Jumat, 24 November 2017

Butuh Kelonan


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sebulan sudah aku resmi putus dengan Hendra. Pacar, yang sekarang jadi suamiku. Berarti resmi pula jatah seks jadi terputus. Puasa seks, birahi hanya bisa dipuaskan dengan masturbasi. Semua berlangsung lancar-lancar saja sih, sampai tiba pelaksanaan ujian akhir semester. Tugas numpuk, ditambah banyaknya literarur yang musti dipelajari. Neraca, angka, dan hapalan, bikin kepala puyeng minta ampun. Tingkat stress lagi tinggi-tingginya. Dalam keadaan seperti itu aku benar-benar butuh seks. Butuh kelonan.
Musti nyari kontol dimana nih? Pertanyaan yang sulit dijawab. Gengsi dong kalo nelpon Hendra, kan status dia sudah ‘mantan’. Reza, teman tapi mesraku, lagi KKN (kuliah kerja nyata) ke luar kota. Makin uring-uringan deh jadinya.
“Lu boleh pake cowok gue short time deh. Ntar bayarannya ditransfer aja ke rekening gue,” goda Lisa, kawan satu kelasku, saat aku curhat di kantin kampus.
“Sialan. Lu kira gue tante-tante jablay?” Protesku.
Aku tepuk bahunya. Eh, si Lisa malah tertawa terbahak-bahak. Puas banget deh Lisa mengolok-ngolok diriku. Salah aku juga sih kenapa ceritanya ke dia. Tapi, memang cuma dia doang yang bisa aku ajak cerita. Sedikit kawan yang tahu kalau aku sudah tidak perawan. Lisa adalah salah satunya. Itu pun gegara dia mendadak buka pintu kosan, waktu aku lagi di-dogie Hendra.
Lagi pula aku sudah bosan masturbasi. Aku butuh masukan untuk dijadikan solusi. Eh, masukan apa masukin ya?
“Kenapa nggak lu coba sama si Aris? Udah lama kan dia naksir elu,” Lisa melanjutkan.
“Gue nggak butuh pacar Lis, gue cuma butuh seks.”
Nah, biasanya tante-tante jablay ngomongnya gitu tuh,” kembali Lisa terbahak-bahak.
Lagi tepukan terarah ke bahu Lisa. Aku ulangi beberapa kali, meski dia sudah meminta ampun. Habisnya minta ampun kok sambil cengar-cengir.
“Lagian elu kayak cewek jelek aja pake acara bingung nyari temen buat ngeseks. Cowok mana sih yang bakal nolak ngeseks ama lu Dit. Tinggal lu tarik ke kamar aja kan...”
Ada benarnya sih kata-kata Lisa. Mungkin aku saja yang terlalu perfeksionis memilih pasangan seks. Tetapi, sebagai cewek wajar dong aku melakukan itu. Aku musti melindungi diri, dengan tidak membiarkan sembarang penis masuk ke vaginaku.
“Kalau si Doni gimana?”
Ah, lu mau ditidurin cowok brengsek macem dia? Udah se-sakaw itu lu ama titit ya?”
Lagi-lagi perkataan Lisa ada benarnya. Beberapa nama kembali coba kami list sebagai alternatif. Semuanya memiliki resiko yang terlalu besar. Aku semakin frustasi, sedangkan di bawah sana sudah semakin ‘lapar’. Akhirnya aku memilih untuk fokus ujian dulu. Masih ada beberapa tugas belum selesai aku kerjakan. Pusiiiing...
***
Ujian akhir semester akhirnya selesai. Waktunya bersenang-senang menghilangkan stres. Ajakan beberapa teman satu angkatan untuk hangout pun aku terima. Sayangnya Lisa tidak bisa datang menjemput. Tadi pagi pacarnya menjemput, dan sampai sekarang mereka masih ada di hotel. Iri aku padanya yang bisa ‘ena-ena’ habis ber-puyeng ria. Aku tahu karena waktu menjawab telepon tadi, sesekali terdengar desahan pelan. Lisa cukup baik berusaha menahan diri, tapi ya tetap saja beberapa kali kelepasan. Kewanitaanku jadi berkedut-kedut gegara kejadian itu.
Beruntung ada Fajar, salah satu kenalan di kampus teknik. Kami berkenalan saat ada acara senat. Kebetulan dia nge-chat, terus iseng saja aku ajakin. Dengan senang hati dia mau. Dengan senang hati pula datang menjemput. Dia bilang akan datang jam tujuh. Masih tiga puluh menit lagi. Aku sudah selesai mandi, pakai pakaian, dan berias. Sambil nunggu aku leyeh-leyeh di kasur. Diam seperti itu pikiranku jadi kemana-mana. Terbayang lagi desahan Lisa tadi. Tanpa sadar, tanganku meraba-raba ke bawah sana.
“Aahh,” aku mendesah pelan.
Sungguh vaginaku terasa ‘gatal’ sekali malam itu. Belum lagi puting payudaraku yang kian hari makin sensitif.
Entah dari mana tiba-tiba saja sebuah pikiran usil muncul. Fajar itu kan laki-laki. Lama bergaul, sepertinya sih dia tertarik padaku. Insting wanitaku bilang seperti itu. Dia juga anaknya baik dan pintar. Boleh juga buat digoda-goda. Iseng-iseng berhadiah. Kalau pun nanti godaan itu berhasil, Fajar masuk kriteria pacar yang kompeten. Belum jadi pacar saja dia selalu siap dimintai tolong. Pikiran usil itu berniat untuk aku realisasikan.
Maka aku hapus make up di wajah. Begitu terdengar suara mobil di halaman, bergegas aku buka semua pakaian. Semuanya, sampai ke daleman. Aku sambar handuk, dan membalutkan ke tubuh. Rambut aku basahi sedikit agar lebih meyakinkan. Tidak lama terdengar suara ketukan pintu.
Aku buka pintu. Dari ekspresi wajahnya, bisa kulihat Fajar kaget melihat keadaanku.
Sorry banget Jar, gue baru aja selesai mandi. Tadi kena macet balik dari eskul.” Alasanku, yang tentu aku buat-buat. “Lu bisa nunggu bentar nggak?” Tambahku lagi.
“Nga-nggak apa-apa kok,” sahutnya tergagap. Yes, umpanku berhasil.
Aku minta dia duduk di depan kamar. Dia menurut. Kemudian aku masuk ke dalam kamar. Aku racik segelas teh hangat, lalu keluar lagi. Masih dengan tubuh terbalut handuk.
“Nih gue bikinin teh, lu bisa minum sambil nunggu. Habis kalo gue siap-siap suka rada lama.”
Aku tersenyum. Dia balas tersenyum. Saat menaruh gelas di meja, sengaja aku agak menunduk. Gunanya agar belahan dadaku memancing lirikan mata. Sepertinya cukup berhasil, karena Fajar jadi makin kikuk. Tidak kusangka sikap malu-malunya tersebut.
Masuk lagi aku ke dalam kamar. Bisa saja sih aku bikin celah di korden, biar Fajar bisa ngintip ke dalam. Namun, tidak aku lakukan hal itu. Terlalu vulgar, dan terkesan dibuat-buat. Godaan harus diberikan sedikit demi. Biarkan Fajar penasaran dulu. Lagi pula aku yakin di luar sana, pasti dia sedang membayangkan aku telanjang.
Kembali aku poles make up di wajah. Diawal aku hendak memakai pakaian yang sebelumnya. Kaos ketat dan celana pendek. Namun, aku berubah pikiran. Aku ambil kemben dari lemari. Buat yang tidak tahu kemben, itu mirip tanktop ketat tapi tanpa tali pundak. Ada yang penuh menutupi perut, ada pula yang setengah memperlihatkan pusar. Aku pilih yang penuh, agar tidak semakin terkesan seksi. Bahuku sudah begitu terbuka, dan aku memakai bra tanpa tali. Alasan yang sama bikin aku memilih rok lipat selutut, ketimbang rok jeans di atas lutut. Aku pagut diri di cermin. Sempurna, aku nilai diri sendiri.
Keluar dari kamar, Fajar menganga melihat penampilanku. Aku tahu dia tidak sadar melakukan itu. “Gila Dit, cakep bener lu,” terlontar pujian dari dirinya. Tersipu aku dibuatnya.
“Sebentar Jar, aku pakai sepatu dulu.” Masih tersisa satu lagi pancinganku.
Saat pakai sepatu, sengaja aku jongkok. Dari posisinya berdiri, aku teramat yakin Fajar sedang melirik belahan dadaku lagi. Aku biarkan pula ujung rok tersingkap. Meski tak cukup lebar buat mamerin celana dalam, tapi pasti cukup bikin Fajar berfantasi. Model sepatu yang kupakai flat shoes. Sebenarnya simple untuk dipakai, hanya sengaja aku berlama-lama jongkok.
“Yuk berangkat,” ucapku setelah selesai.
Kami pun kemudian ada di dalam mobil. Sepanjang perjalanan kami hanya ngobrol. Fajar tidak lanjut melirik-lirik, seperti kebanyakan laki-laki. Sepertinya dia cukup bisa menahan diri. Entah sikap cool itu sama dengan isi kepalanya. Setengah jam kemudian kami sampai di tujuan.
Acara hangout malam itu diadakan di sebuah pub. Pemiliknya adalah paman dari seorang teman kampus. Khusus untuk malam itu, pub ditutup untuk umum. Banyak juga teman lain angkatan yang datang. Pada undangan memang tertulis ‘boleh bawa teman’. Semua angkatan sepertinya bercampur saat itu. Ada adik kelas, ada pula kakak kelas. Aku dan Fajar tidak lagi bersama. Dia lebih memilih kumpul dengan kakak kelas. Aku sendiri kumpul dengan kawan-kawan se-genk.
“Lu dateng sama Fajar?” Selidik Lisa. “Lagi pedekate-an apa mancingin buat ehem-ehem nih?” Tambahnya lagi, sambil memberikan kode ML.
Kawan se-genk yang lain menimpali dengan senyum. Wajar sih, dari kami berempat hanya aku yang lagi jomblo saat itu. Mereka tahu kebutuhan birahiku belum terpenuhi.
“Nggak tau deh,” sahutku pendek.
Mereka lalu bergantian meyakinkan kalau Fajar memenuhi kriteria. Dari luar sih segalanya pas, hanya butuh dicek ‘dalemnya’. Begitu kata mereka. Persis seperti penilaianku yang aku simpan dalam hati. Tentu tidak aku bilang, kalau tadi di kosan aku sempat ‘menguji’ Fajar. Kemudian tercetus usulan gila dari Lisa.
“Kenapa lu nggak pura-pura mabok Dit. Waktu Fajar mulangin lu ke kosan, yakin deh dia pasti tergoda buat ngentotin lu. Nah, lu kan jadi ngerasain kontol, tanpa terkesan jablay. Kalo enak lu bisa lanjut macarin doi, kalo nggak enak dieliminasi aja.” Lisa ngakak usai mengungkap ide itu.  
Langsung aku cubit pahanya. Aku protes dong. Eh, kawanku yang lain malah ngedukung. Masih ingat Siska, di ceritaku yang berjudul ‘Sahabat Lama’ kan? Nah, dia tuh yang menimpali si Lisa.
“Bisa dicoba tuh Dit, gue pernah soalnya mraktekin sama si Wira. Enak, terus gue pacarin deh.”
Ucapan Siska itu diamini balik oleh Lisa. “Tuh kan...” sahutnya. Beda dengan Icha, yang sangat setia dengan pacarnya. Dia hanya pernah tidur dengan satu laki-laki saja. Diam-diam, dalam hati ucapan keduanya aku pertimbangkan. Cukup masuk akal kalau dipikir-pikir. Maka aku bilang kalau akan aku lakuin ide tersebut. Kami berempat pun bersulang. Hanya Icha yang terlihat ragu.
Menjelang tengah malam, waktu yang tepat menjalankan rencana. Sebelumnya kami berempat berbaur dulu dengan teman-teman lain. Kami berkumpul lagi di satu sudut ruangan. Empat gelas minuman alkohol merek luar negeri kami pesan. Masing-masing dari kami meminumnya, tapi semua gelas kosong ditaruh didepanku. Mulailah aku berakting. Mengambil posisi bersandar di bahu sofa, pura-pura tipsy. Kemudian Lisa memanggil Fajar sesuai rencana.
“Jar, mending elu anterin Dita pulang deh. Ntu anak kebanyakan minum kayaknya,” aku dengan suara Lisa, yang diamini oleh Siska.
Tidak lama aku sudah dipapah Fajar, dibantu oleh Siska. Berusaha aku berjalan sempoyongan, agar lebih mendramatisir keadaan. Usai merapikan posisi dudukku di jok depan, Siska berbisik, “good luck girl.” Dan aku merasakan kemudian mobil mulai melaju.
Saat mobil berhenti, sedikit aku mengintip. Kami sudah tiba di kosan. Pintu mobil terbuka, Fajar memapah lagi tubuhku. Kali ini sendirian. Guna lebih mendramatisir keadaan, mulai aku sedikit merancau. Tidak terlalu keras sih biar tidak bikin gaduh. Tidak lama, tubuhku sudah terbaring di ranjang. Dengan cekatan Fajar membuka sepatuku.
It show time, ujarku dalam hati. Aku gerakkan kaki sehingga paha jadi terbuka lebar. Membuat rokku tersingkap maksimal. Memperlihatkan kain berenda yang ada di baliknya. Fajar nunjukin sikap gentlemen. Dia perbaiki posisi kakiku. Dia rapikan pula kondisi rokku.
“Dit, Dit...” Fajar mengguncang pelan tubuhku. Tidak lagi aku merancau. Berusaha tetap diam, agar terlihat tidak sadarkan diri sepenuhnya. Mataku juga tetap terpejam biar lebih meyakinkan.
Aku pikir Fajar sudah selesai. Tidak bakal terjadi apa-apa, dugaku. Eh, lalu aku rasakan lumatan di bibirku. “This is it?” tanyaku membatin. Dan benar saja, lumatan lanjut jadi rabaan pelan. Dari pipi, bibir, dada, betis, paha, lalu berhenti sebentar. Lagi namaku disebut. Terguncang tubuhku lagi. Mungkin Fajar ingin benar-benar memastikan kondisiku. Aku hanya melenguh pelan, lalu kembali terdiam. Pengen sih pakai akting muntah, tapi aku pikir kok nanti malah jadi ribet.
Aku tunggu aksi lanjutan, yang terjadi tidak lama kemudian. Fajar melumat lagi bibirku.
“Sayang...” Aku melenguh pelan.
“Iya sayang, ini aku...” Fajar berbisik di telingaku. Seperti dia berbisik mesra ke pacarnya.
Pelan aku balas lumatan Fajar. Dibuat seolah-olah dilakukan dari alam bawah sadar. Fajar malah makin antusias melumat bibirku. Sementara tangannya merogoh ke dalam kemben. Menyingkap cup bra, lalu meremas-remas payudaraku. Semakin aku melenguh, semakin keras dia meremas.
Semuanya mendadak berhenti. Aku mengintip sedikit. Rupanya Fajar lagi membuka celana jeans dengan tergesa. Dia semakin berani meneruskan aksinya. Tidak lama, kepala penis Fajar digesek di bibirku. Pelan-pelan ditekan agar masuk sepenuhnya. Kubantu usahanya itu, dengan membuka pelan mulutku. Mulai Fajar mendorong dan menarik batang penisnya. Saat kuintip, Fajar terlihat sedang mengangkang di mukaku.
Mungkin sudah puas, Fajar ganti mengincar kewanitaanku. Tanpa membuka celana dalamku, dia jilati daerah itu. Tidak perlu lama-lama, bagian itu pun ‘banjir’. Tidak kuasa terus berpura-pura, desahan tidak lagi aku tahan. “Aahh, aahh...” Fajar sepertinya tidak curiga. Dia sibuk menikmati cairan vaginaku.
Ketika lidah Fajar sibuk menusuk-nusuk lubang vagina, ingin aku berteriak. “Entot gue Jar. Gue butuh kontol. Kontolin gue.” Namun, berusaha aku tahan agar tidak terucap.
Akhirnya saat yang aku nanti-nanti tiba juga. Vaginaku kembali ditusuk sebuah penis. Sungguh momen yang melegakan. Bahkan aku tidak peduli, kalau tak ada satu pun pakaian yang terlepas. Aku masih berpakaian lengkap saat disetubuhi. Entah bagaimana penis itu bisa masuk. Apa Fajar menyingkap celana dalamku, atau merobeknya. Aku tak peduli. Aku lebih peduli dengan adanya penis di vaginaku.
Satu lagi yang kurasakan. Fajar nampak tidak ragu menghentakkan penisnya. Sepertinya dia tahu kalau aku sudah tidak perawan.
“Aahh, aahh, AAHHH...” Aku melenguh makin keras. Sepertinya Fajar sigap dengan situasi. Dia tutup mulutku memakai tangan kirinya, agar suara lenguhan itu teredam.
Berharap aku dalam hati, supaya kenikmatan itu tidak terlalu cepat selesai. Harapanku terkabul. Fajar tipikal laki-laki yang ‘tahan lama’. Tipikal yang tahu mengatur ritme juga. Jelas dia sudah berpengalaman. Irama genjotannya memberi aku cukup waktu untuk menggapai puncak.
Aku mencapai orgasme, tepat sebelum Fajar mencabut penisnya. Cairan hangat menerpa kain celana dalam, terkena sedikit organ intimku. Tidak di dalam syukurnya. Rupanya Fajar cukup peduli dengan masa depanku. Dengan tidak menghamili aku.
Fajar lalu ambruk di sampingku. Terengah-engah. Disela-sela rasa yang mendera, cukup sadar aku untuk tetap berpura-pura. Tetap aku pejamkan mata, seolah masih tak sadarkan diri. Nafas yang terengah aku tahan sebisanya.
Tidak terdengar lagi suara nafas Fajar. Berikutnya, terasa keadaan pakaianku dirapikan. Sebuah kecupan mendarat di pipi, sebelum selimut menutupi tubuh aku. Pintu kamar terbuka, kemudian tertutup. Tidak lama terdengar suara mesin mobil dihidupkan.
Merasa sudah aman, aku buka mata. Turun aku dari ranjang, lalu beranjak ke kamar mandi. Aku buka pakaian dan berbilas sebersih-bersihnya. Sisa-sisa kenikmatan masih melanda. Bilasan air justru kian memperkuat rasa itu. Selesai semuanya, aku berganti pakaian, mengunci pintu, dan tergolek di ranjang. Tertidur dengan sangat nyenyak.
***
Hari berganti. Pagi-pagi Lisa dan Siska sudah menggedor pintu, mengganggu tidurku. Niatnya sih baik untuk menengok keadaanku. Dihujani aku dengan pertanyaan-pertanyaan. Masih dalam keadaan mengantuk, aku jawab satu persatu. Termasuk pertanyaan, “Semalem lu dientot nggak?” Mereka bersorak mendengar jawabannya. Disambung dengan pertanyaan, “Enak nggak? Enak nggak?” Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Siangnya, Fajar cukup gentlement menelepon diriku. Menanyakan keadaanku. Aku bilang baik-baik saja, cuma rada pusing sedikit. Sepertinya Fajar juga ingin menguji, apakah aku sadar telah disetubuhi olehnya atau tidak. Aku tidak mengungkit hal itu. Dan sampai hari-hari berikutnya pun tidak kami bahas lagi. Seolah kejadian malam itu tak pernah terjadi. Kami tetap bersahabat, tetap jalan bareng, namun tidak jadian. Sampai akhirnya, aku balik pacaran lagi dengan Hendra.
Aku minta Lisa dan Siska merahasiakan kejadian malam itu. Hal yang sama berlaku juga buat kalian yang membaca cerita ini. Sssttt, it’s our secret...
.

3 komentar:

  1. Karakter dita, kenapa berubah?

    BalasHapus
  2. Harusnya binalin lagi si Ditha, sex scenya kurang detil nih

    BalasHapus
  3. Update lg dit, biasanya minimal 2 nih. Huehehe

    BalasHapus