Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sebulan
sudah aku resmi putus dengan Hendra. Pacar, yang sekarang jadi suamiku. Berarti
resmi pula jatah seks jadi terputus. Puasa seks, birahi hanya bisa dipuaskan
dengan masturbasi. Semua berlangsung lancar-lancar saja sih, sampai tiba pelaksanaan ujian akhir semester. Tugas numpuk,
ditambah banyaknya literarur yang musti dipelajari. Neraca, angka, dan hapalan,
bikin kepala puyeng minta ampun. Tingkat
stress lagi tinggi-tingginya. Dalam keadaan seperti itu aku benar-benar butuh
seks. Butuh kelonan.
Musti nyari kontol dimana nih? Pertanyaan yang
sulit dijawab. Gengsi dong kalo nelpon Hendra, kan status dia sudah ‘mantan’. Reza,
teman tapi mesraku, lagi KKN (kuliah kerja nyata) ke luar kota. Makin
uring-uringan deh jadinya.
“Lu boleh
pake cowok gue short time deh. Ntar bayarannya
ditransfer aja ke rekening gue,” goda Lisa, kawan satu kelasku, saat aku curhat
di kantin kampus.
“Sialan.
Lu kira gue tante-tante jablay?”
Protesku.
Aku tepuk
bahunya. Eh, si Lisa malah tertawa
terbahak-bahak. Puas banget deh Lisa mengolok-ngolok diriku. Salah aku juga sih
kenapa ceritanya ke dia. Tapi, memang cuma dia doang yang bisa aku ajak cerita. Sedikit kawan yang tahu kalau aku
sudah tidak perawan. Lisa adalah salah satunya. Itu pun gegara dia mendadak buka
pintu kosan, waktu aku lagi di-dogie
Hendra.
Lagi pula
aku sudah bosan masturbasi. Aku butuh masukan untuk dijadikan solusi. Eh, masukan apa masukin ya?
“Kenapa
nggak lu coba sama si Aris? Udah lama kan dia naksir elu,” Lisa melanjutkan.
“Gue nggak butuh pacar Lis, gue
cuma butuh seks.”
“Nah, biasanya tante-tante jablay
ngomongnya gitu tuh,” kembali Lisa terbahak-bahak.
Lagi tepukan
terarah ke bahu Lisa. Aku ulangi beberapa kali, meski dia sudah meminta ampun.
Habisnya minta ampun kok sambil cengar-cengir.
“Lagian
elu kayak cewek jelek aja pake acara bingung nyari temen buat ngeseks. Cowok
mana sih yang bakal nolak ngeseks ama lu Dit. Tinggal lu tarik ke kamar aja
kan...”
Ada
benarnya sih kata-kata Lisa. Mungkin
aku saja yang terlalu perfeksionis memilih
pasangan seks. Tetapi, sebagai cewek wajar dong aku melakukan itu. Aku musti melindungi
diri, dengan tidak membiarkan sembarang penis masuk ke vaginaku.
“Kalau si
Doni gimana?”
“Ah, lu mau ditidurin cowok brengsek macem
dia? Udah se-sakaw itu lu ama titit
ya?”
Lagi-lagi
perkataan Lisa ada benarnya. Beberapa nama kembali coba kami list sebagai alternatif. Semuanya
memiliki resiko yang terlalu besar. Aku semakin frustasi, sedangkan di bawah
sana sudah semakin ‘lapar’. Akhirnya aku memilih untuk fokus ujian dulu. Masih ada
beberapa tugas belum selesai aku kerjakan. Pusiiiing...
***
Ujian akhir
semester akhirnya selesai. Waktunya bersenang-senang menghilangkan stres. Ajakan
beberapa teman satu angkatan untuk hangout
pun aku terima. Sayangnya Lisa tidak bisa datang menjemput. Tadi pagi pacarnya
menjemput, dan sampai sekarang mereka masih ada di hotel. Iri aku padanya yang bisa
‘ena-ena’ habis ber-puyeng ria. Aku tahu karena waktu
menjawab telepon tadi, sesekali terdengar desahan pelan. Lisa cukup baik berusaha
menahan diri, tapi ya tetap saja beberapa kali kelepasan. Kewanitaanku jadi
berkedut-kedut gegara kejadian itu.
Beruntung
ada Fajar, salah satu kenalan di kampus teknik. Kami berkenalan saat ada acara
senat. Kebetulan dia nge-chat, terus iseng
saja aku ajakin. Dengan senang hati dia mau. Dengan senang hati pula datang menjemput.
Dia bilang akan datang jam tujuh. Masih tiga puluh menit lagi. Aku sudah selesai
mandi, pakai pakaian, dan berias. Sambil nunggu aku leyeh-leyeh di kasur. Diam seperti itu pikiranku jadi kemana-mana. Terbayang
lagi desahan Lisa tadi. Tanpa sadar, tanganku meraba-raba ke bawah sana.
“Aahh,”
aku mendesah pelan.
Sungguh
vaginaku terasa ‘gatal’ sekali malam itu. Belum lagi puting payudaraku yang
kian hari makin sensitif.
Entah
dari mana tiba-tiba saja sebuah pikiran usil muncul. Fajar itu kan laki-laki. Lama
bergaul, sepertinya sih dia tertarik padaku.
Insting wanitaku bilang seperti itu. Dia juga anaknya baik dan pintar. Boleh
juga buat digoda-goda. Iseng-iseng berhadiah. Kalau pun nanti godaan itu berhasil,
Fajar masuk kriteria pacar yang kompeten. Belum jadi pacar saja dia selalu siap
dimintai tolong. Pikiran usil itu berniat untuk aku realisasikan.
Maka aku
hapus make up di wajah. Begitu
terdengar suara mobil di halaman, bergegas aku buka semua pakaian. Semuanya, sampai
ke daleman. Aku sambar handuk, dan membalutkan ke tubuh. Rambut aku basahi
sedikit agar lebih meyakinkan. Tidak lama terdengar suara ketukan pintu.
Aku buka
pintu. Dari ekspresi wajahnya, bisa kulihat Fajar kaget melihat keadaanku.
“Sorry banget Jar, gue baru aja selesai
mandi. Tadi kena macet balik dari eskul.” Alasanku, yang tentu aku buat-buat.
“Lu bisa nunggu bentar nggak?” Tambahku lagi.
“Nga-nggak
apa-apa kok,” sahutnya tergagap. Yes,
umpanku berhasil.
Aku minta
dia duduk di depan kamar. Dia menurut. Kemudian aku masuk ke dalam kamar. Aku racik
segelas teh hangat, lalu keluar lagi. Masih dengan tubuh terbalut handuk.
“Nih gue
bikinin teh, lu bisa minum sambil nunggu. Habis kalo gue siap-siap suka rada lama.”
Aku
tersenyum. Dia balas tersenyum. Saat menaruh gelas di meja, sengaja aku agak
menunduk. Gunanya agar belahan dadaku memancing lirikan mata. Sepertinya cukup berhasil,
karena Fajar jadi makin kikuk. Tidak kusangka sikap malu-malunya tersebut.
Masuk
lagi aku ke dalam kamar. Bisa saja sih
aku bikin celah di korden, biar Fajar bisa ngintip ke dalam. Namun, tidak aku
lakukan hal itu. Terlalu vulgar, dan terkesan dibuat-buat. Godaan harus
diberikan sedikit demi. Biarkan Fajar penasaran dulu. Lagi pula aku yakin di
luar sana, pasti dia sedang membayangkan aku telanjang.
Kembali
aku poles make up di wajah. Diawal aku
hendak memakai pakaian yang sebelumnya. Kaos ketat dan celana pendek. Namun,
aku berubah pikiran. Aku ambil kemben dari lemari. Buat yang tidak tahu kemben,
itu mirip tanktop ketat tapi tanpa
tali pundak. Ada yang penuh menutupi perut, ada pula yang setengah memperlihatkan
pusar. Aku pilih yang penuh, agar tidak semakin terkesan seksi. Bahuku sudah
begitu terbuka, dan aku memakai bra tanpa tali. Alasan yang sama bikin aku
memilih rok lipat selutut, ketimbang rok jeans di atas lutut. Aku pagut diri di
cermin. Sempurna, aku nilai diri sendiri.
Keluar
dari kamar, Fajar menganga melihat penampilanku. Aku tahu dia tidak sadar
melakukan itu. “Gila Dit, cakep bener lu,” terlontar pujian dari dirinya. Tersipu
aku dibuatnya.
“Sebentar
Jar, aku pakai sepatu dulu.” Masih tersisa satu lagi pancinganku.
Saat pakai
sepatu, sengaja aku jongkok. Dari posisinya berdiri, aku teramat yakin Fajar
sedang melirik belahan dadaku lagi. Aku biarkan pula ujung rok tersingkap. Meski
tak cukup lebar buat mamerin celana
dalam, tapi pasti cukup bikin Fajar berfantasi. Model sepatu yang kupakai flat shoes. Sebenarnya simple untuk dipakai, hanya sengaja aku
berlama-lama jongkok.
“Yuk
berangkat,” ucapku setelah selesai.
Kami pun
kemudian ada di dalam mobil. Sepanjang perjalanan kami hanya ngobrol. Fajar tidak lanjut melirik-lirik,
seperti kebanyakan laki-laki. Sepertinya dia cukup bisa menahan diri. Entah sikap
cool itu sama dengan isi kepalanya. Setengah
jam kemudian kami sampai di tujuan.
Acara hangout malam itu diadakan di sebuah
pub. Pemiliknya adalah paman dari seorang teman kampus. Khusus untuk malam itu,
pub ditutup untuk umum. Banyak juga teman lain angkatan yang datang. Pada undangan
memang tertulis ‘boleh bawa teman’. Semua angkatan sepertinya bercampur saat
itu. Ada adik kelas, ada pula kakak kelas. Aku dan Fajar tidak lagi bersama.
Dia lebih memilih kumpul dengan kakak kelas. Aku sendiri kumpul dengan
kawan-kawan se-genk.
“Lu
dateng sama Fajar?” Selidik Lisa. “Lagi pedekate-an
apa mancingin buat ehem-ehem nih?”
Tambahnya lagi, sambil memberikan kode ML.
Kawan se-genk yang lain menimpali dengan senyum. Wajar
sih, dari kami berempat hanya aku yang lagi jomblo
saat itu. Mereka tahu kebutuhan birahiku belum terpenuhi.
“Nggak
tau deh,” sahutku pendek.
Mereka
lalu bergantian meyakinkan kalau Fajar memenuhi kriteria. Dari luar sih
segalanya pas, hanya butuh dicek ‘dalemnya’. Begitu kata mereka. Persis seperti
penilaianku yang aku simpan dalam hati. Tentu tidak aku bilang, kalau tadi di
kosan aku sempat ‘menguji’ Fajar. Kemudian tercetus usulan gila dari Lisa.
“Kenapa
lu nggak pura-pura mabok Dit. Waktu Fajar mulangin lu ke kosan, yakin deh dia
pasti tergoda buat ngentotin lu. Nah,
lu kan jadi ngerasain kontol, tanpa terkesan jablay. Kalo enak lu bisa lanjut macarin doi, kalo nggak enak
dieliminasi aja.” Lisa ngakak usai mengungkap ide itu.
Langsung
aku cubit pahanya. Aku protes dong. Eh,
kawanku yang lain malah ngedukung.
Masih ingat Siska, di ceritaku yang berjudul ‘Sahabat Lama’ kan? Nah, dia tuh yang menimpali si Lisa.
“Bisa
dicoba tuh Dit, gue pernah soalnya mraktekin
sama si Wira. Enak, terus gue pacarin deh.”
Ucapan
Siska itu diamini balik oleh Lisa. “Tuh kan...” sahutnya. Beda dengan Icha,
yang sangat setia dengan pacarnya. Dia hanya pernah tidur dengan satu laki-laki
saja. Diam-diam, dalam hati ucapan keduanya aku pertimbangkan. Cukup masuk akal
kalau dipikir-pikir. Maka aku bilang kalau akan aku lakuin ide tersebut. Kami berempat pun bersulang. Hanya Icha yang terlihat
ragu.
Menjelang
tengah malam, waktu yang tepat menjalankan rencana. Sebelumnya kami berempat berbaur
dulu dengan teman-teman lain. Kami berkumpul lagi di satu sudut ruangan. Empat
gelas minuman alkohol merek luar negeri kami pesan. Masing-masing dari kami meminumnya,
tapi semua gelas kosong ditaruh didepanku. Mulailah aku berakting. Mengambil
posisi bersandar di bahu sofa, pura-pura tipsy.
Kemudian Lisa memanggil Fajar sesuai rencana.
“Jar,
mending elu anterin Dita pulang deh. Ntu anak
kebanyakan minum kayaknya,” aku dengan suara Lisa, yang diamini oleh Siska.
Tidak
lama aku sudah dipapah Fajar, dibantu oleh Siska. Berusaha aku berjalan
sempoyongan, agar lebih mendramatisir keadaan. Usai merapikan posisi dudukku di
jok depan, Siska berbisik, “good luck
girl.” Dan aku merasakan kemudian mobil mulai melaju.
Saat
mobil berhenti, sedikit aku mengintip. Kami sudah tiba di kosan. Pintu mobil
terbuka, Fajar memapah lagi tubuhku. Kali ini sendirian. Guna lebih
mendramatisir keadaan, mulai aku sedikit merancau. Tidak terlalu keras sih biar tidak bikin gaduh. Tidak lama, tubuhku
sudah terbaring di ranjang. Dengan cekatan Fajar membuka sepatuku.
It show time, ujarku dalam
hati. Aku gerakkan kaki sehingga paha jadi terbuka lebar. Membuat rokku tersingkap
maksimal. Memperlihatkan kain berenda yang ada di baliknya. Fajar nunjukin sikap gentlemen. Dia perbaiki posisi kakiku. Dia rapikan pula kondisi rokku.
“Dit,
Dit...” Fajar mengguncang pelan tubuhku. Tidak lagi aku merancau. Berusaha tetap
diam, agar terlihat tidak sadarkan diri sepenuhnya. Mataku juga tetap terpejam biar
lebih meyakinkan.
Aku pikir
Fajar sudah selesai. Tidak bakal terjadi apa-apa, dugaku. Eh, lalu aku rasakan lumatan di bibirku. “This is it?” tanyaku membatin. Dan benar saja, lumatan lanjut jadi rabaan
pelan. Dari pipi, bibir, dada, betis, paha, lalu berhenti sebentar. Lagi namaku
disebut. Terguncang tubuhku lagi. Mungkin Fajar ingin benar-benar memastikan kondisiku.
Aku hanya melenguh pelan, lalu kembali terdiam. Pengen sih pakai akting muntah,
tapi aku pikir kok nanti malah jadi ribet.
Aku
tunggu aksi lanjutan, yang terjadi tidak lama kemudian. Fajar melumat lagi
bibirku.
“Sayang...”
Aku melenguh pelan.
“Iya
sayang, ini aku...” Fajar berbisik di telingaku. Seperti dia berbisik mesra ke
pacarnya.
Pelan aku
balas lumatan Fajar. Dibuat seolah-olah dilakukan dari alam bawah sadar. Fajar
malah makin antusias melumat bibirku. Sementara tangannya merogoh ke dalam
kemben. Menyingkap cup bra, lalu meremas-remas payudaraku. Semakin aku
melenguh, semakin keras dia meremas.
Semuanya
mendadak berhenti. Aku mengintip sedikit. Rupanya Fajar lagi membuka celana jeans
dengan tergesa. Dia semakin berani meneruskan aksinya. Tidak lama, kepala penis
Fajar digesek di bibirku. Pelan-pelan ditekan agar masuk sepenuhnya. Kubantu
usahanya itu, dengan membuka pelan mulutku. Mulai Fajar mendorong dan menarik
batang penisnya. Saat kuintip, Fajar terlihat sedang mengangkang di mukaku.
Mungkin
sudah puas, Fajar ganti mengincar kewanitaanku. Tanpa membuka celana dalamku,
dia jilati daerah itu. Tidak perlu lama-lama, bagian itu pun ‘banjir’. Tidak kuasa
terus berpura-pura, desahan tidak lagi aku tahan. “Aahh, aahh...” Fajar sepertinya
tidak curiga. Dia sibuk menikmati cairan vaginaku.
Ketika
lidah Fajar sibuk menusuk-nusuk lubang vagina, ingin aku berteriak. “Entot gue
Jar. Gue butuh kontol. Kontolin gue.” Namun, berusaha aku tahan agar tidak
terucap.
Akhirnya
saat yang aku nanti-nanti tiba juga. Vaginaku kembali ditusuk sebuah penis.
Sungguh momen yang melegakan. Bahkan aku tidak peduli, kalau tak ada satu pun
pakaian yang terlepas. Aku masih berpakaian lengkap saat disetubuhi. Entah
bagaimana penis itu bisa masuk. Apa Fajar menyingkap celana dalamku, atau
merobeknya. Aku tak peduli. Aku lebih peduli dengan adanya penis di vaginaku.
Satu lagi
yang kurasakan. Fajar nampak tidak ragu menghentakkan penisnya. Sepertinya dia tahu
kalau aku sudah tidak perawan.
“Aahh,
aahh, AAHHH...” Aku melenguh makin keras. Sepertinya Fajar sigap dengan
situasi. Dia tutup mulutku memakai tangan kirinya, agar suara lenguhan itu
teredam.
Berharap
aku dalam hati, supaya kenikmatan itu tidak terlalu cepat selesai. Harapanku
terkabul. Fajar tipikal laki-laki yang ‘tahan lama’. Tipikal yang tahu mengatur
ritme juga. Jelas dia sudah berpengalaman. Irama genjotannya memberi aku cukup
waktu untuk menggapai puncak.
Aku
mencapai orgasme, tepat sebelum Fajar mencabut penisnya. Cairan hangat menerpa
kain celana dalam, terkena sedikit organ intimku. Tidak di dalam syukurnya. Rupanya
Fajar cukup peduli dengan masa depanku. Dengan tidak menghamili aku.
Fajar lalu
ambruk di sampingku. Terengah-engah. Disela-sela rasa yang mendera, cukup sadar
aku untuk tetap berpura-pura. Tetap aku pejamkan mata, seolah masih tak sadarkan
diri. Nafas yang terengah aku tahan sebisanya.
Tidak
terdengar lagi suara nafas Fajar. Berikutnya, terasa keadaan pakaianku
dirapikan. Sebuah kecupan mendarat di pipi, sebelum selimut menutupi tubuh aku.
Pintu kamar terbuka, kemudian tertutup. Tidak lama terdengar suara mesin mobil
dihidupkan.
Merasa
sudah aman, aku buka mata. Turun aku dari ranjang, lalu beranjak ke kamar
mandi. Aku buka pakaian dan berbilas sebersih-bersihnya. Sisa-sisa kenikmatan
masih melanda. Bilasan air justru kian memperkuat rasa itu. Selesai semuanya,
aku berganti pakaian, mengunci pintu, dan tergolek di ranjang. Tertidur dengan
sangat nyenyak.
***
Hari berganti.
Pagi-pagi Lisa dan Siska sudah menggedor pintu, mengganggu tidurku. Niatnya sih baik untuk menengok keadaanku.
Dihujani aku dengan pertanyaan-pertanyaan. Masih dalam keadaan mengantuk, aku
jawab satu persatu. Termasuk pertanyaan, “Semalem lu dientot nggak?” Mereka bersorak
mendengar jawabannya. Disambung dengan pertanyaan, “Enak nggak? Enak nggak?”
Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Siangnya,
Fajar cukup gentlement menelepon diriku.
Menanyakan keadaanku. Aku bilang baik-baik saja, cuma rada pusing sedikit. Sepertinya
Fajar juga ingin menguji, apakah aku sadar telah disetubuhi olehnya atau tidak.
Aku tidak mengungkit hal itu. Dan sampai hari-hari berikutnya pun tidak kami
bahas lagi. Seolah kejadian malam itu tak pernah terjadi. Kami tetap
bersahabat, tetap jalan bareng, namun tidak jadian. Sampai akhirnya, aku balik
pacaran lagi dengan Hendra.
Aku minta
Lisa dan Siska merahasiakan kejadian malam itu. Hal yang sama berlaku juga buat
kalian yang membaca cerita ini. Sssttt, it’s
our secret...
.
Karakter dita, kenapa berubah?
BalasHapusHarusnya binalin lagi si Ditha, sex scenya kurang detil nih
BalasHapusUpdate lg dit, biasanya minimal 2 nih. Huehehe
BalasHapus