Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Aku
keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Kudapati suami masih duduk di
ranjang, masih dengan ekspresi manyun.
Persis seperti saat aku tinggal mandi tadi. Masih tetap telanjang dada, hanya
memakai boxer. Aku tersenyum
melihatnya. Kudekati dan duduk disampingnya.
“Udah
dong ngambeknya...” Kuelus rambut suami.
“Ayah itu
ada-ada aja deh. Masa weekend gini
kamu diajak kerja sih.”
Kembali
aku tersenyum. Kali ini aku kecup pipinya.
Suamiku lagi
sebel sama ayahnya. Soalnya kemarin malam ayah mertuaku menelpon. Minta aku temani
bertemu klien penting. Dia minta aku jadi ‘konsultan’, kerena aku punya pengalaman
soal negosiasi. Sebagai menantu yang baik tentu aku setujui. Sebelumnya aku sudah
minta ijin sama suami. Malahan ayah mertua aku suruh bicara langsung dengan
suami. Dengan berat hati suami ikut menyetujui. Padahal rencananya hari ini aku
dan suami mau ‘bikin anak’. Mumpung si kecil ada acara di sekolah, jadi habis nganter bisa ‘ena-ena’ seharian. Buyar deh rencana itu.
Masih kuelusi
rambut suami. “Ntar malem kan masih bisa,” berusaha aku menghibur dirinya.
“Quicky bentar yuk, Ma. Buat ngilangin
kesel.”
Lagi aku
tersenyum. Gini deh kalau manja suami kumat. Terpaksa aku iyakan, soalnya tidak
mau meninggalkan suami dalam kondisi dongkol. Lagian masih ada waktu, meski
sangat sempit.
Kutanggalkan
handuk, lalu berbaring telanjang di ranjang. Senyum suami tersungging, melihat
aku sudah membuka paha lebar-lebar. Bergegas dia lorotkan boxer. Mengacunglah penis suami. Langsung saja aku minta suami
memasukkan miliknya. Meski mungkin akan terasa perih, karena aku belumlah ‘basah’.
“Aahhh...”
Aku mendesah pelan. Penis suami sudah menusuk kewanitaanku.
Baru
dua-tiga kali genjotan, terdengar si kecil berteriak di luar. “Pa, udah belum?
Ntar telat!”
Senyum
suami yang tadi pun sirna. Prihatin aku melihatnya. Gagal lagi deh rencana
suami. Mau tidak mau dia harus menarik penisnya. Beranjak aku turun dari
ranjang. Aku daratkan kecupan mesra lagi di bibir suami. Kujanjikan padanya
akan pulang secepat mungkin. Habis itu aku akan menyerahkan diri pada suami. Dengan
berat hati, suami menangguk sambil mengulum senyum.
Kuminta
suami bergegas berpakaian. Cukup satu lelaki saja ngambek pagi ini. Mengingat si kecil sudah berteriak lagi di luar
kamar. Sedangkan aku sendiri memakai kimono. Selesai berpakaian, aku temani
suami keluar. Kuantar suami dan anakku sampai naik ke mobil. Sepeninggal mereka
barulah aku balik ke kamar. Mempersiapkan diri menyambut ayah mertua.
Sambil
nunggu ayah mertua, aku sempat membantu si Mbok di dapur. Selang dua puluh
menit, mobil mertua tiba. Kusambut dia di depan rumah.
“Pakai
pakaian kayak gini nggak apa-apa, Yah?” Aku pakai kaos Polo dan legging. Memastikan
kalau aku tidak saltum, alias salah kostum. Kemarin ayah mertua bilang kami
akan main golf.
Dia
tersenyum. “Ini sih udah bagus banget. Udah cantik.”
Ikut aku
tersenyum. Ayah mertua, masih terlihat kikuk bertemu denganku. Mengingat
kejadian terakhir antara kami (baca cerita yang berjudul ‘Bermain Api’).
Berusaha aku membuatnya jadi nyaman, karena kejadian itu terjadi karena salahku
juga.
“Ayah mau
sarapan dulu?”
“Nggak
usah deh. Langsung berangkat aja yuk, takut di jalan ntar kena macet.”
Aku
menurut. Minta ijin sebentar mengambil tas, aku lalu menyusul naik ke mobil. Begitu
keluar dari halaman, kami berpapasan dengan suami. Ayah mertua dan suami hanya
berbincang dari dalam mobil. Mertua bilang kami musti buru-buru. Suamiku
mengangguk, lalu melambai ke arah kami. Mobil mertua pun lanjut melaju, menuju
ke lokasi yang dituju.
Sampai di
lobi areal golf, ponsel mertuaku berbunyi. Dari sekretaris pribadi sang klien.
Memberi tahu kalau mereka terjebak macet. Mungkin akan datang sedikit terlambat.
Mumpung ada waktu, ayah mertua mengajak aku ke restoran. Sekedar nyemil-nyemil kecil.
Sambil
makan, ayah mertua menjelaskan latar belakang pertemuan ini. Klien ini adalah rekanan
dari teman lamanya. Bisa dibilang bisnis ini sekaligus temu kangen. Minta
bantuan dirinya untuk bernegosiasi. Kalau proyek ini bisa lolos, tentu ada
pembagian keuntungan. Lumayan kan buat nambah dana pensiun, begitu canda ayah
mertuaku.
“Kamu masih
sering ditinggal-tinggal sendirian sama Hendra, Dit?” Celetuk ayah mertua. Keluar
dari tema awal obrolan kami.
“Nggak
juga sih. Emang kenapa, Yah?”
“Habis
cucunya papi kok nggak nambah-nambah sih.” Ayah mertua tergelak. Terlihat dia
sudah mulai nyaman berdekatan denganku.
Mau tidak
mau aku ikut tergelak. Padahal kalian tahu kan, kalau justru dirinya yang mengganggu
rencana kami ‘nambah cucu’ hari ini.
“Mungkin
belum dikasi aja sama yang di atas.”
“Atau
jangan-jangan keluarnya di luar mulu nih? Kalian udah nikah loh, keluarin di
dalemlah.”
Kali ini
aku hanya bisa tersipu. Sementara ayah mertua kembali tergelak. Suami memang
pernah cerita, kalau dia kerap jujur dengan ayahnya. Termasuk soal kami yang
sudah berhubungan intim saat pacaran dulu. Ayah mertuaku saat itu hanya
berpesan, “Jangan sampai si Dita hamil, kasihan kalau nanti bukan kamu
suaminya.” Mungkin itu maksud dari ‘keluar di luar’ tadi.
Beruntung
ponsel ayah mertuaku berbunyi lagi. Bisa mati
kutu, kalau obrolan tadi dilanjutkan. Kembali dari sekretaris sang klien.
Memberi tahu kalau mereka sebentar lagi akan sampai. Ayah mertua lalu mengajak
aku kembali ke lobi. Beberapa saat kemudian, terlihat iring-iringan mobil
berwarna hitam memasuki parkiran.
“Suryo,
nggak nambah tua kau ya. Masih gagah aja kau.” Seorang pria paruh baya menyapa
ayah mertua. Mereka berpelukan. Terlihat sekali kalau mereka sangat akrab. “Siapa
ini? ‘Gandengan’ barukah?” Melirik pria itu ke arahku, kemudian mengerling.
Ayah
mertua tertawa kecil. “Gue udah insyaf Wan. Ini menantu gue, istrinya Hendra.”
“Bah, pinter kali si Hendra pilih istri.”
Pria itu lalu menyodorkan tangannya padaku.
Barulah aku
tahu kalau pria itu bernama Togar. Kalau dilihat raut wajah yang kaku, bisa
diterka dari mana Pak Togar berasal. Perawakannya hanya sedikit lebih tinggi
dari aku. Ayah mertua bilang mereka seumuran, tapi Pak Togar kelihatan jauh
lebih tua. Perutnya sudah tidak lagi rata. Kalau dari penampilan sih, sangat jauh
dari kata sederhana. Paling mencolok tentu kalung, jam, dan cincin. Semuanya
mengkilat, berbahan emas.
Kami lalu
dikenalin pula dengan rombongan lain. Ternyata di antaranya ada satu orang
anggota Dewan. Pak Fikri, namanya. Pak Togar menyebut kalau dialah si ‘pemegang
kunci’ proyek.
Lanjut basa-basi
sebentar, kami kemudian memulai permainan golf. Royal sekali Pak Togar ini,
sampai mengajak tiga caddy. Pilihan
pastilah yang cantik-cantik. Beberapa kali dia melancarkan rayuan genit kepada
para caddy tersebut. Sedangkan ayah
mertua hanya mengajak satu caddy. Mungkin
segan padaku. Entah seandainya aku tidak ikut. Soalnya masih teringang dengan
kata ‘gandengan’, yang tercetus dari mulut Pak Togar tadi. Pastilah mereka
punya rahasia terkait soal gadis-gadis muda.
Sambil bermain,
pembicaraan bisnis terus berjalan. Dari yang aku tangkap, isi obrolannya penuh
dengan kode-kode. Bahaya banget-lah kalau sampai ketahuan aparat
negara, apalagi KPK. Duh, ayah mertua
kok ngajak aku sih, meruntuk aku dalam hati. Padahal tanpa aku ikut juga tidak
apa-apa. Soalnya aku tidak terlalu terlibat dalam obrolan. Palingan senyum-senyum
doang, kalau Pak Togar atau Pak Fikri menyebut namaku. Itu terjadi sampai tiba
waktu makan siang.
“Hei
Suryo, boleh aku ajak si Dita keluar bentar? Beli oleh-oleh buat istri aku tu,
soalnya mana ngerti aku soal barang-barang cewek. Kau lanjutin lah dulu main
tanpa aku.”
Ayah mertua
mengangkat bahunya. Dia malah menoleh padaku.
“Bagaimana,
Dit?”
“Bentar
sajalah Dit, mereka selesai main paling kita sudah balik.” Bujuk Pak Togar.
Sadar
kalau dia adalah klien penting mertua, mau tidak mau aku mengiyakan. Aku sarankan
saja dia membeli batik atau paket herbonist.
Pak Togar menyerahkan pilihan padaku. Maka selesai makan siang, aku pun ikut
bersama Pak Togar. Mobil melaju pelan, menuju ke salah satu pusat belanja
oleh-oleh. Sepanjang jalan, dia yang lebih banyak mengajukan pertanyaan. Kebanyakan
sih seputar pekerjaan dan keluargaku.
“Bolehlah
aku ikut paket asuransi itu. Nggak apa-apa kan aku daftarnya sama kau?”
“Nggak
apa-apa sih Bang. Kan nanti proses pembayaran dipotong langsung dari rekening tiap
bulannya.” Tadi memang Pak Togar yang minta aku memanggilnya ‘Abang’. Kata dia,
terkesan tua kalau dipanggil ‘Bapak’.
“Bagus,
bagus. Nah, kau bawakanlah form-nya ke hotel besok. Nggak apa-apa
kan ganggu libur kau? Sekalian gitu temani aku jalan-jalan.” Pak Togar
terkekeh.
Kemudian
aku pun minta maaf. Aku bilang kalau besok ada acara keluarga. Cuma pagi
mungkin aku bisa mampir untuk membawa dokumen asuransi tersebut. Terlihat
sekali Pak Togar kecewa mendengar itu, tapi syukurnya dia bisa mengerti.
“Kalau
begitu, nggak bisa kau carikan teman buat ‘nemenin’ aku besok?”
Aku
berpikir sejenak. Belum selesai, Pak Togar kembali berujar. “Kalau bisa
‘nemenin’ dari pagi sampai malam. Musti bayar mahal juga tak apa-apalah.” Dia beri
kode tanda petik, menekankan kata ‘nemenin’. Rupanya dia minta teman
jalan-jalan, sekaligus ‘teman’ tidur. Secara tersirat itu artinya Pak Togar
mengaku, kalau dia ada niat meniduri aku. Kan awalnya dia minta aku yang
menemani dirinya.
Entah
kenapa tiba-tiba aku teringat Siska. Masih ingat dengan Siska? Itu loh, teman kampusku di cerita ‘Sahabat
Lama’. Maka aku hubungi dirinya.
“Buat
kapan nih? Kalau malem ini gue ada schedule
nge-MC,” ujar Siska di seberang telepon.
Kusampaikan
hal itu kepada Pak Togar. Dia nyengir. “Nggak apa-apa. Nanti malem biar si Rani
saja yang nemenin aku.”
Rani yang
dimaksud di sini adalah satu dari caddy
di lapangan tadi. Gila nih bapak tua, maniak seks banget, rungutku dalam hati.
“Mulai
besok pagi Sis, long time sampai
malem. Malah mungkin bisa sampai nginep. Gimana?”
“Doi udah
deal sama harga gue?”
“Nggak
masalah sih kalo soal duit.”
Dan
kesepakatan pun tercapai. Siska setuju menemani Pak Togar.
Habis itu
Pak Togar sibuk dengan aktifitas membeli oleh-oleh. Sempat Pak Togar menawari
aku ikut belanja. Memilih barang mana saja yang aku suka, namun aku tolak.
Takut kalau aku terima, nanti dia minta kompensasi. Malas aku berurusan dengan
laki-laki mata keranjang, macam Pak Togar ini.
Menjelang
sore, kami sudah sampai lagi di lapangan golf. Bertepatan dengan rombongan
selesai bermain. Begitu sampai, pertanyaan pertama ayah mertua padaku, “Kamu
nggak diapa-apain kan sama Pak Togar?” Agaknya ayah mertua tahu karakter dari
teman lamanya itu. Kujawab dengan gelengan kepala. Mungkin karena tahu aku
menantu dari temannya. Kalau tidak, mungkin aku juga akan ‘ditawar’ oleh Pak
Togar.
“Makasi
Dit, udah bantuin Ayah. Pak Togar itu loh
satu sebenarnya susah banget diurus, banyak maunya. Maklum pejabat. Tapi
sama kamu kok mau dia ‘jinak’ ya?”
Aku
tersenyum dalam hati. Andai saja ayah mertuaku tahu obrolan antara aku dan Pak Togar. Tapi, ya biarin saja deh. Hitung-hitung membantu bisnisnya ayah mertua. Toh, ujung-ujungnya suami juga yang
kebagian rejekinya. Kan, bisnis mertua dikelola suamiku juga.
Kembali
ayah mertua berbicara dari belakang kemudi. “Sekarang tinggal nunggu mood-nya Pak Togar aja nih...” Yang aku
amini dengan anggukan.
Malam
hari baru aku tiba di rumah. Suami dan anakku sudah menunggu kedatangan kami. Ayah
mertua sekalian menjemput si kecil. Rencananya besok dia mau diajak jalan-jalan.
Aku biarkan para laki-laki ngobrol, sementara aku ganti pakaian. Merasa gerah,
akhirnya aku putuskan untuk langsung mandi. Beberapa saat sedang membilas diri,
pintu kamar mandi terbuka. Terlihat suami tersenyum padaku. Dia sudah dalam
keadaan telanjang bulat. Itu artinya ayah mertua dan si kecil sudah pergi.
Tinggal kami berdua di rumah.
“Boleh
ikutan gabung?” Tanya suami.
Aku balas
tersenyum, lalu mengangguk.
Proyek ‘bikin
anak’ pun dimulai dari bawah guyuran shower.
Seperti hendak melampiaskan rasa kecewa pagi tadi, suami menyetubuhi aku berkali-kali
malam itu. Berusaha aku imbangi, meski tubuhku sudah lelah.
***
Matahari
sudah sangat tinggi, ketika aku terbangun. Suara ponsel yang menarik aku dari
dunia mimpi. Kudapati diriku ada di dalam pelukan suami. Dia sendiri masih
terlelap. Pelan-pelan aku geser tangan suami, kemudian berusaha menjangkau
ponsel.
“Dit, lu
ditanyain sama Pak Togar. Katanya lu ada janji bawain berkas asuransi gitu?”
Terdengar suara Siska di ujung telepon.
Langsung
kulirik jam. Sudah pukul sepuluh pagi. Rupanya Siska sudah berada di hotel,
bersama Pak Togar. Hampir saja aku lupa dengan janjiku kemarin. Alasan ada
acara keluarga, memang hanya untuk menghindari ketemu Pak Togar. Hari ini
sebenarnya aku tidak ada acara. Pengennya sih tidur sampai siang. Namun, kalau
soal dokumen asuransi kan lumayan buat nambah-nambah duit bulanan. Rejeki mah nggak boleh ditolak.
“Sorry, sorry Sis. Pak Togar
sekarang di mana?”
“Ladi di
kamar mandi tuh. Kita baru aja habis sarapan. Dia minta gue nelpon lu, soalnya
kemarin lupa katanya minta nomor lu.”
“Bilangin
Pak Togar, sejam lagi gue sampe.”
“Oke.”
“Elu
nggak apa-apa kan nemenin Pak Togar?”
Aku alihkan obrolan. Memastikan kalau sahabatku
itu baik-baik saja. Berjaga-jaga, seandainya Pak Togar itu tipikal yang suka
‘aneh-aneh’ di ranjang.
“Tenang.
Dia tipe cowok yang gampang di-handle
kok.” Kemudian berbisik. “Keluarnya cepet.” Menyusul suara tawa Siska.
Mereka
rupanya tadi sudah sempat melakukan ‘morning
sex’. Satu ronde aja sih, kata
dia. Lega aku mendengarnya. Obrolan kami sudahi setelahnya.
“Siapa
yang nelpon?” Asyik mengobrol, aku tidak sadar kalau suami terbangun.
Aku ceritakan
perihal Pak Togar, tanpa menyinggung soal Siska. Suami bisa mengerti kalau aku harus
segera pergi. Lagian kemarin sudah puas dia semalaman aku ‘temani’. Turun dari
ranjang, aku bergegas masuk mandi. Selesai mandi, aku dapati suami sudah
terlelap lagi. Sangat wajar sih kalau dia kelelahan. Aku pun juga sama
sebenarnya, tapi ada tugas yang sudah menanti. Setelah pakai pakaian lengkap,
tidak lagi aku bangunkan suami, dan langsung berangkat.
Sampai di
lobi hotel, aku hubungi Siska menanyakan nomor kamar. Kamar mereka ada di
lantai tiga ternyata. Keluar dari lift, melangkah menyusuri selasar, tiba juga
aku di depan kamar. Bel pintu aku tekan, muncullah Siska dari baliknya. Dia tersenyum
menyambutku. Dia terlihat hanya memakai tanktop
dan celana dalam. Ketika kami masuk, Pak Togar yang lagi berbaring santai
di ranjang, melambai ke arahku. Dia bergegas turun, dan menyambutku. Dia hanya
memakai jubah mandi saja saat itu.
“Maaf
Bang, tadi bangunnya kesiangan...”
Pak Togar
terkekeh. “Sudah aku sangka. Nggak apa-apalah, yang penting kau sudah di sini.”
Dia lalu
mempersilakan aku duduk.
“Minum
apa Dit? Teh? Kopi?” Siska tersenyum.
“Kayak
ama siapa aja. Nggak usah repot deh, Sis.”
“Loh, kamu ini kan tamu dari ‘klien’
aku.” Kini dia melirik Pak Togar, lalu mengerling genit.
Si
laki-laki paruh baya kembali terkekeh. Memang jago nih Siska bikin cowok berbunga-bunga. Akhirnya Siska menyajikan
aku air mineral botol, dan segelas kopi untuk sang ‘klien’. Dia lalu duduk di tepian
kursi, yang diduduki Pak Togar. Sambil mengobrol tidak henti-henti tangan laki-laki
itu mengelusi paha Siska, bahkan sesekali sampai pangkal paha. Sahabatku sih
terlihat santai saja dengan itu.
“Tinggal tanda
tangan aja kan ini?”
Aku
mengangguk. Dan Pak Togar pun menggoreskan pulpen yang dipegangnya.
“Nah selesai. Sebelum udahan, kita ‘have fun’ sekali lagi yuk.” Laki-laki
gempal itu mengerling ke arah Siska. Dia menepuk pantat sahabatku itu, dan
minta dia berdiri.
Belum
paham dengan maksud ‘have fun’ ini,
Pak Togar menjelaskannya tanpa diminta.
“Gini
Dit. Kemarin aku dapet ngobrol ama Siska. Pengen coba aku direkam waktu lagi ‘ah-ah’, pengen tau kalo di kamera tampangku
kayak apa. Kau bantu kita pegang handphone-nya
ya.”
Kaget aku
mendengarnya itu. Langsung aku minta ijin berbicara dengan Siska, sambil
berbisik tentunya. “Gila lu ya, mau aja pake acara rekam-rekam segala.”
“Tenang
aja Dit. Ntar rekamnya pakai HP gue kok. Terus gue juga pake topeng, buat
nyamarin identitas. Cuma buat kita tonton di kamar ini aja.”
![]() |
“Ntar ya
Om, Siska ganti baju dulu.”
Pak Togar
langsung menarik tangan Siska, agar tidak beranjak. “Eh mau kemana. Udah kau
pake yang ini saja...”
Siska
menurut saja. Dia hanya pergi mengambil topeng,
memakainya, lalu kembali mendekati kami. Prinsip dia kan, asal harga cocok,
klien adalah raja. Apalagi Pak Togar sudah mentransfer lunas. Malahan sempat memberi
tips lebih.
Laki-laki
itu menggandeng Siska naik ranjang. Sempat mereka bercumbu singkat dulu.
Ciuman-ciuman kecil, dan remasan di pantat.
“Siap
Dit?” Pak Togar menoleh ke arahku. Minta aku bersiap untuk merekam. Sedikit tergagap,
langsung aku tekan tombol record.
Adegan
layak sensor itu pun dimulai. Kembali keduanya bercumbu. Kali ini berlangsung
lebih panas dan lebih intim. Saling pagut, saling sentuh, saling remas, dan
saling bertukar liur. Ketika Pak Togar sudah menindih Siska, pemandangan jadi
nampak kontras. Tubuh bongsor nan buncit, dengan tubuh semampai nan sintal.
Begitu pula saat Pak Togar sudah melepas jubah mandinya, dan Siska sudah dilolosi
tanktop-nya. Kulit mereka berbeda
seratus delapan puluh derajat. Yang satu putih mulus, yang satu coklat mengkilap.
Meski
begitu, Siska terlihat menikmati permainan. Entah itu beneran atau cuma akting.
Dengan pengalaman yang dia punya, sahabatku itu sangat ahli ‘bersandiwara’ saat
bercinta. Terlihat dia menikmati momen menyusui Pak Togar. Sekali-kali dia
melenguh, ketika sang klien menggigit putingnya terlalu keras. Untuk ukuran
tubuh yang mungil, Siska memiliki payudara yang cukup besar. Pastilah semua
laki-laki puas bisa merasakan kekenyalannya.
“Sshhh, sshhh, sshhh...”
“Sshhh, sshhh, pelan-pelan aja Bebs...”
Puas
menyusui, mereka berganti posisi jadi 69. Penis Pak Togar ada di mulut Siska,
begitu pula sebaliknya. Sama seperti ukuran tubuhnya, penis Pak Togar juga rada
gemuk. Pendek, tapi punya diameter yang besar. Sekali lahap, seluruh batangnya sudah
masuk ke mulut. Sementara si laki-laki, terlihat sibuk menjilati celana dalam
Siska. Kain minimalis, yang hampir tak menutupi apa-apa. Tidak segan pula Pak
Togar menjilat sampai ke lubar dubur.
Pak Togar
minta ganti posisi. Dia takut nanti keburu ‘keluar’, gara-gara emutan Siska.
Minta dia langsung ke ‘menu utama’ saja, lubang vagina Siska. Dengan cekatan
sahabatku itu memasang kondom, kemudian berbaring dia mengangkang. Sempat dia
rapikan dulu rambut bergelombang, yang dicat pirang.
“AAHHH...”
Siska melenguh pelan. Seolah menikmati sekali tusukan penis itu. Meski pasti dia
pernah ‘ditusuk’ penis yang jauh lebih panjang.
Demikian
pula saat Pak Togar mulai menggenjot. Siska bisa pasang ekspresi seolah terpuaskan.
Terdengar pula dari desahannya. Melihat gerakan pinggul yang kaku, harusnya sih
penis itu tidak tertancap maksimal. Sungguh aku harus belajar cara ‘akting’
seperti itu, dari sahabatku.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Oohhh,
oohhh, oohhh...”
Walau tersaji
persetubuhan yang rada ganjil, tapi harus kuakui kalau aku mulai ikut
terpengaruh. Melihat tubuh keduanya bergumul, bikin di ‘bawah’ sana cenat-cenut. Terutama melihat ekspresi
wajah Siska. Entah kenapa terlihat sangat sensual. Mengundang sisi ‘lesbianku’
bereaksi. Entah kenapa aku ingin juga menjamah tubuh Siska. Harus diakui, kalau
sahabatku itu punya daya tarik seksual yang tinggi.
Andai
pikiran tidak lagi jernih, mungkin aku sudah menyentuh area intim. Termasuk dada
yang kini terasa ‘gatal’, melihat Pak Togar yang meremasi payudara Siska. Dilakukan
itu sambil terus menusuk, menarik, dan menusuk. Oh, sungguh fantasi liarku jadi kemana-mana.
“Deketin
dikit Dit, ambil dari belakang,” ucap Pak Togar, dengan deru nafas terengah. Ketika
itu mereka sedang dalam posisi doggie.
Lagi berkutat
dengan bisikan birahi, aku turuti keinginan tersebut. Mendekat aku ke ranjang,
dan mengambil video dari belakang. Terpaksa aku ‘nikmati’ pemandangan vulgar di
depanku. Pantat gempal Pak Togar yang bergerak berirama, seiring genjotan
penisnya. Gesekan penis Pak Togar dengan vagina Siska, yang menimbulkan suara ‘ploop, ploop, ploop...’
Semuanya
itu seperti menonton film porno berkualitas super
HD, dalam posisi zoom. Kualihkan
pandangan ke layar ponsel, guna mengurangi efek stimulan yang terus merangsang otak. Agak sulit, karena Pak Togar
terus saja minta aku merubah sudut rekam. Membuat aku melihat yang tidak ingin
kulihat. Sepertinya dia memang sengaja. Berusaha membuat aku dilanda birahi.
Masih Siska
disetubuhi dalam posisi nungging.
Meski sedang ‘dihajar’ habis-habisan, berusaha Siska tetap melempar senyum ke arahku.
Dari ekspresinya, yang beberapa kali megap-megap,
sepertinya dia mulai menikmati persetubuhan tersebut. Dan ini bukan lagi soal
permainan akting, semuanya sudah mengalir liar.
Saat kami
bertatapan, Siska memberi isyarat tangan agar aku mendekat. Sedikit ragu aku
turuti isyarat tersebut. Saat aku cukup dekat, tiba-tiba saja Siska menarikku,
dan mendaratkan bibirnya. Kaget dong aku dibuatnya. Belum sempat tersadar,
bibirku sudah dilumatnya. Lumatan itu terasa sangat lembut. Terutama ketika di
momen itu, aku pun sudah dilanda birahi.
“Oh yes, lesbian show!” Pekikan Pak Togar menyadarkan aku.
Refleks
aku menarik wajahku. Kulihat Siska tersenyum genit kepadaku.
Ditengah
genjotannya, Pak Togar kembali berujar, “Ulangin lagi dong. Hot kali tadi itu...”
Kembali Siska
memberi isyarat tangan. Kali ini lengkap dengan senyuman genit. Entah kenapa aku
seperti tersihir. Bergerak aku mendekat, dan bibir kami bertemu lagi. Sungguh
bibir Siska terasa nikmat sekali saat itu. Aku lumat bibir itu dengan ‘lapar’. Aku
jadikan bibir sahabatku itu sebagai pelampiasan birahi.
“Touch me...” Begitu bisik Siska, bersamaan
dengan tanganku yang ditarik ke payudara kirinya.
Lagi-lagi
seperti tersihir, aku menurut saja. Aku remas-remas payudara Siska, sambil
tetap saling melumat. Dengan nakal, Siska nyelipin
tangan kanannya ke dalam kaos yang kupakai. Dilakukan hal yang sama
terhadap payudaraku. Pak Togar kembali berkomentar. Sengaja dia hentikan dulu
genjotan, tetapi tidak sampai mencabut penisnya. Dia perhatikan dengan seksama
apa yang kami lakukan. Bahkan, dia panas-panasi Siska agar melakukan aksi yang
lebih hot.
Dipancingi
seperti itu Siska pun bereaksi. Dibukanya kait dan resleting celana jeans-ku. Lagi dia selipin tangannya, yang kali ini mengincar area intimku. Gilanya,
aku tidak ada niat mencegah. Jujur, vaginaku waktu itu terasa sangat ‘gatal’. Adanya
tangan Siska di bawah sana, justru terasa nyenengin.
Pasti Siska bisa merasakan kalau celana dalamku sudah basah. Aku pejamkan mata,
mencercap nikmat yang menjalar. Syaraf tubuh seperti sakau, akibat pengaruh zat endorfin.
Apa yang Siska
lakukan padaku, agaknya bikin Pak Togar makin bernafsu. Kembali tubuh Siska
yang terguncang. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Sepertinya laki-laki itu
sudah hampir tiba di ujung orgasme. Dia kerahkan sisa-sisa tenaga menjelang
akhir persetubuhan.
Tidak
kuasa lagi Siska melanjutkan sentuhan pada tubuhku. Padahal aku masih butuh
disentuh.
Sampai
akhirnya, Pak Togar mengejang. “Dit, a-aku mau KE-KELUAR...”’
Tergagap
aku dibuatnya. Buru-buru aku sambar ponsel. Mulai mengambil video kembali. Tubuh
Siska dia balikan. Habis itu Pak Togar menarik penisnya. Aku arahkan ponsel ke
payudara Siska, persis dimana ujung penis Pak Togar terarah. Selang beberapa
detik, penis itu berkedut. Disusul keluarnya cairan kental. “Croot, croot, croott...”
Pak Togar
tersenyum puas. Pada semprotan terakhir, dia oleskan telunjuk. Jari yang
berlumuran sperma tersebut, kemudian dimasukkan ke mulut Siska. Tanpa ragu,
sahabatku itu menerima dan mengulumnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung,
dijilatinya pula batang penis Pak Togar sampai bersih. Senyum laki-laki itu pun
makin lebar.
Permainan
sudah selesai. Rekaman pun aku hentikan.
Tissue basah
kusodorkan pada Siska, untuk dipakainya mengelap payudara. Saat itu kulihat Pak
Togar nyengir ke arahku. Dari lirikan
matanya, baru aku sadari kalau kancing dan resleting jeans masih terbuka. Segera aku rapikan, agar sebagian dari celana
dalam tidak dipelototi lebih lama.
“Om,
Siska bersih-bersih bentar ya.”
Kalimat
Siska tadi memecah kecanggungan antara aku dan Pak Toga.
“Aku ikut
deh.”
Begitu keduanya
masuk ke kamar mandi, aku melangkah menuju balkon. Menghirup udara segar sangat
aku butuhkan saat itu. Menghilangkan birahi yang tadi sempat melanda. Sementara
dari dalam, terdengar suara cekikikan. Sepertinya, mereka lagi menonton hasil
rekaman tadi.
Beberapa
saat, Siska mendongak ke luar. “Dit, anterin gue pulang ya. Gue mandi dulu
bentar.”
“Pulang?
Emang udah selesai?”
“Bentar
aja, ambil ‘pakaian’ ganti. Ntar sore gue balik lagi ke sini.” Dia mengerling.
Mendengar
itu aku mengangguk, kemudian Siska masuk lagi. Kembali terdengar suara
cekikikan dari kamar mandi, diiringi gemericik air. Tidak lama tawa itu
berganti desahan. Sialan, mereka ngentot
lagi? Aku meruntuk. Mendengar itu, mau tidak mau pikiran mulai bergulir
liar. Spontan aku meraba dada, karena puting yang mengeras. Andai ada laki-laki
lain, mungkin sudah kutarik dia ke ranjang. Benar-benar aku dibuat tersiksa. Terjebak
dalam kondisi seperti saat itu.
Selang
setengah jam, barulah Siska keluar dari dalam. Berbalut handuk. Tidak terlihat
Pak Togar muncul menyusul. Kata Siska, laki-laki itu mau rileks berendam dulu.
Selesai
berpakaian, Siska membuka sedikit pintu kamar mandi. “Om, Siska balik ya...”
Terdengar
suara balasan. Ikut aku mengintip ke dalam, agar terlihat juga oleh Pak Togar. Sedikit
malu-malu. Masih canggung oleh kejadian tadi.
“Oke Sis.
Oya kau ambillah duit di dompetku, pakai buat nraktir Dita.” Melambai Pak Togar
ke arahku, dari dalam bak mandi. “Makasi ya Dit.” Ikut aku balas melambai.
“Siska
ambil berapa nih, Om?”
“Kau
ambil semuanya sajalah.”
Sesuai
instruksi, Siska mengambil semua lembaran merah dari dalam dompet. Mungkin ada
satu jutaan tuh. Dia kibas-kibas lembaran rupiah itu ke arahku, sambil nyengir.
Kembali
kami pamitan, sebelum pergi meninggalkan kamar.
Di tengah
perjalanan pulang, Siska mengajak aku mampir dulu ke sebuah restoran. Tapi,
karena hari sudah siang aku menolak. Aku bilang lain kali saja. Siska pun tidak
memaksa. Selama ada di jalan kami irit bicara. Di kepala masih terbayang
kejadian tadi soalnya. Termasuk, ketika Siska mencumbui diriku.
“Nggak
mau mampir dulu?” Tanya Siska, saat kami sudah berdiri di depan pintu
apartemen.
“Nggak
deh...”
Belum
selesai kalimatku, tiba-tiba Siska menarik tubuhku. Mendarat bibirnya di
bibirku. Dilumat bibirku dengan lembut.
“Maaf
Dit, gue nggak tahan pengen nyium lu lagi.”
Tidak
tahu aku harus berkomentar apa. Jauh di lubuk hati, aku juga menikmati ciuman
itu. Aku juga ingin mengulang momen seksual bersama Siska.
Masih
kikuk, tahu-tahu bibir kami bertemu lagi. Gilanya, kali ini aku membalas
lumatan itu.
“Yakin
nih nggak mau mampir dulu?”
“Bo-boleh.
Mungkin sebentar aja...”
Siska tersenyum
dan langsung menarik tanganku. Pintu apartemen kemudian tertutup.
***
Apa yang
terjadi di apartemen, cukup diriku dan Siska saja yang tahu. Yang jelas, berselang
dua hari ayah mertuaku menelepon. Mau bilang terima kasih. Rupanya, Pak Togar
sukses mengatur agar proyek jatuh ke perusahaan ayah mertua. Aku pun ikut
senang mendengarnya.
Dan tentu
saja, ayah mertua tidak perlu tahu tentang ‘skenario’ di balik layar.
.
ayo dilanjut dith, kangen sama SSnya Ditha & para pejantan Tua. hehehe
BalasHapus