Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Pagi itu
aku terbangun di sebuah kamar hotel. Rada siang sih tepatnya, karena sinar
matahari yang menerobos celah korden cukup terik. Aku terbangun sendirian,
sesuatu yang jarang terjadi. Suami dan anakku agaknya sudah bangun dari tadi. Mungkin
mereka sengaja membiarkan aku tidur lebih lama. Suamiku tahu kemarin aku menjalani
hari yang cukup melelahkan, termasuk perjalanan udara. Apalagi kemarin sebelum
tidur aku masih memberikan layanan seks untuknya. Sekujur tubuhku masih terasa sedikit
pegal.
Aku dan
keluarga sedang menjalani liburan. Hanya aku, suami dan anakku. Suami dan
anakku sudah tiba sejak kemarin, sedangkan aku masih harus menyelesaikan urusan
pekerjaan terlebih dahulu. Aku baru menyusul terbang semalam. Ini adalah
sambungan kisahku yang berjudul ‘Dalam Perjalanan’. Mungkin kalian sudah
membacanya.
“Rrgghh...”
Kuregang tubuhku yang terasa kaku. Kemudian turun dari ranjang.
Masih
memakai piyama, aku melangkah menuju balkon. Dari kamarku di lantai empat, aku
bisa melihat kolam renang yang cukup besar. Beberapa orang nampak berenang
disana, dewasa dan anak-anak. Ada pula yang hanya duduk-duduk berjemur di
pinggir kolam. Status hotel bintang lima, membuat kebanyakan yang menginap di
tempat itu adalah tamu luar negeri. Cakep-cakep, lumayan juga sih buat cuci
mata. Tolong jangan bilang ke suamiku, kalau aku mengatakan itu.
“Lagi di
mana nih Pa?” Kukirim pesan singkat ke suami.
Tidak
lama balasan muncul. “Eh mama udah bangun. Lagi di pantai nih, susul kita
kesini Ma.”
“Okay.” Kuketik sebagai balasan lanjutan.
Hotel
kami memang tidaklah jauh dari pantai, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Aku
nikmati sebentar lagi yang ‘cakep-cakep’ tadi. Kemudian aku melangkah ke kamar
mandi. Cuci muka, cuci kaki, dan menyegarkan diri. Malas aku mandi, toh nanti
akan berenang di pantai. Selesai itu pasti juga akan berbilas. Kusemprot parfum
saja yang sedikit lebih banyak. Kuambil bikini yang baru kubeli. Tipe two pieces, corak bunga-bunga. Aku tanggalkan
piyama dan memakai bikini itu. Berdiri lalu aku di depan cermin, mengagumi
penampilanku. Bikini itu membuat tonjolan dan lekukan tubuhku terlihat
sempurna. Agar tidak terlalu vulgar, aku pakai tanktop dan kain pantai sebagai pelapis. Bagaimana pun, aku tetap harus
menjaga image di depan anakku.
Keluar
dari lobi, aku berjalan santai di trotoar. Ternyata siang itu belum banyak
wisatawan yang berjalan-jalan. Berbeda dengan kondisi tadi malam yang begitu
ramai. Toko-toko souvenir pun terlihat
sepi pengunjung. Aku terus berjalan sambil menyapu pandangan keliling. Sampai
sebuah sapaan terdengar, memanggil namaku.
“Kak Dita?”
Aku
menoleh dan disana kulihat sosok yang kukenal. Yang baru kukenal, tepatnya. Dia
adalah Indra. Ingat Indra kan? Itu loh, anak SMU yang aku temui di pesawat.
“Loh
Indra, kamu nginepnya disini juga?”
Anak muda
itu mengangguk, sambil tersipu. Masih saja dia malu-malu kepadaku. Kulihat dia
sendirian. Saat kutanya dia bilang yang lain lagi di pantai. Jawaban yang sama
aku berikan, saat dia menanyakan keluargaku. Habis itu dia terlihat kikuk. Geli
aku melihat tingkah lucunya itu. Maka aku ajukan pertanyaan lanjutan, “Kamu mau
kemana nih?”
“Hhmm.
Ini Kak, mau ngeliat-liat tato,” ucapannya terlihat ragu.
Mendengar
itu, aku langsung ingat kalau aku juga ada niat membuat tato. Jenis temporary tattoo doang sih, sekedar buat
having fun. Mumpung ada kenalan nih buat
diajak jalan, kenapa nggak dicoba, pikirku.
‘Tato?
Aku ikutan dong...”
Sebuah tawaran
yang tentu dengan senang hati diterimanya. Kami pun mulai berjalan sepanjang
trotoar, sambil berbincang. Ternyata Indra cukup supel juga. Pengetahuan dia
tentang daerah wisata ini sangat baik. Dia bilang sudah beberapa kali
berkunjung saat liburan. Dia menyebutkan beberapa tempat keren yang bisa aku kunjungi
bersama keluarga. Selain nyaman, katanya indah untuk latar foto-foto. Indra
juga menyarankan tempat untuk membeli souvenir
murah.
Singkat
cerita, akhirnya kami tiba ke sebuah studio tato. Tempatnya tidak begitu luas, tapi
bersih dan nyaman. Seorang laki-laki berjambang menyambut kami. Tubuhnya besar
dan penuh tato. Indra tampaknya sudah mengenal laki-laki itu. Mereka bercakap
dengan akrab. Indra kemudian mengenalkan kami. Laki-laki itu bernama Bobi.
“Mau
bikin tato apa nih?” Tanya Bobi padaku.
Aku
menjawab dengan mengangkat bahu. Dia tersenyum, lalu menyodorkan sebuah album.
Di dalamnya berisi foto-foto corak tato. Bobi memintaku memilih sendiri sesuai
selera. Menunggu pilihanku, dia mempersilakan Indra lebih dulu di-tato. Indra ingin
digambar dua burung walet di lengan kanannya. Seperti halnya aku, Indra juga memilih
jenis temporary tattoo. Dia beralasan
di sekolah tidak diijinkan untuk ber-tato.
Lima
belas menit tato Indra belum juga jadi. Karena membuat tato ternyata makan cukup
lama, aku mengirim pesan ke suami. Aku bilang agak telat ke pantainya, mau
lihat-lihat souvenir dulu. Tato Indra
menghabiskan waktu tiga puluh menitan. Giliran aku untuk di-tato pun datang.
Sekali lagi Bobi bertanya tentang tato yang aku inginkan.
“Tato kupu-kupu
lucu juga kayaknya,” sahutku.
Bobi
mengangguk. “Pilihan yang bagus. Terus mau dibikin dimana?”
“Kalo
nggak sedikit di atas payudara, ya di paha, sedikit di sebelah vagina.” Aku
mengerling.
Kali ini
Bobi nyengir. Dia terlihat santai. Mungkin dia sudah terbiasa menerima order ‘nyeleneh’ macam itu. Berbeda dengan
Indra yang sampai menelan ludah mendengar itu. Malah saat aku minta bobi
memutuskan, bagian atas atau bawah, dia menawarkan cara lempar koin. Saat koin
dilempar, bagian payudara pun yang menang. Maka dengan perlahan aku membuka tanktop yang kupakai. Sementara di
depanku ada dua laki-laki berbeda usia, menatapku nanar.
“Bra nya
di lepas juga?” tanyaku dengan nada menggoda.
Bobi
mengangkat pundaknya. “Terserah kamu aja. Kalo nanya aku sih, aku pengennya
dilepas.” Rupanya dia juga pandai menggoda. Tetap dengan nada santai.
Digoda
seperti itu aku merasa tertantang. Lalu aku buka ikatan tali bikini di punggung,
namun tetap kupegang bagian cup-nya agar tidak melorot. Bobi tidak keberatan
dengan itu. Dia mulai bekerja dengan tenang, sementara di belakangnya Indra nampak
makin tegang. Tato kupu-kupu pelan-pelan tergambar sempurna di bagian atas
payudara kananku. Tepat di atas puting. Melihat Bobi bekerja sangat
profesional, aku berencana meningkatkan godaanku.
“Pegel
nih tanganku. Kalo cup bikininya aku lepas nggak apa-apa kan kalian?”
Bobi
kembali mengangkat bahunya. Kualihkan pandangan ke Indra. Dia mengangguk dengan
ragu. Mendapat persetujuan keduanya, maka kulepaskan peganganku. Cup bikini itu
pun melorot turun, membuat seluruh payudara kananku terekspos bebas. Lagi-lagi
Indra menelan ludahnya. Demikian pula dengan Bobi. Baru kali ini ekspresi
wajahnya tidak terlihat santai.
“Are you okay guys?” Godaku ke mereka.
Bobi
langsung tersadar dan mengangguk, tapi tidak dengan Indra yang masih bengong. Bobi
melanjutkan kerjanya lagi. Tersenyum aku melihat ekspresi keduanya. Yang
membuatku nyaman untuk terus menggoda karena mereka sangat sopan. Walau kutahu
mereka terangsang, namun tidak ada niat untuk melakukan hal-hal nekat. Tidak
lama setelahnya, gambar tato-ku pun selesai. Bobi melarang untuk memakai
kembali cup bikiniku. Alasan dia agar tintanya kering dulu kena angin. Entah
itu alasan sebenarnya, atau dia hanya ingin menikmati putingku lebih lama.
“Kak
Dita, Bob, aku ke toilet bentar ya,” Indra permisi padaku dan Bobi.
Aku dan
Bobi saling memandang, kemudian tersenyum. Sepertinya kami saling mengerti apa
yang akan diperbuat Indra di toilet. Tonjolan di balik celananya terlalu
kentara.
“Kamu
nggak nyusul ke toilet?” Godaku, sambil mengipasi payudara kananku.
Dia
tersenyum, kemudian menggeleng. “Sorry,
kalau aku sih nggak suka pakai tangan sendiri.” Terkekeh aku mendengarnya. Kemudian
Bobi melanjutkan kata-katanya. “Tapi kalo kamu mau minjemin tanganmu, biaya
tato barusan aku charge free,
termasuk tato-nya si Indra. Gimana?”
Sebuah
tawaran menggoda. Melihat tubuh Bobi yang tinggi besar, plus jambangnya yang
seksi, aku yakin di dalam sana pasti besar pula. Namun aku berusaha tidak
terlihat antuasias. “Hhmm. Gimana ya?” Kupasang ekspresi berpikir keras.
“Cuma
pake tangan loh. Nggak ngerugiin siapa-siapa kan? Tapi kalo kamu nggak mau ya
nggak apa-apa, it just an offer.”
Bobi mengerling. “I bet, my cock is not
your first cock.”
Aku
nyengir. Cuma ngocokin terus dapat tato gratis? Kenapa tidak, pikirku. “Okay, why not.”
Indra
belum juga keluar dari toilet, ketika Bobi mulai menurunkan celana pendeknya.
Disusul kemudian dengan boxer-nya. Tereksposlah
penis yang ada dibaliknya. Dia mengerling padaku, seolah-olah membanggakan
‘senjata’ miliknya itu. Memang dia patut berbangga, karena ukuran penis itu
diatas medium pastinya. “Gimana Dit? Please give your profesional opinion.”
“Not bad. 8 of 10 for the size.” Kami berdua lalu tertawa kecil.
Aku lalu
mengambil beberapa lembar tissue basah. Aku gunakan itu untuk membersihkan
kedua tanganku, sekaligus batang penis Bobi. Si pemilik penis memujiku atas
ke-higienis-an tersebut. Tak lama penis Bobi sudah ada dalam genggamanku. Mulai
aku mengurut-ngurutnya pelan, lalu perlahan semakin cepat. Beberapa kali Bobi terpejam
menikmati kocokanku itu. Dua tangan dipakainya tumpuan di belakang, agar posisi
duduk dia tetap stabil. Pelan tapi pasti batang penis itu mengeras, dan terus mengembang.
“Gimana
Bob? Please give your profesional opinion.”
Balasku, meminta pendapatnya untuk permainan tanganku.
Bobi
tersenyum. “Not bad. 9,5 of 10.” Lagi kami tertawa kecil
bersamaan.
Kocokanku
terus berlanjut. Sekali, dua kali kami saling melempar senyum. Biasanya di momen
seperti ini seorang laki-laki akan meminta naik level, menjadi oral seks. Namun tidak dengan Bobi. Dia tetap
konsisten dengan kesepakatan awal kami. Hanya hand job, tidak lebih. Hanya dia minta satu kali untuk mencium
bibirku. Kuijinkan dia melakukannya, dua kali. Ditambah bonus meremasi payudara
kiriku, setelah kutanggalkan bikini atas. Inginku sih buat stimulus tambahan agar
dia lebih cepat keluar. Bagaimana pun, Indra bisa kapan saja keluar dari kamar
mandi. Dan keinginanku tercapai. Tidak lama cairan putih kental mengalir dari
ujung penis Bobi, membasahi tanganku. Ekspresi wajah Bobi terlihat puas.
Kubersihkan
tanganku dengan tissue basah. Demikian pula batang dan ujung penis Bobi.
Selesai itu bibir kami bertemu sekali lagi. Ini pertama kali aku berciuman
dengan laki-laki berjambang. Ada sensasi tersendiri saat rambut itu menyentuh
kulit wajahku.
“Just one question Dit. I wonder, how many
cock already satisfied by you?”
Aku tersenyum.
Kujawab sambil memakai lagi bikini atas dan tanktop-ku.
“Well, I don’t know. A lot.” Bobi nyengir mendengarnya.
Begitu kami
selesai membereskan pakaian masing-masing, Indra keluar dari kamar mandi. Aku
dan Bobi kembali saling lirik, kemudian tersenyum. Indra sama sekali tidak tahu
apa yang baru saja dia lewatkan.
“Sorry Kak lama, abis sakit perut.” Aku
jawab, “nggak apa-apa”. Entah yang dimaksud dengan sakit itu beneran perut,
atau ‘bawah’ perut.
Aku dan Indra
lalu berpamitan kepada Bobi. Indra mengeluarkan dompet, namun kaget sewaktu
Bobi mengatakan tato tadi free. Bobi
bilang kalau hari ini dia sedang ada promo temporary
tattoo. Tersenyum aku mendengar alasannya itu. Sebelum kami pergi, Bobi
menyodorkan kartu namanya padaku. Katanya siapa tahu nanti aku kepengen bikin
tato ‘gratis’ lagi. Kembali aku tersenyum kecil.
Di pintu
masuk pantai, aku dan Indra berpisah. Aku mengucapkan terima kasih sudah
ditemani jalan-jalan. Indra hanya tersipu, mengingat dia mendapat ‘pengalaman’
lebih dari yang dialami di pesawat. Melangkah lalu aku menuju sebuah cafe di pinggir
pantai, dimana suami dan anakku sudah menunggu.
***
Di malam
harinya. Si kecil sudah terlelap di ranjang sebelah. Seperti biasa, tangan
suami akan mulai bergerilya di balik selimut. Merabai sekujur tubuhku sambil cium
sana-sini. Saat membuka kaos yang aku pakai, suami terlihat kaget. Kaget ketika
hendak mengulum puting kananku. Maka kuceritakan bagaimana tato kupu-kupu itu
bisa ada disana. Ditambah sedikit ‘bumbu-bumbu’ erotis, tentunya. Dan penis
suami pun langsung mengeras hebat.
Sedetik
kemudian, ranjang kami mulai berguncang-guncang.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar