Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Oh gini
toh rasanya meeting,” Yudhi
tersenyum.
Aku ikut
tersenyum. “Emang belum pernah ya?”
“Belum Kak,
pernah sih diajak sama ayah tapi ujungnya keluar buat ngerokok. Pusing, denger
orang ngobrol ngawur-ngidul.” Kali ini dia terbahak.
“Ya
belajar dong. Kan kasihan bisnis ayahmu nggak ada yang nerusin.”
Yudhi
mengangguk.
“By the way. Mba Dita minggu ini ada
waktu kosong nggak?”
“Memang
kenapa?” Tanyaku.
“Nggak
sih. Pengen ngajak makan aja, sambil ngomongin kontrak ini, masih belum bener-bener
ngerti soalnya. Kalo situasinya lebih nyante kali aja bisa cepet nyantol di
otak.” Lagi Yudhi tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, dia lanjutkan lagi
kata-katanya. “Sebenernya cuma modus doang sih ini, biar bisa ketemu Kak Dita
lagi.”
Yudhi
tertawa, begitu pula aku. Ini mau modus kok blak-blakan sih.
“Boleh.
Nanti kita atur aja waktunya ya.”
Kami pun
bersalaman, kemudian dia berpamitan. Yudhi mulai menggantikan peran ayahnya,
Pak Romi, yang sakit. Agak sulit sih, karena basic dia bukanlah ekonomi ataupun manajemen. Butuh waktu baginya
untuk mempelajari, termasuk kontrak dengan tempatku bekerja. Tadi dia datang ditemani
Direktur Keuangan perusahaan, serta seorang pengacara.
Aku sih
tidak masalah memberikan penjelasan. Apalagi Yudhi terlihat serius untuk
belajar. Dia nampak lebih dewasa, ketimbang saat terakhir kali kami bertemu.
Pertemuan di lapangan futsal. Sempat tadi dia ungkit kejadian hari itu. Aku
hanya tanggapi dengan senyum, sekaligus minta maaf karena aku telah berbohong.
Tentang statusku, yang bukan seorang mahasiswi. Dia malah bilang salut, karena
kebohongan itu sangat meyakinkan.
Meski masih kuliah, Yudhi sudah
memulai karier lebih cepat. Menjadi seorang pebisnis muda.
***
Setelah
hari itu, tiga kali aku dan Yudhi bertemu. Pernah sekali jalan bareng. Setiap
kali ketemu, selalu aku bersiap diri untuk hal-hal di ‘luar’ bisnis. Hal-hal
yang nyerempet ke arah seksual,
pastinya. Mengingat awal pertemuan kami tidaklah jauh dari ciuman dan remasan.
Bagi yang belum tahu, coba baca cerita yang berjudul ‘Menemani Futsal’. Begitu
pula dengan hubungan bisnisku dan ayah Yudhi, Pak Romi. Berakhir dengan beradu kelamin.
Dibaca saja cerita yang berjudul ‘Klien Lainnya’.
Ternyata
apa yang aku duga itu tidak kunjung terjadi. Hubunganku dan Yudhi masih
normal-normal saja. Pak Romi sepertinya konsisten menjaga rahasia. Oke, sesekali Yudhi melakukan flirting, tetapi itu masih sebatas
normal. Seperti layaknya laki-laki muda, yang penasaran dengan wanita lebih dewasa.
Hubungan
kami tidak sempat menjadi lebih dekat. Perusahaan Pak Romi mendadak diperiksa kejaksaan,
terkait kasus pencucian uang. Sebuah kabar yang sangat mengejutkan. Konfirmasi
mengenai hal itu aku dapat dari selembar surat panggilan. Namaku tercantum di
surat tersebut. Panggilan sebagai saksi. Pada surat itu dijelaskan, kalau uang
investasi Pak Romi diduga hasil money
laundring. Deg-degan dong
jadinya. Tidak terbayang akan ada di situasi macam ini.
“Udah Ma nanti
dijawab apa adanya aja, kan mama nggak ada salah apa-apa,” suamiku berusaha menenangkan
aku.
Meringkuk
aku dipelukannya. Sementara suami mengelus-elus rambutku.
“Iya,
tapi kan serem Pa. Nanti kalo mama salah jawab gimana?”
“Ya salah
jawab satu dua soal, masih lulus kok Ma. Masih dapet nilai B.”
Mendengar
itu aku daratkan cubitan di paha suami. Dia mengaduh, tapi terkekeh. Langsung saja
aku pelototi dia, dengan dahi tertekuk. Suami minta maaf. Dia bilang begitu agar
nggak tegang. Aku melengos, kemudian
kembali meringkuk dipelukannya.
Keesokan
harinya, aku mendapat telpon dari Pak Pram. Rupanya dia juga mendapat surat
yang sama, cuma harinya berbeda. Dia pun mengajak bertemu. Kami janjian di sebuah
cafe, sambil makan siang. Sama seperti suami, Pak Pram juga berusaha
menenangkan diriku. Dia bilang aku hanya pihak yang menawarkan jasa. Soal dari
mana asal dana itu, tentu aku tidak ada sangkut pautnya. Pak Pram memberi tips agar bisa tenang saat pemeriksaan. Dia
juga sudah berbicara dengan Pak Romi, membentuk tim pengacara. Hal itu
membuatku lebih plong.
Kembali
ke kantor, ternyata Yudhi sudah menunggu aku.
“Kak, aku
diminta ikut ngantar ayah ke Australia untuk berobat. Katanya lebih baik saat
ini aku tidak ada di Indonesia dulu. Soal kasus, semuanya bakal diurus tim
pengacara perusahaan. Ayah juga sudah menyiapkan pengacara buat Kak Dita...” Yudhi
menjelaskan dengan panjang lebar.
Yudhi juga
menyampaikan pesan ayahnya. Pak Romi meminta maaf, karena aku jadi ikut
terlibat dalam kasus ini. Aku bilang tidak apa-apa. Aku malah berterima kasih
atas bantuan hukum yang dia berikan. Yudhi bilang pula, kalau beberapa kenalan
ayahnya bisa membantu, agar kasus ini tidak sampai heboh di media. Setelah
membahas semua hal, Yudhi pun pamitan.
Selepas
kepergian Yudhi, bergantian bos-bosku memanggil. Termasuk bagian legal perusahaan. Mereka ingin meminta
penjelasan tentang kasus yang melibatkan diriku. Aku pun memaparkan pada
mereka. Aku pakai momen itu untuk latihan menjawab pertanyaan. Persiapan
menghadapi pemeriksaan sebenarnya. Sore harinya, pengacara yang disiapkan Pak
Romi menelpon. Ditemani bagian legal,
aku bertemu dengan mereka di ruang meeting
kantor. Kami membahas bermacam-macam hal, yang kebanyakan tidak aku mengerti.
Istilah-istilah hukum tingkat tinggi. Hari sudah saat larut saat kami selesai.
Saat
berkendara pulang, ponselku berbunyi. Kaget juga melihat nama yang tertera.
Segera saja aku menepikan mobil.
“Hai Dit,
masih ingat aku nggak?” Suara laki-laki di ujung telepon.
“Masih
dong Mas...”
Penelpon
tersebut adalah Mas Riski. Bekas atasanku, yang pernah aku bahas dalam cerita
judul ‘Salah Kirim’. Sekarang dia tidak lagi bekerja di bank. Dia pindah ke
salah satu BUMN bidang sumber daya energi. Maklumlah koneksi dia kan
petinggi-petinggi negara. Seperti sudah diduga pekerjaan di bank hanyalah untuk
batu loncatan.
“Aku
denger soal masalah kamu. Aku sudah kontak kejaksaan negeri. Kebetulan aku
kenal sama ketuanya. Nanti bakal diatur biar kamu nggak ikut kena kasus ya Dit,
tenang aja...” Tanpa aku tanya, Mas Riski nyeroscos
sendiri.
Meski
kurang paham soal koneksi-koneksi tersebut, tetap aku ucapkan terima kasih. Soalnya
aku sendiri sudah cukup pusing. Tidak bisa lagi otakku mencerna hal-hal rumit.
Aku cuma ingin masalah ini bisa cepat selesai. Sudah itu saja. Percakapan
selesai, aku pun kembali berkendara.
Sampai di
rumah aku disambut oleh suami. “Gimana rapatnya?”
“Pusiiing...”
Sahutku singkat.
Bergelayut
manja kemudian aku dipelukan suami. Dia menuntun aku ke kamar. Tanpa diminta,
suami menyiapkan aku air hangat. Padahal seharian dia sudah repot mengurus si
kecil. Maka saat masuk ke bathtub,
aku tarik dia agar ikut bergabung. Kami berciuman mesra. Duduk kemudian aku di
atas tubuhnya, dengan posisi penis tertancap di vagina. Biasa kalau lagi pusing,
bercinta adalah obat paling mujarab. Suami tahu benar hal itu. Dia pun
membiarkan aku nyalurin pusing
sebebas-bebasnya.
***
Hari yang
menegangkan itu pun tiba. Ditemani suami, setelah mengantar si kecil, aku datang
ke kantor kejaksaan. Di sana sudah menunggu, wakil pengacara dan bagian legal kantor. Sebelum ada panggilan,
seorang petinggi kejaksaan menghampiri aku.
“Mba
Dita, temannya Pak Riski ya?” Dia menyalami aku, sambil menyebut nama panjang
Mas Riski. Aku iyakan saja, entah akan membantu atau tidak. Laki-laki itu lalu menitipkan
salam.
Pertanyaan
yang sama juga aku dapat dari dua orang jaksa. Merekalah yang akan memeriksaku.
Aku mendapat perlakuan yang sangat ramah. Benar-benar tidak sesuai dengan
bayangan semula.
Di ruangan
pun ternyata nggak serem-serem
banget. Ruangannya bersih dan wangi. Pertanyaan yang diajukan tidak begitu
rumit. Hanya seputar proses kontrak yang terjalin, antara perusahaan Pak Romi
dengan perusahaanku. Mungkin ini yang dimaksud Mas Riski dengan ‘sudah diatur’.
Bahkan, ujian skripsiku masih lebih seram dari ini. Waktunya saja yang lebih
lama. Tidak terasa enam jam aku ada di ruangan itu.
Usai
proses pemeriksaan, kembali petugas kejaksaan itu menitip salam untuk Mas
Riski.
“Makan
dulu yuk Pa,” aku menggandeng tangan suami ke parkiran. Suami pun senang
senyuman kembali tersungging di wajahku.
Ketika di
jalan, aku menerima chat dari Mas
Riski. Dia menanyakan soal pemeriksaan, yang aku jawab berjalan lancar. Aku
sampaikan salam dari petinggi kejaksaan yang tadi. Mas Riski hanya membalas
dengan imoji cengiran. Dia lalu mengajak bertemu, kalau kasus ini sudah
selesai. Kata Mas Riski sebenarnya kasus ini untuk mengincar salah satu pejabat
negara. Biasalah persoalan politik. Nanti saja katanya dijelasin waktu ketemu. Maka
aku iyakan saja ajakan tersebut.
Sampai di
restoran, aku pesan porsi makanan lebih banyak dari biasa. Aku santap dengan
kalap. Suami sampai menggeleng melihat itu. Aku julurkan lidah, lalu cuek
melanjutkan makan. Stres itu menguras banyak energi.
***
Seperti
dikatakan oleh Mas Riski, kasus yang aku hadapi, berakhir dengan ditangkapnya
seorang pejabat. Aku sih tidak begitu mengikuti beritanya lagi. Bersyukur tidak
ikut terseret-seret, karena hanya sekali saja dapat panggilan. Orang-orang terdekatku
juga tidak ada yang terjaring. Meski sudah selesai, Yudhi memilih untuk tetap
tinggal di Australia. Menemani sang ayah yang musti rutin berobat jalan. Soal
studi akan diatur agar bisa berlanjut di sana saja. Khusus dia menelpon untuk menyampaikan
hal itu. Sekalian menyampaikan salam Pak Romi.
Aku
sendiri melanjutkan keseharianku. Kasus selesai, tanpa merusak kinerja perusahaan.
Aku pun makin dicintai bos-bosku. Dicintai dalam arti profesional loh yah, bukan yang lain.
Sampai di
suatu hari, di waktu jam makan siang. Junior-junior pada heboh. Aku heran tapi
tetap cuek dalam ruangan. Palingan kantor lagi kedatangan tokoh publik. Pasti
bakal pada sibuk minta fotoan. Baru selesai berberes berkas-berkas di meja,
pintu ruanganku diketuk. Saat menoleh, aku melihat Mas Riski melambai ke
arahku. Aku ikut melambai dan tersenyum.
“Lah, dateng kok nggak bilang-bilang sih Mas,”
ujarku saat dia melangkah mendekat. Kami lalu bersalaman.
“Tadi landing terus langsung survey lokasi. Kirain bakal lama, ternyata
bentar banget urusannya, ya udah iseng mampir dulu ke sini...”
Kemarin
memang Mas Riski ada kontak aku. Dia bilang ada kegiatan survey ke kotaku, cuma mungkin nggak
bisa mampir. Dia juga bilang begitu urusan selesai musti langsung balik,
soalnya dapat tiket pulang-pergi. Makanya aku kaget tahu-tahu dia nongol di kantorku. Pantas saja semua pada heboh.
Pasti pada kebagian oleh-oleh jajanan, kebiasaan Mas Riski dari dulu. Aku
sendiri ikut kebagian dodol dan bakpia.
“Kamu
udah makan siang belum, Dit?”
“Udah
Mas.”
“Yah kok
udah sih...” Mas Riski merengut. Lanjutnya lagi kemudian, “Kalo gitu temenin aku
nyemil dong. Males nih sendirian.”
Mengingat
jasa yang telah Mas Riski berikan, maka aku mau saja ikut. Minta ijin keluar ke
bos juga gampang kalau nyebut nama
dia. Dia menawarkan pakai mobilnya saja. Tidak lama, kami sudah berkendara
menembus kemacetan. Menimbang kondisi lalu-lintas, aku saranin cafe dekat
kantor, tapi dia menolak. Katanya dia nyoba
tempat makan baru, di pinggiran kota.
Disela-sela
kami menikmati jajanan, Mas Riski nyeletuk, “Abis ini ngamar yuk, Dit.”
Aku
tertawa kecil mendengarnya.
“Ih, ketahuan nih belangnya,” godaku. Mas
Riski tersipu malu.
Tipe
cowok macam Mas Riski ini ya seperti itu. Sudah dapat incaran pasti tidak akan menyerah.
Rasa penasaran dia padaku pasti sudah diubun-ubun nih. Dulu sengaja aku main tarik-ulur,
ambil manfaat sebanyak-banyaknya. Kalau bisa sih sampai dia bosan, terus ilfil, dan nggak lagi nafsu. Namun, agaknya rasa penasaran itu tidak jua
kunjung hilang.
“Abis kamu
itu ngacengin banget, Dit. Beneran, sumpah...”
Kembali
aku tersenyum, sambil menggeleng. “Tapi akunya lagi mens nih, Mas. Gimana
dong?”
“Yaahh...”
Mas Riski merengut, ditambah helaan panjang. Terlihat sekali kalau dia kecewa
berat.
“Beneran
nih? Bukan alasan buat nolak aku kan?”
Teringat
lalu bantuan-bantuan yang pernah dia berikan, yang harus aku akui sangat
membantu. Termasuk mempromosikan namaku ke teman-teman level atasnya. Beberapa
diantaranya malah sukses tercapai kesepakatan. Mengingat kami tak lagi tinggal
di satu kota, maka sebagai imbalan aku layani dia chat sex. Kadang melalui video
call. Jadi bisa dibilang kami sudah sering bercinta, meski itu cuma di
dunia maya. Kalau nanti bertemu, dia minta lebih dari melihat dadaku, itu sih
sesuatu yang tidak mengherankan.
“Ih beneran dong Mas, kalo nggak percaya
liat sendiri deh.”
Maksud aku
berkata seperti itu untuk menggodanya saja. Lah,
Mas Riski nanggapin serius. Geser dia duduk merapat. Minta ijin kemudian dia menyingkap
rokku. Kulirik suasana di sekitar, aman. Aku mengangguk. Ujung rok mulai
terangkat, mamerin celana dalam yang kupakai.
Termasuk gundukan akibat ganjalan pembalut, di antara pahaku. Tidak kuasa lagi Mas
Riski menutupi rasa kecewa yang dirasanya.
“Maaf loh
Mas.” Aku pasang ekspresi menyesal.
Mas Riski
kembali tersenyum. Pastilah dia melihat ekspresiku itu. Menunjukkan kesediaan
untuk ditiduri, cuma kondisi saja yang tidak mengijinkan. “Nggak apa-apa,”
sahutnya singkat.
Usai
berucap Mas Riski mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah map dia sodorkan
kemudian padaku. Dia minta aku memeriksanya. Ternyata isinya perjanjian, yang
pernah aku kirim. Sudah ditanda-tangani pula. Perusahaan rekanan Mas Riski, akan
memakai jasa bank tempatku bekerja. Seneng banget dong. Itu artinya sampai
akhir bulan bisa santai.
“Maunya sih
ini buat kejutan, habis kita ‘ena-ena’.”
Mas Riski tersenyum.
Langsung
aku merasa tidak enak. Pasti Mas Riski kecewa banget, rencana yang dia susun tidak berjalan lancar. Mana dia cuma
bisa ketemu aku sebentar saja lagi. Aku jadi berempati.
“Aku kocokin
aja gimana, Mas?” Aku mengerling nakal.
“Pasti
ini alternatif kalo sedeng ‘merah’, tapi suami mendadak horni kan?” Mas Riski
terkekeh.
Ikut aku
tertawa, lalu mengangguk.
“Boleh
deh.”
Saat aku
ajak beranjak dari kursi, Mas Riski menolak. Dia minta aku mengocok penisnya di
sana saja. Padahal situasi bisa dibilang lagi tidak sepi-sepi banget. Tempat kami duduk memang agak
tertutup. Sofa yang kami duduki tinggi, sehingga menutupi dari belakang. Demikian
pula di sisi kanan dan kiri. Ada penutup berbahan kayu, dilengkapi tanaman
rambat. Bagian depan yang rada terbuka, itu pun ditambah adanya sepasang
muda-mudi. Malu dong kalau mereka tahu yang kami lakukan.
“Nggak
apa-apa, malah seru kan. Bikin deg-degan.” Ditambahkan lagi olehnya. “Aku pikir
kamu tipe cewek yang suka ngelakuin kinky
stuff.” Membikin aku tertantang.
Akhirnya
aku mau melakukannya. Mataku awas dengan pasangan di depan kami. Beda dengan
Mas Riski yang terlihat santai. Dia buka kaitan dan resleting dengan tenang. Pamit
aku sebentar guna mencuci tangan. Situasi masih aman, mulai tangan kananku
merogoh masuk. Sementara di bawah meja ngocok, di atas kami seolah serius ngobrol.
Perlahan penis Mas Riski menegang di telapak tanganku. Sesekali kami melirik,
sambil bertukar senyum.
Meski
tidak melihat langsung, bisa kurasakan penis Mas Riski cukup panjang. Diameternya
juga lumayan besar. Penasaran juga aku untuk melirik. Dan benar dugaanku tadi.
Boleh juga nih buat dicoba, pikiran nakalku. Seolah tahu pikiranku, Mas Riski
melontarkan pertanyaan. “Gimana nih kontolku, Dit? Masuk tipe-tipe favoritmu
nggak?” Barulah aku tidak ‘malu-malu’ lagi melihat bagian itu secara langsung.
“Lumayan,”
ucapku, sambil mengerling nakal.
Meski
terucap lumayan, Mas Riski pasti bisa menangkap maksud sebenarnya. Kalau aku
tertarik dengan penisnya. Sekarang tinggal memastikan dia bisa tahan lama atau
tidak. Di chat sih Mas Riski selalu
membanggakan ‘senjatanya’ itu. Termasuk wanita-wanita yang pernah dia puaskan
memakai penis itu. Kata dia, ingin sekali menambah namaku dalam daftar tersebut.
Tidak hanya kelaminnya yang kami bahas. Kami juga membahas kelaminku. Sayang
hari itu, Mas Riski tidak bisa melihatnya secara langsung.
Beberapa
menit dikocok, belum ada juga tanda-tanda Mas Riski ejakulasi. Tidak
mengherankan sih, mengingat pengalaman dia di dunia lendir. Biasa merasakan
jepitan vagina, kocokan tangan tidak lebih ibarat camilan. Ngilangin laper sih, tapi nggak
bikin kenyang. Maka aku tingkatkan level permainan. Guna memberi sedikit bumbu
ketegangan. Aku jatuhkan sendok secara sengaja. Pura-pura mengambilnya, aku
menunduk ke bawah meja. Itu memberi aku beberapa detik, untuk mengulum penis
Mas Riski. Si pemilik penis sampai kaget.
“Sudah
aku duga kalau kamu itu cewek yang penuh kejutan.” Mas Riski tertawa, begitu diriku
kembali duduk. Aku ikut tertawa.
“Kalau
tempatnya aman bisa aku kulum lebih lama loh, Mas.”
“Nggak
apa-apa, kan aku sudah bilang kalau aku nggak buru-buru. Cewek kayak kamu
pantes banget buat ditunggu.” Lagi dia tertawa.
Sekilas aku
melirik pasangan di depan kami. Mereka masih sibuk dengan diri mereka. Biasalah
remaja dimabuk cinta, dunia terasa milik berdua. Kesempatan itu aku pakai untuk
menunduk lagi, tanpa menjatuhkan sendok. Meski singkat, berusaha kuberikan
kuluman terbaik.
Kembali
aku kocok penisnya di bawah meja. Lucunya kulakukan itu sambil membahas urusan bisnis.
Mas Riksi minta dijelaskan layanan-layanan baru yang diberikan kantorku. Katanya
biar bisa terus membantu karierku. Termasuk tawaran agar tidak sungkan
menelpon, kalau nanti aku butuh bantuan dia. Sedang dikocok, tangan Mas Riski
juga sibuk mengelusi pahaku. Seandainya tidak sedang mens, mungkin tangan itu
masuk ke dalam rok.
“Kayaknya
mau keluar nih, Dit.” Mas Riski memperingatkan.
Kocokan
sementara aku hentikan. Aku ambil tissue basah
dari tas. Sebagai penahan agar sperma Mas Riski tidak muncrat kemana-mana. Aku
posisikan tissue di ujung kepala
penis. Kupegang dengan tangan kiri, sementara tangan kanan kembali mengocok.
Mas Riski sampai menggodaku, sebagai cewek pencinta kebersihan. Padahal awalnya
dia minta biarin aja muncrat ke lantai.
Sela
beberapa menit tambahan, penis Mas Riski pun muncrat. “CROOT, CROOT, CROOT...”
Banyak
juga cairan kental yang keluar. Untung tissue
tadi cukup menampungnya. Memperingati aku agar lebih waspada, kalau nanti
bercinta dengan Mas Riski. Sperma sehat seperti itu rawan bikin hamil. Kuambil tissue basah lain, untuk membersihan
sisa-sisanya. Barulah Mas Riski aku kasih untuk merapikan kembali celananya.
Tergurat kepuasan di wajahnya.
Sehabis
itu Mas Riski menyelesaikan pembayaran. Kami pun kembali berkendara balik
menuju kantor. Sampai di parkiran, dia sempat lama mencumbui bibirku, sebelum
kami turun dari mobil. Lengkap dengan permainan lidahnya di mulutku.
Mas Riski
ikut masuk ke dalam. Katanya ada masalah yang mau dibicarain sama Direksi. Aku
sendiri balik ke ruangan dan lanjut bekerja.
Menjelang
sore, kembali pintu ruangan di ketuk. Mas Riski mau pamitan padaku. Tentu
tahulah gaya pamitan yang dia minta. Cumbuan bibir basah.
“Lain
kali kalau datang lagi, aku bakal nelpon dulu. Buat mastiin kamu ‘siap tempur’.”
Bisiknya di telingaku. Yang dia maksud, tentu tidak adanya pembalut mengganjal
di kelaminku.
Aku
tersenyum kecil dan mengangguk. Lagi kami berciuman, sebelum berpisah. Dan kini
tinggal persoalan waktu, untuk sebuah penis baru menjejali vaginaku.
.
Updatenya kentang
BalasHapusAsik, akhirnya update juga.
BalasHapusTapi sayang cuma satu :p
Tambah lagi updatenya dit
BalasHapus