Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Hari
minggu siang. Setelah mengantar si kecil eskul, aku lanjut ke sebuah
supermarket. Belanja keperluan bulanan. Pulangnya, aku sempetin untuk mampir ke butik salah satu teman. Namanya Ratna.
Mantan teman SMU, yang kini bisnis di bidang fashion. Dia menyapa aku duluan lewat sosial media. Lama chat-chatan, akhirnya ada waktu juga
untuk mampir. Habisnya butik dia ada di pinggiran kota. Bukan rute yang biasa
aku lalui sehari-hari. Hitung-hitung berbagi pengalaman bisnis, pikirku.
Aku memang
ada niat untuk memulai bisnis. Bekerja di bank mulai terasa melelahkan. Jam
kerja yang kadang bisa tidak menentu. Belum lagi target-target yang harus dicapai.
Si kecil juga mulai merengek minta ‘dibikinin’
adik. Kalau nanti aku hamil, aku ingin ada di situasi kerja yang lebih tenang.
Suami pun mendukung rencanaku itu.
‘Hei Dit,
nyasar nggak nyari alamatnya?” Ratna menyambut. Kami lalu bercupika-cupiki. Aku jawab dengan gelengan kepala.
Ratna
masih saja seperti dulu. Tak banyak yang berubah dari penampilan dia. Mungil
dan sangat cantik. Gaya-gaya berpakaiannya juga masih simpel, namun tetap
terkesan stylish. Dari dulu dia
memang sangat suka dunia fashion. Aku
sangat suka gaya dia dalam melakukan mix
and match pakaian. Kadang pakaian biasa pun jadi terlihat glamour olehnya.
Disuruhnya
aku duduk, karena dia harus melayani seorang pelanggan. Pelanggan royal, kata dia. Kesempatan itu kupakai
untuk berkeliling. Arsitektur butik Ratna sederhana, baik secara interior dan
eskterior. Wallpaper-nya pakai warna-warna
kalem, justru itulah yang membuatnya menarik. Persis bayangan desain di benakku
selama ini. Ratna menyewa ruko berlantai dua. Di lantai satu sepenuhnya dipakai
untuk display produk. Lantai dua dia
pakai sebagai gudang dan ruang jahit. Hebatnya, beberapa dari pakaian tersebut
didesain sendiri oleh Ratna.
Ratna
menghampiriku lagi, setelah pelanggannya pergi. “Gimana, ada yang lu suka
nggak?”
Aku
tersenyum. “Semuanya bagus. Bingung gue milihnya.”
“Gue kasi
diskon deh buat temen lama, tapi ada syaratnya...”
“Syarat apaan?”
“Lu jadi
model gue ya. Nanti fotonya gue upload ke
Instagram, anggep aja gue ngendors elu.”
Aku
tertawa lebar. “Gila lu ya. Cari model kok yang udah ibu-ibu gini. Mahasiswa
gitu loh, yang masih muda.”
Ganti dia
yang tertawa. “Muka elu itu nggak cocok jadi ibu-ibu, Dit. Ngaku perawan juga
paling orang-orang pada percaya tuh.”
Kami
tertawa bersamaan. Akhirnya aku setuju difoto nanti. Lumayan kan dapet potongan
harga.
Di sela
obrolan, aku utarain niat untuk
membuka butik juga. Ratna mendukung ide tersebut. Dia malah nyaranin kami bertukar produk. Kerja
sama bisnis gitu deh. Kemudian dia perlihatkan
desain terbarunya. Dress warna gelap,
yang bisa dipakai menghadiri event
resmi ataupun kasual. Kebetulan minggu depan dapat undangan dinner dengan klien suami. Boleh juga nih
kalau aku membelinya. Daripada pusing-pusing keliling lagi.
Pelanggan
datang lagi di tengah obrolan. Kali ini seorang laki-laki. Menyusul dua orang
wanita. Ratna pun permisi lagi padaku. Sebelum mencoba dress yang ditawarkan Ratna, aku berkeliling sekali lagi. Saat
itulah aku sadari ada mata yang mengawasi gerak-gerikku. Mata laki-laki yang
tadi datang. Pura-pura aku sibuk memilih pakaian. Terakhir aku balik lagi ke
rak, dimana dress hitam tadi
tergantung. Aku timang-timang untuk memastikan. Selain yang hitam, aku ambil
dua model dress lain, buat perbandingan.
Saat berjalan ke kamar pas, kulihat laki-laki itu berbincang dengan Ratna.
Kelihatannya mereka sangat akrab.
Kamar pas
yang disediakan cukup besar. Jumlahnya ada tiga. Di dalam ada kaca panjang di
tiga sisi, memantulkan seluruh tubuh. Dilengkapi pula dua gantungan dan sebuah
meja kecil. Penutup kamar pas berupa tirai tebal.
Kaos dan
jeans aku tanggalkan, menyisakan bra dan celana dalam. Kucoba dress pertama dengan corak garis. Pas
ditubuhku, hanya terkesan sangat kasual. Cocok dipakai hanya untuk acara-acara
santai. Dress kedua, yang ditawarkan
oleh Ratna. Setelah dipakai ternyata benar kata sahabatku itu. Terlihat kasual,
sekaligus glamour. Bisa dipakai untuk
segala suasana. Ditambah blazer atau syal akan terlihat lebih mewah. Dress ketiga, kurang sreg di hati. Kesannya terlalu polos.
Keluar
dari kamar pas, aku kembalikan dua dress
lain. Aku bawa dress hitam pilihan
Ratna ke kasir. Di sana masih berdiri Ratna dan si laki-laki. Mereka masih berbincang.
Terlihat Ratna lagi memegangi dua gaun malam. Dari dekat, baru kusadari kalau
laki-laki itu masih muda. Mungkin seumuran diriku. Setelan jas yang dipakai
membuat dia terlihat lebih dewasa.
“Hei Dit,
kenalin nih Surya. Dia langganan gue.”
Laki-laki
itu tersenyum. Dia sodorkan tangannya. Aku sambut dan kami pun bersalaman.
Ratna menyebut nama bank tempat aku bekerja. Surya mengaku kalau sudah jadi
salah satu nasabah di sana. Dia bilang bakal rajin datang, kalau aku yang
melayani. Tersenyum aku mendengar itu.
“Menurut
elu bagusan yang mana, Dit? Surya mau beliin buat tunangan dia.”
Ganti
Ratna nyodorin gaun itu ke arahku. Dua-duanya
bagus dan terlihat sangat mahal. Susah aku memberi pendapat, mengingat aku
tidak tahu tunangan Surya seperti apa.
“Gini deh...”
Surya menyela. “Tunangan aku itu mirip banget posturnya kayak Dita. Bagaimana
kalau kamu pakai keduanya, Dit? Nanti kita liat bagus yang mana. Kamu mau?”
Aku dan
Ratna saling pandang. Jelas aku tidak tahu harus berkomentar apa, jadi aku
tunggu saja respon dari Ratna. Dia permisi kepada Surya, lalu menarik tanganku
agak menjauh.
“Dit,
Surya itu langganan gue paling royal. Lu turutin aja ya kemauan dia, please. Kalo mood dia lagi bagus biasanya dia suka ngeborong.”
Mau tidak
mau aku iyakan. Apalagi ditambah iming-iming dapat potongan harga sampai lima puluh
persen. Balik kami melangkah mendekati Surya. Dua gaun tadi diserah-terimakan padaku.
Malah dia juga menawarkan memakai kamar pas di lantai dua, agar kami tidak
terganggu. Ketika kami akan melangkah, Surya meminta agar aku saja yang menemani
dia. Ratna mengiyakan, lalu beralih kepada pengunjung lain.
“Kamu mau
aku nyoba yang mana duluan?”
“Terserah
kamu saja,” sahut Surya singkat.
Aku bawa
ke dalam kamar pas, gaun yang berwarna hitam. Sejenak aku berkaca. Kok aku musti terjebak di situasi macam gini
sih, meruntuk aku dalam hati. Melihat perawakan Surya, pastilah minimal tunangan
dia itu model atau artis. Masa harus aku sih yang disuruh nyobain pakaian dia. Sempat aku lirik label harga dari kedua gaun tersebut.
Kaget saat kulihat deretan delapan angka. Semahal
itu? Gila! Tapi, tetap aku tanggalkan pakaian dan memakai gaun tersebut.
“Cantik.”
Hanya itu komentar Surya, ketika aku keluar.
Kembali
aku masuk. Kali ini mencoba gaun yang kedua, berwarna merah. Gaun kedua jauh
lebih seksi dari yang pertama. Gaun ini tidak ada tali pundaknya. Bagian belakang
juga sangat terbuka. Belahan bawah hampir menyentuh pangkal paha. Ini bikin aku
bingung. Kalau masih memakai bra, akan terlihat aneh. Kalau tidak pakai bra, nanti
kesannya terlalu vulgar. Aku putuskan
tetap memakai bra, hanya tali pundak saja dilepas.
“Hhmmm.” Komentar Surya malah makin
singkat.
Dia minta
aku berputar. Bergaya aku bak model busana. Sepertinya Surya sangat tertarik
dengan gaun kedua ini.
“Maaf
Dit, boleh aku minta tolong.” Surya akhirnya berkata, setelah aku berputar
beberapa kali.
“Nolongin apa?”
“Boleh
nggak, kalo underware-nya dilepas
aja? Kayaknya gaun itu nggak cocok kalo dalemnya pakai underware. Maaf loh sebelumnya.”
Tersentak
aku mendengarnya. Masa aku musti tampil tanpa daleman, di depan cowok yang baru
aku kenal. Risih dong jadinya. Bingung lagi aku musti memberi jawaban apa.
Tidak
kunjung dapat jawaban, Surya berujar lagi. “Kamu takut aku berbuat macam-mana?”
Dia lalu mengeluarkan dompet. Dia sodorin
selembar kartu nama. “Kalau aku macam-macam, kamu bisa nuntut aku. Di sini
ada alamat rumah, kantor, dan nomor teleponnya. Ratna juga sudah tahu rumahku
di mana. Kamu bisa dateng bareng dia.”
Masih aku
bingung. Aku ambil kartu nama yang dia sodorkan. Baru aku tahu kalau Surya
adalah seorang dokter spesialis. Merasa kalau Surya ini tipe laki-laki yang
sopan, akhirnya aku iyakan permintaan itu. Lagi pula tidak dia paksakan kehendaknya.
Dia bilang kalau aku nggak nyaman, ya
tidak usah dituruti.
Masuk
lagi aku ke kamar pas. Sebelum membuka gaun, aku ambil ponsel. Aku telepon
Ratna. Agar tidak terdengar keluar, aku berbisik. “Rat, lu naik dong.”
Kemudian aku
jelasin situasinya ke Ratna, eh dia
malah tertawa geli. Meski begitu dia janji akan segera menyusul naik. Barulah
aku tanggalkan gaun tersebut, melepas bra dan celana dalam, lalu aku pakai kembali.
Setelah
kudengar suara Ratna, barulah aku keluar dari kamar pas. Ratna sedang berdiri
di sebelah Surya. Aku lihat ekspresi Surya, masih tetap cool sebagaimana di awal. Tidak terganggu dengan kedatangan Ratna. Lagi
Surya hanya berkomentar singkat. Dia minta aku berputar seperti tadi. Hanya
kali ini ditambah berjalan layaknya model di catwalk.
Ketika
aku balik, dia minta aku berjalan memutar sekali lagi. Aku turuti kemauannya
itu. Entah apa yang dilihatnya dari diriku saat itu.
“Kayaknya
aku ambil gaun yang ini deh, Rat.” Habis itu dia lanjut berkata, “Kamu ada pakaian
casual yang bisa dipakai waktu summer nggak? Biar Dita cobain lagi
beberapa.”
Tanpa minta
persetujuanku, Ratna langsung mengiyakan. Dia terlihat sangat bersemangat waktu
melangkah turun. Rejeki nomplok nih,
pasti itu yang ada dalam pikirannya. Selama menunggu, Surya mengajak aku ngobrol. Bertanya soal hal-hal pribadi,
khususnya soal statusku. Saat bilang aku sudah berkeluarga, ekspresinya
terlihat datar saja. Sangat sulit membaca raut wajah laki-laki itu, karena
selalu terlihat cool. Ratna balik
lagi beberapa menit kemudian, membawa beberapa potong pakaian. Dari jenis blouse, kemeja, blazer, celana panjang, sampai rok.
Balik ke
kamar pas, lanjut aku berganti pakaian. Bra dan celana dalam kembali aku pakai.
Habis itu, sisanya aku terus keluar masuk kamar pas. Berjalan bolak-balik bak
model, memperagakan pakaian yang aku pakai.
“Hhmmm”, “Okay”, “Good”, “Nice”, hanya itu komentar yang terlontar
dari mulut Surya.
Sempat aku
cek label harga pakaian-pakaian tersebut. Deretan enam sampai tujuh angka. Harga
adalah gambaran kualitas. Semuanya memang terasa lembut dan nyaman di kulit.
Semuanya dari merk-merk ternama.
“Aku jadi
ambil yang ini, yang ini, yang ini, sama yang ini...” Surya menunjuk beberapa
potong pakaian. Diserahkan kepada Ratna, untuk dibawa ke kasir.
“Oke. Ada
lagi, Sur?”
“Oya,
kamu punya swinsuit?”
“One piece atau two piece?”
“Two piece, please...”
Kembali Ratna
turun dan kembali lagi tidak lama. Dia membawa beberapa potong bikini. Ada yang
polos, ada yang bercorak.
“Dit, do you mind?” Surya menoleh ke arahku.
Menyodorkan dua buah bikini.
Seriously? Dia minta aku nyobain bikini juga? Cercaku dalam hati. Tapi, begitu aku lihat tatapan memelas dari Ratna,
hatiku luluh. Ditambah aku teringat cerita dia tadi, soal anaknya yang butuh
biaya buat cari sekolah. Akhirnya kembali aku iyakan. Dengan syarat, dia tetap tinggal
nungguin aku. Surya tidak keberatan, kalau
itu memang bikin aku nyaman.
Lagi-lagi
aku harus menanggalkan pakaian. Selesai memakai bikini pertama, aku mematut
diri di cermin. Polos tanpa corak. Mungil sekali bikini itu. Jauh lebih mungil
dari bra dan celana dalam yang aku pakai saat itu. Kalau gini sih sama saja telanjang.
Kain depan pas sekali menutupi areal ‘segitiga’ organ intim, dan setengah cup payudara. Kain belakang, juga hanya menutupi
setengah dari pantatku. Tapi, untuk kategori busana yang serba ‘nanggung’,
kedua pasang kain mungil itu harganya tidak main-main.
Pede nggak ya, pede nggak ya, pikiran itu berkecambut
di benakku. Ah sudahlah, yang penting
kan ada Ratna di luar sana.
Keluarlah
aku dari kamar pas. Komentar Surya masih tetap saja singkat. Hanya, yang tidak
bisa ditutupi adalah perubahan rona wajahnya. Ada gurat kekaguman di sana. Sepertinya,
Ratna juga menyadari hal itu.
Berganti pakai
bikini kedua. Coraknya warna-warni. Lebih minim lagi size-nya, dibanding yang pertama. Kain bawah, hanya cukup menutupi lubang
vagina. Bahkan, sama sekali tidak mampu menyamarkan belahannya. Bisa dipastikan
yang melihat pasti bisa menerka, kalau kewanitaanku tidak berambut. Kain atas, hanya
secuil saja menutupi areal areola. Sebagian
besar payudara jadi kelihatan, termasuk putingnya yang tersamar. Kain belakang,
hanya berupa tali yang menyusuri belahan pantat.
Sama
seperti tadi, aku sempat ragu. Akhirnya aku keluar juga dari kamar pas.
Kini
tidak bisa lagi Surya menjaga raut wajah cool-nya.
Senyuman kecil tergurat, dan terlontar pula pujian. Kata dia, tubuhku memenuhi
standar untuk jadi model. Dalam hati jadi bangga juga sih jadinya.
Dia meminta
lagi aku untuk jalan berputar. Tentu saja aku tidak keberatan. Apalagi setelah dapat
pujian seperti tadi. Malah sedikit aku melenggok, untuk menggoda ‘penonton’. Tak
ada lagi rasa canggung di hati.
“I’ll take them both,” kata Surya pada
Ratna.
Setelah
itu Surya mengucapkan terima kasih padaku. Disalami pula tanganku. Aku balas dengan
senyuman. Masuk lagi ke kamar pas, aku buka bikini, dan kusodorkan ke Ratna dari
balik tirai. Ditemani Surya, dia kemudian turun, membawa semua pakaian yang laku
ke kasir.
Masih di
dalam kamar pas, hanya pakai bra dan celana dalam, aku cermati lagi pantulan tubuhku.
Tersenyum aku menatap kaca. Mengingat kembali ‘aksi’ yang tadi aku lakukan.
Apakah itu bisa digolongkan aksi eksibisionis?
Turun ke
lantai satu, tidak lagi kutemui sosok Surya. Kata Ratna dia sudah pergi. Ketika
hendak membayar, Ratna bilang dress-ku
sudah dibayari Surya. Malah dia menitipkan blouse
dan celana panjang yang tadi sempat aku coba. Kata Surya itu ongkos karena mau
membantu dia. Kaget aku mendengarnya, mengingat pakaian itu tidak murah.
Nggak boleh nolak rejeki, sahut Ratna waktu aku suruh dia mengembalikan ke Surya. Kalau dia
datang lagi. Tidak enak aku menerimanya.
“Pokoknya
gue disuruh ngasi pakaian ini ke elu, soal elu mau ngembaliin atau nggak,
silakan lu telepon aja langsung Surya. Katanya, lu udah bawa kartu nama dia.”
Ratna
tetap ngotot. Aku pun hanya bisa pasrah.
“Dan ini
komisi buat lu. Makasi ya...”
Ratna
menyodorkan amplop. Kata dia, kalau ada yang ngajak tamu terus belanja banyak, pasti diberi komisi. Sekian
persen dari pembelian. Ketika aku menolak lagi, eh Ratna makin memaksa. Akhirnya uang itu aku pakai memesan makanan
via online. Kami makan bersama
setelahnya.
Di mobil
aku timang-timang kartu nama Surya.
“Apa aku perlu menelepon Surya?” Membatin aku dalam hati.
“Ah, nanti saja...”
Kemudian
aku injak gas, dan melaju ke sekolah si kecil.
.
Lagi dong
BalasHapusDitunggu kelanjutannya
BalasHapus