Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sudah hampir
sepuluh menit aku duduk di ruang tunggu bandara. Di kedatangan internasional,
tepatnya. Malam itu ramai sekali. Di layar informasi penerbangan, terlihat
kalau ada tiga pesawat landing berbarengan.
Salah satunya pesawat yang ditumpangi Fariz. Dia datang dari Malaysia. Sebenarnya
kedatangan dia terkait bisnis dengan suamiku. Namun, Fariz minta ke suamiku agar
aku yang menjemput. Bisa langsung kutebak maksud permintaannya itu.
Duduk
sendiri, ada saja satu dua lelaki yang iseng menyapa. Biasalah sok kenal sok
deket. Aku senyumin saja. Untungnya mereka tak bertingkah aneh-aneh. Rombongan
penumpang pun mulai berdatangan. Beranjak aku dari kursi untuk mendekat. Tidak
lama, terlihat sosok Fariz melambai ke arahku. Aku pun balas melambai.
“Makasi
banget loh Dit, mau repot-repot jemput.” Fariz tersenyum. Dia lalu mencium pipi
kanan dan kiriku.
“Nggak
apa-apa,” sahutku singkat.
“Hendra
nggak ikut?” Jelas ini adalah pertanyaan retoris.
Kan mereka sudah kontak sebelumnya. Mungkin juga ingin memastikan. Aku jawab
dengan gelengan kepala.
Kemudian kami
sudah berkendara dalam mobil. Fariz menawarkan diri untuk menyetir. Kupikir akan
langsung ke hotel, ternyata dia ngajak mampir.
Ke sebuah cafe punya teman buat ngilangin
jetlag, kata Fariz. Suami sempat menelpon aku. Menanyakan apakah aku sudah bertemu
Fariz. Aku serahkan saja telepon ke Fariz, agar mereka bisa berbincang.
Cukup lama
aku dan Fariz ada di cafe tersebut. Padahal kami hanya memesan kopi dan camilan
kecil. Fariz menyerahkan kotak berukuran sedang. Katanya oleh-oleh untuk
anakku. Seperangkat miniatur superhero
dan mainan lego. Si kecil pasti kegirangan melihatnya. Berikutnya, Fariz lagi
menyodorkan kotak berukuran lebih kecil. Isinya jam tangan berlapis emas. Kali
ini aku tolak, karena tahu harganya pasti tidak murah. Fariz terus memaksa, dan
aku pun menyerah. Melalui hadiah tersebut, secara tersirat Fariz minta ‘service’ lebih dariku.
Kami kemudian meninggalkan
cafe. Kali ini mobil melaju menuju sebuah hotel. Aku antar Fariz sampai ke kamar.
Terlontar permintaan ‘service’, yang
sudah kuterka sebelumnya. Meski sudah menerima hadiahnya, tidak mau aku membuatnya
terlalu mudah.
“Sudah
punya SIM nggak?” Tanyaku jail.
Dahi
Fariz berkerut. “SIM?”
“Iya,
surat ijin meniduri.”
Mendengar
itu Fariz langsung tergelak. Aku sendiri tersenyum lebar. Fariz langsung
mengambil ponsel. Kulihat dengan lincah dia memencet keypad. Dia sedang berkirim-kirim pesan singkat. Selang satu menit,
Fariz menyodorkan ponsel itu padaku. Dan kembali aku tersenyum membaca tulisan yang
ada di layar. Nomor yang tertera adalah nomor suamiku. Kemudian bibir Fariz pun
mendarat mulus di bibirku. Begitu pun saat mendarat di telinga dan leher.
Dengan lancar pula dia merebahkan tubuhku ke ranjang. Dihujaninya aku dengan
kecupan.
“Mandi
dulu ah. Malu ama badanmu yang wangi banget.” Fariz tersenyum. Aku ikut
tersenyum.
Beranjak lalu
Fariz dari atas tubuhku. Dengan santai dia mulai menelanjangi diri. Dilakukan
itu dihadapan aku, tanpa malu-malu. Bisa dilihat kalau Fariz sangat bangga
dengan postur tubuhnya. Mungkin pula dengan bentuk penisnya. Penis yang pernah
dia hujamkan ke vaginaku.
Masih
bertelanjang ria, Fariz mengambil sesuatu dari koper. Dia sodorkan aku sebuah
tas kertas. Terlihat merek sangat terkenal di tas tersebut. Saat kubuka ternyata
isinya lingerie seksi.
“Dipakai
ya,” Fariz mengerling, lalu melangkah ke kamar mandi.
Tidak
lama terdengar suara dendangan dari dalam, di sela gemericik air. Turun aku dari
ranjang, dan mulai menelanjangi diri. Berganti dengan lingerie, yang diberikan Fariz. Warnanya merah terang. Bahan dari
sutera tipis penuh renda. Sama sekali tidak menutupi apa-apa. Ujung bawah hanya
tiga senti dari area intim. Tak dilengkapi bra, hanya celana dalam (panty) mungil. Teramat sangat mengundang
birahi.
“Oh my God!” Seru Fariz begitu keluar.
Masih terbalut handuk. Tidak kuasa aku menahan tawa, melihat ekspresinya. “You’re so sexy!”
Fariz bergegas
mendekat, lalu membopong aku ke ranjang. Dia hempaskan tubuhku. Disusul dia
hempaskan tubuhnya sendiri. Kami tertawa, karena berdua jadi terpantul naik
turun. Dilumatnya lalu bibirku, sambil meremasi payudara. Tali pundak lingerie dia turunkan, saat mulai mengulum
si bukit kembar. Kanan dikulum, kiri diremas. Begitu pula sebaliknya. Tak hanya
meremas dan mengulum, dia juga sapukan lidahnya di bagian aerola. Tidak kuat aku untuk tidak mendesah. Permukaan payudara
jadi basah karena liur Fariz.
“Jangan
dimerahin...” rintihku pelan.
“Uupss...” Terdengar suara Fariz.
Terlambat, cupang sudah menghiasi
payudara kanan.
Aku tepuk
pundak Fariz. Dia terkekeh. Kuminta dia tidak mengulanginya lagi. Dia
mengangguk. Lanjut dia ‘nikmati’ kembali payudaraku, yang memang bagian favoritnya.
Layaknya bayi besar yang sedang kelaparan. Dia sedot-sedot putingku dengan
penuh nafsu.
Setelah
itu, Fariz melolosi lingerie itu dari
tubuhku. Entah kenapa tadi dia minta aku pakai, kalau ujungnya dilepas juga. Kadang
aku tak mengerti dengan fantasi lelaki. Kini tinggal celana dalam yang tersisa.
Fariz tersenyum, ketika mendapati kain super mungil itu basah. Dia menarik
lepas handuk yang membelit tubuhnya. Mengacunglah batang penis miliknya.
Seperti
biasa sebelum bersetubuh, Fariz selalu minta dikulum. Begitu diberi kode, penisnya
pun amblas dalam mulut. Hanya saja, kali ini tidak lama. Mungkin Fariz takut
keburu keluar. Begitu penis itu terlepas, Fariz mengatur posisiku mengangkang. Aku
sodorin Fariz sebungkus kondom. Sambil melengos, dengan berat hati dia memasangnya.
“Aaahhh...”
Kelamin kami bersatu. Dimana si panty mungil
masih terpasang.
Dan
segera saja tubuhku berguncang, di bawah tindihan Fariz.
Berikutnya,
tahu sendirilah yang terjadi. Tubuh kami makin basah oleh keringat, setelah dua
tiga kali berganti posisi. Fariz menyetubuhi aku dengan sekuat tenaga. Tidak
ada tanda-tanda bekas jetlag. Langsung
tancap gas dari menit pertama. Biasanya ritme seperti ini bikin laki-laki cepat
terkuras. Akibatnya durasi jadi berlangsung singkat. Tapi, beda dengan Fariz. Staminanya
tetap stabil. Mungkin sudah minum obat kuat sebelumnya?
Kudapati
orgasme, di tengah genjotan Fariz yang datang bertubi-tubi. Sepertinya dia tahu
itu. Si panty sampai basah kuyup,
terkena cairan cintaku.
Selang beberapa
menit, Fariz menarik penisnya. Sambil memegangi batang penis, bergegas dia berpindah.
Dia arahkan ujung penisnya ke wajahku. Sadar kalau Fariz mulai mengocok, segera
aku menutup mata. Dan tidak lama, kurasakan semprotan demi semprotan mengenai kulit
wajah. Tetap aku terpejam sampai yakin sudah berhenti.
Kudapati
Fariz tersenyum saat aku membuka mata. “Makasi ya,” begitu kata dia.
Secepat
kilat aku turun dari ranjang, dan berlari ke kamar mandi. Aku kurang suka kalau
wajah dilumuri sperma, apalagi sampai kena rambut. Lengketnya bikin sebel. Terpaksa
aku pasrahkan hari itu, ketimbang disetubuhi tanpa kondom.
Usai membersihkan
diri, aku mendongak ke luar. Kulihat Fariz sudah terbalut handuk, berdiri di
teras sambil merokok.
“Aku
langsung mandi aja nggak apa-apa ya?” Meminta persetujuan, sekalian memastikan
kalau kami tidak akan bersetubuh lagi.
Fariz
mengangguk. Memang begitu tadi kesepakatannya. Kami hanya akan melakukannya
sekali malam itu. Soalnya besok aku masih bekerja, jadi tidak bisa menginap. Tetapi,
namanya laki-laki kalau soal selangkangan kadang suka ingkar. Kalau pun Fariz
minta nambah, aku tak keberatan. Mengingat suamiku dan istrinya, malah lebih sering
bertemu ketimbang kami.
Setelah
mendapatkan persetujuan, maka aku pun lanjut mandi.
“Tapi Minggu
nanti kosongin jadwal ya Dit, aku mau seharian sama kamu.” Fariz mengingatkan,
ketika aku sibuk mengeringkan rambut.
Terpaksa
aku meminjam hairdryer, karena tadi musti
keramas gegara sperma. Fariz yang
berdiri di belakang mulai usil tangannya. Dia melepas kaitan handuk, sehingga
melorot jatuh ke lantai. Berhadapan kami melalui pantulan cermin, sementara dia
meremasi payudaraku. Kubiarkan saja dan terus mengeringkan rambut. Bangga dia
dengan bercak merah, akibat cupangan
tadi.
Kemudian
aku berpakaian. Fariz minta aku tinggalkan lingerie
dan panty yang tadi aku pakai. Katanya
buat teman tidur malam ini, karena ada bekas aroma tubuhku. Aku iyakan permintaan
itu. Toh, yang membelikan kan Fariz
juga.
Kami pun
berpisah dengan berciuman mesra.
***
Sampai di
rumah, aku langsung disambut oleh suami. Tumben dia menunggui aku sampai
selarut ini. Sampai pakai acara membukakan pintu mobil. Tersenyum aku melihat
tingkahnya. Mungkin sekarang ada rasa penasaran, sekaligus cemburu. Sama
seperti aku, ketika tahu dia tidur dengan Agnes. Kutanya keadaan si kecil, yang
ternyata sudah tidur. Termasuk bertanya apakah si kecil sudah bikin PR.
“Mama
tadi diapain aja sama Fariz?”
Serius? Begitu
sampai aku tanya soal anak, eh dia malah
tanya soal itu. Dasar laki-laki. Sengaja tidak aku jawab, agar dia makin
penasaran. Diikutinya terus langkahku sampai kamar.
Duduk aku
di tepi ranjang. Suami jongkok, membantu aku melepas sepatu. Memang lucu sekali
tingkah suamiku itu. Kemudian dia pijiti kakiku. Kembali aku tersenyum. “Ceritain
dong, Ma...” rajuknya lagi. Sengaja kubiarkan dia memijit lebih lama.
“Daripada
papa penasaran, nanti waktu mama ketemu Fariz mending papa ikut aja. Kan bisa tuh
ngeliat sendiri apa yang terjadi...” Aku mengerling nakal. “Kalo mau nonton aja
boleh, kalo mau ikutan main juga boleh.” Tambahku lagi.
“Eh oke juga tuh idenya mama.” Suami
tersenyum lebar.
Melihat tanggapan
suami, celetukan iseng itu aku ganti menjadi godaan. Kuajak suami berandai-andai.
Berfantasi tentang aku, suami, dan Fariz. Bagaimana aku kulum penis suami,
sementara ditusuk Fariz dari belakang. Bagaimana mereka bisa gantian menggagahi
aku. Dan bisa ditebak apa yang kemudian terjadi. Birahi suami terpancing. Meski
baru disetubuhi, aku iyakan ajakan suami untuk disetubuhi lagi. Namanya suami
yang minta, masa sih aku tolak.
Mulailah
aku ditelanjangi. Dilakukan sama persis seperti ceritaku. Kecuali, diakhir dia keluarkan
spermanya di dalam. Sesuatu yang memang jadi hak spesial dari suami.
***
Tiga hari
berselang, sore aku sudah sampai di rumah. Sesuatu yang langka terjadi, terutama
akhir bulan. Rumah kosong, hanya ada pembantu. Si kecil lagi ikut acara
perkemahan sekolah, untuk mengisi liburan. Mumpung sepi, kesempatan itu pun aku
pakai untuk berendam. Air hangat dan aroma terapi selalu berhasil mengusir
penat. Lega sekali rasanya.
Lagi asyik
berendam, ponselku berbunyi. Ternyata dari suamiku. Katanya dia lagi bersama
Fariz dan bakal mampir ke rumah. Mereka akan menjemput aku, untuk makan malam
bareng. Kaget aku mendengar itu. Padahal rencananya dua hari lagi baru aku ketemu
Fariz. Suamiku juga tahu itu. Artinya aku harus bergegas bersiap-siap, karena
suami bilang mereka sudah dekat. Segera aku keluar dari bathtub.
Terdengar
suara mobil suami, ketika aku selesai memakai lipstik. Sekali lagi aku mematut
diri di cermin. Aku menyambar tas, keluar kamar, dan turun ke ruang tamu. Suami
dan Fariz baru saja masuk, sewaktu aku sampai di tangga terakhir. Mereka berdua
melempar senyum ke arahku.
“Sorry Ma, kita bikin acara dadakan.” Suami
memeluk dan mencium pipiku. Untuk Fariz, kami hanya saling berjabat tangan.
Berbasa-basi
sebentar, kami langsung berangkat. Pembantu sudah aku suruh pulang, karena toh kami sudah makan di luar. Pulangnya
pun mungkin sampai larut malam.
Di mobil
aku duduk di belakang. Suami yang memegang kemudi, asyik ngobrol dengan Fariz. Sepertinya
masih membahas proyek yang sedang digarap. Sesekali aku ikutan nimbrung dalam
obrolan, bila ada hal yang aku mengerti. Setengah jam, kami sampai di sebuah
restoran bergaya Eropa. Pasti pilihannya suami. Beberapa kali aku pernah diajak
ketemu klien di tempat itu.
“Agnes
titip salam Dit, sorry katanya nggak
bisa ikut ke Indonesia,” Fariz berujar, selesai kami memesan makanan.
“Nggak
apa-apa, kita udah sempet chat kok.”
“Dia
bilang apa?”
“Cuman
nyuruh aku ‘jagain’ suaminya baik-baik.”
Mendengar
itu Fariz dan suamiku tertawa. Begitu pula diriku. Habis selama ini kan kami
kerap ‘berbagi’ suami. Entah yang dimaksud dia itu ‘suami’ yang mana.
Kemudian
giliran suami yang berujar. “Oya Ma, soal yang kita sempet bahas beberapa hari
lalu udah papa sampein ke Fariz, dan dia fine-fine
aja dengan itu.”
“Soal
yang mana ya, Pa?”
“Itu loh
soal papa sama Fariz ‘gituin’ mama barengan.”
Aku
tertawa kecil. “Serius kalian ngebahas itu?”
Tanpa
komando, keduanya kompak mengangguk.
“Kamu sendiri
serius nih Dit, mau threesome?” Fariz
menatapku serius.
“Why not, kalo suami tercinta mengijinkan...”
Bergelayut manja aku di lengan suami. Kulempar senyuman ke arahnya. Terlihat
ada guragat cemburu di wajah Fariz.
Berpaling
lalu Fariz ke arah suamiku. “So,
gimana Dra? Kita realisasikan?”
Dijawab
oleh suami dengan anggukan mantap.
Fariz mengusulkan
hotel tempatnya menginap. Ranjangnya gede empuk, kata dia sambil tertawa kecil.
Dia mengangkat ponsel dan menelepon resepsionis. Tidak lama, dia mengangkat
jempol, tanda kalau kami sudah dapat kamar. Selesai mengurus pembayaran, kami
keluar dari restoran. Berkendara kemudian menuju hotel tujuan.
***
Sampai di
kamar, Fariz mengajak kami santai dulu. Dia tadi memesan sampanye, diajaknya kami minum untuk lanjut ngobrol. Biar suasana
lebih rileks, kata dia. Selang beberapa waktu, barulah kami bertiga naik ke
ranjang. Rada kikuk juga sih awalnya, diapit dua lelaki, meski keduanya sudah pernah
tidur denganku. Aku ikuti saja insting dan biarkan saja semuanya mengalir.
Dimulai
berciuman dengan Fariz di kiri, lalu suami di kanan. Di sela ciuman, Fariz
menurunkan tali dress dari pundak. Ditariknya
turun. Dengan lincah dia menarik lepas pula kaitan braku, lalu mulai meremas
payudara kiri. Sementara itu suamiku meremas yang kanan. Sensasi remasan dua
tangan seperti itu, ternyata berbeda rasanya. Jauh lebih mendebarkan. Padahal
rangsangan baru sampai di bagian atas. Bagaimana kalau sampai tiba bawah.
“Sumpah,
istri lu hot banget, Dra. Beneran.”
Fariz berujar, masih terus meremasi payudaraku. “Your wife is a goddess.”
Suamiku tersenyum
bangga. Begitu pula dengan diriku.
Kedua
lelaki itu lalu kompak menanggalkan pakaian. Menyisakan hanya celana dalam.
Kompak pula keduanya merebahkan aku. Tanpa instruksi, Fariz menyerang payudara
kananku. Dikulumi dengan penuh gairah. Sementara suami menekuk kakiku, mulai
menciumi betis dan paha. Dobel rasa geli nikmat mendera tubuh. Menerjang syaraf
otak. Begitu pula saat Fariz mulai menggilir puting payudaraku. Kanan dan kiri.
Ditambah suami yang mulai menjilati bagian intimku. Meski masih tertutup celana
dalam, tetapi tidak mengurangi rasa nikmatnya. Mengingat kain mungil itu
bahannya sangat tipis.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Sshhh,
sshhh, sshhh...”
Mendesah
aku tak henti-henti. Bergelinjang dalam terjangan sensasi penuh birahi.
Melihat aku
mulai ‘basah’, secara serentak suamiku dan Fariz berganti posisi. Sekarang
suamiku yang atas, Fariz yang bawah. Celana dalamku dilepas Fariz, agar lebih
mudah memainkan lidah.
Salut aku
dengan ‘kerja sama’ keduanya. Pantas saja dalam bisnis mereka bisa terlihat
kompak. Selang beberapa menit mereka lalu berdiri. Bersamaan melorotkan celana
dalam. Aku sendiri dalam posisi bersimpuh. Di kanan dan kiriku kini mengacung
dua penis. Sama-sama besar dan keras. Persis seperti pada film-film bokep yang
biasa aku tonton.
Tanpa
disuruh aku pegang kedua penis itu. Aku urut-urut pelan, sambil melempar senyum
nakal. Suamiku dan Fariz ikut tersenyum. Perlahan kedua penis mulai memanjang.
Dan mulai lalu aku mengulumnya bergantian. Berusaha aku lakukan itu sama rata. Sempat
sesekali aku masukkan keduanya dalam mulut. Meski hanya muat ujungnya saja. Sungguh
pekerjaan multi-tasking yang
benar-benar butuh konsentrasi.
“Sshhh,
sshhh, sshhh...”
“Sshhh,
sshhh, sshhh...”
Giliran
suamiku dan Fariz yang mendesah-desah. Terlihat sekali keduanya menikmati
kuluman tersebut. Membuat aku makin percaya diri. Mengingat aku belum pengalaman
melakukan itu.
Berganti
posisi, kini suami terlentang. Aku nungging sambil lanjut mengulum penisnya. Fariz
ada di belakang, bersiap untuk memasukkan penisnya. Suamiku memberinya
kesempatan untuk menyetubuhi aku lebih dulu. Dan masuklah penis Fariz ke
vaginaku. Mulai dia menggenjot. Dia mengawalinya secara perlahan. Sedangkan
penis suami masih terus aku kulum.
“Mmmhh,
mmmhh, mmmhh...” Desahanku tertahan penis suami. Sementara di belakang, Fariz
mulai meningkatkan intensitas genjotan.
Suami
minta aku untuk menghentikan kuluman. Kami kemudian berciuman.
“Enak nggak
Ma?” Tanya suami. Aku hanya mengangguk, sambil berusaha menahan desahan.
Tersenyum
suami melihat ekspresiku saat itu. Cantik banget,
kata suami. Terdengar tawa kecil Fariz, menimpali kata-kata suami. Dia setuju kalau
wajahku jadi makin cantik waktu digenjot. Tak kuasa aku menahan senyum. Aku
anggap saja itu pujian.
Beranjak
suami dari posisi terlentang. Beberapa saat, dia hanya memandangi aku yang
sedang disetubuhi Fariz. Terlihat kepuasan di wajahnya. Mungkin dia senang
akhirnya fantasinya bisa terwujud. Barulah kemudian suami menyodorkan kembali
penisnya. Mendorongnya masuk ke mulutku. Mulai menggoyangkan pinggul, seperti
sedang menyetubuhi. Kini dua lelaki sedang menggenjot aku bersamaan. Depan dan
belakang. Tak bisa digambarkan sensasi yang kurasakan.
Berganti
posisi kembali. Kini penis suami yang menghujami vaginaku. Penis Fariz ada dalam
kuluman mulutku. Sama seperti Fariz, sesekali suami juga menampar pantatku.
“Dra,
yang keluar duluan traktir sarapan ya,” ujar Fariz.
“Siapa
takut. Makan siang kalau perlu sekalian.”
Sialan,
aku dijadiin bahan taruhan nih. Tapi, seru juga sih, hitung-hitung mengukur siapa yang tahan lebih lama. Cuma
kata-kata setelahnya yang bikin sebel. “Tapi kalo nanti Dita yang keluar
duluan, dia yang musti nraktir kita, Dra.” Fariz terkekeh.
Aku cabut
penis Fariz dari mulut. “Dasar, taruhan sih taruhan, tapi jangan pake nyeret-nyeret
aku dong.” Protes aku lancarkan, yang ditanggapi tawa oleh keduanya.
Berganti
posisi lagi. Kompetisi pun dimulai. Terlentang aku di ranjang. Keduanya lalu suit untuk menentukan giliran pertama. Seperti
dagelan bocah. Geli aku melihat itu. Gunting, batu, kertas. Gunting, batu,
kertas.
Diputuskan
suamiku yang memulai duluan. Maka suami mengangkat kakiku ke pundaknya. Dia memasukkan
penisnya dan mulai menggenjot. Satu menit, waktu yang diberi kepada
masing-masing, sebelum ganti giliran. Sementara menunggu, Fariz mengulum dan
menjilati payudaraku.
Satu
menit berlalu, gantian Fariz menggenjot vaginaku. Masih dengan posisi missionaris.
Suami
mendapat giliran, dia menggenjot aku dengan posisi miring. Suami menyebutnya
posisi ‘gunting’. Layaknya pendekar, setiap kali ‘menyerang’ mereka menyebut
nama jurusnya. Seperti film-film kungfu jaman dulu. Berganti Fariz, dia ‘menyerang’
aku dengan posisi ‘menyingkap tirai’. Begitu bersemangat mereka berdua menyetubuhiku.
Memastikan aku kalah, karena keluar duluan. Aku sendiri sudah hampir kewalahan,
meski berusaha untuk bertahan.
“Dra, nih
yang namanya jurus ‘lotus bersemi’. Posisi favorit gue, biar nusuknya nambah
dalem.”
“Nih Riz,
namanya posisi ‘membelah bambu’, bikin cewek cepet keluar.”
Cuma itu saja
yang terakhir kudengar. Sisanya aku merasa terus saja dibolak-balik oleh
mereka. Apalagi frekuensi genjotan keduanya semakin kencang. Begitu tusuk
langsung genjot, begitu tusuk langsung genjot. Itu belum lagi pada beberapa
posisi, dilakukan sambil meremas-remas payudara. Habis bukit kembarku
diperas-peras oleh mereka. Enak sih rasanya, cuma benar-benar menguras
staminaku. Mereka sih enak bisa ganti-gantian.
“AAHHH,
AAHHH, AAHHH...”
“OOHHH,
OOHHH, OOHHH...”
Desahan dan
lenguhan, berganti teriakan. “AAAAAHHHH...!!!”
Aku
mencapai klimaks. Sebuah orgasme yang dahsyat.
Sepertinya
baik Fariz dan suamiku tidak menyadari hal itu. Terus saja mereka lanjut menggenjot,
meremas, menghisap, mengulum, dan menjilat. Tidak ada satu jengkal pun yang
luput. Aku pun tidak berusaha memberitahu mereka. Aku ingin merasakan multi-orgasme. Sesuatu yang sudah lama
tidak aku rasakan. Sempat blank aku
beberapa saat. Kesadaran kembali, ditengah genjotan yang terus berlanjut.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Aahhh,
aahhh, aaahh...”
Desahan
juga keluar dari mulut Faris dan suamiku.
“Memek
istri lu, Dra. Memek istri lu. Gue entot nih istri lu!” Fariz merancau. Dia menekankan
sekali kata ‘istri’. Mungkin itu memberi stimulus untuk otaknya. Bagi lelaki,
bisa menyetubuhi istri temannya adalah sebuah kebanggaan. Paling tidak itu yang
sering kudengar dari gosip rekan kantor. Suamiku sendiri hanya
tersenyum-senyum.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...” Mulai desahan keluar lagi dari mulutku.
Entah
sudah berapa lama aku disebutuhi, kembali tubuhku mengejang. Syaraf-syaraf otak
seperti kelebihan beban. Dan lenguhan panjang pun menyusul kemudian. Orgasmeku
yang kedua.
Suami ganti
menggenjot, Fariz mengangkang di atas wajahku. Dia menyodorkan penisnya untuk
aku kulum. Kuikuti saja maunya. Tak lama, kurasakan sesuatu yang hangat
membanjiri mulutku. Fariz orgasme. Hampir aku tersedak dibuatnya. Terpaksa
sedikit diantaranya aku telan, agar aku tidak sampai terbatuk. Beruntung Fariz
segera menarik penisnya, dan menumpahkan sisa sperma di wajahku. “Croot, croot,
croot...”
Tidak
lama, sensasi hangat yang sama aku rasakan di perut. Artinya suami berejakulasi
di sana. Kalau melihat waktunya, sangatlah tipis. Sulit ditentukan siapakah
yang ‘keluar’ duluan.
Berdua
mereka ambruk bersamaan. Di sisi kanan dan kiriku. Terdengar deru nafas mereka
begitu cepat. Deru nafasku pun sendiri tidak kalah cepat. Kami bertiga seperti
habis lomba lari maraton. Kelelahan, tetapi penuh kepuasan.
“Makasi
ya sayang...” Suara suamiku yang terdengar lebih dahulu. Semula dia ingin
mencium bibirku, tetapi melihat ada lelehan sperma dia batalkan niat. Pandanganku
agak muram, mungkin karena kelopak mata terkena juga.
Tertawa dia
melihat keadaan wajahku saat itu. Dia ambil handuk, dan membantu membersihkan
wajahku. Begitu pula dengan perutku. Setelah bersih, baru aku sadari Fariz sedang
tertawa-tawa kecil. “Sorry, sorry, Dit. Nggak sadar kalau keluarnya
banyak.” Langsung aku tepuk pundaknya.
Tawa
Fariz malah makin kencang.
“Seks
terbaik dalam hidup gue nih!” Fariz berseru. “Thanks, buat kalian berdua.”
Fariz
kemudian memelukku, lalu memeluk suamiku.
“So, siapa nih yang nraktir makan besok?”
Bertanya Fariz padaku, yang didaulat sebagai juri.
“Bayar dewe-dewe,” sahutku mantap. Tidak mau
memihak siapapun.
Dua
lelaki itu pun tertawa bersamaan. “Fair
enough.” Mereka sepakat.
Habis itu
aku pamit ke kamar mandi. Membasuh diri dengan lebih bersih. Saat itulah aku dapati
lelehan sperma keluar dari vagina. Artinya tadi ada yang keluar di dalam. Apakah
suamiku atau Fariz? Seingatku keduanya ngeluarin
di luar deh. Segera kusemprot pakai shower
hingga bersih. Semoga tak sempat membuahi rahim, karena aku dalam masa subur. Saking
terlenanya aku lupa ingatkan mereka pakai kondom.
Terlihat
dipantulan kaca kondisiku awut-awutan.
Tidak lama suami masuk ke kamar mandi. Dia bilang mau pipis. Tersenyum dia melihat
wajahku yang memerah. Pasti akibat dua kali orgasme nih, pikirku.
“Gimana
Ma? Enak nggak?” Ucapnya, sambil pipis di toilet.
“Enak,”
sahutku singkat.
“Kalau
lanjut ronde kedua masih kuat nggak?” Suamiku nyengir.
“Nggak
kebalik tuh? Papa ama Fariz masih kuat nggak?”
Suamiku
tertawa. Dia tahu aku tidak begitu mudah ditaklukkan di ranjang.
Keluar
dari kamar mandi, kudapati Fariz berbaring di ranjang, dengan penis mengacung.
“Come to Papa,” begitu katanya. Memberi
kode, agar vaginaku mendekat. Tertawa aku dibuatnya.
Ronde
kedua pun dimulai. Sama seperti ronde pertama, hanya perputaran posisinya lebih
halus. Sempat pula aku ada di atas. Menggoyang dua penis bergantian. Kubuat
keduanya merem-melek keenakan. Dan yang paling penting, kini rahimku dilindungi
kondom.
Ronde
berikutnya, hanya aku dan Fariz yang bermain. Suamiku hanya jadi penonton,
sekaligus cameraman. Iya, dia pakai
ponselku untuk merekam. Sehabisnya, kami bertiga nonton bersama-sama. Ngakak kulihat
ekspresi wajah sendiri. Kompak Fariz dan suamiku menyebutnya ‘bokep face’. Cantik, sekaligus bikin
nafsu. Habis menonton aku hapus rekaman itu. Takut jadi skandal ‘lautan asmara’
jilid kedua. Takut ‘merusak’ mental generasi muda bangsa.
Kemudian
kami tidur satu ranjang bertiga. Masih tetap berbugil ria. Semula Fariz ingin pindah
ke kamarnya, namun niat itu dia batalkan. ‘Enggan dia melepas kehangatan
tubuhku. Meski dia harus membaginya dengan suamiku.
“Selamat
tidur, papa.”
“Selamat
tidur, mama.”
“Selamat
tidur, Fariz.”
“Selamat
tidur, Dita.”
Lampu
mati dan kami pun terlelap.
Aku harus
menyiapkan tenaga, karena besok dua lelaki ini pasti akan minta jatah lagi. Bahkan
mungkin sejak sedari pagi.
***
Empat hari
setelahnya, aku sudah selesai berias dan siap berangkat kerja. Suamiku entah berada
di mana. Tadi waktu bangun, dia sudah tidak ada di sebelahku. Aku telepon,
tetapi ponselnya tidak aktif. Itu artinya aku yang harus mengantar si kecil.
Tiba-tiba
terdengar suara ketukan. Tumben nih ada yang mengetuk pintu. Biasanya kalau
suami atau si kecil main masuk saja. Si mbok tidak mungkin, pasti dia ada di
dapur. Lalu aku beranjak ke pintu. Saat kubuka cukup bikin kaget, karena di
sana berdiri Fariz.
“Pagi
Dit,” dia menyapa.
“Pagi
Riz. Ada apa nih pagi-pagi?”
Belum
sempat Fariz menjawab, muncul suamiku. Ternyata tadi pagi-pagi sekali dia
menjemput Fariz di hotel.
“Ma, ini
Fariz mau pamitan dulu sama mama.” Suamiku nyengir.
Setelah
dijelaskan barulah aku mengerti. Ternyata suamiku akan mengantar Fariz ke bandara,
setelah mereka ketemu klien pagi ini. Namun, sebelum itu Fariz minta ijin ke
suamiku. Ijin buat bertemu aku. Maksud dari ‘pamitan’ tadi adalah quicky sex. Lagi-lagi mereka menyusun
rencana tanpa persetujuan aku.
“Mama sih
nggak masalah Pa, cuma nanti telat ngantor gimana? Kan mama musti nganter adek
dulu ke sekolah.” Aku berbisik ke suami.
“Adek
biar papa yang nganter sama Fariz. Kan searah tuh sama kantornya klien.”
Setelah
dibujuk suami, akhirnya aku setuju. Punya suami kok hobi banget sih ngeliat istri di-ewe cowok lain, menggerutu aku dalam hati. Masalahnya aku sudah rapi,
kalau musti ‘gituan’ lagi, ntar musti berberes lagi. Namun, sekali lagi karena
permintaan suami, aku tetap mengiyakannya. Dengan syarat, nggak pakai acara buka pakaian. Kurang baik apa coba aku sebagai
istri.
Suami
menutup pintu. Aku dan Fariz melangkah ke depan meja rias. Biasanya di sana
juga aku dan suami melakukan quicky sex.
Fariz lagi-lagi melengos, waktu aku sodorin kondom. Biar nggak belepotan
maksudnya. Kan Fariz cukup croot di
kondom saja, tidak perlu persiapan tissue
segala. My vagina, my rules. Akhirnya dia pun mengalah.
Melihat
perdebatan itu, suamiku hanya tersenyum-senyum.
Fariz
melepaskan pakaian bawah, lalu memasang kondom. Sementara aku melepas celana
dalam, dan menaikkan ujung rok. Aku kira Fariz akan langsung memasukkan penisnya.
Ternyata dia jilati dulu vaginaku, sambil jongkok. Memastikan kalau lubang
kenikmatan itu sudah terlumasi dengan baik. Barulah sehabis itu dia putar
posisi tubuhku. Menungging, siap dimasuki.
“Aaahhh...”
Penis Fariz lancar memasuki diriku.
Aku
pegang erat tepi meja sebagai tumpuan, begitu Fariz mulai menggenjot. Aku lihat
suami sudah melepas celananya juga. Mulai dia mengocok penisnya sendiri. Kuberi
kode dirinya untuk mempersiapkan tissue,
biar tidak keburu muncrat nanti. Dia pun menurut.
“Sering
ginian kalian pagi-pagi, Dit?” Bisik Fariz.
“Lu-lumayan,
ka-kalau lagi pe-pengen...” Suaraku jadi sedikit terbata, karena kecepatan
genjotan Fariz mulai meningkatkan.
“Thanks loh Dra, gue boleh ngentotin
istri lu pagi-pagi...” Fariz mengalihkan pandangannya ke suamiku. Sambil terus
mengocok, suami mengacungkan jempolnya. Lagi-lagi Fariz menekankan kata ‘istri’.
Sadar tak
punya banyak waktu, genjotan Fariz makin kencang. Kencang dan terus mengencang.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...” Dia mendesah-desah keenakan.
Dan tak
lama, Fariz mengejang, lalu mengerang. Sepertinya dia sudah ejakulasi, karena
penisnya terasa perlahan mengecil. Dia pun mencabut penisnya. Suamiku sendiri
belum klimaks. Namun, melihat kami
sudah selesai segera dia pakai lagi celananya. Aku dan Fariz menyusul berberes.
Sekali lagi Fariz mengucapkan terima kasih, atas ‘pelayanan’ kami.
Cupika-cupiki, kemudian kami
bertiga turun ke ruang tamu.
“Ma, Ma,
liat deh, adek dikasi baju sama Om Fariz.”
Aku
tersenyum. Kuiyakan kata-kata anakku, dan menyuruh disimpan dulu di lemari. Biarlah
si kecil menikmati hadiah-hadiah pemberian tersebut. Tanpa dia perlu tahu, apa
yang terjadi antara mamanya dan Om Fariz.
“Bulan
depan kayaknya Agnes mau ke Indonesia. Lu jagain istri gue baik-baik ya, Dra.”
Fariz mengerling nakal, yang disambut dengan senyuman oleh suami.
Aku
sendiri sudah tahu itu. Bahkan, diam-diam aku sering kontak dengan Agnes. Kami
sudah punya rencana, sekaligus rahasia berdua.
Suamiku,
Fariz, dan si kecil pun berangkat. Melambai aku melepas kepergian mereka. Saat
aku melangkah ke mobil, ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Dari
Agnes.
“Udah fix, doi bakal ikut gue ke Indonesia.”
Begitu isi pesannya.
Tersenyum
aku membacanya. Nanti sajalah di kantor aku balas.
.
Akhirnya update juga ya kak, abis aku sindir di twitter tulisan kategori jarang update 😂
BalasHapusCrot banget dit, next ditha kena gangbang dibelakang suaminya. Hehe
BalasHapusBagi twitter dong
BalasHapusBagi akun twitternya dong
BalasHapusDitunggu sekuel nya kakak, atau lanjutan diary pramugari dulu juga boleh..hehehe..
BalasHapus