Kamis, 04 Oktober 2018

Butik Teman


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Hari minggu siang. Setelah mengantar si kecil eskul, aku lanjut ke sebuah supermarket. Belanja keperluan bulanan. Pulangnya, aku sempetin untuk mampir ke butik salah satu teman. Namanya Ratna. Mantan teman SMU, yang kini bisnis di bidang fashion. Dia menyapa aku duluan lewat sosial media. Lama chat-chatan, akhirnya ada waktu juga untuk mampir. Habisnya butik dia ada di pinggiran kota. Bukan rute yang biasa aku lalui sehari-hari. Hitung-hitung berbagi pengalaman bisnis, pikirku.
Aku memang ada niat untuk memulai bisnis. Bekerja di bank mulai terasa melelahkan. Jam kerja yang kadang bisa tidak menentu. Belum lagi target-target yang harus dicapai. Si kecil juga mulai merengek minta ‘dibikinin’ adik. Kalau nanti aku hamil, aku ingin ada di situasi kerja yang lebih tenang. Suami pun mendukung rencanaku itu.
‘Hei Dit, nyasar nggak nyari alamatnya?” Ratna menyambut. Kami lalu bercupika-cupiki. Aku jawab dengan gelengan kepala.
Ratna masih saja seperti dulu. Tak banyak yang berubah dari penampilan dia. Mungil dan sangat cantik. Gaya-gaya berpakaiannya juga masih simpel, namun tetap terkesan stylish. Dari dulu dia memang sangat suka dunia fashion. Aku sangat suka gaya dia dalam melakukan mix and match pakaian. Kadang pakaian biasa pun jadi terlihat glamour olehnya.
Disuruhnya aku duduk, karena dia harus melayani seorang pelanggan. Pelanggan royal, kata dia. Kesempatan itu kupakai untuk berkeliling. Arsitektur butik Ratna sederhana, baik secara interior dan eskterior. Wallpaper-nya pakai warna-warna kalem, justru itulah yang membuatnya menarik. Persis bayangan desain di benakku selama ini. Ratna menyewa ruko berlantai dua. Di lantai satu sepenuhnya dipakai untuk display produk. Lantai dua dia pakai sebagai gudang dan ruang jahit. Hebatnya, beberapa dari pakaian tersebut didesain sendiri oleh Ratna.
Ratna menghampiriku lagi, setelah pelanggannya pergi. “Gimana, ada yang lu suka nggak?”
Aku tersenyum. “Semuanya bagus. Bingung gue milihnya.”
“Gue kasi diskon deh buat temen lama, tapi ada syaratnya...”
“Syarat apaan?”
“Lu jadi model gue ya. Nanti fotonya gue upload ke Instagram, anggep aja gue ngendors elu.”
Aku tertawa lebar. “Gila lu ya. Cari model kok yang udah ibu-ibu gini. Mahasiswa gitu loh, yang masih muda.”
Ganti dia yang tertawa. “Muka elu itu nggak cocok jadi ibu-ibu, Dit. Ngaku perawan juga paling orang-orang pada percaya tuh.”
Kami tertawa bersamaan. Akhirnya aku setuju difoto nanti. Lumayan kan dapet potongan harga.
Di sela obrolan, aku utarain niat untuk membuka butik juga. Ratna mendukung ide tersebut. Dia malah nyaranin kami bertukar produk. Kerja sama bisnis gitu deh. Kemudian dia perlihatkan desain terbarunya. Dress warna gelap, yang bisa dipakai menghadiri event resmi ataupun kasual. Kebetulan minggu depan dapat undangan dinner dengan klien suami. Boleh juga nih kalau aku membelinya. Daripada pusing-pusing keliling lagi.
Pelanggan datang lagi di tengah obrolan. Kali ini seorang laki-laki. Menyusul dua orang wanita. Ratna pun permisi lagi padaku. Sebelum mencoba dress yang ditawarkan Ratna, aku berkeliling sekali lagi. Saat itulah aku sadari ada mata yang mengawasi gerak-gerikku. Mata laki-laki yang tadi datang. Pura-pura aku sibuk memilih pakaian. Terakhir aku balik lagi ke rak, dimana dress hitam tadi tergantung. Aku timang-timang untuk memastikan. Selain yang hitam, aku ambil dua model dress lain, buat perbandingan. Saat berjalan ke kamar pas, kulihat laki-laki itu berbincang dengan Ratna. Kelihatannya mereka sangat akrab.
Kamar pas yang disediakan cukup besar. Jumlahnya ada tiga. Di dalam ada kaca panjang di tiga sisi, memantulkan seluruh tubuh. Dilengkapi pula dua gantungan dan sebuah meja kecil. Penutup kamar pas berupa tirai tebal.
Kaos dan jeans aku tanggalkan, menyisakan bra dan celana dalam. Kucoba dress pertama dengan corak garis. Pas ditubuhku, hanya terkesan sangat kasual. Cocok dipakai hanya untuk acara-acara santai. Dress kedua, yang ditawarkan oleh Ratna. Setelah dipakai ternyata benar kata sahabatku itu. Terlihat kasual, sekaligus glamour. Bisa dipakai untuk segala suasana. Ditambah blazer atau syal akan terlihat lebih mewah. Dress ketiga, kurang sreg di hati. Kesannya terlalu polos.
Keluar dari kamar pas, aku kembalikan dua dress lain. Aku bawa dress hitam pilihan Ratna ke kasir. Di sana masih berdiri Ratna dan si laki-laki. Mereka masih berbincang. Terlihat Ratna lagi memegangi dua gaun malam. Dari dekat, baru kusadari kalau laki-laki itu masih muda. Mungkin seumuran diriku. Setelan jas yang dipakai membuat dia terlihat lebih dewasa.
“Hei Dit, kenalin nih Surya. Dia langganan gue.”
Laki-laki itu tersenyum. Dia sodorkan tangannya. Aku sambut dan kami pun bersalaman. Ratna menyebut nama bank tempat aku bekerja. Surya mengaku kalau sudah jadi salah satu nasabah di sana. Dia bilang bakal rajin datang, kalau aku yang melayani. Tersenyum aku mendengar itu.
“Menurut elu bagusan yang mana, Dit? Surya mau beliin buat tunangan dia.”
Ganti Ratna nyodorin gaun itu ke arahku. Dua-duanya bagus dan terlihat sangat mahal. Susah aku memberi pendapat, mengingat aku tidak tahu tunangan Surya seperti apa.
“Gini deh...” Surya menyela. “Tunangan aku itu mirip banget posturnya kayak Dita. Bagaimana kalau kamu pakai keduanya, Dit? Nanti kita liat bagus yang mana. Kamu mau?”
Aku dan Ratna saling pandang. Jelas aku tidak tahu harus berkomentar apa, jadi aku tunggu saja respon dari Ratna. Dia permisi kepada Surya, lalu menarik tanganku agak menjauh.
“Dit, Surya itu langganan gue paling royal. Lu turutin aja ya kemauan dia, please. Kalo mood dia lagi bagus biasanya dia suka ngeborong.”
Mau tidak mau aku iyakan. Apalagi ditambah iming-iming dapat potongan harga sampai lima puluh persen. Balik kami melangkah mendekati Surya. Dua gaun tadi diserah-terimakan padaku. Malah dia juga menawarkan memakai kamar pas di lantai dua, agar kami tidak terganggu. Ketika kami akan melangkah, Surya meminta agar aku saja yang menemani dia. Ratna mengiyakan, lalu beralih kepada pengunjung lain.
“Kamu mau aku nyoba yang mana duluan?”
“Terserah kamu saja,” sahut Surya singkat.
Aku bawa ke dalam kamar pas, gaun yang berwarna hitam. Sejenak aku berkaca. Kok aku musti terjebak di situasi macam gini sih, meruntuk aku dalam hati. Melihat perawakan Surya, pastilah minimal tunangan dia itu model atau artis. Masa harus aku sih yang disuruh nyobain pakaian dia. Sempat aku lirik label harga dari kedua gaun tersebut. Kaget saat kulihat deretan delapan angka. Semahal itu? Gila! Tapi, tetap aku tanggalkan pakaian dan memakai gaun tersebut.
“Cantik.” Hanya itu komentar Surya, ketika aku keluar.
Kembali aku masuk. Kali ini mencoba gaun yang kedua, berwarna merah. Gaun kedua jauh lebih seksi dari yang pertama. Gaun ini tidak ada tali pundaknya. Bagian belakang juga sangat terbuka. Belahan bawah hampir menyentuh pangkal paha. Ini bikin aku bingung. Kalau masih memakai bra, akan terlihat aneh. Kalau tidak pakai bra, nanti kesannya terlalu vulgar. Aku putuskan tetap memakai bra, hanya tali pundak saja dilepas.
Hhmmm.” Komentar Surya malah makin singkat.
Dia minta aku berputar. Bergaya aku bak model busana. Sepertinya Surya sangat tertarik dengan gaun kedua ini.
“Maaf Dit, boleh aku minta tolong.” Surya akhirnya berkata, setelah aku berputar beberapa kali.
Nolongin apa?”
“Boleh nggak, kalo underware-nya dilepas aja? Kayaknya gaun itu nggak cocok kalo dalemnya pakai underware. Maaf loh sebelumnya.”
Tersentak aku mendengarnya. Masa aku musti tampil tanpa daleman, di depan cowok yang baru aku kenal. Risih dong jadinya. Bingung lagi aku musti memberi jawaban apa.
Tidak kunjung dapat jawaban, Surya berujar lagi. “Kamu takut aku berbuat macam-mana?” Dia lalu mengeluarkan dompet. Dia sodorin selembar kartu nama. “Kalau aku macam-macam, kamu bisa nuntut aku. Di sini ada alamat rumah, kantor, dan nomor teleponnya. Ratna juga sudah tahu rumahku di mana. Kamu bisa dateng bareng dia.”
Masih aku bingung. Aku ambil kartu nama yang dia sodorkan. Baru aku tahu kalau Surya adalah seorang dokter spesialis. Merasa kalau Surya ini tipe laki-laki yang sopan, akhirnya aku iyakan permintaan itu. Lagi pula tidak dia paksakan kehendaknya. Dia bilang kalau aku nggak nyaman, ya tidak usah dituruti.
Masuk lagi aku ke kamar pas. Sebelum membuka gaun, aku ambil ponsel. Aku telepon Ratna. Agar tidak terdengar keluar, aku berbisik. “Rat, lu naik dong.”
Kemudian aku jelasin situasinya ke Ratna, eh dia malah tertawa geli. Meski begitu dia janji akan segera menyusul naik. Barulah aku tanggalkan gaun tersebut, melepas bra dan celana dalam, lalu aku pakai kembali.
Setelah kudengar suara Ratna, barulah aku keluar dari kamar pas. Ratna sedang berdiri di sebelah Surya. Aku lihat ekspresi Surya, masih tetap cool sebagaimana di awal. Tidak terganggu dengan kedatangan Ratna. Lagi Surya hanya berkomentar singkat. Dia minta aku berputar seperti tadi. Hanya kali ini ditambah berjalan layaknya model di catwalk.
Ketika aku balik, dia minta aku berjalan memutar sekali lagi. Aku turuti kemauannya itu. Entah apa yang dilihatnya dari diriku saat itu.
“Kayaknya aku ambil gaun yang ini deh, Rat.” Habis itu dia lanjut berkata, “Kamu ada pakaian casual yang bisa dipakai waktu summer nggak? Biar Dita cobain lagi beberapa.”
Tanpa minta persetujuanku, Ratna langsung mengiyakan. Dia terlihat sangat bersemangat waktu melangkah turun. Rejeki nomplok nih, pasti itu yang ada dalam pikirannya. Selama menunggu, Surya mengajak aku ngobrol. Bertanya soal hal-hal pribadi, khususnya soal statusku. Saat bilang aku sudah berkeluarga, ekspresinya terlihat datar saja. Sangat sulit membaca raut wajah laki-laki itu, karena selalu terlihat cool. Ratna balik lagi beberapa menit kemudian, membawa beberapa potong pakaian. Dari jenis blouse, kemeja, blazer, celana panjang, sampai rok.
Balik ke kamar pas, lanjut aku berganti pakaian. Bra dan celana dalam kembali aku pakai. Habis itu, sisanya aku terus keluar masuk kamar pas. Berjalan bolak-balik bak model, memperagakan pakaian yang aku pakai.
Hhmmm”, “Okay”, “Good”, “Nice”, hanya itu komentar yang terlontar dari mulut Surya.
Sempat aku cek label harga pakaian-pakaian tersebut. Deretan enam sampai tujuh angka. Harga adalah gambaran kualitas. Semuanya memang terasa lembut dan nyaman di kulit. Semuanya dari merk-merk ternama.
“Aku jadi ambil yang ini, yang ini, yang ini, sama yang ini...” Surya menunjuk beberapa potong pakaian. Diserahkan kepada Ratna, untuk dibawa ke kasir.
“Oke. Ada lagi, Sur?”
“Oya, kamu punya swinsuit?”
One piece atau two piece?”
Two piece, please...”
Kembali Ratna turun dan kembali lagi tidak lama. Dia membawa beberapa potong bikini. Ada yang polos, ada yang bercorak.
“Dit, do you mind?” Surya menoleh ke arahku. Menyodorkan dua buah bikini.
Seriously? Dia minta aku nyobain bikini juga? Cercaku dalam hati. Tapi, begitu aku lihat tatapan memelas dari Ratna, hatiku luluh. Ditambah aku teringat cerita dia tadi, soal anaknya yang butuh biaya buat cari sekolah. Akhirnya kembali aku iyakan. Dengan syarat, dia tetap tinggal nungguin aku. Surya tidak keberatan, kalau itu memang bikin aku nyaman.
Lagi-lagi aku harus menanggalkan pakaian. Selesai memakai bikini pertama, aku mematut diri di cermin. Polos tanpa corak. Mungil sekali bikini itu. Jauh lebih mungil dari bra dan celana dalam yang aku pakai saat itu. Kalau gini sih sama saja telanjang. Kain depan pas sekali menutupi areal ‘segitiga’ organ intim, dan setengah cup payudara. Kain belakang, juga hanya menutupi setengah dari pantatku. Tapi, untuk kategori busana yang serba ‘nanggung’, kedua pasang kain mungil itu harganya tidak main-main.
Pede nggak ya, pede nggak ya, pikiran itu berkecambut di benakku. Ah sudahlah, yang penting kan ada Ratna di luar sana.
Keluarlah aku dari kamar pas. Komentar Surya masih tetap saja singkat. Hanya, yang tidak bisa ditutupi adalah perubahan rona wajahnya. Ada gurat kekaguman di sana. Sepertinya, Ratna juga menyadari hal itu.
Berganti pakai bikini kedua. Coraknya warna-warni. Lebih minim lagi size-nya, dibanding yang pertama. Kain bawah, hanya cukup menutupi lubang vagina. Bahkan, sama sekali tidak mampu menyamarkan belahannya. Bisa dipastikan yang melihat pasti bisa menerka, kalau kewanitaanku tidak berambut. Kain atas, hanya secuil saja menutupi areal areola. Sebagian besar payudara jadi kelihatan, termasuk putingnya yang tersamar. Kain belakang, hanya berupa tali yang menyusuri belahan pantat.
Sama seperti tadi, aku sempat ragu. Akhirnya aku keluar juga dari kamar pas.
Kini tidak bisa lagi Surya menjaga raut wajah cool-nya. Senyuman kecil tergurat, dan terlontar pula pujian. Kata dia, tubuhku memenuhi standar untuk jadi model. Dalam hati jadi bangga juga sih jadinya.
Dia meminta lagi aku untuk jalan berputar. Tentu saja aku tidak keberatan. Apalagi setelah dapat pujian seperti tadi. Malah sedikit aku melenggok, untuk menggoda ‘penonton’. Tak ada lagi rasa canggung di hati.
I’ll take them both,” kata Surya pada Ratna.
Setelah itu Surya mengucapkan terima kasih padaku. Disalami pula tanganku. Aku balas dengan senyuman. Masuk lagi ke kamar pas, aku buka bikini, dan kusodorkan ke Ratna dari balik tirai. Ditemani Surya, dia kemudian turun, membawa semua pakaian yang laku ke kasir.
Masih di dalam kamar pas, hanya pakai bra dan celana dalam, aku cermati lagi pantulan tubuhku. Tersenyum aku menatap kaca. Mengingat kembali ‘aksi’ yang tadi aku lakukan. Apakah itu bisa digolongkan aksi eksibisionis?
Turun ke lantai satu, tidak lagi kutemui sosok Surya. Kata Ratna dia sudah pergi. Ketika hendak membayar, Ratna bilang dress-ku sudah dibayari Surya. Malah dia menitipkan blouse dan celana panjang yang tadi sempat aku coba. Kata Surya itu ongkos karena mau membantu dia. Kaget aku mendengarnya, mengingat pakaian itu tidak murah.
Nggak boleh nolak rejeki, sahut Ratna waktu aku suruh dia mengembalikan ke Surya. Kalau dia datang lagi. Tidak enak aku menerimanya.
“Pokoknya gue disuruh ngasi pakaian ini ke elu, soal elu mau ngembaliin atau nggak, silakan lu telepon aja langsung Surya. Katanya, lu udah bawa kartu nama dia.”
Ratna tetap ngotot. Aku pun hanya bisa pasrah.
“Dan ini komisi buat lu. Makasi ya...”
Ratna menyodorkan amplop. Kata dia, kalau ada yang ngajak tamu terus belanja banyak, pasti diberi komisi. Sekian persen dari pembelian. Ketika aku menolak lagi, eh Ratna makin memaksa. Akhirnya uang itu aku pakai memesan makanan via online. Kami makan bersama setelahnya.
Di mobil aku timang-timang kartu nama Surya.
“Apa aku perlu menelepon Surya?” Membatin aku dalam hati.
Ah, nanti saja...”
Kemudian aku injak gas, dan melaju ke sekolah si kecil.
.

2 komentar: