Jumat, 13 April 2018

Kasus Hukum


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Oh gini toh rasanya meeting,” Yudhi tersenyum.
Aku ikut tersenyum. “Emang belum pernah ya?”
“Belum Kak, pernah sih diajak sama ayah tapi ujungnya keluar buat ngerokok. Pusing, denger orang ngobrol ngawur-ngidul.” Kali ini dia terbahak.
“Ya belajar dong. Kan kasihan bisnis ayahmu nggak ada yang nerusin.”
Yudhi mengangguk.
By the way. Mba Dita minggu ini ada waktu kosong nggak?”
“Memang kenapa?” Tanyaku.
“Nggak sih. Pengen ngajak makan aja, sambil ngomongin kontrak ini, masih belum bener-bener ngerti soalnya. Kalo situasinya lebih nyante kali aja bisa cepet nyantol di otak.” Lagi Yudhi tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, dia lanjutkan lagi kata-katanya. “Sebenernya cuma modus doang sih ini, biar bisa ketemu Kak Dita lagi.”
Yudhi tertawa, begitu pula aku. Ini mau modus kok blak-blakan sih.
“Boleh. Nanti kita atur aja waktunya ya.”
Kami pun bersalaman, kemudian dia berpamitan. Yudhi mulai menggantikan peran ayahnya, Pak Romi, yang sakit. Agak sulit sih, karena basic dia bukanlah ekonomi ataupun manajemen. Butuh waktu baginya untuk mempelajari, termasuk kontrak dengan tempatku bekerja. Tadi dia datang ditemani Direktur Keuangan perusahaan, serta seorang pengacara.
Aku sih tidak masalah memberikan penjelasan. Apalagi Yudhi terlihat serius untuk belajar. Dia nampak lebih dewasa, ketimbang saat terakhir kali kami bertemu. Pertemuan di lapangan futsal. Sempat tadi dia ungkit kejadian hari itu. Aku hanya tanggapi dengan senyum, sekaligus minta maaf karena aku telah berbohong. Tentang statusku, yang bukan seorang mahasiswi. Dia malah bilang salut, karena kebohongan itu sangat meyakinkan.
Meski masih kuliah, Yudhi sudah memulai karier lebih cepat. Menjadi seorang pebisnis muda.
***
Setelah hari itu, tiga kali aku dan Yudhi bertemu. Pernah sekali jalan bareng. Setiap kali ketemu, selalu aku bersiap diri untuk hal-hal di ‘luar’ bisnis. Hal-hal yang nyerempet ke arah seksual, pastinya. Mengingat awal pertemuan kami tidaklah jauh dari ciuman dan remasan. Bagi yang belum tahu, coba baca cerita yang berjudul ‘Menemani Futsal’. Begitu pula dengan hubungan bisnisku dan ayah Yudhi, Pak Romi. Berakhir dengan beradu kelamin. Dibaca saja cerita yang berjudul ‘Klien Lainnya’.
Ternyata apa yang aku duga itu tidak kunjung terjadi. Hubunganku dan Yudhi masih normal-normal saja. Pak Romi sepertinya konsisten menjaga rahasia. Oke, sesekali Yudhi melakukan flirting, tetapi itu masih sebatas normal. Seperti layaknya laki-laki muda, yang penasaran dengan wanita lebih dewasa.
Hubungan kami tidak sempat menjadi lebih dekat. Perusahaan Pak Romi mendadak diperiksa kejaksaan, terkait kasus pencucian uang. Sebuah kabar yang sangat mengejutkan. Konfirmasi mengenai hal itu aku dapat dari selembar surat panggilan. Namaku tercantum di surat tersebut. Panggilan sebagai saksi. Pada surat itu dijelaskan, kalau uang investasi Pak Romi diduga hasil money laundring. Deg-degan dong jadinya. Tidak terbayang akan ada di situasi macam ini.
“Udah Ma nanti dijawab apa adanya aja, kan mama nggak ada salah apa-apa,” suamiku berusaha menenangkan aku.
Meringkuk aku dipelukannya. Sementara suami mengelus-elus rambutku.
“Iya, tapi kan serem Pa. Nanti kalo mama salah jawab gimana?”
“Ya salah jawab satu dua soal, masih lulus kok Ma. Masih dapet nilai B.”
Mendengar itu aku daratkan cubitan di paha suami. Dia mengaduh, tapi terkekeh. Langsung saja aku pelototi dia, dengan dahi tertekuk. Suami minta maaf. Dia bilang begitu agar nggak tegang. Aku melengos, kemudian kembali meringkuk dipelukannya.
Keesokan harinya, aku mendapat telpon dari Pak Pram. Rupanya dia juga mendapat surat yang sama, cuma harinya berbeda. Dia pun mengajak bertemu. Kami janjian di sebuah cafe, sambil makan siang. Sama seperti suami, Pak Pram juga berusaha menenangkan diriku. Dia bilang aku hanya pihak yang menawarkan jasa. Soal dari mana asal dana itu, tentu aku tidak ada sangkut pautnya. Pak Pram memberi tips agar bisa tenang saat pemeriksaan. Dia juga sudah berbicara dengan Pak Romi, membentuk tim pengacara. Hal itu membuatku lebih plong.
Kembali ke kantor, ternyata Yudhi sudah menunggu aku.
“Kak, aku diminta ikut ngantar ayah ke Australia untuk berobat. Katanya lebih baik saat ini aku tidak ada di Indonesia dulu. Soal kasus, semuanya bakal diurus tim pengacara perusahaan. Ayah juga sudah menyiapkan pengacara buat Kak Dita...” Yudhi menjelaskan dengan panjang lebar.
Yudhi juga menyampaikan pesan ayahnya. Pak Romi meminta maaf, karena aku jadi ikut terlibat dalam kasus ini. Aku bilang tidak apa-apa. Aku malah berterima kasih atas bantuan hukum yang dia berikan. Yudhi bilang pula, kalau beberapa kenalan ayahnya bisa membantu, agar kasus ini tidak sampai heboh di media. Setelah membahas semua hal, Yudhi pun pamitan.
Selepas kepergian Yudhi, bergantian bos-bosku memanggil. Termasuk bagian legal perusahaan. Mereka ingin meminta penjelasan tentang kasus yang melibatkan diriku. Aku pun memaparkan pada mereka. Aku pakai momen itu untuk latihan menjawab pertanyaan. Persiapan menghadapi pemeriksaan sebenarnya. Sore harinya, pengacara yang disiapkan Pak Romi menelpon. Ditemani bagian legal, aku bertemu dengan mereka di ruang meeting kantor. Kami membahas bermacam-macam hal, yang kebanyakan tidak aku mengerti. Istilah-istilah hukum tingkat tinggi. Hari sudah saat larut saat kami selesai.
Saat berkendara pulang, ponselku berbunyi. Kaget juga melihat nama yang tertera. Segera saja aku menepikan mobil.
“Hai Dit, masih ingat aku nggak?” Suara laki-laki di ujung telepon.
“Masih dong Mas...”
Penelpon tersebut adalah Mas Riski. Bekas atasanku, yang pernah aku bahas dalam cerita judul ‘Salah Kirim’. Sekarang dia tidak lagi bekerja di bank. Dia pindah ke salah satu BUMN bidang sumber daya energi. Maklumlah koneksi dia kan petinggi-petinggi negara. Seperti sudah diduga pekerjaan di bank hanyalah untuk batu loncatan.
“Aku denger soal masalah kamu. Aku sudah kontak kejaksaan negeri. Kebetulan aku kenal sama ketuanya. Nanti bakal diatur biar kamu nggak ikut kena kasus ya Dit, tenang aja...” Tanpa aku tanya, Mas Riski nyeroscos sendiri.
Meski kurang paham soal koneksi-koneksi tersebut, tetap aku ucapkan terima kasih. Soalnya aku sendiri sudah cukup pusing. Tidak bisa lagi otakku mencerna hal-hal rumit. Aku cuma ingin masalah ini bisa cepat selesai. Sudah itu saja. Percakapan selesai, aku pun kembali berkendara.
Sampai di rumah aku disambut oleh suami. “Gimana rapatnya?”
“Pusiiing...” Sahutku singkat.
Bergelayut manja kemudian aku dipelukan suami. Dia menuntun aku ke kamar. Tanpa diminta, suami menyiapkan aku air hangat. Padahal seharian dia sudah repot mengurus si kecil. Maka saat masuk ke bathtub, aku tarik dia agar ikut bergabung. Kami berciuman mesra. Duduk kemudian aku di atas tubuhnya, dengan posisi penis tertancap di vagina. Biasa kalau lagi pusing, bercinta adalah obat paling mujarab. Suami tahu benar hal itu. Dia pun membiarkan aku nyalurin pusing sebebas-bebasnya.
***
Hari yang menegangkan itu pun tiba. Ditemani suami, setelah mengantar si kecil, aku datang ke kantor kejaksaan. Di sana sudah menunggu, wakil pengacara dan bagian legal kantor. Sebelum ada panggilan, seorang petinggi kejaksaan menghampiri aku.
“Mba Dita, temannya Pak Riski ya?” Dia menyalami aku, sambil menyebut nama panjang Mas Riski. Aku iyakan saja, entah akan membantu atau tidak. Laki-laki itu lalu menitipkan salam.
Pertanyaan yang sama juga aku dapat dari dua orang jaksa. Merekalah yang akan memeriksaku. Aku mendapat perlakuan yang sangat ramah. Benar-benar tidak sesuai dengan bayangan semula.
Di ruangan pun ternyata nggak serem-serem banget. Ruangannya bersih dan wangi. Pertanyaan yang diajukan tidak begitu rumit. Hanya seputar proses kontrak yang terjalin, antara perusahaan Pak Romi dengan perusahaanku. Mungkin ini yang dimaksud Mas Riski dengan ‘sudah diatur’. Bahkan, ujian skripsiku masih lebih seram dari ini. Waktunya saja yang lebih lama. Tidak terasa enam jam aku ada di ruangan itu.
Usai proses pemeriksaan, kembali petugas kejaksaan itu menitip salam untuk Mas Riski.
“Makan dulu yuk Pa,” aku menggandeng tangan suami ke parkiran. Suami pun senang senyuman kembali tersungging di wajahku.
Ketika di jalan, aku menerima chat dari Mas Riski. Dia menanyakan soal pemeriksaan, yang aku jawab berjalan lancar. Aku sampaikan salam dari petinggi kejaksaan yang tadi. Mas Riski hanya membalas dengan imoji cengiran. Dia lalu mengajak bertemu, kalau kasus ini sudah selesai. Kata Mas Riski sebenarnya kasus ini untuk mengincar salah satu pejabat negara. Biasalah persoalan politik. Nanti saja katanya dijelasin waktu ketemu. Maka aku iyakan saja ajakan tersebut.
Sampai di restoran, aku pesan porsi makanan lebih banyak dari biasa. Aku santap dengan kalap. Suami sampai menggeleng melihat itu. Aku julurkan lidah, lalu cuek melanjutkan makan. Stres itu menguras banyak energi.
***
Seperti dikatakan oleh Mas Riski, kasus yang aku hadapi, berakhir dengan ditangkapnya seorang pejabat. Aku sih tidak begitu mengikuti beritanya lagi. Bersyukur tidak ikut terseret-seret, karena hanya sekali saja dapat panggilan. Orang-orang terdekatku juga tidak ada yang terjaring. Meski sudah selesai, Yudhi memilih untuk tetap tinggal di Australia. Menemani sang ayah yang musti rutin berobat jalan. Soal studi akan diatur agar bisa berlanjut di sana saja. Khusus dia menelpon untuk menyampaikan hal itu. Sekalian menyampaikan salam Pak Romi.
Aku sendiri melanjutkan keseharianku. Kasus selesai, tanpa merusak kinerja perusahaan. Aku pun makin dicintai bos-bosku. Dicintai dalam arti profesional loh yah, bukan yang lain.
Sampai di suatu hari, di waktu jam makan siang. Junior-junior pada heboh. Aku heran tapi tetap cuek dalam ruangan. Palingan kantor lagi kedatangan tokoh publik. Pasti bakal pada sibuk minta fotoan. Baru selesai berberes berkas-berkas di meja, pintu ruanganku diketuk. Saat menoleh, aku melihat Mas Riski melambai ke arahku. Aku ikut melambai dan tersenyum.
Lah, dateng kok nggak bilang-bilang sih Mas,” ujarku saat dia melangkah mendekat. Kami lalu bersalaman.
“Tadi landing terus langsung survey lokasi. Kirain bakal lama, ternyata bentar banget urusannya, ya udah iseng mampir dulu ke sini...”
Kemarin memang Mas Riski ada kontak aku. Dia bilang ada kegiatan survey ke kotaku, cuma mungkin nggak bisa mampir. Dia juga bilang begitu urusan selesai musti langsung balik, soalnya dapat tiket pulang-pergi. Makanya aku kaget tahu-tahu dia nongol di kantorku. Pantas saja semua pada heboh. Pasti pada kebagian oleh-oleh jajanan, kebiasaan Mas Riski dari dulu. Aku sendiri ikut kebagian dodol dan bakpia.
“Kamu udah makan siang belum, Dit?”
“Udah Mas.”
“Yah kok udah sih...” Mas Riski merengut. Lanjutnya lagi kemudian, “Kalo gitu temenin aku nyemil dong. Males nih sendirian.”
Mengingat jasa yang telah Mas Riski berikan, maka aku mau saja ikut. Minta ijin keluar ke bos juga gampang kalau nyebut nama dia. Dia menawarkan pakai mobilnya saja. Tidak lama, kami sudah berkendara menembus kemacetan. Menimbang kondisi lalu-lintas, aku saranin cafe dekat kantor, tapi dia menolak. Katanya dia nyoba tempat makan baru, di pinggiran kota.
Disela-sela kami menikmati jajanan, Mas Riski nyeletuk, “Abis ini ngamar yuk, Dit.”
Aku tertawa kecil mendengarnya.
Ih, ketahuan nih belangnya,” godaku. Mas Riski tersipu malu.
Tipe cowok macam Mas Riski ini ya seperti itu. Sudah dapat incaran pasti tidak akan menyerah. Rasa penasaran dia padaku pasti sudah diubun-ubun nih. Dulu sengaja aku main tarik-ulur, ambil manfaat sebanyak-banyaknya. Kalau bisa sih sampai dia bosan, terus ilfil, dan nggak lagi nafsu. Namun, agaknya rasa penasaran itu tidak jua kunjung hilang.
“Abis kamu itu ngacengin banget, Dit. Beneran, sumpah...”
Kembali aku tersenyum, sambil menggeleng. “Tapi akunya lagi mens nih, Mas. Gimana dong?”
“Yaahh...” Mas Riski merengut, ditambah helaan panjang. Terlihat sekali kalau dia kecewa berat.
“Beneran nih? Bukan alasan buat nolak aku kan?”
Teringat lalu bantuan-bantuan yang pernah dia berikan, yang harus aku akui sangat membantu. Termasuk mempromosikan namaku ke teman-teman level atasnya. Beberapa diantaranya malah sukses tercapai kesepakatan. Mengingat kami tak lagi tinggal di satu kota, maka sebagai imbalan aku layani dia chat sex. Kadang melalui video call. Jadi bisa dibilang kami sudah sering bercinta, meski itu cuma di dunia maya. Kalau nanti bertemu, dia minta lebih dari melihat dadaku, itu sih sesuatu yang tidak mengherankan.
Ih beneran dong Mas, kalo nggak percaya liat sendiri deh.”
Maksud aku berkata seperti itu untuk menggodanya saja. Lah, Mas Riski nanggapin serius. Geser dia duduk merapat. Minta ijin kemudian dia menyingkap rokku. Kulirik suasana di sekitar, aman. Aku mengangguk. Ujung rok mulai terangkat, mamerin celana dalam yang kupakai. Termasuk gundukan akibat ganjalan pembalut, di antara pahaku. Tidak kuasa lagi Mas Riski menutupi rasa kecewa yang dirasanya.
“Maaf loh Mas.” Aku pasang ekspresi menyesal.
Mas Riski kembali tersenyum. Pastilah dia melihat ekspresiku itu. Menunjukkan kesediaan untuk ditiduri, cuma kondisi saja yang tidak mengijinkan. “Nggak apa-apa,” sahutnya singkat.
Usai berucap Mas Riski mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah map dia sodorkan kemudian padaku. Dia minta aku memeriksanya. Ternyata isinya perjanjian, yang pernah aku kirim. Sudah ditanda-tangani pula. Perusahaan rekanan Mas Riski, akan memakai jasa bank tempatku bekerja. Seneng banget dong. Itu artinya sampai akhir bulan bisa santai.
“Maunya sih ini buat kejutan, habis kita ‘ena-ena’.” Mas Riski tersenyum.
Langsung aku merasa tidak enak. Pasti Mas Riski kecewa banget, rencana yang dia susun tidak berjalan lancar. Mana dia cuma bisa ketemu aku sebentar saja lagi. Aku jadi berempati.
“Aku kocokin aja gimana, Mas?” Aku mengerling nakal.
“Pasti ini alternatif kalo sedeng ‘merah’, tapi suami mendadak horni kan?” Mas Riski terkekeh.
Ikut aku tertawa, lalu mengangguk.
“Boleh deh.”
Saat aku ajak beranjak dari kursi, Mas Riski menolak. Dia minta aku mengocok penisnya di sana saja. Padahal situasi bisa dibilang lagi tidak sepi-sepi banget. Tempat kami duduk memang agak tertutup. Sofa yang kami duduki tinggi, sehingga menutupi dari belakang. Demikian pula di sisi kanan dan kiri. Ada penutup berbahan kayu, dilengkapi tanaman rambat. Bagian depan yang rada terbuka, itu pun ditambah adanya sepasang muda-mudi. Malu dong kalau mereka tahu yang kami lakukan.
“Nggak apa-apa, malah seru kan. Bikin deg-degan.” Ditambahkan lagi olehnya. “Aku pikir kamu tipe cewek yang suka ngelakuin kinky stuff.” Membikin aku tertantang.
Akhirnya aku mau melakukannya. Mataku awas dengan pasangan di depan kami. Beda dengan Mas Riski yang terlihat santai. Dia buka kaitan dan resleting dengan tenang. Pamit aku sebentar guna mencuci tangan. Situasi masih aman, mulai tangan kananku merogoh masuk. Sementara di bawah meja ngocok, di atas kami seolah serius ngobrol. Perlahan penis Mas Riski menegang di telapak tanganku. Sesekali kami melirik, sambil bertukar senyum.
Meski tidak melihat langsung, bisa kurasakan penis Mas Riski cukup panjang. Diameternya juga lumayan besar. Penasaran juga aku untuk melirik. Dan benar dugaanku tadi. Boleh juga nih buat dicoba, pikiran nakalku. Seolah tahu pikiranku, Mas Riski melontarkan pertanyaan. “Gimana nih kontolku, Dit? Masuk tipe-tipe favoritmu nggak?” Barulah aku tidak ‘malu-malu’ lagi melihat bagian itu secara langsung.
“Lumayan,” ucapku, sambil mengerling nakal.
Meski terucap lumayan, Mas Riski pasti bisa menangkap maksud sebenarnya. Kalau aku tertarik dengan penisnya. Sekarang tinggal memastikan dia bisa tahan lama atau tidak. Di chat sih Mas Riski selalu membanggakan ‘senjatanya’ itu. Termasuk wanita-wanita yang pernah dia puaskan memakai penis itu. Kata dia, ingin sekali menambah namaku dalam daftar tersebut. Tidak hanya kelaminnya yang kami bahas. Kami juga membahas kelaminku. Sayang hari itu, Mas Riski tidak bisa melihatnya secara langsung.
Beberapa menit dikocok, belum ada juga tanda-tanda Mas Riski ejakulasi. Tidak mengherankan sih, mengingat pengalaman dia di dunia lendir. Biasa merasakan jepitan vagina, kocokan tangan tidak lebih ibarat camilan. Ngilangin laper sih, tapi nggak bikin kenyang. Maka aku tingkatkan level permainan. Guna memberi sedikit bumbu ketegangan. Aku jatuhkan sendok secara sengaja. Pura-pura mengambilnya, aku menunduk ke bawah meja. Itu memberi aku beberapa detik, untuk mengulum penis Mas Riski. Si pemilik penis sampai kaget.
“Sudah aku duga kalau kamu itu cewek yang penuh kejutan.” Mas Riski tertawa, begitu diriku kembali duduk. Aku ikut tertawa.
“Kalau tempatnya aman bisa aku kulum lebih lama loh, Mas.”
“Nggak apa-apa, kan aku sudah bilang kalau aku nggak buru-buru. Cewek kayak kamu pantes banget buat ditunggu.” Lagi dia tertawa.
Sekilas aku melirik pasangan di depan kami. Mereka masih sibuk dengan diri mereka. Biasalah remaja dimabuk cinta, dunia terasa milik berdua. Kesempatan itu aku pakai untuk menunduk lagi, tanpa menjatuhkan sendok. Meski singkat, berusaha kuberikan kuluman terbaik.
Kembali aku kocok penisnya di bawah meja. Lucunya kulakukan itu sambil membahas urusan bisnis. Mas Riksi minta dijelaskan layanan-layanan baru yang diberikan kantorku. Katanya biar bisa terus membantu karierku. Termasuk tawaran agar tidak sungkan menelpon, kalau nanti aku butuh bantuan dia. Sedang dikocok, tangan Mas Riski juga sibuk mengelusi pahaku. Seandainya tidak sedang mens, mungkin tangan itu masuk ke dalam rok.
“Kayaknya mau keluar nih, Dit.” Mas Riski memperingatkan.
Kocokan sementara aku hentikan. Aku ambil tissue basah dari tas. Sebagai penahan agar sperma Mas Riski tidak muncrat kemana-mana. Aku posisikan tissue di ujung kepala penis. Kupegang dengan tangan kiri, sementara tangan kanan kembali mengocok. Mas Riski sampai menggodaku, sebagai cewek pencinta kebersihan. Padahal awalnya dia minta biarin aja muncrat ke lantai.
Sela beberapa menit tambahan, penis Mas Riski pun muncrat. “CROOT, CROOT, CROOT...”
Banyak juga cairan kental yang keluar. Untung tissue tadi cukup menampungnya. Memperingati aku agar lebih waspada, kalau nanti bercinta dengan Mas Riski. Sperma sehat seperti itu rawan bikin hamil. Kuambil tissue basah lain, untuk membersihan sisa-sisanya. Barulah Mas Riski aku kasih untuk merapikan kembali celananya. Tergurat kepuasan di wajahnya.
Sehabis itu Mas Riski menyelesaikan pembayaran. Kami pun kembali berkendara balik menuju kantor. Sampai di parkiran, dia sempat lama mencumbui bibirku, sebelum kami turun dari mobil. Lengkap dengan permainan lidahnya di mulutku.
Mas Riski ikut masuk ke dalam. Katanya ada masalah yang mau dibicarain sama Direksi. Aku sendiri balik ke ruangan dan lanjut bekerja.
Menjelang sore, kembali pintu ruangan di ketuk. Mas Riski mau pamitan padaku. Tentu tahulah gaya pamitan yang dia minta. Cumbuan bibir basah.
“Lain kali kalau datang lagi, aku bakal nelpon dulu. Buat mastiin kamu ‘siap tempur’.” Bisiknya di telingaku. Yang dia maksud, tentu tidak adanya pembalut mengganjal di kelaminku.
Aku tersenyum kecil dan mengangguk. Lagi kami berciuman, sebelum berpisah. Dan kini tinggal persoalan waktu, untuk sebuah penis baru menjejali vaginaku.
.

3 komentar: