuduk langsung berdiri. Geli-geli enak gimana gitu rasanya. Kemarin malam, lewat chat kami membahas soal oral seks, untuk wanita. Ternyata rasanya lebih enak dari yang selama ini aku bayangkan. Makin lama tubuhku makin bergelinjang. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun.
“Ga oh Ga, sshhh, ssshhh, oohhh...”
Kedua kakiku bergerak ke kanan dan kiri. Sesekali aku mengapit kepala Yoga, yang ada diantara kedua pahaku. Semakin lincah lidah Yoga bergerak, semakin geli aku dibuatnya. Terlihat sekali kalau Yoga sudah fasih melakukan itu. Berbeda dengan aku yang masih amatir. Sampai akhirnya aku mengerang panjang, “AAAKHHH...” Aku orgasme.
Selepas itu kami berpelukan. Masih dalam keadaan telanjang.
Malam itu kami tidak jadi menukar voucher dinner. Kami habiskan sisa malam di dalam kamar, sampai dia mengantarku pulang. ‘Les privat’ itu berlanjut. Bagaimana cara mengulum penis, tanpa kena gigi.
Sebagai catatan, malam itu keperawananku masih terjaga.
***
Sekarang Yoga ada dimana? Aku sendiri juga tidak tahu. Dia melanjutkan kuliah di luar negeri, dan mungkin langsung bekerja disana. Terakhir kali dia mengirim email, isinya attachment foto boxer yang aku tanda tangani. Gila memang itu anak. Yah, dimana pun dirimu berada sekarang Ga, “Thanks for the lesson.”
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar