Sabtu, 14 April 2018

Dua Lelaki


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sudah hampir sepuluh menit aku duduk di ruang tunggu bandara. Di kedatangan internasional, tepatnya. Malam itu ramai sekali. Di layar informasi penerbangan, terlihat kalau ada tiga pesawat landing berbarengan. Salah satunya pesawat yang ditumpangi Fariz. Dia datang dari Malaysia. Sebenarnya kedatangan dia terkait bisnis dengan suamiku. Namun, Fariz minta ke suamiku agar aku yang menjemput. Bisa langsung kutebak maksud permintaannya itu.
Duduk sendiri, ada saja satu dua lelaki yang iseng menyapa. Biasalah sok kenal sok deket. Aku senyumin saja. Untungnya mereka tak bertingkah aneh-aneh. Rombongan penumpang pun mulai berdatangan. Beranjak aku dari kursi untuk mendekat. Tidak lama, terlihat sosok Fariz melambai ke arahku. Aku pun balas melambai.
“Makasi banget loh Dit, mau repot-repot jemput.” Fariz tersenyum. Dia lalu mencium pipi kanan dan kiriku.
“Nggak apa-apa,” sahutku singkat.
“Hendra nggak ikut?” Jelas ini adalah pertanyaan retoris. Kan mereka sudah kontak sebelumnya. Mungkin juga ingin memastikan. Aku jawab dengan gelengan kepala.
Kemudian kami sudah berkendara dalam mobil. Fariz menawarkan diri untuk menyetir. Kupikir akan langsung ke hotel, ternyata dia ngajak mampir. Ke sebuah cafe punya teman buat ngilangin jetlag, kata Fariz. Suami sempat menelpon aku. Menanyakan apakah aku sudah bertemu Fariz. Aku serahkan saja telepon ke Fariz, agar mereka bisa berbincang.
Cukup lama aku dan Fariz ada di cafe tersebut. Padahal kami hanya memesan kopi dan camilan kecil. Fariz menyerahkan kotak berukuran sedang. Katanya oleh-oleh untuk anakku. Seperangkat miniatur superhero dan mainan lego. Si kecil pasti kegirangan melihatnya. Berikutnya, Fariz lagi menyodorkan kotak berukuran lebih kecil. Isinya jam tangan berlapis emas. Kali ini aku tolak, karena tahu harganya pasti tidak murah. Fariz terus memaksa, dan aku pun menyerah. Melalui hadiah tersebut, secara tersirat Fariz minta ‘service’ lebih dariku.
Kami kemudian meninggalkan cafe. Kali ini mobil melaju menuju sebuah hotel. Aku antar Fariz sampai ke kamar. Terlontar permintaan ‘service’, yang sudah kuterka sebelumnya. Meski sudah menerima hadiahnya, tidak mau aku membuatnya terlalu mudah.
“Sudah punya SIM nggak?” Tanyaku jail.
Dahi Fariz berkerut. “SIM?”
“Iya, surat ijin meniduri.”
Mendengar itu Fariz langsung tergelak. Aku sendiri tersenyum lebar. Fariz langsung mengambil ponsel. Kulihat dengan lincah dia memencet keypad. Dia sedang berkirim-kirim pesan singkat. Selang satu menit, Fariz menyodorkan ponsel itu padaku. Dan kembali aku tersenyum membaca tulisan yang ada di layar. Nomor yang tertera adalah nomor suamiku. Kemudian bibir Fariz pun mendarat mulus di bibirku. Begitu pun saat mendarat di telinga dan leher. Dengan lancar pula dia merebahkan tubuhku ke ranjang. Dihujaninya aku dengan kecupan.
“Mandi dulu ah. Malu ama badanmu yang wangi banget.” Fariz tersenyum. Aku ikut tersenyum.
Beranjak lalu Fariz dari atas tubuhku. Dengan santai dia mulai menelanjangi diri. Dilakukan itu dihadapan aku, tanpa malu-malu. Bisa dilihat kalau Fariz sangat bangga dengan postur tubuhnya. Mungkin pula dengan bentuk penisnya. Penis yang pernah dia hujamkan ke vaginaku.
Masih bertelanjang ria, Fariz mengambil sesuatu dari koper. Dia sodorkan aku sebuah tas kertas. Terlihat merek sangat terkenal di tas tersebut. Saat kubuka ternyata isinya lingerie seksi.
“Dipakai ya,” Fariz mengerling, lalu melangkah ke kamar mandi.
Tidak lama terdengar suara dendangan dari dalam, di sela gemericik air. Turun aku dari ranjang, dan mulai menelanjangi diri. Berganti dengan lingerie, yang diberikan Fariz. Warnanya merah terang. Bahan dari sutera tipis penuh renda. Sama sekali tidak menutupi apa-apa. Ujung bawah hanya tiga senti dari area intim. Tak dilengkapi bra, hanya celana dalam (panty) mungil. Teramat sangat mengundang birahi.
Oh my God!” Seru Fariz begitu keluar. Masih terbalut handuk. Tidak kuasa aku menahan tawa, melihat ekspresinya. “You’re so sexy!
Fariz bergegas mendekat, lalu membopong aku ke ranjang. Dia hempaskan tubuhku. Disusul dia hempaskan tubuhnya sendiri. Kami tertawa, karena berdua jadi terpantul naik turun. Dilumatnya lalu bibirku, sambil meremasi payudara. Tali pundak lingerie dia turunkan, saat mulai mengulum si bukit kembar. Kanan dikulum, kiri diremas. Begitu pula sebaliknya. Tak hanya meremas dan mengulum, dia juga sapukan lidahnya di bagian aerola. Tidak kuat aku untuk tidak mendesah. Permukaan payudara jadi basah karena liur Fariz.
“Jangan dimerahin...” rintihku pelan.
Uupss...” Terdengar suara Fariz. Terlambat, cupang sudah menghiasi payudara kanan.
Aku tepuk pundak Fariz. Dia terkekeh. Kuminta dia tidak mengulanginya lagi. Dia mengangguk. Lanjut dia ‘nikmati’ kembali payudaraku, yang memang bagian favoritnya. Layaknya bayi besar yang sedang kelaparan. Dia sedot-sedot putingku dengan penuh nafsu.
Setelah itu, Fariz melolosi lingerie itu dari tubuhku. Entah kenapa tadi dia minta aku pakai, kalau ujungnya dilepas juga. Kadang aku tak mengerti dengan fantasi lelaki. Kini tinggal celana dalam yang tersisa. Fariz tersenyum, ketika mendapati kain super mungil itu basah. Dia menarik lepas handuk yang membelit tubuhnya. Mengacunglah batang penis miliknya.
Seperti biasa sebelum bersetubuh, Fariz selalu minta dikulum. Begitu diberi kode, penisnya pun amblas dalam mulut. Hanya saja, kali ini tidak lama. Mungkin Fariz takut keburu keluar. Begitu penis itu terlepas, Fariz mengatur posisiku mengangkang. Aku sodorin Fariz sebungkus kondom. Sambil melengos, dengan berat hati dia memasangnya.
“Aaahhh...” Kelamin kami bersatu. Dimana si panty mungil masih terpasang.
Dan segera saja tubuhku berguncang, di bawah tindihan Fariz.
Berikutnya, tahu sendirilah yang terjadi. Tubuh kami makin basah oleh keringat, setelah dua tiga kali berganti posisi. Fariz menyetubuhi aku dengan sekuat tenaga. Tidak ada tanda-tanda bekas jetlag. Langsung tancap gas dari menit pertama. Biasanya ritme seperti ini bikin laki-laki cepat terkuras. Akibatnya durasi jadi berlangsung singkat. Tapi, beda dengan Fariz. Staminanya tetap stabil. Mungkin sudah minum obat kuat sebelumnya?
Kudapati orgasme, di tengah genjotan Fariz yang datang bertubi-tubi. Sepertinya dia tahu itu. Si panty sampai basah kuyup, terkena cairan cintaku.
Selang beberapa menit, Fariz menarik penisnya. Sambil memegangi batang penis, bergegas dia berpindah. Dia arahkan ujung penisnya ke wajahku. Sadar kalau Fariz mulai mengocok, segera aku menutup mata. Dan tidak lama, kurasakan semprotan demi semprotan mengenai kulit wajah. Tetap aku terpejam sampai yakin sudah berhenti.
Kudapati Fariz tersenyum saat aku membuka mata. “Makasi ya,” begitu kata dia.
Secepat kilat aku turun dari ranjang, dan berlari ke kamar mandi. Aku kurang suka kalau wajah dilumuri sperma, apalagi sampai kena rambut. Lengketnya bikin sebel. Terpaksa aku pasrahkan hari itu, ketimbang disetubuhi tanpa kondom.
Usai membersihkan diri, aku mendongak ke luar. Kulihat Fariz sudah terbalut handuk, berdiri di teras sambil merokok.
“Aku langsung mandi aja nggak apa-apa ya?” Meminta persetujuan, sekalian memastikan kalau kami tidak akan bersetubuh lagi.
Fariz mengangguk. Memang begitu tadi kesepakatannya. Kami hanya akan melakukannya sekali malam itu. Soalnya besok aku masih bekerja, jadi tidak bisa menginap. Tetapi, namanya laki-laki kalau soal selangkangan kadang suka ingkar. Kalau pun Fariz minta nambah, aku tak keberatan. Mengingat suamiku dan istrinya, malah lebih sering bertemu ketimbang kami.
Setelah mendapatkan persetujuan, maka aku pun lanjut mandi.
“Tapi Minggu nanti kosongin jadwal ya Dit, aku mau seharian sama kamu.” Fariz mengingatkan, ketika aku sibuk mengeringkan rambut.
Terpaksa aku meminjam hairdryer, karena tadi musti keramas gegara sperma. Fariz yang berdiri di belakang mulai usil tangannya. Dia melepas kaitan handuk, sehingga melorot jatuh ke lantai. Berhadapan kami melalui pantulan cermin, sementara dia meremasi payudaraku. Kubiarkan saja dan terus mengeringkan rambut. Bangga dia dengan bercak merah, akibat cupangan tadi.
Kemudian aku berpakaian. Fariz minta aku tinggalkan lingerie dan panty yang tadi aku pakai. Katanya buat teman tidur malam ini, karena ada bekas aroma tubuhku. Aku iyakan permintaan itu. Toh, yang membelikan kan Fariz juga.
Kami pun berpisah dengan berciuman mesra.
***
Sampai di rumah, aku langsung disambut oleh suami. Tumben dia menunggui aku sampai selarut ini. Sampai pakai acara membukakan pintu mobil. Tersenyum aku melihat tingkahnya. Mungkin sekarang ada rasa penasaran, sekaligus cemburu. Sama seperti aku, ketika tahu dia tidur dengan Agnes. Kutanya keadaan si kecil, yang ternyata sudah tidur. Termasuk bertanya apakah si kecil sudah bikin PR.
“Mama tadi diapain aja sama Fariz?”
Serius? Begitu sampai aku tanya soal anak, eh dia malah tanya soal itu. Dasar laki-laki. Sengaja tidak aku jawab, agar dia makin penasaran. Diikutinya terus langkahku sampai kamar.
Duduk aku di tepi ranjang. Suami jongkok, membantu aku melepas sepatu. Memang lucu sekali tingkah suamiku itu. Kemudian dia pijiti kakiku. Kembali aku tersenyum. “Ceritain dong, Ma...” rajuknya lagi. Sengaja kubiarkan dia memijit lebih lama.
“Daripada papa penasaran, nanti waktu mama ketemu Fariz mending papa ikut aja. Kan bisa tuh ngeliat sendiri apa yang terjadi...” Aku mengerling nakal. “Kalo mau nonton aja boleh, kalo mau ikutan main juga boleh.” Tambahku lagi.
Eh oke juga tuh idenya mama.” Suami tersenyum lebar.
Melihat tanggapan suami, celetukan iseng itu aku ganti menjadi godaan. Kuajak suami berandai-andai. Berfantasi tentang aku, suami, dan Fariz. Bagaimana aku kulum penis suami, sementara ditusuk Fariz dari belakang. Bagaimana mereka bisa gantian menggagahi aku. Dan bisa ditebak apa yang kemudian terjadi. Birahi suami terpancing. Meski baru disetubuhi, aku iyakan ajakan suami untuk disetubuhi lagi. Namanya suami yang minta, masa sih aku tolak.
Mulailah aku ditelanjangi. Dilakukan sama persis seperti ceritaku. Kecuali, diakhir dia keluarkan spermanya di dalam. Sesuatu yang memang jadi hak spesial dari suami.
***
Tiga hari berselang, sore aku sudah sampai di rumah. Sesuatu yang langka terjadi, terutama akhir bulan. Rumah kosong, hanya ada pembantu. Si kecil lagi ikut acara perkemahan sekolah, untuk mengisi liburan. Mumpung sepi, kesempatan itu pun aku pakai untuk berendam. Air hangat dan aroma terapi selalu berhasil mengusir penat. Lega sekali rasanya.
Lagi asyik berendam, ponselku berbunyi. Ternyata dari suamiku. Katanya dia lagi bersama Fariz dan bakal mampir ke rumah. Mereka akan menjemput aku, untuk makan malam bareng. Kaget aku mendengar itu. Padahal rencananya dua hari lagi baru aku ketemu Fariz. Suamiku juga tahu itu. Artinya aku harus bergegas bersiap-siap, karena suami bilang mereka sudah dekat. Segera aku keluar dari bathtub.
Terdengar suara mobil suami, ketika aku selesai memakai lipstik. Sekali lagi aku mematut diri di cermin. Aku menyambar tas, keluar kamar, dan turun ke ruang tamu. Suami dan Fariz baru saja masuk, sewaktu aku sampai di tangga terakhir. Mereka berdua melempar senyum ke arahku.
Sorry Ma, kita bikin acara dadakan.” Suami memeluk dan mencium pipiku. Untuk Fariz, kami hanya saling berjabat tangan.
Berbasa-basi sebentar, kami langsung berangkat. Pembantu sudah aku suruh pulang, karena toh kami sudah makan di luar. Pulangnya pun mungkin sampai larut malam.
Di mobil aku duduk di belakang. Suami yang memegang kemudi, asyik ngobrol dengan Fariz. Sepertinya masih membahas proyek yang sedang digarap. Sesekali aku ikutan nimbrung dalam obrolan, bila ada hal yang aku mengerti. Setengah jam, kami sampai di sebuah restoran bergaya Eropa. Pasti pilihannya suami. Beberapa kali aku pernah diajak ketemu klien di tempat itu.
“Agnes titip salam Dit, sorry katanya nggak bisa ikut ke Indonesia,” Fariz berujar, selesai kami memesan makanan.
“Nggak apa-apa, kita udah sempet chat kok.”
“Dia bilang apa?”
“Cuman nyuruh aku ‘jagain’ suaminya baik-baik.”
Mendengar itu Fariz dan suamiku tertawa. Begitu pula diriku. Habis selama ini kan kami kerap ‘berbagi’ suami. Entah yang dimaksud dia itu ‘suami’ yang mana.
Kemudian giliran suami yang berujar. “Oya Ma, soal yang kita sempet bahas beberapa hari lalu udah papa sampein ke Fariz, dan dia fine-fine aja dengan itu.”
“Soal yang mana ya, Pa?”
“Itu loh soal papa sama Fariz ‘gituin’ mama barengan.”
Aku tertawa kecil. “Serius kalian ngebahas itu?”
Tanpa komando, keduanya kompak mengangguk.
“Kamu sendiri serius nih Dit, mau threesome?” Fariz menatapku serius.
Why not, kalo suami tercinta mengijinkan...” Bergelayut manja aku di lengan suami. Kulempar senyuman ke arahnya. Terlihat ada guragat cemburu di wajah Fariz.
Berpaling lalu Fariz ke arah suamiku. “So, gimana Dra? Kita realisasikan?”
Dijawab oleh suami dengan anggukan mantap.
Fariz mengusulkan hotel tempatnya menginap. Ranjangnya gede empuk, kata dia sambil tertawa kecil. Dia mengangkat ponsel dan menelepon resepsionis. Tidak lama, dia mengangkat jempol, tanda kalau kami sudah dapat kamar. Selesai mengurus pembayaran, kami keluar dari restoran. Berkendara kemudian menuju hotel tujuan.
***
Sampai di kamar, Fariz mengajak kami santai dulu. Dia tadi memesan sampanye, diajaknya kami minum untuk lanjut ngobrol. Biar suasana lebih rileks, kata dia. Selang beberapa waktu, barulah kami bertiga naik ke ranjang. Rada kikuk juga sih awalnya, diapit dua lelaki, meski keduanya sudah pernah tidur denganku. Aku ikuti saja insting dan biarkan saja semuanya mengalir.
Dimulai berciuman dengan Fariz di kiri, lalu suami di kanan. Di sela ciuman, Fariz menurunkan tali dress dari pundak. Ditariknya turun. Dengan lincah dia menarik lepas pula kaitan braku, lalu mulai meremas payudara kiri. Sementara itu suamiku meremas yang kanan. Sensasi remasan dua tangan seperti itu, ternyata berbeda rasanya. Jauh lebih mendebarkan. Padahal rangsangan baru sampai di bagian atas. Bagaimana kalau sampai tiba bawah.
“Sumpah, istri lu hot banget, Dra. Beneran.” Fariz berujar, masih terus meremasi payudaraku. “Your wife is a goddess.”
Suamiku tersenyum bangga. Begitu pula dengan diriku.
Kedua lelaki itu lalu kompak menanggalkan pakaian. Menyisakan hanya celana dalam. Kompak pula keduanya merebahkan aku. Tanpa instruksi, Fariz menyerang payudara kananku. Dikulumi dengan penuh gairah. Sementara suami menekuk kakiku, mulai menciumi betis dan paha. Dobel rasa geli nikmat mendera tubuh. Menerjang syaraf otak. Begitu pula saat Fariz mulai menggilir puting payudaraku. Kanan dan kiri. Ditambah suami yang mulai menjilati bagian intimku. Meski masih tertutup celana dalam, tetapi tidak mengurangi rasa nikmatnya. Mengingat kain mungil itu bahannya sangat tipis.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Sshhh, sshhh, sshhh...”
Mendesah aku tak henti-henti. Bergelinjang dalam terjangan sensasi penuh birahi.
Melihat aku mulai ‘basah’, secara serentak suamiku dan Fariz berganti posisi. Sekarang suamiku yang atas, Fariz yang bawah. Celana dalamku dilepas Fariz, agar lebih mudah memainkan lidah.
Salut aku dengan ‘kerja sama’ keduanya. Pantas saja dalam bisnis mereka bisa terlihat kompak. Selang beberapa menit mereka lalu berdiri. Bersamaan melorotkan celana dalam. Aku sendiri dalam posisi bersimpuh. Di kanan dan kiriku kini mengacung dua penis. Sama-sama besar dan keras. Persis seperti pada film-film bokep yang biasa aku tonton.
Tanpa disuruh aku pegang kedua penis itu. Aku urut-urut pelan, sambil melempar senyum nakal. Suamiku dan Fariz ikut tersenyum. Perlahan kedua penis mulai memanjang. Dan mulai lalu aku mengulumnya bergantian. Berusaha aku lakukan itu sama rata. Sempat sesekali aku masukkan keduanya dalam mulut. Meski hanya muat ujungnya saja. Sungguh pekerjaan multi-tasking yang benar-benar butuh konsentrasi.
“Sshhh, sshhh, sshhh...”
“Sshhh, sshhh, sshhh...”
Giliran suamiku dan Fariz yang mendesah-desah. Terlihat sekali keduanya menikmati kuluman tersebut. Membuat aku makin percaya diri. Mengingat aku belum pengalaman melakukan itu.
Berganti posisi, kini suami terlentang. Aku nungging sambil lanjut mengulum penisnya. Fariz ada di belakang, bersiap untuk memasukkan penisnya. Suamiku memberinya kesempatan untuk menyetubuhi aku lebih dulu. Dan masuklah penis Fariz ke vaginaku. Mulai dia menggenjot. Dia mengawalinya secara perlahan. Sedangkan penis suami masih terus aku kulum.
“Mmmhh, mmmhh, mmmhh...” Desahanku tertahan penis suami. Sementara di belakang, Fariz mulai meningkatkan intensitas genjotan.
Suami minta aku untuk menghentikan kuluman. Kami kemudian berciuman.
“Enak nggak Ma?” Tanya suami. Aku hanya mengangguk, sambil berusaha menahan desahan.
Tersenyum suami melihat ekspresiku saat itu. Cantik banget, kata suami. Terdengar tawa kecil Fariz, menimpali kata-kata suami. Dia setuju kalau wajahku jadi makin cantik waktu digenjot. Tak kuasa aku menahan senyum. Aku anggap saja itu pujian.
Beranjak suami dari posisi terlentang. Beberapa saat, dia hanya memandangi aku yang sedang disetubuhi Fariz. Terlihat kepuasan di wajahnya. Mungkin dia senang akhirnya fantasinya bisa terwujud. Barulah kemudian suami menyodorkan kembali penisnya. Mendorongnya masuk ke mulutku. Mulai menggoyangkan pinggul, seperti sedang menyetubuhi. Kini dua lelaki sedang menggenjot aku bersamaan. Depan dan belakang. Tak bisa digambarkan sensasi yang kurasakan.
Berganti posisi kembali. Kini penis suami yang menghujami vaginaku. Penis Fariz ada dalam kuluman mulutku. Sama seperti Fariz, sesekali suami juga menampar pantatku.
“Dra, yang keluar duluan traktir sarapan ya,” ujar Fariz.
“Siapa takut. Makan siang kalau perlu sekalian.”
Sialan, aku dijadiin bahan taruhan nih. Tapi, seru juga sih, hitung-hitung mengukur siapa yang tahan lebih lama. Cuma kata-kata setelahnya yang bikin sebel. “Tapi kalo nanti Dita yang keluar duluan, dia yang musti nraktir kita, Dra.” Fariz terkekeh.
Aku cabut penis Fariz dari mulut. “Dasar, taruhan sih taruhan, tapi jangan pake nyeret-nyeret aku dong.” Protes aku lancarkan, yang ditanggapi tawa oleh keduanya.
Berganti posisi lagi. Kompetisi pun dimulai. Terlentang aku di ranjang. Keduanya lalu suit untuk menentukan giliran pertama. Seperti dagelan bocah. Geli aku melihat itu. Gunting, batu, kertas. Gunting, batu, kertas.
Diputuskan suamiku yang memulai duluan. Maka suami mengangkat kakiku ke pundaknya. Dia memasukkan penisnya dan mulai menggenjot. Satu menit, waktu yang diberi kepada masing-masing, sebelum ganti giliran. Sementara menunggu, Fariz mengulum dan menjilati payudaraku.
Satu menit berlalu, gantian Fariz menggenjot vaginaku. Masih dengan posisi missionaris.
Suami mendapat giliran, dia menggenjot aku dengan posisi miring. Suami menyebutnya posisi ‘gunting’. Layaknya pendekar, setiap kali ‘menyerang’ mereka menyebut nama jurusnya. Seperti film-film kungfu jaman dulu. Berganti Fariz, dia ‘menyerang’ aku dengan posisi ‘menyingkap tirai’. Begitu bersemangat mereka berdua menyetubuhiku. Memastikan aku kalah, karena keluar duluan. Aku sendiri sudah hampir kewalahan, meski berusaha untuk bertahan.
“Dra, nih yang namanya jurus ‘lotus bersemi’. Posisi favorit gue, biar nusuknya nambah dalem.”
“Nih Riz, namanya posisi ‘membelah bambu’, bikin cewek cepet keluar.”
Cuma itu saja yang terakhir kudengar. Sisanya aku merasa terus saja dibolak-balik oleh mereka. Apalagi frekuensi genjotan keduanya semakin kencang. Begitu tusuk langsung genjot, begitu tusuk langsung genjot. Itu belum lagi pada beberapa posisi, dilakukan sambil meremas-remas payudara. Habis bukit kembarku diperas-peras oleh mereka. Enak sih rasanya, cuma benar-benar menguras staminaku. Mereka sih enak bisa ganti-gantian.
“AAHHH, AAHHH, AAHHH...”
“OOHHH, OOHHH, OOHHH...”
Desahan dan lenguhan, berganti teriakan. “AAAAAHHHH...!!!”
Aku mencapai klimaks. Sebuah orgasme yang dahsyat.
Sepertinya baik Fariz dan suamiku tidak menyadari hal itu. Terus saja mereka lanjut menggenjot, meremas, menghisap, mengulum, dan menjilat. Tidak ada satu jengkal pun yang luput. Aku pun tidak berusaha memberitahu mereka. Aku ingin merasakan multi-orgasme. Sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan. Sempat blank aku beberapa saat. Kesadaran kembali, ditengah genjotan yang terus berlanjut.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Aahhh, aahhh, aaahh...”
Desahan juga keluar dari mulut Faris dan suamiku.
“Memek istri lu, Dra. Memek istri lu. Gue entot nih istri lu!” Fariz merancau. Dia menekankan sekali kata ‘istri’. Mungkin itu memberi stimulus untuk otaknya. Bagi lelaki, bisa menyetubuhi istri temannya adalah sebuah kebanggaan. Paling tidak itu yang sering kudengar dari gosip rekan kantor. Suamiku sendiri hanya tersenyum-senyum.
“Aahhh, aahhh, aahhh...” Mulai desahan keluar lagi dari mulutku.
Entah sudah berapa lama aku disebutuhi, kembali tubuhku mengejang. Syaraf-syaraf otak seperti kelebihan beban. Dan lenguhan panjang pun menyusul kemudian. Orgasmeku yang kedua.
Suami ganti menggenjot, Fariz mengangkang di atas wajahku. Dia menyodorkan penisnya untuk aku kulum. Kuikuti saja maunya. Tak lama, kurasakan sesuatu yang hangat membanjiri mulutku. Fariz orgasme. Hampir aku tersedak dibuatnya. Terpaksa sedikit diantaranya aku telan, agar aku tidak sampai terbatuk. Beruntung Fariz segera menarik penisnya, dan menumpahkan sisa sperma di wajahku. “Croot, croot, croot...”
Tidak lama, sensasi hangat yang sama aku rasakan di perut. Artinya suami berejakulasi di sana. Kalau melihat waktunya, sangatlah tipis. Sulit ditentukan siapakah yang ‘keluar’ duluan.
Berdua mereka ambruk bersamaan. Di sisi kanan dan kiriku. Terdengar deru nafas mereka begitu cepat. Deru nafasku pun sendiri tidak kalah cepat. Kami bertiga seperti habis lomba lari maraton. Kelelahan, tetapi penuh kepuasan.
“Makasi ya sayang...” Suara suamiku yang terdengar lebih dahulu. Semula dia ingin mencium bibirku, tetapi melihat ada lelehan sperma dia batalkan niat. Pandanganku agak muram, mungkin karena kelopak mata terkena juga.
Tertawa dia melihat keadaan wajahku saat itu. Dia ambil handuk, dan membantu membersihkan wajahku. Begitu pula dengan perutku. Setelah bersih, baru aku sadari Fariz sedang tertawa-tawa kecil. “Sorry, sorry, Dit. Nggak sadar kalau keluarnya banyak.” Langsung aku tepuk pundaknya.
Tawa Fariz malah makin kencang.
“Seks terbaik dalam hidup gue nih!” Fariz berseru. “Thanks, buat kalian berdua.”
Fariz kemudian memelukku, lalu memeluk suamiku.
So, siapa nih yang nraktir makan besok?” Bertanya Fariz padaku, yang didaulat sebagai juri.
“Bayar dewe-dewe,” sahutku mantap. Tidak mau memihak siapapun.
Dua lelaki itu pun tertawa bersamaan. “Fair enough.” Mereka sepakat.
Habis itu aku pamit ke kamar mandi. Membasuh diri dengan lebih bersih. Saat itulah aku dapati lelehan sperma keluar dari vagina. Artinya tadi ada yang keluar di dalam. Apakah suamiku atau Fariz? Seingatku keduanya ngeluarin di luar deh. Segera kusemprot pakai shower hingga bersih. Semoga tak sempat membuahi rahim, karena aku dalam masa subur. Saking terlenanya aku lupa ingatkan mereka pakai kondom.
Terlihat dipantulan kaca kondisiku awut-awutan. Tidak lama suami masuk ke kamar mandi. Dia bilang mau pipis. Tersenyum dia melihat wajahku yang memerah. Pasti akibat dua kali orgasme nih, pikirku.
“Gimana Ma? Enak nggak?” Ucapnya, sambil pipis di toilet.
“Enak,” sahutku singkat.
“Kalau lanjut ronde kedua masih kuat nggak?” Suamiku nyengir.
“Nggak kebalik tuh? Papa ama Fariz masih kuat nggak?”
Suamiku tertawa. Dia tahu aku tidak begitu mudah ditaklukkan di ranjang.
Keluar dari kamar mandi, kudapati Fariz berbaring di ranjang, dengan penis mengacung. “Come to Papa,” begitu katanya. Memberi kode, agar vaginaku mendekat. Tertawa aku dibuatnya.
Ronde kedua pun dimulai. Sama seperti ronde pertama, hanya perputaran posisinya lebih halus. Sempat pula aku ada di atas. Menggoyang dua penis bergantian. Kubuat keduanya merem-melek keenakan. Dan yang paling penting, kini rahimku dilindungi kondom.
Ronde berikutnya, hanya aku dan Fariz yang bermain. Suamiku hanya jadi penonton, sekaligus cameraman. Iya, dia pakai ponselku untuk merekam. Sehabisnya, kami bertiga nonton bersama-sama. Ngakak kulihat ekspresi wajah sendiri. Kompak Fariz dan suamiku menyebutnya ‘bokep face’. Cantik, sekaligus bikin nafsu. Habis menonton aku hapus rekaman itu. Takut jadi skandal ‘lautan asmara’ jilid kedua. Takut ‘merusak’ mental generasi muda bangsa.
Kemudian kami tidur satu ranjang bertiga. Masih tetap berbugil ria. Semula Fariz ingin pindah ke kamarnya, namun niat itu dia batalkan. ‘Enggan dia melepas kehangatan tubuhku. Meski dia harus membaginya dengan suamiku.
“Selamat tidur, papa.”
“Selamat tidur, mama.”
“Selamat tidur, Fariz.”
“Selamat tidur, Dita.”
Lampu mati dan kami pun terlelap.
Aku harus menyiapkan tenaga, karena besok dua lelaki ini pasti akan minta jatah lagi. Bahkan mungkin sejak sedari pagi.
***
Empat hari setelahnya, aku sudah selesai berias dan siap berangkat kerja. Suamiku entah berada di mana. Tadi waktu bangun, dia sudah tidak ada di sebelahku. Aku telepon, tetapi ponselnya tidak aktif. Itu artinya aku yang harus mengantar si kecil.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Tumben nih ada yang mengetuk pintu. Biasanya kalau suami atau si kecil main masuk saja. Si mbok tidak mungkin, pasti dia ada di dapur. Lalu aku beranjak ke pintu. Saat kubuka cukup bikin kaget, karena di sana berdiri Fariz.
“Pagi Dit,” dia menyapa.
“Pagi Riz. Ada apa nih pagi-pagi?”
Belum sempat Fariz menjawab, muncul suamiku. Ternyata tadi pagi-pagi sekali dia menjemput Fariz di hotel.
“Ma, ini Fariz mau pamitan dulu sama mama.” Suamiku nyengir.
Setelah dijelaskan barulah aku mengerti. Ternyata suamiku akan mengantar Fariz ke bandara, setelah mereka ketemu klien pagi ini. Namun, sebelum itu Fariz minta ijin ke suamiku. Ijin buat bertemu aku. Maksud dari ‘pamitan’ tadi adalah quicky sex. Lagi-lagi mereka menyusun rencana tanpa persetujuan aku.
“Mama sih nggak masalah Pa, cuma nanti telat ngantor gimana? Kan mama musti nganter adek dulu ke sekolah.” Aku berbisik ke suami.
“Adek biar papa yang nganter sama Fariz. Kan searah tuh sama kantornya klien.”
Setelah dibujuk suami, akhirnya aku setuju. Punya suami kok hobi banget sih ngeliat istri di-ewe cowok lain, menggerutu aku dalam hati. Masalahnya aku sudah rapi, kalau musti ‘gituan’ lagi, ntar musti berberes lagi. Namun, sekali lagi karena permintaan suami, aku tetap mengiyakannya. Dengan syarat, nggak pakai acara buka pakaian. Kurang baik apa coba aku sebagai istri.
Suami menutup pintu. Aku dan Fariz melangkah ke depan meja rias. Biasanya di sana juga aku dan suami melakukan quicky sex. Fariz lagi-lagi melengos, waktu aku sodorin kondom. Biar nggak belepotan maksudnya. Kan Fariz cukup croot di kondom saja, tidak perlu persiapan tissue segala. My vagina, my rules. Akhirnya dia pun mengalah.
Melihat perdebatan itu, suamiku hanya tersenyum-senyum.
Fariz melepaskan pakaian bawah, lalu memasang kondom. Sementara aku melepas celana dalam, dan menaikkan ujung rok. Aku kira Fariz akan langsung memasukkan penisnya. Ternyata dia jilati dulu vaginaku, sambil jongkok. Memastikan kalau lubang kenikmatan itu sudah terlumasi dengan baik. Barulah sehabis itu dia putar posisi tubuhku. Menungging, siap dimasuki.
“Aaahhh...” Penis Fariz lancar memasuki diriku.
Aku pegang erat tepi meja sebagai tumpuan, begitu Fariz mulai menggenjot. Aku lihat suami sudah melepas celananya juga. Mulai dia mengocok penisnya sendiri. Kuberi kode dirinya untuk mempersiapkan tissue, biar tidak keburu muncrat nanti. Dia pun menurut.
“Sering ginian kalian pagi-pagi, Dit?” Bisik Fariz.
“Lu-lumayan, ka-kalau lagi pe-pengen...” Suaraku jadi sedikit terbata, karena kecepatan genjotan Fariz mulai meningkatkan.
Thanks loh Dra, gue boleh ngentotin istri lu pagi-pagi...” Fariz mengalihkan pandangannya ke suamiku. Sambil terus mengocok, suami mengacungkan jempolnya. Lagi-lagi Fariz menekankan kata ‘istri’.
Sadar tak punya banyak waktu, genjotan Fariz makin kencang. Kencang dan terus mengencang.
“Aahhh, aahhh, aahhh...” Dia mendesah-desah keenakan.
Dan tak lama, Fariz mengejang, lalu mengerang. Sepertinya dia sudah ejakulasi, karena penisnya terasa perlahan mengecil. Dia pun mencabut penisnya. Suamiku sendiri belum klimaks. Namun, melihat kami sudah selesai segera dia pakai lagi celananya. Aku dan Fariz menyusul berberes. Sekali lagi Fariz mengucapkan terima kasih, atas ‘pelayanan’ kami.
Cupika-cupiki, kemudian kami bertiga turun ke ruang tamu.
“Ma, Ma, liat deh, adek dikasi baju sama Om Fariz.”
Aku tersenyum. Kuiyakan kata-kata anakku, dan menyuruh disimpan dulu di lemari. Biarlah si kecil menikmati hadiah-hadiah pemberian tersebut. Tanpa dia perlu tahu, apa yang terjadi antara mamanya dan Om Fariz.
“Bulan depan kayaknya Agnes mau ke Indonesia. Lu jagain istri gue baik-baik ya, Dra.” Fariz mengerling nakal, yang disambut dengan senyuman oleh suami.
Aku sendiri sudah tahu itu. Bahkan, diam-diam aku sering kontak dengan Agnes. Kami sudah punya rencana, sekaligus rahasia berdua.
Suamiku, Fariz, dan si kecil pun berangkat. Melambai aku melepas kepergian mereka. Saat aku melangkah ke mobil, ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Dari Agnes.
“Udah fix, doi bakal ikut gue ke Indonesia.” Begitu isi pesannya.
Tersenyum aku membacanya. Nanti sajalah di kantor aku balas.
.

5 komentar:

  1. Akhirnya update juga ya kak, abis aku sindir di twitter tulisan kategori jarang update 😂

    BalasHapus
  2. Crot banget dit, next ditha kena gangbang dibelakang suaminya. Hehe

    BalasHapus
  3. Ditunggu sekuel nya kakak, atau lanjutan diary pramugari dulu juga boleh..hehehe..

    BalasHapus