Minggu, 16 Desember 2018

Membantu Mertua


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Aku keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Kudapati suami masih duduk di ranjang, masih dengan ekspresi manyun. Persis seperti saat aku tinggal mandi tadi. Masih tetap telanjang dada, hanya memakai boxer. Aku tersenyum melihatnya. Kudekati dan duduk disampingnya.
“Udah dong ngambeknya...” Kuelus rambut suami.
“Ayah itu ada-ada aja deh. Masa weekend gini kamu diajak kerja sih.”
Kembali aku tersenyum. Kali ini aku kecup pipinya.
Suamiku lagi sebel sama ayahnya. Soalnya kemarin malam ayah mertuaku menelpon. Minta aku temani bertemu klien penting. Dia minta aku jadi ‘konsultan’, kerena aku punya pengalaman soal negosiasi. Sebagai menantu yang baik tentu aku setujui. Sebelumnya aku sudah minta ijin sama suami. Malahan ayah mertua aku suruh bicara langsung dengan suami. Dengan berat hati suami ikut menyetujui. Padahal rencananya hari ini aku dan suami mau ‘bikin anak’. Mumpung si kecil ada acara di sekolah, jadi habis nganter bisa ‘ena-ena’ seharian. Buyar deh rencana itu.
Masih kuelusi rambut suami. “Ntar malem kan masih bisa,” berusaha aku menghibur dirinya.
Quicky bentar yuk, Ma. Buat ngilangin kesel.”
Lagi aku tersenyum. Gini deh kalau manja suami kumat. Terpaksa aku iyakan, soalnya tidak mau meninggalkan suami dalam kondisi dongkol. Lagian masih ada waktu, meski sangat sempit.
Kutanggalkan handuk, lalu berbaring telanjang di ranjang. Senyum suami tersungging, melihat aku sudah membuka paha lebar-lebar. Bergegas dia lorotkan boxer. Mengacunglah penis suami. Langsung saja aku minta suami memasukkan miliknya. Meski mungkin akan terasa perih, karena aku belumlah ‘basah’.
“Aahhh...” Aku mendesah pelan. Penis suami sudah menusuk kewanitaanku.
Baru dua-tiga kali genjotan, terdengar si kecil berteriak di luar. “Pa, udah belum? Ntar telat!”
Senyum suami yang tadi pun sirna. Prihatin aku melihatnya. Gagal lagi deh rencana suami. Mau tidak mau dia harus menarik penisnya. Beranjak aku turun dari ranjang. Aku daratkan kecupan mesra lagi di bibir suami. Kujanjikan padanya akan pulang secepat mungkin. Habis itu aku akan menyerahkan diri pada suami. Dengan berat hati, suami menangguk sambil mengulum senyum.
Kuminta suami bergegas berpakaian. Cukup satu lelaki saja ngambek pagi ini. Mengingat si kecil sudah berteriak lagi di luar kamar. Sedangkan aku sendiri memakai kimono. Selesai berpakaian, aku temani suami keluar. Kuantar suami dan anakku sampai naik ke mobil. Sepeninggal mereka barulah aku balik ke kamar. Mempersiapkan diri menyambut ayah mertua.
Sambil nunggu ayah mertua, aku sempat membantu si Mbok di dapur. Selang dua puluh menit, mobil mertua tiba. Kusambut dia di depan rumah.
“Pakai pakaian kayak gini nggak apa-apa, Yah?” Aku pakai kaos Polo dan legging. Memastikan kalau aku tidak saltum, alias salah kostum. Kemarin ayah mertua bilang kami akan main golf.
Dia tersenyum. “Ini sih udah bagus banget. Udah cantik.”
Ikut aku tersenyum. Ayah mertua, masih terlihat kikuk bertemu denganku. Mengingat kejadian terakhir antara kami (baca cerita yang berjudul ‘Bermain Api’). Berusaha aku membuatnya jadi nyaman, karena kejadian itu terjadi karena salahku juga.
“Ayah mau sarapan dulu?”
“Nggak usah deh. Langsung berangkat aja yuk, takut di jalan ntar kena macet.”
Aku menurut. Minta ijin sebentar mengambil tas, aku lalu menyusul naik ke mobil. Begitu keluar dari halaman, kami berpapasan dengan suami. Ayah mertua dan suami hanya berbincang dari dalam mobil. Mertua bilang kami musti buru-buru. Suamiku mengangguk, lalu melambai ke arah kami. Mobil mertua pun lanjut melaju, menuju ke lokasi yang dituju.
Sampai di lobi areal golf, ponsel mertuaku berbunyi. Dari sekretaris pribadi sang klien. Memberi tahu kalau mereka terjebak macet. Mungkin akan datang sedikit terlambat. Mumpung ada waktu, ayah mertua mengajak aku ke restoran. Sekedar nyemil-nyemil kecil.
Sambil makan, ayah mertua menjelaskan latar belakang pertemuan ini. Klien ini adalah rekanan dari teman lamanya. Bisa dibilang bisnis ini sekaligus temu kangen. Minta bantuan dirinya untuk bernegosiasi. Kalau proyek ini bisa lolos, tentu ada pembagian keuntungan. Lumayan kan buat nambah dana pensiun, begitu canda ayah mertuaku.
“Kamu masih sering ditinggal-tinggal sendirian sama Hendra, Dit?” Celetuk ayah mertua. Keluar dari tema awal obrolan kami.
“Nggak juga sih. Emang kenapa, Yah?”
“Habis cucunya papi kok nggak nambah-nambah sih.” Ayah mertua tergelak. Terlihat dia sudah mulai nyaman berdekatan denganku.
Mau tidak mau aku ikut tergelak. Padahal kalian tahu kan, kalau justru dirinya yang mengganggu rencana kami ‘nambah cucu’ hari ini.
“Mungkin belum dikasi aja sama yang di atas.”
“Atau jangan-jangan keluarnya di luar mulu nih? Kalian udah nikah loh, keluarin di dalemlah.”
Kali ini aku hanya bisa tersipu. Sementara ayah mertua kembali tergelak. Suami memang pernah cerita, kalau dia kerap jujur dengan ayahnya. Termasuk soal kami yang sudah berhubungan intim saat pacaran dulu. Ayah mertuaku saat itu hanya berpesan, “Jangan sampai si Dita hamil, kasihan kalau nanti bukan kamu suaminya.” Mungkin itu maksud dari ‘keluar di luar’ tadi.
Beruntung ponsel ayah mertuaku berbunyi lagi. Bisa mati kutu, kalau obrolan tadi dilanjutkan. Kembali dari sekretaris sang klien. Memberi tahu kalau mereka sebentar lagi akan sampai. Ayah mertua lalu mengajak aku kembali ke lobi. Beberapa saat kemudian, terlihat iring-iringan mobil berwarna hitam memasuki parkiran.
“Suryo, nggak nambah tua kau ya. Masih gagah aja kau.” Seorang pria paruh baya menyapa ayah mertua. Mereka berpelukan. Terlihat sekali kalau mereka sangat akrab. “Siapa ini? ‘Gandengan’ barukah?” Melirik pria itu ke arahku, kemudian mengerling.
Ayah mertua tertawa kecil. “Gue udah insyaf Wan. Ini menantu gue, istrinya Hendra.”
Bah, pinter kali si Hendra pilih istri.” Pria itu lalu menyodorkan tangannya padaku.
Barulah aku tahu kalau pria itu bernama Togar. Kalau dilihat raut wajah yang kaku, bisa diterka dari mana Pak Togar berasal. Perawakannya hanya sedikit lebih tinggi dari aku. Ayah mertua bilang mereka seumuran, tapi Pak Togar kelihatan jauh lebih tua. Perutnya sudah tidak lagi rata. Kalau dari penampilan sih, sangat jauh dari kata sederhana. Paling mencolok tentu kalung, jam, dan cincin. Semuanya mengkilat, berbahan emas.
Kami lalu dikenalin pula dengan rombongan lain. Ternyata di antaranya ada satu orang anggota Dewan. Pak Fikri, namanya. Pak Togar menyebut kalau dialah si ‘pemegang kunci’ proyek.
Lanjut basa-basi sebentar, kami kemudian memulai permainan golf. Royal sekali Pak Togar ini, sampai mengajak tiga caddy. Pilihan pastilah yang cantik-cantik. Beberapa kali dia melancarkan rayuan genit kepada para caddy tersebut. Sedangkan ayah mertua hanya mengajak satu caddy. Mungkin segan padaku. Entah seandainya aku tidak ikut. Soalnya masih teringang dengan kata ‘gandengan’, yang tercetus dari mulut Pak Togar tadi. Pastilah mereka punya rahasia terkait soal gadis-gadis muda.
Sambil bermain, pembicaraan bisnis terus berjalan. Dari yang aku tangkap, isi obrolannya penuh dengan kode-kode. Bahaya banget-lah kalau sampai ketahuan aparat negara, apalagi KPK. Duh, ayah mertua kok ngajak aku sih, meruntuk aku dalam hati. Padahal tanpa aku ikut juga tidak apa-apa. Soalnya aku tidak terlalu terlibat dalam obrolan. Palingan senyum-senyum doang, kalau Pak Togar atau Pak Fikri menyebut namaku. Itu terjadi sampai tiba waktu makan siang.
“Hei Suryo, boleh aku ajak si Dita keluar bentar? Beli oleh-oleh buat istri aku tu, soalnya mana ngerti aku soal barang-barang cewek. Kau lanjutin lah dulu main tanpa aku.”
Ayah mertua mengangkat bahunya. Dia malah menoleh padaku.
“Bagaimana, Dit?”
“Bentar sajalah Dit, mereka selesai main paling kita sudah balik.” Bujuk Pak Togar.
Sadar kalau dia adalah klien penting mertua, mau tidak mau aku mengiyakan. Aku sarankan saja dia membeli batik atau paket herbonist. Pak Togar menyerahkan pilihan padaku. Maka selesai makan siang, aku pun ikut bersama Pak Togar. Mobil melaju pelan, menuju ke salah satu pusat belanja oleh-oleh. Sepanjang jalan, dia yang lebih banyak mengajukan pertanyaan. Kebanyakan sih seputar pekerjaan dan keluargaku.
“Bolehlah aku ikut paket asuransi itu. Nggak apa-apa kan aku daftarnya sama kau?”
“Nggak apa-apa sih Bang. Kan nanti proses pembayaran dipotong langsung dari rekening tiap bulannya.” Tadi memang Pak Togar yang minta aku memanggilnya ‘Abang’. Kata dia, terkesan tua kalau dipanggil ‘Bapak’.
“Bagus, bagus. Nah, kau bawakanlah form-nya ke hotel besok. Nggak apa-apa kan ganggu libur kau? Sekalian gitu temani aku jalan-jalan.” Pak Togar terkekeh.
Kemudian aku pun minta maaf. Aku bilang kalau besok ada acara keluarga. Cuma pagi mungkin aku bisa mampir untuk membawa dokumen asuransi tersebut. Terlihat sekali Pak Togar kecewa mendengar itu, tapi syukurnya dia bisa mengerti.
“Kalau begitu, nggak bisa kau carikan teman buat ‘nemenin’ aku besok?”
Aku berpikir sejenak. Belum selesai, Pak Togar kembali berujar. “Kalau bisa ‘nemenin’ dari pagi sampai malam. Musti bayar mahal juga tak apa-apalah.” Dia beri kode tanda petik, menekankan kata ‘nemenin’. Rupanya dia minta teman jalan-jalan, sekaligus ‘teman’ tidur. Secara tersirat itu artinya Pak Togar mengaku, kalau dia ada niat meniduri aku. Kan awalnya dia minta aku yang menemani dirinya.
Entah kenapa tiba-tiba aku teringat Siska. Masih ingat dengan Siska? Itu loh, teman kampusku di cerita ‘Sahabat Lama’. Maka aku hubungi dirinya.
“Buat kapan nih? Kalau malem ini gue ada schedule nge-MC,” ujar Siska di seberang telepon.
Kusampaikan hal itu kepada Pak Togar. Dia nyengir. “Nggak apa-apa. Nanti malem biar si Rani saja yang nemenin aku.”
Rani yang dimaksud di sini adalah satu dari caddy di lapangan tadi. Gila nih bapak tua, maniak seks banget, rungutku dalam hati.
“Mulai besok pagi Sis, long time sampai malem. Malah mungkin bisa sampai nginep. Gimana?”
“Doi udah deal sama harga gue?”
“Nggak masalah sih kalo soal duit.”
Dan kesepakatan pun tercapai. Siska setuju menemani Pak Togar.
Habis itu Pak Togar sibuk dengan aktifitas membeli oleh-oleh. Sempat Pak Togar menawari aku ikut belanja. Memilih barang mana saja yang aku suka, namun aku tolak. Takut kalau aku terima, nanti dia minta kompensasi. Malas aku berurusan dengan laki-laki mata keranjang, macam Pak Togar ini.
Menjelang sore, kami sudah sampai lagi di lapangan golf. Bertepatan dengan rombongan selesai bermain. Begitu sampai, pertanyaan pertama ayah mertua padaku, “Kamu nggak diapa-apain kan sama Pak Togar?” Agaknya ayah mertua tahu karakter dari teman lamanya itu. Kujawab dengan gelengan kepala. Mungkin karena tahu aku menantu dari temannya. Kalau tidak, mungkin aku juga akan ‘ditawar’ oleh Pak Togar.
“Makasi Dit, udah bantuin Ayah. Pak Togar itu loh satu sebenarnya susah banget diurus, banyak maunya. Maklum pejabat. Tapi sama kamu kok mau dia ‘jinak’ ya?”
Aku tersenyum dalam hati. Andai saja ayah mertuaku tahu obrolan antara aku dan Pak Togar. Tapi, ya biarin saja deh. Hitung-hitung membantu bisnisnya ayah mertua. Toh, ujung-ujungnya suami juga yang kebagian rejekinya. Kan, bisnis mertua dikelola suamiku juga.
Kembali ayah mertua berbicara dari belakang kemudi. “Sekarang tinggal nunggu mood-nya Pak Togar aja nih...” Yang aku amini dengan anggukan.
Malam hari baru aku tiba di rumah. Suami dan anakku sudah menunggu kedatangan kami. Ayah mertua sekalian menjemput si kecil. Rencananya besok dia mau diajak jalan-jalan. Aku biarkan para laki-laki ngobrol, sementara aku ganti pakaian. Merasa gerah, akhirnya aku putuskan untuk langsung mandi. Beberapa saat sedang membilas diri, pintu kamar mandi terbuka. Terlihat suami tersenyum padaku. Dia sudah dalam keadaan telanjang bulat. Itu artinya ayah mertua dan si kecil sudah pergi. Tinggal kami berdua di rumah.
“Boleh ikutan gabung?” Tanya suami.
Aku balas tersenyum, lalu mengangguk.
Proyek ‘bikin anak’ pun dimulai dari bawah guyuran shower. Seperti hendak melampiaskan rasa kecewa pagi tadi, suami menyetubuhi aku berkali-kali malam itu. Berusaha aku imbangi, meski tubuhku sudah lelah.
***
Matahari sudah sangat tinggi, ketika aku terbangun. Suara ponsel yang menarik aku dari dunia mimpi. Kudapati diriku ada di dalam pelukan suami. Dia sendiri masih terlelap. Pelan-pelan aku geser tangan suami, kemudian berusaha menjangkau ponsel.
“Dit, lu ditanyain sama Pak Togar. Katanya lu ada janji bawain berkas asuransi gitu?” Terdengar suara Siska di ujung telepon.
Langsung kulirik jam. Sudah pukul sepuluh pagi. Rupanya Siska sudah berada di hotel, bersama Pak Togar. Hampir saja aku lupa dengan janjiku kemarin. Alasan ada acara keluarga, memang hanya untuk menghindari ketemu Pak Togar. Hari ini sebenarnya aku tidak ada acara. Pengennya sih tidur sampai siang. Namun, kalau soal dokumen asuransi kan lumayan buat nambah-nambah duit bulanan. Rejeki mah nggak boleh ditolak.
Sorry, sorry Sis. Pak Togar sekarang di mana?”                                      
“Ladi di kamar mandi tuh. Kita baru aja habis sarapan. Dia minta gue nelpon lu, soalnya kemarin lupa katanya minta nomor lu.”
“Bilangin Pak Togar, sejam lagi gue sampe.”
“Oke.”
“Elu nggak apa-apa kan nemenin Pak Togar?”
 Aku alihkan obrolan. Memastikan kalau sahabatku itu baik-baik saja. Berjaga-jaga, seandainya Pak Togar itu tipikal yang suka ‘aneh-aneh’ di ranjang.
“Tenang. Dia tipe cowok yang gampang di-handle kok.” Kemudian berbisik. “Keluarnya cepet.” Menyusul suara tawa Siska.
Mereka rupanya tadi sudah sempat melakukan ‘morning sex’. Satu ronde aja sih, kata dia. Lega aku mendengarnya. Obrolan kami sudahi setelahnya.
“Siapa yang nelpon?” Asyik mengobrol, aku tidak sadar kalau suami terbangun.
Aku ceritakan perihal Pak Togar, tanpa menyinggung soal Siska. Suami bisa mengerti kalau aku harus segera pergi. Lagian kemarin sudah puas dia semalaman aku ‘temani’. Turun dari ranjang, aku bergegas masuk mandi. Selesai mandi, aku dapati suami sudah terlelap lagi. Sangat wajar sih kalau dia kelelahan. Aku pun juga sama sebenarnya, tapi ada tugas yang sudah menanti. Setelah pakai pakaian lengkap, tidak lagi aku bangunkan suami, dan langsung berangkat.
Sampai di lobi hotel, aku hubungi Siska menanyakan nomor kamar. Kamar mereka ada di lantai tiga ternyata. Keluar dari lift, melangkah menyusuri selasar, tiba juga aku di depan kamar. Bel pintu aku tekan, muncullah Siska dari baliknya. Dia tersenyum menyambutku. Dia terlihat hanya memakai tanktop dan celana dalam. Ketika kami masuk, Pak Togar yang lagi berbaring santai di ranjang, melambai ke arahku. Dia bergegas turun, dan menyambutku. Dia hanya memakai jubah mandi saja saat itu.
“Maaf Bang, tadi bangunnya kesiangan...”
Pak Togar terkekeh. “Sudah aku sangka. Nggak apa-apalah, yang penting kau sudah di sini.”
Dia lalu mempersilakan aku duduk.
“Minum apa Dit? Teh? Kopi?” Siska tersenyum.
“Kayak ama siapa aja. Nggak usah repot deh, Sis.”
Loh, kamu ini kan tamu dari ‘klien’ aku.” Kini dia melirik Pak Togar, lalu mengerling genit.
Si laki-laki paruh baya kembali terkekeh. Memang jago nih Siska bikin cowok berbunga-bunga. Akhirnya Siska menyajikan aku air mineral botol, dan segelas kopi untuk sang ‘klien’. Dia lalu duduk di tepian kursi, yang diduduki Pak Togar. Sambil mengobrol tidak henti-henti tangan laki-laki itu mengelusi paha Siska, bahkan sesekali sampai pangkal paha. Sahabatku sih terlihat santai saja dengan itu.
“Tinggal tanda tangan aja kan ini?”
Aku mengangguk. Dan Pak Togar pun menggoreskan pulpen yang dipegangnya.
Nah selesai. Sebelum udahan, kita ‘have fun’ sekali lagi yuk.” Laki-laki gempal itu mengerling ke arah Siska. Dia menepuk pantat sahabatku itu, dan minta dia berdiri.
Belum paham dengan maksud ‘have fun’ ini, Pak Togar menjelaskannya tanpa diminta.
“Gini Dit. Kemarin aku dapet ngobrol ama Siska. Pengen coba aku direkam waktu lagi ‘ah-ah’, pengen tau kalo di kamera tampangku kayak apa. Kau bantu kita pegang handphone-nya ya.”
Kaget aku mendengarnya itu. Langsung aku minta ijin berbicara dengan Siska, sambil berbisik tentunya. “Gila lu ya, mau aja pake acara rekam-rekam segala.”
“Tenang aja Dit. Ntar rekamnya pakai HP gue kok. Terus gue juga pake topeng, buat nyamarin identitas. Cuma buat kita tonton di kamar ini aja.”

Melihat ekspresi Siska yang datar, aku jadi ikutan tenang. Artinya dia sudah memegang kendali situasi. Kata dia, hal seperti ini sering dia lakuin sama ‘klien-klien’ lain. Biasalah, demi kepuasan fantasi klien gitu deh. Akhirnya aku pun setuju. Hanya saja, sekarang masalahnya ada di diriku, karena aku akan disajikan live show panas. Kuatkah aku untuk tidak ikut terangsang?
“Ntar ya Om, Siska ganti baju dulu.”
Pak Togar langsung menarik tangan Siska, agar tidak beranjak. “Eh mau kemana. Udah kau pake yang ini saja...”
Siska menurut saja. Dia hanya pergi mengambil topeng, memakainya, lalu kembali mendekati kami. Prinsip dia kan, asal harga cocok, klien adalah raja. Apalagi Pak Togar sudah mentransfer lunas. Malahan sempat memberi tips lebih.
Laki-laki itu menggandeng Siska naik ranjang. Sempat mereka bercumbu singkat dulu. Ciuman-ciuman kecil, dan remasan di pantat.
“Siap Dit?” Pak Togar menoleh ke arahku. Minta aku bersiap untuk merekam. Sedikit tergagap, langsung aku tekan tombol record.
Adegan layak sensor itu pun dimulai. Kembali keduanya bercumbu. Kali ini berlangsung lebih panas dan lebih intim. Saling pagut, saling sentuh, saling remas, dan saling bertukar liur. Ketika Pak Togar sudah menindih Siska, pemandangan jadi nampak kontras. Tubuh bongsor nan buncit, dengan tubuh semampai nan sintal. Begitu pula saat Pak Togar sudah melepas jubah mandinya, dan Siska sudah dilolosi tanktop-nya. Kulit mereka berbeda seratus delapan puluh derajat. Yang satu putih mulus, yang satu coklat mengkilap.
Meski begitu, Siska terlihat menikmati permainan. Entah itu beneran atau cuma akting. Dengan pengalaman yang dia punya, sahabatku itu sangat ahli ‘bersandiwara’ saat bercinta. Terlihat dia menikmati momen menyusui Pak Togar. Sekali-kali dia melenguh, ketika sang klien menggigit putingnya terlalu keras. Untuk ukuran tubuh yang mungil, Siska memiliki payudara yang cukup besar. Pastilah semua laki-laki puas bisa merasakan kekenyalannya.
Sshhh, sshhh, sshhh...”
Sshhh, sshhh, pelan-pelan aja Bebs...”

Puas menyusui, mereka berganti posisi jadi 69. Penis Pak Togar ada di mulut Siska, begitu pula sebaliknya. Sama seperti ukuran tubuhnya, penis Pak Togar juga rada gemuk. Pendek, tapi punya diameter yang besar. Sekali lahap, seluruh batangnya sudah masuk ke mulut. Sementara si laki-laki, terlihat sibuk menjilati celana dalam Siska. Kain minimalis, yang hampir tak menutupi apa-apa. Tidak segan pula Pak Togar menjilat sampai ke lubar dubur.
Pak Togar minta ganti posisi. Dia takut nanti keburu ‘keluar’, gara-gara emutan Siska. Minta dia langsung ke ‘menu utama’ saja, lubang vagina Siska. Dengan cekatan sahabatku itu memasang kondom, kemudian berbaring dia mengangkang. Sempat dia rapikan dulu rambut bergelombang, yang dicat pirang.
“AAHHH...” Siska melenguh pelan. Seolah menikmati sekali tusukan penis itu. Meski pasti dia pernah ‘ditusuk’ penis yang jauh lebih panjang.
Demikian pula saat Pak Togar mulai menggenjot. Siska bisa pasang ekspresi seolah terpuaskan. Terdengar pula dari desahannya. Melihat gerakan pinggul yang kaku, harusnya sih penis itu tidak tertancap maksimal. Sungguh aku harus belajar cara ‘akting’ seperti itu, dari sahabatku.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Oohhh, oohhh, oohhh...”
Walau tersaji persetubuhan yang rada ganjil, tapi harus kuakui kalau aku mulai ikut terpengaruh. Melihat tubuh keduanya bergumul, bikin di ‘bawah’ sana cenat-cenut. Terutama melihat ekspresi wajah Siska. Entah kenapa terlihat sangat sensual. Mengundang sisi ‘lesbianku’ bereaksi. Entah kenapa aku ingin juga menjamah tubuh Siska. Harus diakui, kalau sahabatku itu punya daya tarik seksual yang tinggi.
Andai pikiran tidak lagi jernih, mungkin aku sudah menyentuh area intim. Termasuk dada yang kini terasa ‘gatal’, melihat Pak Togar yang meremasi payudara Siska. Dilakukan itu sambil terus menusuk, menarik, dan menusuk. Oh, sungguh fantasi liarku jadi kemana-mana.
“Deketin dikit Dit, ambil dari belakang,” ucap Pak Togar, dengan deru nafas terengah. Ketika itu mereka sedang dalam posisi doggie.
Lagi berkutat dengan bisikan birahi, aku turuti keinginan tersebut. Mendekat aku ke ranjang, dan mengambil video dari belakang. Terpaksa aku ‘nikmati’ pemandangan vulgar di depanku. Pantat gempal Pak Togar yang bergerak berirama, seiring genjotan penisnya. Gesekan penis Pak Togar dengan vagina Siska, yang menimbulkan suara ‘ploop, ploop, ploop...’
Semuanya itu seperti menonton film porno berkualitas super HD, dalam posisi zoom. Kualihkan pandangan ke layar ponsel, guna mengurangi efek stimulan yang terus merangsang otak. Agak sulit, karena Pak Togar terus saja minta aku merubah sudut rekam. Membuat aku melihat yang tidak ingin kulihat. Sepertinya dia memang sengaja. Berusaha membuat aku dilanda birahi.
Masih Siska disetubuhi dalam posisi nungging. Meski sedang ‘dihajar’ habis-habisan, berusaha Siska tetap melempar senyum ke arahku. Dari ekspresinya, yang beberapa kali megap-megap, sepertinya dia mulai menikmati persetubuhan tersebut. Dan ini bukan lagi soal permainan akting, semuanya sudah mengalir liar.
Saat kami bertatapan, Siska memberi isyarat tangan agar aku mendekat. Sedikit ragu aku turuti isyarat tersebut. Saat aku cukup dekat, tiba-tiba saja Siska menarikku, dan mendaratkan bibirnya. Kaget dong aku dibuatnya. Belum sempat tersadar, bibirku sudah dilumatnya. Lumatan itu terasa sangat lembut. Terutama ketika di momen itu, aku pun sudah dilanda birahi.
Oh yes, lesbian show!” Pekikan Pak Togar menyadarkan aku.
Refleks aku menarik wajahku. Kulihat Siska tersenyum genit kepadaku.
Ditengah genjotannya, Pak Togar kembali berujar, “Ulangin lagi dong. Hot kali tadi itu...”
Kembali Siska memberi isyarat tangan. Kali ini lengkap dengan senyuman genit. Entah kenapa aku seperti tersihir. Bergerak aku mendekat, dan bibir kami bertemu lagi. Sungguh bibir Siska terasa nikmat sekali saat itu. Aku lumat bibir itu dengan ‘lapar’. Aku jadikan bibir sahabatku itu sebagai pelampiasan birahi.
Touch me...” Begitu bisik Siska, bersamaan dengan tanganku yang ditarik ke payudara kirinya.
Lagi-lagi seperti tersihir, aku menurut saja. Aku remas-remas payudara Siska, sambil tetap saling melumat. Dengan nakal, Siska nyelipin tangan kanannya ke dalam kaos yang kupakai. Dilakukan hal yang sama terhadap payudaraku. Pak Togar kembali berkomentar. Sengaja dia hentikan dulu genjotan, tetapi tidak sampai mencabut penisnya. Dia perhatikan dengan seksama apa yang kami lakukan. Bahkan, dia panas-panasi Siska agar melakukan aksi yang lebih hot.
Dipancingi seperti itu Siska pun bereaksi. Dibukanya kait dan resleting celana jeans-ku. Lagi dia selipin tangannya, yang kali ini mengincar area intimku. Gilanya, aku tidak ada niat mencegah. Jujur, vaginaku waktu itu terasa sangat ‘gatal’. Adanya tangan Siska di bawah sana, justru terasa nyenengin. Pasti Siska bisa merasakan kalau celana dalamku sudah basah. Aku pejamkan mata, mencercap nikmat yang menjalar. Syaraf tubuh seperti sakau, akibat pengaruh zat endorfin.
Apa yang Siska lakukan padaku, agaknya bikin Pak Togar makin bernafsu. Kembali tubuh Siska yang terguncang. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Sepertinya laki-laki itu sudah hampir tiba di ujung orgasme. Dia kerahkan sisa-sisa tenaga menjelang akhir persetubuhan.
Tidak kuasa lagi Siska melanjutkan sentuhan pada tubuhku. Padahal aku masih butuh disentuh.
Sampai akhirnya, Pak Togar mengejang. “Dit, a-aku mau KE-KELUAR...”’
Tergagap aku dibuatnya. Buru-buru aku sambar ponsel. Mulai mengambil video kembali. Tubuh Siska dia balikan. Habis itu Pak Togar menarik penisnya. Aku arahkan ponsel ke payudara Siska, persis dimana ujung penis Pak Togar terarah. Selang beberapa detik, penis itu berkedut. Disusul keluarnya cairan kental. “Croot, croot, croott...”
Pak Togar tersenyum puas. Pada semprotan terakhir, dia oleskan telunjuk. Jari yang berlumuran sperma tersebut, kemudian dimasukkan ke mulut Siska. Tanpa ragu, sahabatku itu menerima dan mengulumnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dijilatinya pula batang penis Pak Togar sampai bersih. Senyum laki-laki itu pun makin lebar.
Permainan sudah selesai. Rekaman pun aku hentikan.
Tissue basah kusodorkan pada Siska, untuk dipakainya mengelap payudara. Saat itu kulihat Pak Togar nyengir ke arahku. Dari lirikan matanya, baru aku sadari kalau kancing dan resleting jeans masih terbuka. Segera aku rapikan, agar sebagian dari celana dalam tidak dipelototi lebih lama.
“Om, Siska bersih-bersih bentar ya.”
Kalimat Siska tadi memecah kecanggungan antara aku dan Pak Toga.
“Aku ikut deh.”
Begitu keduanya masuk ke kamar mandi, aku melangkah menuju balkon. Menghirup udara segar sangat aku butuhkan saat itu. Menghilangkan birahi yang tadi sempat melanda. Sementara dari dalam, terdengar suara cekikikan. Sepertinya, mereka lagi menonton hasil rekaman tadi.
Beberapa saat, Siska mendongak ke luar. “Dit, anterin gue pulang ya. Gue mandi dulu bentar.”
“Pulang? Emang udah selesai?”
“Bentar aja, ambil ‘pakaian’ ganti. Ntar sore gue balik lagi ke sini.” Dia mengerling.
Mendengar itu aku mengangguk, kemudian Siska masuk lagi. Kembali terdengar suara cekikikan dari kamar mandi, diiringi gemericik air. Tidak lama tawa itu berganti desahan. Sialan, mereka ngentot lagi? Aku meruntuk. Mendengar itu, mau tidak mau pikiran mulai bergulir liar. Spontan aku meraba dada, karena puting yang mengeras. Andai ada laki-laki lain, mungkin sudah kutarik dia ke ranjang. Benar-benar aku dibuat tersiksa. Terjebak dalam kondisi seperti saat itu.
Selang setengah jam, barulah Siska keluar dari dalam. Berbalut handuk. Tidak terlihat Pak Togar muncul menyusul. Kata Siska, laki-laki itu mau rileks berendam dulu.
Selesai berpakaian, Siska membuka sedikit pintu kamar mandi. “Om, Siska balik ya...”
Terdengar suara balasan. Ikut aku mengintip ke dalam, agar terlihat juga oleh Pak Togar. Sedikit malu-malu. Masih canggung oleh kejadian tadi.
“Oke Sis. Oya kau ambillah duit di dompetku, pakai buat nraktir Dita.” Melambai Pak Togar ke arahku, dari dalam bak mandi. “Makasi ya Dit.” Ikut aku balas melambai.
“Siska ambil berapa nih, Om?”
“Kau ambil semuanya sajalah.”
Sesuai instruksi, Siska mengambil semua lembaran merah dari dalam dompet. Mungkin ada satu jutaan tuh. Dia kibas-kibas lembaran rupiah itu ke arahku, sambil nyengir.
Kembali kami pamitan, sebelum pergi meninggalkan kamar.
Di tengah perjalanan pulang, Siska mengajak aku mampir dulu ke sebuah restoran. Tapi, karena hari sudah siang aku menolak. Aku bilang lain kali saja. Siska pun tidak memaksa. Selama ada di jalan kami irit bicara. Di kepala masih terbayang kejadian tadi soalnya. Termasuk, ketika Siska mencumbui diriku.
“Nggak mau mampir dulu?” Tanya Siska, saat kami sudah berdiri di depan pintu apartemen.
“Nggak deh...”
Belum selesai kalimatku, tiba-tiba Siska menarik tubuhku. Mendarat bibirnya di bibirku. Dilumat bibirku dengan lembut.
“Maaf Dit, gue nggak tahan pengen nyium lu lagi.”
Tidak tahu aku harus berkomentar apa. Jauh di lubuk hati, aku juga menikmati ciuman itu. Aku juga ingin mengulang momen seksual bersama Siska.
Masih kikuk, tahu-tahu bibir kami bertemu lagi. Gilanya, kali ini aku membalas lumatan itu.
“Yakin nih nggak mau mampir dulu?”
“Bo-boleh. Mungkin sebentar aja...”
Siska tersenyum dan langsung menarik tanganku. Pintu apartemen kemudian tertutup.
***
Apa yang terjadi di apartemen, cukup diriku dan Siska saja yang tahu. Yang jelas, berselang dua hari ayah mertuaku menelepon. Mau bilang terima kasih. Rupanya, Pak Togar sukses mengatur agar proyek jatuh ke perusahaan ayah mertua. Aku pun ikut senang mendengarnya.
Dan tentu saja, ayah mertua tidak perlu tahu tentang ‘skenario’ di balik layar.
.

1 komentar:

  1. ayo dilanjut dith, kangen sama SSnya Ditha & para pejantan Tua. hehehe

    BalasHapus