Kamis, 03 Januari 2019

Tender Ulang


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Malam sudah sangat larut, suamiku belum juga pulang. Sudah tiga hari hal ini terulang. Memang tadi sempat menelepon, bilang kalau akan pulang telat. Katanya, musti lembur mengurus tender lama. Namun, ini sudah terlalu larut. Aku mulai khawatir. Ditambah, lima pesan singkat sudah aku kirim setelahnya. Sampai sekarang belum juga dibalas. Duduk gelisah aku di sofa, sementara si kecil sudah tidur sejak tadi. Bolak-balik aku pindahkan channel televisi. Sebuah usaha untuk menenangkan pikiran yang gagal.
Satu jam kemudian, barulah mobil suami terdengar. Langsung aku hampiri ke garasi.
Loh, mama belum tidur?”
“Gimana bisa tidur kalau papa tengah malem gini belum pulang.”
Suami tersenyum. Dia kemudian menggandeng tanganku. Di kamar, aku menyiapkan air hangat untuk mandi. Suami bilang badannya pegal-pegal. Aku tahu benar perasaan itu. Berendam pasti bisa membantu.
Keluar dari kamar mandi, kudapati suami sudah telanjang bulat. Berjalan dia mendekat, sambil tersenyum genit. Dia memeluk dan mencium bibirku. “Ikut papa mandi yuk,” bujuknya.
Tanpa menunggu jawaban, suami menarik lepas kaos yang aku pakai. Menyusul celana pendek, serta celana dalam. Sama-sama polos, mulai kami berpagutan panas. Dia gandeng tanganku lagi. Kali ini mengajak masuk ke bathtub. Pagutan panas kembali berlanjut, disertai saling menyentuh tubuh masing-masing. Makin panas dan panas. Mengingat sudah lama kami tidak berhubungan intim. Tidak sempat, tepatnya.
Aku ambil ‘kendali’ duluan. Tujuannya supaya suami bisa santai saja dulu. Nggak perlu keluar tenaga dulu. Duduk aku di atas tubuhnya. Bergoyang pelan dalam posisi woman on top. Suami merem-melek menikmati, sambil meremas kedua payudaraku.
Namun, belum ada lima menit...
“Aaahhh...” Suami melenguh panjang. Dia keluar. Tumben nih bertahan sesingkat itu. Mungkin karena faktor kelelahan.
Sorry...” ucapnya pelan. Muncul guratan kekecewaan di wajahnya.
Aku tersenyum. Kupagut bibirnya mesra, nunjukin kalau tidak ada masalah. Lagi aku berbaring di sampingnya, bergelayut manja. Lanjut kami berendam. Ada di pelukan suami saja sudah bikin hatiku senang. Suami kemudian bercerita tentang kesibukannya. Kesibukan yang bikin dia musti terus-terusan lembur.
Sebenarnya aku sudah tahu apa yang terjadi. Sudah aku ketahui dua minggu yang lalu, saat tiba-tiba Yudhi muncul di kantorku. Yudhi sudah tahu hubungan ‘gelap’ antara aku dan ayahnya. Dia tahu dari isi percakapan kami lewat pesan singkat, yang tidak sempat dihapus. Pak Romi bisa menikmati tubuhku, Yudhi pun ingin merasakan kehangatan yang sama. Ancaman dilontarkan. Bila aku menolak, proyek suamiku yang jadi taruhan. Akan dilakukan tender ulang. Hari itu aku menolak. Kuanggap itu cuma gertakan sambal. Dan hari berikutnya, suamiku jadi mulai pulang malam. Mulai uring-uringan. Selalu kelelahan tiap kali sampai rumah. Kalau sudah begini, aku jadi ikut terkena imbasnya. Tetapi, berusaha aku terus bertahan. Tubuh ini tak akan aku serahkan semudah itu.
Keluar dari bathtub, kami membilas diri dan pakai pakaian. Baru saja menyentuh kasur, suamiku sudah langsung terlelap. Lagi-lagi harus kutahan birahi, yang tiga hari ini lagi tinggi-tingginya.
Dengan berat hari aku ambil ponsel. Aku kirim chat ke Yudhi. Di akhir ‘pertarungan’ ini, dia keluar sebagai pemenang dan aku pecundang.
***
Dua hari berlalu, sama sekali tidak ada kabar lagi dari Yudhi. Padahal sebelum-sebelumnya pasti ada saja chat dari dia. Menggoda aku untuk ‘menyerah’. Agaknya sengaja dia bikin aku gelisah. Walau begitu, tetap aku menahan diri untuk tidak kirim chat lagi. Tetap aku musti punya harga diri. Meski sudah aku serahkan diri.
Barulah di hari minggu, suami mendapat telepon dari panitia tender. Saat itu kami mengantar si kecil les berenang. Suamiku terlihat kegirangan. Perusahaan suami masuk jadi salah satu calon rekanan, dalam proses tender ulang. Besok daftarnya akan dirilis secara resmi. Hasil kerja keras terbayar sudah. Ikut senang aku mendengarnya. Meski ini belumlah final. Proses masih panjang.
Tak berselang lama, masuk pesan singkat dari Yudhi ke ponselku. Memberitahu hal yang sama. Kami pun berbalas chat. Tentu tanpa sepengetahuan suami.
“Mama mau makan di mana habis ini?”
“Tanya Adek aja Pa, kalo mama sih ikut-ikut aja.” Aku tersenyum. Senang melihat wajah suami tidak lagi berkerut, penuh pikiran.
Lama tidak ada balasan, chat terakhir dari Yudhi bikin kaget.
Aku ada di parkiran, bisa ke sini sebentar?
Ngapain dia ke sini, aku membatin. Memang sih tadi dia dapat bertanya aku ada di mana.
“Pa, mama beli camilan dulu ya,” memberi sebuah alasan.
Tanpa curiga suamiku mengangguk.
Beranjak aku kemudian. Meninggalkan suami mengawasi si kecil lagi berenang. Sampai di areal parkir, kulihat dari kejauhan lambaian tangan Yudhi. Melangkah aku mendekat.
“Ngapain kamu ke sini?” Tanyaku.
“Kangen.” Yudhi nyengir.
Dia menyuruh aku masuk ke jok belakang. Menyusul kemudian dia duduk di sampingku.
Tanpa menunggu tanggapanku, Yudhi lanjut berujar. “Inget waktu pertama kita ketemu? Di jok belakang mobil seperti ini juga kan?” Senyumnya berganti tawa kecil. Buat yang belum tahu apa yang terjadi saat itu, baca cerita berjudul ‘Menemani Futsal’.
Tidak bisa aku menahan diri untuk tersipu.
“Gituan lagi yuk.”
Momen itu pun tiba. Momen dimana aku harus melayani ‘kemauan’ Yudhi.
“Apa nggak baiknya di kamar hotel aja?”
“Oh yang itu lain.” Yudhi terkekeh. “Anggap aja ini ‘pemanasan’. Sekedar mengulang memori masa lalu.”
Usai diyakinkan tidak akan adegan buka-bukaan, aku pun setuju. Setelah memastikan situasi di luar aman, bibir kami bertemu. Kaca mobil Yudhi cukup gelap, buat menutupi apa yang terjadi di dalam. Pagutan dimulai secara pelan dan lembut. Dikulumnya bibirku dengan penuh perasaan. Seperti dikatakan Yudhi tadi, momen ini terasa seperti dejavu. Sampai ketika lidah Yudhi mulai bermain. Nafsu mulai memegang kendali. Tercium aroma mint. Mungkin sisa permen karet yang tadi dikunyah Yudhi.
Selama perpagutan, tangan Yudhi tidak hanya diam. Lewat ujung bawah kaos, tangan itu masuk dan mulai meraba. Tidak cuma sampai di sana, dia juga bergerak lincah melepas kaitan bra. Kini payudaraku sepenuhnya dalam kekuasaan tangan Yudhi. Diremas pelan, sambil terus mengulum bibirku. Puas memagut bibir, Yudhi menyingkap kaosku ke atas. Mulutnya kemudian hinggap di puting kanan. Ganti dia mengulum putingku dengan lembut. Bergiliran dengan yang kiri. Kanan, kiri, kanan, kiri. Meninggalkan jejak liur, karena sesekali dia menjilatinya juga.
Ssshh, ssshh, ssshhh...” Aku mendesah pelan. Satu-dua kali juga menerang kecil, ketika Yudhi menggigit putingku gemas. Mungil menggoda, kata dia.
Sambil mengulumi payudara, tetap tangan Yudhi tidak cuma diam. Lincah membuka kaitan dan resleting celana pendekku. Menyusup lalu ke dalam, merabai celana dalam. Dia menggoda, saat mendapati kain mungil itu basah. Aku hanya bisa mengulum senyum. Harus kuakui cara Yudhi memainkan payudara terasa sangat nikmat.
Puas mengeksploitasi diriku, Yudhi minta ganti dilayani. Minta aku mulai mengulum penisnya. Giliran aku yang membuka kaitan dan celana pendek Yudhi. Aku lorotin celana itu turun, beserta dengan boxer yang dipakainya. Mengacunglah penis milik Yudhi. Ukurannya sih standar, tapi itu kan belum tegang maksimal. Masih bisa meregang lagilah, kira-kira.
“Gede nggak? Yudhi tersenyum bangga.
“Lumayan,” ucapku sambil tersenyum.
Fix, artinya udah pernah ngerasain punya bule nih.” Terkekeh Yudhi menyindir diriku, karena menilai kalau penis miliknya ‘kurang’ besar. “Kayaknya musti kerja agak keras nih buat bikin kamu puas...” Tambahnya lagi.
Sejak jadi Direktur, Yudhi sudah tidak lagi memanggil aku ‘Kakak’. Agar supaya tidak terkesan ‘anak-anak’, kata dia. Mengingat kini posisi kami adalah rekan kerja. Tidak masalah aku dengan hal itu. Mulailah kemudian kami pakai ‘aku-kamu’, atau langsung memanggil nama.
Lagi aku mengulum senyum. Sebelum memulai, aku mengurut lembut batang penis itu. Anggap saja sebagai sebuah perkenalan. Bagaimana pun penis digenggaman itu akan menyetubuhi aku dalam waktu dekat. Yudhi berkali tersenyum, melihat caraku memperlakukan miliknya. Setelah sedikit ‘merenggang’, barulah aku masukkan itu ke dalam mulut. Terdengar erangan-erangan kecil, ketika aku mulai menyepong. “Oohhh, oohh...”
Aku selingi pula dengan jilatan, sampai ke buah zakar. Yudhi sangat menikmati pelayananku itu. Terus dia melenguh-lenguh, sambil mengelusi rambutku. “Terus, terus, terus...” Rancaunya.
Sadar tidak punya banyak waktu, aku kombinasi sepongan dengan kocokan. Aku remas sedikit kencang ketika mengocok. Sampai mengulumi kepala penis Yudhi. Itu kulakukan agar si pemilik penis bisa ejakulasi secepatnya. Upaya itu cukup berhasil. Terasa otot-otot penis menegang. Dan menyusul kemudian erangan panjang.
“AAAHHH…”
Croot, croot, croot...”
Semburan demi semburan memenuhi mulutku. Sebelumnya, Yudhi memang sudah minta supaya aku menelan spermanya. Guna memastikan hal itu terjadi, dia pegangi kepalaku. Memastikan penis tidak terlepas dari mulut. Hampir aku tersedak dibuatnya, karena semburan sperma datang begitu kencang. Mirip seperti semprotan kencing. Dengan susah payah aku menelan. Merebaklah aroma amis, bercampur asin di lidah. Seiring batang penis yang melemas.
Uhuuk, uhuuk, uhuuk...” Aku terbatuk-batuk, begitu penis itu tercabut.
Beruntung Yudhi berinisiatif menyodorkan botol air mineral. Segera kusambar dan menegaknya.
“Maaf, maaf. Nggak nyangka keluarnya sebanyak itu.” Yudhi terkekeh.
Tanpa menghiraukan tawa itu, aku merapikan lagi seluruh pakaian.
“Udah selesai kan?”
Yudhi mengangguk. “Untuk saat ini. Tunggu kabar selanjutnya.”
Aku pun meminta ijin untuk keluar dari mobil. Sebelum itu, Yudhi mengulum kembali bibirku.
“Salam ya buat Pak Hendra.”
Sepertinya sengaja dia berkata seperti itu. Kata-kata itu lebih seperti sebuah seruan kemenangan. Cengiran Yudhi menyiratkan dengan jelas hal itu. Keberhasilan ‘memejuhi’ seorang istri, tepat di belakang suaminya. Tentu hal itu adalah sebuah prestise bagi seorang laki-laki muda. Aku hanya mengangguk, dan menutup pintu mobil.
Buru-buru aku melangkah menuju kantin. Membeli makanan ringan dan minuman, sebagai alibi. Sambil berharap semoga saja si kecil belum selesai latihan. Kalau tidak, aku pasti kelabakan diintrogasi oleh suami. Saat tiba kudapati suami masih duduk baca koran, dan si kecil masih di kolam renang.
Aman, hatiku pun lega.
***
Hari Selasa, pekan berikutnya. Ponselku berbunyi. Chat dari Yudhi, isinya lampiran daftar nama calon rekanan resmi yang dirilis di website. Dari sepuluh nama, kini menjadi tinggal tiga nama. Perusahaan suami masih masuk ke dalam tiga nama tersebut. Chat berikutnya, Yudhi mengajak ketemu. Tetapi, habis jam kerja aku musti lembur. Mengejar target laporan akhir bulan. Terpaksa aku tolak dan minta diundur satu hari. Kebetulan besok aku ditugasi ikut seminar sehari. Bakal ada cukup waktu, serta alasan untuk pulang telat. Yudhi setuju dengan usulan itu.
Meski begitu, siang harinya tiba-tiba Yudhi muncul di kantorku. Membawakan aku box makan siang. Tentu tidak hanya itu tujuan kedatangan dia. Di salah satu ruangan meeting, dia mengulum bibirku. Melakukan french kiss dan rabaan-rabaan seperti biasan. Untungnya, Yudhi tidak minta untuk melakukan hubungan intim. Dia cuma minta mengecek bulu vagina, apakah sudah tumbuh atau belum. Lewat chat, Yudhi memang pernah minta aku membiarkannya lebat.
“Panjangan lagi dikit, pas banget deh sama seleraku.”
“Suamiku nanya loh kenapa tiba-tiba aku jadi males nguris rambut bawah.”
Yudhi terkekeh. “Terus kamu jawab apa?”
“Aku bilang aja belum sempat.”
Kali ini Yudhi menanggapi dengan tawa lebar. Sepertinya lagi dia merasa menang atas suamiku, karena sang istri malah patuh pada dirinya.
Perkataanku tadi ternyata bikin Yudhi berfantasi. Dia minta aku tetap duduk di kursi, sementara dia jongkok di depanku. Dia buka makin lebar pahaku, saat celana dalam masih bergantung di betis. Tersenyum dia melihat aku kebingungan.
Eh, kamu mau ngapain?”
Bukannya menjawab pertanyaan itu, Yudhi malah mendaratkan lidahnya di vaginaku. Tidak bisa aku menolak, dan membiarkan saja lidah itu menari-nari. Dibikinnya aku bergelinjang tertahan. Berusaha aku tahan desahan sekuat mungkin. Meski kantor lagi sepi, tapi bisa saja kan desahan itu terdengar sampai luar. Tidak perlu waktu lama, Yudhi sukses membuat lubang kenikmatanku basah kuyup. Bangga dia dengan ‘hasil karyanya’ itu. Terlihat dari senyum lebarnya. Terutama saat dia mulai menusuk-nusukan lidahnya ke dalam lubang. Membuat aku meremas tepian kursi, saking nikmatnya rasa itu melanda. Begitu pula saat Yudhi menyentil-nyentil titik g-spot, dengan ujung lidahnya. Cairan kewanitaan makin membanjir di bawah sana.
Di waktu yang bersamaan, tangan kiriku bergerak merabai payudara. Kedua puting terasa ‘gatal’. Meski tidak sampai buka kancing, rabaan itu cukup mengurangi efek jilatan Yudhi.
“Dibuka aja bajunya,” goda dirinya.
“Nggak. Gila aja, ini kantor tauuu...” aku menolak tegas.
Yudhi hanya nyengir lebar, lalu lanjut dengan lidahnya di antara paha. Sampai akhirnya tubuhku menegang hebat. Aku orgasme. Sepertinya Yudhi tahu itu. Di bawah sana, dia sibuk ‘meminum’ cairan birahi yang meleleh ke luar. Dia baru menarik wajahnya, saat tidak ada lagi yang tersisa untuk dinikmati.
“Sekarang kita impas...” Yudhi terkekeh.
Ketika dia berdiri, aku mengambil tissue basah dari saku. Aku pakai untuk mengelap area intim, barulah aku pakai lagi celana dalam. Aku yakin saat itu wajahku pasti merona merah. Menyusul berdiri, langsung ditariknya tubuhku. Yudhi mendaratkan lagi bibirnya. Habis sudah lipstik yang tadi menempel di sana. Berpagutan kami cukup lama, sebelum dia berpamitan.
Sepeninggal Yudhi, aku bergegas ke toilet. Memperbaiki penampilan, sebelum lanjut bekerja.
***
Hari Rabu, keesokan harinya.
Di lokasi seminar, pembicara kedua akhirnya selesai juga. Acara pun dihentikan sementara untuk insoma. Kesempatan itu aku pakai meluncur ke sebuah hotel, di pinggiran kota. Sebelumnya, aku sudah minta sertifikat lebih awal ke panitia. Berjaga-jaga seandainya tidak bisa balik lagi ke lokasi. Tadi pagi Yudhi sudah mengirim chat, berisi nama hotel dan nomor kamar. Berusaha aku datang tepat waktu sesuai janji. Kamar yang nantinya akan jadi tempat kami memadu lendir. Saat tiba, rupanya Yudhi belum sampai. Masih kejebak macet, kata dia waktu aku telepon. Langsung saja kuminta lebih dulu kunci ke resepsionis.
Sampai di kamar, aku langsung buka pakaian lalu ke kamar mandi. Aku basuh tubuh, cuci wajah, sikat gigi, kumur-kumur, dan tidak lupa membilas area intim. Kupastikan setiap jengkal tubuh bersih dan wangi. Ini adalah kali pertama aku akan telanjang di depan Yudhi. Aku harus percaya diri dengan tubuhku sendiri. Kusiapkan pula peralatan mandi untuk Yudhi. Semoga saja dia mau pakai. Biar sama-sama nyaman waktu tubuh kami ‘beradu’ nanti. Selesai mandi, aku poles tipis make-up guna nyegerin penampilan. Semprotin sedikit parfum, rambut aku ikat agar lebih rapi. Bahkan, pakaian dalam ‘terbaik’ pun sudah aku pakai. Semua demi memuaskan Yudhi.
Sedang asyik mematut diri di cermin, bel pintu berbunyi. Segera aku sambar kimono, lalu keluar dari kamar mandi. Aku intip dari lubang pintu. Memang benar itu Yudhi. Dia melempar senyum, saat pintu kubuka.
Oh sudah bersih-bersih ternyata.”
“Nggak apa-apa kan?” Aku sedikit khawatir dengan tanggapan tadi.
“Nggak apa-apa.” Lagi dia tersenyum. “Kalau gitu aku bersih-bersih juga deh.”
Aku jawab dengan anggukan. Kubilang kalau peralatan mandi sudah aku siapkan. Ganti dia yang mengangguk. Melangkah Yudhi masuk kamar mandi. Tidak lama terdengar suara air gemericik.
Selama Yudhi mandi, seluruh tirai aku tutup. Beberapa lampu aku matikan, sehingga nuansa jadi temaram. Mendadak muncul sedikit rasa insecure, mengingat usia kami yang selisih jauh. Pasti ada kekurangan didiriku, bila dibanding cewek-cewek yang pernah bersama Yudhi. Image dia yang doyan gonta-ganti cewek, sudah sering aku dengar. Rata-rata mereka itu muda dan cantik.
Keluar dari kamar mandi, Yudhi hanya berbalut handuk sepinggang. Terlihatlah tubuhnya yang sangat terawat, mirip seperti tubuh Leo. Terlihat otot-otot kekar, hasil dari fitnes yang pasti rutin dilakukan. Dia keluar sambil mengusap-usap rambutnya yang basah.
“Kita punya waktu berapa lama?”
“Maksudnya?”
“Kamu musti balik ke tempat seminar kan?”
Rasa kikuk bikin aku lelet berpikir. Selain rasa kagum melihat postur tubuh Yudhi.
“Mungkin dua jam paling lambat.” Sahutku ragu.
Oke, kalau gitu kita mulai aja. Kita skip basa-basinya. Nggak masalah kan?”
Aku mengangguk kaku, yang dibalas senyuman oleh Yudhi.
Percumbuan pun dimulai. Yudhi memelukku, sementara bibir kami berpagutan. Disusul dengan beradu lidah dan bertukar liur. Dia tarik tali pengikat kimono. Dia tanggalkan kain satu-satunya penutup tubuhku tersebut. Terpampanglah tubuh polosku.
“Dari dulu aku pengen sekali melihat tubuh bugil kakak secara langsung. Ternyata persis seperti yang aku bayangin. Cakep...”
Menghela nafas aku mendengar itu. Aduh, lega sekali rasanya. Perasaan insecure yang sempat melanda pun langsung sirna. Artinya tubuhku tidaklah mengecewakan Yudhi.
Apalagi saat Yudhi menjelajahi tiap jengkap tubuhku dengan ciuman. Dari atas ke bawah. Depan dan belakang. Pujian yang sama terus terlontar.
Yudhi merebahkan diriku di ranjang. Dia tindih menindih, lalu lanjut mencumbui aku. Aku pun dengan nyaman menyambut bibir Yudhi. Dia memagut dengan lembut. Tercium bau obat kumur, yang berarti dia memakainya. Seperti biasanya, Yudhi memainkan lidahnya di mulutku. Ikut aku balas, sehingga lidah kami kerap beradu. Pagutan itu kemudian pindah menyusuri telinga, leher, dan berakhir di kedua puting. Aku mulai bergelinjang, ketika Yudhi memainkan putingku. Dia cium, jilat, dan kulum bergantian. “Sshh, sshh, sshh...”
Puas meliuri kedua putingku, bibir Yudhi berpindah turun. Menelusuri perut, pusar, paha, lutut, betis, telapak kaki. Naik lagi kemudian, sampai bermuara pada vagina. “Sshh, sshh, sshh...”
Gelinjang tubuhku semakin hebat. Yudhi sepertinya menikmati sekali liang vaginaku. Berlama-lama dia di sana. Dia elusi bulu-bulu yang sudah makin lebat. Mencium, mengulum, menjilati, dan menusuk memakai lidahnya. Dibuatnya basah kuyup liang intimku, sampai ke bulu-bulunya.
“Aahh, aahh, aahh...” Saking gelinya, aku apit kepada Yudhi dengan paha.
Beralih dari area intim, Yudhi berbisik. Bisikan yang bikin kami berganti posisi. Gantian Yudhi yang berbaring pasif, sementara aku yang menciumi tubuhnya. Bermula dari bibir, leher, dada, perut, pusar. Aku tanggalkan handuk yang melilit pinggul. Nongollah penis Yudhi. Penis yang dua hari lalu aku kulumi. Penis yang siang ini akan menyetubuhi aku. Beda dengan terakhir, kali ini penis Yudhi sudah mengacung maksimal. Nampak seperti hasil menelan obat kuat.
“Udah berapa cewek yang pernah ‘digituin’ sama punyamu ini?”
Nyengir Yudhi mendengar pertanyaan itu. “Ada deh. Cuman yang pasti belum pernah ngerasain pepek ibu muda seksi beranak satu.” Cengirannya bertambah lebar.
Ketika hendak mengulum penisnya, Yudhi mencegahku. Dia minta aku langsung saja ‘duduk’ di atas tubuhnya. Tentu saja aku ikuti kemauannya. Dia adalah raja, paling tidak sampai suamiku terpilih jadi rekanan resmi. Walau dialah rajanya, namun safe sex tetap prioritas. Seperti laki-laki lainnya, Yudhi nampak mangkel ketika kuminta pakai kondom. Meski akhirnya dia mengiyakan.
Berdiri lalu aku di atas Yudhi, jongkok berlahan, sambil mengatur posisi pinggul. Memastikan kalau batang penis mengarah tepat ke lubang vagina. Begitu terduduk, penis itu pun menembus kewanitaanku.
“Aaahhh...” Yudhi melenguh panjang. Sah sudah kini vaginaku disetubuhi oleh ayah dan anak.
“Tunggu sebentar,” ucapnya ketika aku hendak bergoyang.
“Kenapa?”
“Pengen ngerasain dulu angetnya jepitan pepek ibu muda seksi beranak satu.” Lagi dia ulangi istilah yang dia pakai memanggil diriku. “Masih sempit ternyata...”
Senyuman aku kulum. Tersanjung juga mendengar itu dari cowok muda. Mengingat ini juga kali pertama kelamin kami bertemu. Setelah diberi tanda, mulai aku menggoyang pinggul. Perlahan-lahan. Kedua tangan aku taruh di perut Yudhi, sebagai tumpuan. Sementara tangan dia meremas-remas payudaraku. Kami saling melempar senyuman. Kedua mata kami beradu, selagi kelamin kami saling bergesekan. Sesekali Yudhi memejamkan mata, seperti menikmati gesekan tersebut.
Selang lima menit, Yudhi mengambil posisi duduk. Aku sendiri masih ada di pangkuan dia. Kini aku bergoyang sambil dikulumi bibirnya. Seperti yang sudah-sudah, Yudhi memainkan lidah di dalam mulutku. “Mmhhh, mmhhh, mmhhh...” Desahan kami tertahan bibir masing-masing.
Yudhi tidak minta ganti posisi. Sedari tadi kami tetap bertahan pada posisi yang sama. Aku pun tidak niat menyarankan hal itu. Kubiarkan saja berjalan sesuai selera Yudhi. Dia hanya minta aku goyang lebih kencang. Maka aku beri tenaga lebih ke bagian pinggul. Desahan Yudhi terdengar lebih lirih, mengiringi gerakanku. Sekali-dua kali dia emuti puting payudaraku.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Uuhhh, uuhhh, uuhhh...”
Desahan, lenguhan, erangan, memantul di antara dinding. Memenuhi seisi kamar. Keringat mulai membasahi tubuh telanjang kami. Tak terlihat tanda Yudhi akan klimaks. Dia malah tersenyum, seperti sedang menunggu. Menunggu aku tiba di puncak lebih dulu. Terus dia panas-panasi aku agar bergerak lebih liar. “Terus, terus, terus...” Begitu teriaknya.
Dan beberapa menit kemudian aku melenguh. Yudhi menyusul setelahnya. Kami klimaks hampir berbarengan. Salut aku akan kemampuan dia bertahan. Terlihat sangat berpengalaman.
Yudhi menahan tubuhku agar tidak rebah. Memeluk aku, agar tetap ada di pangkuannya. Begitu nafas kembali tenang, dia mengecup bibirku. Mengucapkan terima kasih. Tersipu aku mendengar itu. Padahal mustinya aku yang berterima kasih, atas klimaks yang kudapat.
“Kamu udah makan?” Tanya dia, saat aku turun dari pangkuannya.
Aku menggeleng. Beriniatif Yudhi menelpon room service. Memesan makanan untuk di antar ke kamar. Sambil menunggu, dia minta ijin untuk merokok. Apakah aku nyaman dengan asapnya atau tidak. Tak apa-apa aku bilang, malah kubantu dia menyalakannya. Habis itu, ganti aku yang minta ijin ke kamar mandi. Lagi cuci muka dan bersih-bersih, terdengar bel pintu. Pasti pesanan makanan kami sudah tiba.
Keluar dari berberes, makanan sudah terhidang. Sambil bersantap siang, kami mengobrol ringan. Dalam obrolan sempat tercetus nama Leo. Yudhi nyindir, kalau dirinya pasti bukan daun muda pertamaku. Sindiran yang bikin pipiku merona. Dan tidak lupa Yudhi menitip salam buat Leo.
Tak terasa, satu setengah jam sudah berlalu. Saat hendak pamitan, dengan nakal Yudhi menarik tanganku. Ditindihnya lagi tubuhku. Ditancapkan lagi penisnya. Susah payah aku meraih ponsel, menelpon junior-ku di lokasi seminar. Itupun aku lakukan dalam kondisi ‘tertusuk’ penis. Bilang kalau aku tidak bisa balik, karena sedang bersama klien. Alasan sama yang aku pakai saat pergi tadi. Selesai itu, barulah aku fokus menerima ‘serangan’ Yudhi.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Oohhh, oohhh, oohhh...”
Tubuhku dibolak-balik Yudhi di ranjang. Dibuatnya aku bergelinjang dalam kenikmatan. Lama tidak dipuaskan suami, kunikmati sekali persetubuhan terlarang ini. Penis Yudhi seperti oase di tengah kekeringan birahi. Itu sebabnya aku korbankan tugas kantorku, demi bisa meraih orgasme lagi hari itu. Dan Yudhi sepertinya bisa merasakan itu. Merasakan kehausanku.
“Terus Yud, teruuus, yang kenceng, yang daleemm...” Aku merancau. Ganti aku yang menggila. Tidak lagi malu-malu seperti sebelumnya.
Rancauan itu bikin Yudhi bersemangat. Meski begitu, dia pandai membaca situasi. Justru ketika itu dia tarik penisnya. Membuat aku memohon-mohon, supaya dimasukin lagi. Ternyata memang apel tidak jatuh jauh dari pohonnya. Baru kemudian dia tusukan lagi batang tersebut.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Oohhh, oohhh, oohhh...”
“AAAHHHH...!!”
Saat aku mencapai orgasme kedua, Yudhi tidak juga kunjung usai menggenjot. Berhenti hanya hitungan detik, mulai lagi dia tancap gas. Berguncang-guncang aku dalam kenikmatan. Tak bisa lagi aku pertahankan posisi nungging. Lututku sudah terlalu lemas. Tertelungkup aku lemah, di tengah tusukan ganas penis Yudhi. Keringat terus bercucuran.
“AAAHHHH...!!”
Aku orgasme lagi. Kali ini tak hanya lututku yang lemas. Seluruh tubuhku ikut mati rasa. Dunia seperti tertelan kegelapan. Aku seperti melayang. Nikmat sekali rasanya.
Masih juga Yudhi menggenjot. Masih stabil iramanya. Stamina daun muda memang beda. Lebih kuat, lebih bertenaga. Sampai akhirnya, terasa sesuatu yang hangat mengenai pantatku. Disertai lenguhan panjang. “AAAHHH!!” Pasti Yudhi melepas kondom, sebelum ejakulasi tadi. Selama tidak dia keluarin di dalam, masihlah aman.
Multi orgasme bikin tenaga terkuras habis. Tanpa sadar, aku kehilangan kontrol diri. Sempat aku tanggapi beberapa perkataan Yudhi, setelah itu semuanya menjadi gelap.
Baru aku terbangun saat matahari sudah ada di peraduan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Itu berarti aku tertidur selama empat jam. Kudapati Yudhi terlelap di sampingku. Masih telanjang, dalam posisi memeluk tubuhku. Perlahan aku geser tangannya, berusaha agar dia tak sampai terbangun. Turun ranjang, aku bergegas ke kamar mandi. Bersih-bersih dan pakai pakaian. Saat mengecek ponsel, ada empat pesan masuk. Salah satunya dari si kecil, yang minta dibeliin paket ikan bakar. Orang rumah pasti berpikir aku lagi lembur.
Sudah beres, barulah aku berusaha membangunkan Yudhi. Dia meregang, tapi tak kunjung juga membuka mata. Terpaksa aku pergi tanpa pamitan. Sebagai gantinya, aku tinggalkan note kecil di sebelah ranjang.
Sampai di rumah, si kecil langsung menyambut. Tadi dia lagi main sama si Mbok. Aku temani dia makan sebentar, sebelum pergi ke kamar tidur. Di sana kulihat suami sudah tertidur. Pasti dia juga kecapekan. Selesai mandi, aku bantu si kecil mengecek PR. Menunggu dia terlelap, barulah aku bisa beristirahat. Sungguh hari yang melelahkan.
***
Keesokan harinya. Aku sampai rumah juga sudah malam, karena pekerjaan yang cukup padat.
“Adek mana Mbok?” Tanyaku ke asisten rumah tangga.
“Di kamar Bu.”
“Kalo Bapak?”
“Lagi di atas sama tamu.”
“Tamu?”
“Iya. Yudhi gitu namanya kalo nggak salah. Orangnya masih muda.”
Terkaget aku mendengar nama itu. Baru kemarin kami habiskan berjam-jam di kamar hotel, kini mendadak Yudhi muncul di rumahku. Berbicara dengan suamiku.
Aku persilakan si Mbok pulang, sebelum melangkah menuju kamar si kecil. Dia rupanya sudah tertidur, di samping buku yang berserakan di ranjang. Semoga PR-nya sudah selesai dibuat. Aku rapikan buku-buku itu, lalu menyelimuti anakku itu. Keluar dari kamar, aku lanjut naik ke lantai dua. Dari luar terdengar orang bercakap-cakap. Saat pintu aku buka, suami dan Yudhi melempar senyum bersamaan. Berbasa-basi sebentar, aku pamit untuk mandi. Canggung rasanya ada satu ruangan dengan suami dan Yudhi. Masih terlalu segar di ingatan, bagaimana aku bergelinjang di bawah tindihan dirinya.
Baru selesai membuka blazer, dan dua kancing blouse, pintu kamarku terbuka. Awalnya aku kira itu suami, ternyata orang itu adalah Yudhi. Dia langsung memberi kode agar aku tidak bersuara, saat melihat ekspresi kagetku. Aku menurut saja. Tersenyum dia, sebelum melangkah mendekat. Langsung dipeluknya tubuhnya, lalu mendaratkan kecupan di bibirku.
“Kemarin kita belum sempat pamitan,” ujarnya begitu bibir kami berpisah.
“Aku sudah coba bangunin kamu.”
“Nggak apa-apa.” Lagi dia tersenyum. “Aku singkat saja. Sebelum hasil tender akhir diumumin, aku mau bercinta sama kamu di kamar ini. Di ranjang ini. Tolong kamu atur waktunya.”
Kembali aku kaget. Sebuah permintaan yang sangat tak masuk akal. Masa aku akan rela menodai ranjang perkawinanku, dengan tidur bersama laki-laki lain di atasnya. Untung, Yudhi tidak minta aku mengiyakan saat itu juga. Dia memberikan aku waktu berpikir.
Bibir Yudhi mendarat lagi di bibir. Sambil memagut, tangan dia bergerak lincah. Membuka sisa kancing blouse-ku, serta menarik ujungnya yang masuk dalam rok. Tidak kalah lincah, kala dia menanggalkan bra, rok, dan celana dalam. Semuanya terjadi begitu singkat. Tahu-tahu aku sudah dalam keadaan telanjang bulat. Berdiri mematung di depan Yudhi.
“Aku tunggu kabar dari kamu...”
Laki-laki itu melempar senyum. Melempar juga kecupan jauh, sebelum keluar kamar. Tidak dia sentuh tubuhku. Selepas kepergian Yudhi, buru-buru aku masuk kamar mandi. Berendam aku di sana. Berharap gundah dalam diri akan berkurang, saat tubuh terkena air hangat.
Usaha itu cukup berhasil. Pikiranku lumayan jadi sedikit tenang. Selesai berpakaian, aku keluar kamar dan melangkah ke ruang kerja suami. Tidak ada lagi sosok Yudhi di sana. Hanya suamiku yang masih serius depan laptop.
“Nggak bobo, Pa?”
“Dikit lagi ya, Ma.”
Melihat suami tidak mengalihkan mata dari layar, aku jadi sedikit kesal. Sementara laki-laki lain begitu bernafsu untuk meniduri aku, eh dia malah cuek-cuek aja. Duduk aku di pangkuan suami, lalu memberi kecupan di bibirnya. Suami tersenyum. Dia mengerti kalau aku sudah bertingkah seperti itu. Aku sedang butuh kasih sayang. Dibelainya lembut punggung dan rambutku.
“Kelonin mama bentar dong, Pa. Lagi pengen dipeluk,” ucapku manja.
Suami menurut. Dia matikan laptop, lalu menggandeng diriku turun ke kamar. Hal itu membuat aku bahagia. Naik kami ke ranjang. Bergelayut aku kemudian di pelukan suami. Rasanya hangat dan begitu romantis. Sengaja aku tidak minta untuk berhubungan badan. Takutnya suami masih belum mampu, hingga malah membuat dia makin tak percaya diri. Aku hanya butuh kehangatan pelukan dia, yang akhirnya berhasil membuat terlelap.
***
Pagi hari, keesokan harinya. Aku terbangun sendirian di ranjang. Selesai bangunin si kecil, aku temukan suami tertidur di sofa ruang kerja. Pasti dia balik bekerja, setelah aku terlelap kemarin malam. Aku selimuti tubuhnya, dan membiarkan dia tetap tertidur. Datang ke kantor agak siang bukanlah masalah buat suami. Orang dia bosnya.
Sampai di kantor, usai mengantar si kecil ke sekolah, aku menelepon Yudhi. Sudah tiba saatnya aku yang pegang kendali. Kalau dibiarkan, pasti laki-laki muda itu akan makin meminta hal yang aneh-aneh. Padahal sudah aku serahkan tubuhku untuk dia nikmati. Di telepon, aku bilang akan memenuhi permintaan terakhir dari Yudhi. Namun, baru akan aku lakukan setelah pengumuman hasil tender resmi dirilis. Tidak sebelum itu. Mengingat aku musti konsentrasi pula pada kerjaan. Musti bergelut dengan tabel dan angka, jelang tutup buku.
Nekat aku berkata seperti itu. Kalau pun ditolak, berarti aku harus menyiapkan tenaga ekstra. Eh, tahunya Yudhi mengiyakan dengan santai. Dia dapat mengerti dengan keadaanku. Malahan dia berterima-kasih, karena malam sebelum itu sudah ‘melayani’ dirinya. Aku menghela nafas lega.
Cuma ya tetap saja, bukan Yudhi namanya kalau tidak berupaya. Beberapa hari lewat, menjelang weekend, dia menelepon minta dibawakan martabak telor. Katanya, dia lagi ‘ngidam’, tetapi juga lagi mager. Sungguh sebuah alasan yang dibuat-buat. Mau tidak mau, pulang kantor nanti aku musti mampir dulu ke apartemen dia. Meski tahu kalau itu hanya sekedar modus, tetap aku turuti kemauan Yudhi.
Dan benar saja. Begitu sampai, aku langsung diseret ke kamar tidur. Pakaian bawah saja yang dia lolosi, saat kelamin kami mulai beradu. Terkangkang lebar aku dibawah tindihan Yudhi. Kedua lututku ditekuk, agar penisnya bisa menusuk lebih dalam.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Sshhh, sshhh, sshhh...”
Persetubuhan itu cuma terjadi sekali. Sedari awal, sebenarnya hanya ditujukan sebagai seks kilat. Tetapi, rupanya berlangsung tidak kilat-kilat amat. Cukup memberi kepuasan.
Selesai pakai rok, Yudhi mempersilakan aku pulang. Bersama dengan martabak yang tadi kubeli. Katanya, buat si kecil saja sebagai oleh-oleh. Aku hanya bisa menggeleng. Beneran modus kan.
***
Seminggu berikutnya. Pengumuman lelang tender pun resmi dirilis. Perusahaan suami secara sah keluar sebagai pemenang. Pulang-pulang, suami langsung memeluk aku dan si kecil. Ditambah janji akan mentraktir jalan-jalan. Terlihat sekali dia bahagia bukan kepalang. Sebenarnya sih aku sudah tahu berita tersebut sedari siang. Yudhi mengirimi link-nya lewat pesan singkat. Tentu saja aku ikut senang melihat itu.
Sebenarnya, selain kirim link, Yudhi juga mengingatkan aku. Mengingatkan pada janjiku. Aku pun berjanji akan menghubungi dia secepatnya. Begitu ada waktu.
Dimana waktu itu tiba, tiga hari sesudahnya. Ketika suami harus keluar kota untuk urusan tanda tangan dokumen tender. Sepertinya Yudhi punya peran juga dalam hal ini. Khusus hari itu, aku mengambil cuti. Tanpa sepengetahuan suami, tentunya. Pagi-pagi benar suami sudah berangkat ke bandara, diantar sopir kantor. Di malam sebelumnya, aku sudah berkirim chat dengan Yudhi. Maka tak heran, pulang aku dari mengantar si kecil, Yudhi sudah menunggu di depan gerbang.
“Mau minum apa?” Tanyaku pada Yudhi, begitu kami sampai di ruang tamu.
Hari itu sengaja aku liburkan asisten rumah tangga. Semata agar apa yang akan terjadi bersama Yudhi, tetap jadi rahasia. Termasuk mengunci pintu gerbang dan pintu depan. Membuat seolah-olah rumahku sedang kosong.
“Minuman yang biasa kamu sajiin buat suami aja.”
Yudhi mengerling. Menegaskan apa yang tadi dia sampaikan. Agar aku menganggap dia sebagai suami. Melakukan apa yang biasa aku lakukan bersama suami. Aku pun buatkan dia teh manis hangat. Sejenak dia mengajak ngobrol santai. Pintar memang Yudhi bikin suasana cair. Mungkin sedari tadi dia melihat aku sedikit kaku. Toh, kami memang punya waktu sampai sore.
“Kita ke kamar sekarang?” Barulah kemudian dia bertanya.
Aku yang kini sudah lebih santai, mengangguk. “Boleh...”
Tanpa diduga, tiba-tiba Yudhi menggendong aku. Sebagaimana ‘ritual’ pengantin baru. Serem juga rasanya kalau jatuh. Tapi melihat otot Yudhi, aku merasa cukup aman.
“Ini ranjang pengantin kita. Anggap saja malam pertama.” Setibanya kami di kamar.
Kata-kata itu membuat aku tersenyum. Biarkan sajalah Yudhi dengan fantasinya. Tugasku hanya memberi dia kepuasan.
Yudhi merebahkan tubuhku di ranjang. Dia menindih aku dan mendaratkan ciuman. Waktu bibir kami berpisah, aku ambil kendali permainan. Berbalik hingga tubuh kami bertukar posisi. Yudhi tidak keberatan, malah terlihat girang. Duduk aku di atas pinggang Yudhi. Sebelum mulai, aku rapikan dulu ikatan rambut. Membuat dada jadi membusung. Godaan itu berhasil, karena bikin senyum Yudhi makin lebar. Baru kemudian aku melumat bibir Yudhi. Ditambah tautan lidah.
Lama bertukar liur, ciumanku turun menyusuri leher. Aku bantu Yudhi membuka kaos, sebelum ciuman mencapai pundak dan dada bidangnya. Berputar-putar lidahku pada kedua puting. Salah satu titik sensitif pria. Turun lalu ke perut, dan bermuara di pusarnya.
“Mau netek?” Ujarku menggoda.
Yudhi mengangguk dengan antusias. Kubuka baju kaos dan bra. Kusodorkan payudara kanan ke mulutnya. Langsung diemut-emut layaknya seorang balita. Begitu pula dengan yang kiri. Yudhi terlihat begitu lapar, meski bukan pertama kali dia menikmati dadaku. Putingku jadi menegang.
Berikutnya, aku bantu dia membuka jeans. Disusul boxer. Terlihat lagi penis yang beberapa hari ini ‘keluar-masuk’ vagina. Meski sudah mengacung, tetap aku kulumi sebagai layanan tambahan. Aku jilati lubang kencing, serta buah zakarnya. Yudhi menikmati benar layananku itu. Perlahan batang berurat itu kian membesar di mulutku. Sambil mengulum, tangan kiri merogoh ke dalam jeans yang kupakai. Aku rabai sendiri celana dalam. Menyiapkan sendiri lubang kenikmatan.
Terasa di bawah sana sudah cukup basah, barulah aku membuka celana. Yudhi benar-benar pasif hari itu. Dia tak lagi ‘ganas’ seperti hari-hari sebelumnya. Termasuk saat aku memasang kondom di penisnya. Cuma muncul sedikit seringai malas. Sebagaimana laki-laki lain, yang menilai karet tersebut ‘merusak’ kenikmatan. Sisanya, Yudhi hanya pasrah menerima apa yang aku lakukan. Sepertinya kali ini dia cuma mau menikmati sensasi. Sensasi jadi suami yang dilayani istri.
Aku arahkan sendiri ujung penis ke lubang intim. Perlahan duduk, hingga batangnya menancap sempurna. “Nggak ada yang ngalahin enaknya pepek mama muda...” Komentar Yudhi.
Kedua tangan dia lalu mendarat di payudaraku. Mulai diremas-remas. Melihat senyuman Yudhi, aku ikut merasa senang. Artinya layanan yang aku berikan memuaskan. Padahal itu baru sampai tahap menancapkan batang penis saja.
Mulai aku menggoyang pinggul. Yudhi mulai merem melek. Wajar, karena aku pun merasa yang sama, saat penis itu mengaduk-aduk liang sempitku.
“Enak?” Godaku lagi.
“Banget.”
Goyangan pinggul pun sedikit aku kencangkan. Makin merem melek Yudhi dibuatnya. Goyang, goyang, goyang. Enak sekali rasanya, bisa mengatur sendiri irama permainan. Mengatur ke mana penis musti digerakkan. Sampai terasa ada kedutan di dalam sana, dan Yudhi minta ganti posisi.
Balik kami pada posisi standar. Missionaris. Terlentang ngangkang, dengan kedua lutut tertekuk. Sementara Yudhi menusukkan penisnya, sedalam mungkin. Aku pikir dia akan langsung keluar. Ternyata kami sempat dua-tiga kali ganti posisi dulu.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Aahhh, aahhh, AAHHH...”
Saat lenguhan terakhir, liang kewanitaanku terasa hangat. Berarti Yudhi sudah ejakulasi. Terjadi bersamaan dengan lumatan di bibirku. Yudhi tersenyum, tapi belum menarik penis. Dia ucapkan makasi, sambil sekali lagi mengecup keningku. Dibiarkan batang penis itu mengendur perlahan. Masih menindih tubuhku, lagi dia melumat bibirku mesra.
“Mas Hendra beruntung banget punya istri kayak kamu,” Yudhi tersenyum.
Dia toel hidungku. Ikut aku tersenyum. “... tapi aku nggak kalah beruntung. Bisa meniduri istri cantiknya.” Tambahnya, sambil tertawa kecil.
Ganti aku yang men-toel hitungnya.
Yudhi tidak memberi ijin aku bergeser. Tetap dia tindih tubuh bugilku, sambil terus mendaratkan kecupan di mana-mana. Juga merabai bulu-bulu di antara paha. Padahal tubuh kami lagi lengket oleh keringat. Maka coba aku pancing dirinya. “Kamu laper nggak? Aku masakin ya?”
“Boleh, tapi masaknya telanjang. Sampai kita selesai nanti, kamu nggak boleh pake baju.”
Terpaksa aku iyakan saja. Dan jadilah aku turun ranjang masih dalam keadaan polos. Sebelum ke dapur, aku membilas diri dulu di kamar mandi. Sementara Yudhi mengikuti terus ke mana pun aku pergi. Mengawasi apa yang aku lakukan, sambil cengir-cengir. Dia terlihat menikmati betul ketelanjanganku. Padahal dia sendiri dalam kondisi yang sama.
“Kamu seksi banget...” Dia memeluk aku dari belakang, ketika baru selesai pakai celemek.
“Kalo diginiin, gimana aku bisa masak?”
Terkekeh Yudhi mendengar itu. Langsung dia lepaskan pelukan, lalu sedikit mundur menjauh. Sebelum itu dia sempat menepuk-nepuk dulu pantatku. Barulah aku bisa mulai memasak. Bukan masakan ‘berat’, hanya telur orak-arik dan tumis sayur campur. Selesai aku tuangkan semua di piring, kembali Yudhi mendekat. Tak hanya memeluk, dia juga mengecup pipiku.
“Nggak makan dulu?” Godaku, saat terasa gesek penis Yudhi di bongkahan pantat.
“Ntar aja. Pernah ngeseks di dapur sama suami?”
“Pernah.”
“Pakai gaya apa?”
“Kayak gini...” Aku sorongkan pantat sedikit mundur. Tanpa menoleh, kuraih penis Yudhi. Coba aku arahin ujungnya ke lubang vagina. Sementara pelukan masih belum dilepaskan. Tanpa perlu dikomando, ditusukan penisnya secara perlahan. Dan persetubuhan pun kembali terjadi.
Sempat kami berganti posisi menjadi berhadapan. Posisi itu lebih terasa romantis, dimana kami bisa sambil berciuman. Meski aku musti sedikit berjinjit, akibat perbedaan tinggi tubuh. Sampai terasa kedutan di bawah sana. Kini aku tahu kebiasaan Yudhi sebelum ejakukasi. Langsung saja aku tarik penis, dan ambil posisi jongkok. Sadar kalau saat itu dia tidak pakai kondom. Kan lebih baik keluar dalam mulut, ketimbang dalam vagina. Mulai aku kulum penis tersebut.
Namun, sepertinya Yudhi punya keinginan lain. Dia tarik keluar batang itu dari mulut. Dia kocok sendiri, sambil mengarahkan ujungnya ke wajahku. Dan, “Croot, croot, crooot...”
Seketika itu cairan kental berceceran. Mengenai pipi, hidung, dahi, mulut, alis dan poni rambut. Meski tidak menyukainya, tapi masih lebih mending daripada rahimku. Begitu selesai, langsung aku mencuci muka di wastafel. Lagi ucapan makasi, keluar dari mulut Yudhi.
Berberes, kami pun lanjut makan di ruang tamu. Duduk telanjang di sofa, depan televisi. Dengan manja, Yudhi minta disuapi. Tentu saja aku tidak keberatan. Hari ini tujuanku memang bikin dia bahagia, agar tak lagi mengganggu kerjaan suamiku.
Baru saja suapan terakhir selesai dikunyah, aku berakhir nungging di sofa. Disetubuhinya (lagi) aku dengan posisi doggie. Disertai tambahan beberapa gaya lain, sebelum aku ditindih Yudhi di atas karpet ruang tamu. Kali ini box kondom sudah siap dipakai kapan saja.
Genjot, genjot, genjot. “Croot, croot, crooot...” Payudaraku dibuat belepotan cairan kental putih.
Ngobrol sebentar, sambil Yudhi merokok, kami malah berakhir di tangga. Ketika itu hendak naik ke lantai dua. Diawal, dia berencana bersetubuh di ruang kerja suami, tapi deretan anak tangga merubah niatnya. Jadilah tubuh bugilku berguncangan di sana, entah pakai posisi apa namanya.
Di ruang kerja, malah tujuan kami berubah. Di sana aku hanya melayani seks oral dan jepitan payudara. Yudhi mulai kelelahan, tapi enggan untuk beristirahat. Aku bisa merasakan itu, begitu dia tusukkan penis. Itu terjadi saat di ruang makan. Dan juga di halaman belakang rumah. Terasa kurang bertenaga gitu tusukannya. Begitu pula saat ejakulasi. Cairan yang keluar, cuma setetes-dua tetes saja. Meski begitu, tetap saja aku layani apa pun kemauan dia.
Mungkin sadar dengan keadaan diri, Yudhi akhirnya mau aku ajak balik ke kamar tidur. Di sana aku keloni dia, layaknya suami sendiri. Kami ngobrol santai, sampai akhirnya dia terlelap. Aku selimuti tubuhnya dan turun dari ranjang. Aku tenang saja, karena tadi menerima pesan singkat dari si kecil. Bilang kalau dia ada les tambahan. Artinya aman membiarkan Yudhi sejenak untuk tidur. Lagi aku membasuh diri, sebelum memakai pakaian. Pakaian seadanya saja, hanya kaos dan celana dalam. Kan, tugasku melayani Yudhi belum selesai.
Kesempatan itu aku pakai bersih-bersih. ‘Mengamankan’ bekas-bekas kondom, yang tadi kami pakai. Juga ceceran sperma di tempat-tempat kami bersetubuh tadi.
Akhirnya alarm ponsel berbunyi. Sampai waktunya untuk membangunkan Yudhi. Aku guncang pelan tubuh Yudhi, sambil memanggil namanya. Aku ulangi beberapa kali, sampai dia membuka matanya. Meregang dia sebelum bersuara.
“Aku ketiduran ya?”
Aku mengangguk. “Sorry, tapi aku musti jemput anakku.”
Dia tersenyum. Kembali dia meregang sekali lagi. “Tapi masih sempet buat mandi bareng kan?”
Kali ini aku yang tersenyum. “Masih...”
Turun Yudhi dari ranjang. Melangkah dia terlebih dulu ke kamar mandi, sementara aku melepas pakaian. Menyusul aku kemudian berdiri di bawah shower. Bercumbu kami di bawah guyuran air hangat, sebagaimana layaknya suami istri. Tidak lagi kami bersetubuh. Hanya saling cium, dan saling peluk. Mungkin ditambah tangan Yudhi, yang merabai bulu-bulu lebat di bawah sana. Spesial request, yang dia utarakan di awal pertemuan.
“Makasi buat hari ini. Makasi udah jadi ‘istri’ yang baik,” ucap Yudhi lembut, sambil nyengir.
“Sama-sama.” Aku daratkan kecupan. “Tolong ya Yud, jangan ganggu kerjaan suamiku lagi.”
“Kalau aku pengen ‘ketemu’ lagi sama kamu, gimana?”
“Kan bisa ngomong langsung ke aku. Nanti bisa kita bicarain baik-baik.”
Mendengar itu Yudhi tersenyum. Dia mau memberi janjinya. Sesudahnya kami berpisah, untuk kembali pada urusan masing-masing.
***
“Kayaknya Yudhi naksir deh ama mama.”
“Ih, apaan sih, Pa.”
Suamiku menyeletuk, begitu laki-laki muda itu menghilang di gerbang terminal keberangkatan internasional. Berdua kami mengantar Yudhi kembali ke Singapura, begitu urusan tender ulang selesai dilaksanakan. Mendengar celetukan itu, kutepuk pelan pundak suami. Ditanggapi dengan senyuman kecil.
Feeling aja sih...”
“Udah deh, jangan mikir yang aneh-aneh. Mending sekarang traktir mama makan. Laper nih.”
Bergelayut manja aku di lengan suami. Ditoel kecil dahiku, melihat kemanjaanku itu. Melangkah kemudian kami meninggalkan areal bandara.
Dan untuk sementara, semuanya pun kembali tenang.
.

7 komentar:

  1. update yg kayak gini bener2 bkin crottt :D

    BalasHapus
  2. masih ada unfinished business with mertua, bikin dong ala2 father in law gitu

    BalasHapus
  3. Panjang kali ceritanya gak ada jeda untuk kehidupan keseharian

    BalasHapus
  4. udah lebih dari 2 bln, tapi kok blm update ya?

    BalasHapus
  5. Lanjutkan critanya sist..

    BalasHapus
  6. Masih menanti setelah 6 bulan

    BalasHapus