Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Desahan
Pak Pram memenuhi ruangan. Dia memang tidak berniat menahannya. Berbeda halnya
denganku. Kugigit bibir agar desahanku tidak keluar. Tapi, tetap saja beberapa
kali keceplosan. Terutama saat dia menghujamkan penisnya terlalu keras. Iya,
kami memang sedang bersetubuh.
Posisiku
berdiri membelakangi Pak Pram. Pantatku yang sedikit menungging dipakainya
sebagai tumpuan. Aku sendiri memakai meja rapat sebagai pegangan. Terasa sekali
gelora semangat Pak Pram saat menyetubuhiku. Kami memang sudah lama tidak
melakukannya. Sudah hampir enam bulan, sejak terakhir kami bertemu di sebuah
hotel.
“Aahh..
Aahh.. Aahh..”
Pakaian
kami seluruhnya masih menempel dibadan. Pakaian bawah saja yang diturunkan,
guna memberi akses kelamin kami bertemu. Tiga kancing blusku terbuka. Namun,
itu tidak membuat seluruh tubuh atasku terlihat. Hanya agar tangan Pak Pram bisa
mudah meremas payudaraku. Remasan yang membuat bra-ku tidak lagi diposisinya.
Meeting hari itu
berjalan sukses. Proposal yang kuajukan ditanda-tangani rekan kerja Pak Pram.
Pembicaraan sempat berjalan alot. Draft
kontrak sampai harus berkali-kali direvisi. Akhirnya negosiasi bisa ditutup,
membuatku lega. Pak Pram langsung meminta ‘jatah’-nya. Kuakui peran Pak Pram
sangatlah besar. Tentu tidak keberatan aku melayaninya. Namun, ajakan buka
kamar hari itu terpaksa kutolak. Sore itu aku harus mengejar pesawat. Aku harus
menyusul suami dan anakku keluar kota. Kami ada rencana liburan. Mumpung tanggal
merah berbaris diakhir pekan.
Maka
jadilah kami melakukan quicky sex. Di
ruang rapat kantornya. Berhubung Pak Pram sudah tidak kuat menahan nafsu. Tidak
bisa juga dibilang ‘quick’ sih.
Mengingat sudah hampir dua puluh menit lebih. Dan kelamin kami masih beradu. Belum
ada tanda-tanda dia akan ejakulasi.
“Aahh..
Aahh.. Aahh..”
Pak Pram seperti
berusaha menahan klimaks-nya. Kurasakan berkali-kali kedutan otot penisnya.
Namun, tidak juga batang itu mengendur. Malah kian menegang. Setiap kali terasa
kedutan, kurasakan pula remasan dipantatku. Sampai Pak Pram tak kuasa lagi. Dia
pun mengeluh panjang.
Genjotan
Pak Pram berhenti. Perlahan penisnya mengendur. Ditolehkannya wajahku, dan kami
berciuman. Setelah itu barulah dia menarik penisnya. Kulirik banyak sekali
cairan putih diujung kondom. Pak Pram menarik karet pelindung itu perlahan.
Dibuangnya ke tempat sampah. Setelah dibalut tissue, tentunya. Tissue
basah kupakai melap keringat di wajah dan dada. Demikian pula bagian vagina. Pak
Pram kusodorkan juga, guna membersihkan batang dan ujung penisnya.
“Abis ini
kamu langsung ke bandara?” tanya Pak Pram, sambil memakai celana panjangnya.
Begitu
pula denganku. Kutarik naik celana dalam, dan celana panjangku. “Iya Om.”
“Salam
buat keluargamu ya..”
Aku
mengangguk. Kulihat lagi kecemburuan di wajah Pak Pram. Dia memang pernah
mengakui cemburu pada suamiku. Cemburu karena bisa menikmati tubuhku kapan
saja, setiap hari. Tidak demikian dengan dirinya. Biasanya hanya kutanggapi hal
itu dengan senyuman.
Kurapikan
pula bra dan kancing blusku. Bedak kukeluarkan dari dalam tas. Kugunakan
kacanya untuk melihat penampilan wajah dan rambut. Kurapikan ala kadarnya.
Sengaja tidak kupakai make up
kembali. Tidak akan ada gunanya selama Pak Pram masih didekatku. Ciuman pada
pipi dan bibir pasti akan kuterima lagi. Dan benar saja, beberapa saat kemudian
dia melumat bibirku.
Begitu bibir
kami berpisah, dia bertanya. “Kapan kamu balik?”
“Kalo
nggak Sabtu, mungkin Minggu Om. Kenapa?”
Kulihat
ekspresi kekecewaan diwajahnya. “Yah, nggak bisa booking kamar dong minggu ini..”
“Senin
kan bisa, atau Selasa juga saya bisa.”
“Nggak
ah. Nggak enak. Nggak bisa seharian ngamar.”
Pak Pram merajuk. Tersenyum geli aku melihatnya. Ekspresi wajahnya terlihat
lucu. Percis seperti balita kehilangan balon.
Pak Pram
memang kerap memilih kutemani saat liburan. Dengan begitu aku bisa jadi
‘milik’-nya seharian. Dipastikan seharian itu tubuhku akan polos. Dia akan
menerapkan larangan berpakaian. Bercinta, bercinta, dan bercinta. Itu sajalah
aktifitas kami dalam kamar. Kalau hari kerja, berarti waktu kami bersama paling
lama dua jam. Dari pulang kerja, sampai maksimal jam sembilan malam. Agar
keluarga kami tidak curiga. Karena alasan lembur, paling sering kami pakai.
“Kalau
gitu, hari Minggu depan deh. Saya kosongin deh jadwal khusus buat Om.”
Pak Pram
merengut. “Kelamaan Dit, keburu puyeng
nih kepala kontol Om.”
Terkekeh
aku dibuatnya. Tumben kudengar kepala penis bisa puyeng, alias pusing. Kirain kepala Barbie doang yang bisa pusing.
“Kalo
gitu. Saya temenin Om dua kali deh, Senin ama Selasa. Gimana?”
Nasabah
prioritasku itu terdiam sejenak. Mungkin dia lagi berpikir. Entah apa isi
pikirannya. Tak lama Pak Pram berucap juga, “Kalau dijadiin tiga malem, kita deal deh..”
Giliran
aku yang harus berpikir. Kalau dua hari beralasan lembur, tentu masih masuk
akal. Tapi, kalau tiga hari belum tentulah. Kami pun bernegosisasi. Pak Pram
masih ngotot dengan tiga kali.
Berusaha aku menawarnya maksimal dua kali. Selain faktor keluarga, menimbang
pula statusku sebagai istri. Tentu tidaklah etis, kalau penis laki-laki lain
terlalu sering ‘bersarang’ di vaginaku. Mengingat tak semua persetubuhan dengan
Pak Pram, kuceritakan pada suami.
Kesepakatan
akhirnya tercapai. Pak Pram setuju kutemani dua kali saja. Selasa dan Rabu. Dia
berbaik hati melewatkan hari Senin. Katanya biar aku nggak capek pasca penerbangan. Dengan syarat, no condom di dua malam itu. Itu berarti menampung spermanya di
rahimku. Menimbang dua hari itu bukanlah masa subur, maka kusetujui saja. Pak
Pram pun sumringah, puas. Lagi-lagi, bagian dari dirinya akan jadi bagian dari
diriku.
Kami
kembali berciuman, sebelum aku berpamitan.
***
Wajahku
terlihat sempurna lagi di kaca toilet bandara. Baru kudapat kesempatan memakai make up. Sebatas merapikan bedak dan
lipstik saja sih sebenarnya. Serta
menyisir rambut, tentunya. Kuperhatikan kembali pantulan diriku di kaca.
Kupastikan tidak terlihat hal-hal mencurigakan. Terutama jejak-jejak bekas
persetubuhan. Setelah memastikan semua oke,
baru aku melangkah keluar. Sempat kukirim pesan singkat ke suami. Memberitahu
kalau aku sudah di bandara.
Bandara
sangat ramai. Maklum hari itu akhir pekan, dipadu liburan panjang. Rencananya
aku, suami dan anakku akan berangkat bersama. Namun, rencana batal karena meeting dadakan pagi tadi. Untungnya tidak
ada kendala diproses perubahan tiket. Sempat aku meruntuk, karena harus
berangkat tanpa teman. Aku tahu, travelling
sendirian pasti jadi sasaran empuk godaan.
Kurasakan
godaan mulai dalam taxi, loket check in,
sampai kini duduk diruang tunggu. Sedetik lalu, seorang pria paruh baya mengerling.
Tepat kearahku. Padahal dia datang bersama seorang wanita. Kupakai kaca mata
hitam. Berlagak acuh tak acuh. Kuambil novel, dan mulai membaca.
“Sendirian
aja mbak?”
“Iya,”
sahutku singkat, saat petugas ticketing
bertanya.
“Duh,
kasihan cewek cantik berangkat sendirian. Kalau nggak tugas pasti saya temenin
deh.”
Dia
tersenyum. Kupaksakan diri membalas senyumannya. Setelahnya petugas itu menatap
nanar tubuhku, dari atas kebawah. Lagi-lagi berusaha aku acuh tak acuh.
Didalam
pesawat, kutemukan nomor kursiku. Harapanku terkabul. Kursiku ada didekat
jendela. Kuletakkan travel bag kecil
milikku dibagasi atas. Memang itu saja barang bawaanku, selain tas jinjing. Sisanya
sudah dibawa suami sehari sebelumnya. Saat hendak kembali duduk, terdengar
sapaan dari sebelah. Rupanya dari pria paruh baya diruang tunggu tadi. Dia coba
berbasa-basi. Kujawab seadanya, sesopan mungkin. Sambil berharap dia tidak
duduk disebelahku. Harapanku terkabul lagi. Dia dipanggil teman wanitanya. Mereka
duduk dua deret didepanku.
Beberapa
menit, dua kursi disebelahku masih kosong. Iseng aku berharap dua kursi itu
akan tetap kosong. Dengan begitu aku bisa tenang tidur. Bekerja plus bercinta, di hari libur telah
menguras staminaku. Kurasakan lelah yang teramat sangat. Rupanya, harapanku
kali ini tidaklah terkabul. Pramugari mengantarkan seorang anak laki-laki kederetan
kursiku.
“Ini
kursi 7 B, silakan,” ucap pramugari itu sopan.
Anak itu langsung
mengambil tempat. Dia duduk tepat disebelahku. Perawakannya masih sangat muda. Kuperkirakan
dia masih SMP. Terlihat dari raut wajahnya yang imut, untuk ukuran laki-laki. Barang
bawaannya pun tidak banyak. Hanya sebuah ransel ukuran sedang.
“Sendirian
juga Kak?” tanyanya padaku.
Kaget
juga aku ditanya seperti itu. Padahal aku belum dikenalnya. “Iya,” sahutku
singkat.
Perbincangan
terus berlanjut. Rupanya anak laki-laki itu ramah sekali. Perkiraanku meleset.
Dia sudah SMU, kelas sebelas. Dia bernasib sepertiku, berangkat sendirian. Juga
menyusul keluarga yang sudah berangkat kemarin. Harus menjalani ujian susulan,
membuat dia tertahan. Menurut pengakuannya, dia sudah memperhatikan aku sejak dari
ruang tunggu. Katanya aku cantik sekali. Perkiraan dia juga meleset. Dikiranya
aku ini mahasiswi. Tersipu aku mendengarnya. Sekaligus bangga, tentunya. Kami
kemudian berkenalan. Indra, itulah namanya.
Saat
pemberitahuan pesawat akan take off,
obrolan kami terputus. Tidak ada orang ketiga dideret kursi kami. Kursi dekat selasar tetap kosong. Lampu sabuk
pengaman padam, Indra memulai pertanyaannya lagi. Ditengah obrolan, Indra
menyodorkan sweater miliknya. Mungkin
dia sadar sedari tadi aku menahan dingin. Suhu kabin di-set kurang manusiawi,
menurutku sih. Kuterima dan kupakai
menyelimuti tubuh. Ternyata sweater itu
tidak gratis. Indra minta barter dengan
pin blackberry-ku. Ternyata anak muda
ini main otaknya, pikirku. Dan barter pun
terjadi.
Obrolan terus
berlanjut, hingga tak kuat lagi kutahan kantuk. Kelopak mataku terasa begitu berat.
“Dra, aku
tidur dulu sebentar ya. Ngantuk banget nih,” ujarku menengahi obrolan.
“Iya Kak,
kakak tidur aja. Aku nggak ganggu lagi deh.”
Kuatur
sandaran kursi. Mencari posisi tidur sambil duduk, memang sulit. Penumpang lain
sudah ada yang tertidur. Sementara diluar sana, gelap gulita. Hanya sesekali nampak
kerlipan lampu pesawat. Kulihat Indra mengeluarkan earphone, sebelum kupejamkan mata. Tak lama aku mulai terlelap.
Semuanya perlahan memudar.
Entah berapa
lama aku terlelap. Perlahan kesadaranku kembali. Kurasakan tubuhku jadi sedikit
kaku. Kusapu pandangan. Hampir sebagian besar penumpang masih tertidur. Begitu
pula Indra disebelahku. Lampu kabin sudah diredupkan. Kuputuskan kembali
memejamkan mata. Ketika memperbaiki posisi sweater,
baru kusadari sesuatu. Dua kancing blusku terbuka. Aku yakin tadi tertutup
dengan rapat. Tidak mungkin terbuka sendiri, pikirku. Kecuali ada yang
membukanya.
“Dra..
Dra..” Bisikku memanggil nama Indra. Kurasa kecurigaanku berlebihan. Tidak
mungkin Indra. Anak muda itu terlihat lelap tertidur. Aku coba berpikir
positif. Mungkin posisi tidurku membuat kancing itu terbuka. Kukancingkan lagi
keduanya. Dan kembali memejamkan mata.
Menit-menit
berlalu, belum juga aku terlelap. Berusaha tetap kupejamkan mata. Berharap bisa
tertidur lagi sebelum landing. “Sreett..” tiba-tiba terdengar suara. Detik
berikutnya kurasa sebuah tangan menyelip pelan, masuk kebalik sweater. Coba kutelaah lagi. Tidak
salah, memang itu sebuah tangan. Dan jari-jarinya perlahan mulai bergerak. Merabai
payudara kiriku. Berusaha aku tetap tenang. Mungkin karena diamku, tangan itu santai
berpindah ke payudara kanan. Apakah pelakunya Indra? tanyaku dalam hati.
“Eehhmm..” Aku melenguh pelan.
Berpura-pura masih terlelap, kupindahkan posisi kepala. Dari semula menghadap
jendela, kini keposisi sebaliknya. Kubuka sedikit mataku. Kulihat kelebatan si
pemilik buru-buru menarik tangannya. Maka semakin yakinlah aku. Pelakunya
adalah Indra.
“Kak
Dita.. Kak..” Kudengar bisikan Indra. Tidak kujawab, tetap aku berpura-pura
terlelap.
Namaku
disebut ketiga kalinya. Tetap saja kudiamkan. Seperti kuduga, tangan itu mulai
beraksi lagi. Merabai payudaraku. Bingung aku harus melakukan apa. Kalau dibiarkan,
dia pasti makin menjadi. Kalau ditangkap-tangan, takutnya dia tersulut emosi. Dan
yang kutakutkan pun terjadi. Rabaan itu berubah jadi remasan halus. Cup bra-ku cukup tebal. Hanya itu yang
menghalangi dia bisa merasakan kekenyalan dadaku. Mengingat kain blusku
berbahan tipis. Merasa perbuatan itu belum cukup lancang, kubiarkan saja dia terus
meremas. Aku tetap berpura-pura terlelap.
Gerakan
selanjutnya, sungguh tak terduga. Tangan itu berpindah ke pahaku. Disana dia merabai
keduanya, bergantian. Bahkan berikutnya, makin tak terduga. Tangan itu merabai kewanitaanku.
Iya, daerah antara dua paha. Gerakan itu membuat tubuhku berdesir. Tiga jam
lalu, sebuah penis membuat bagian itu berkontraksi. Kini sentuhan Indra
merangsangnya lagi. Cairan kewanitaanku mulai bereaksi. Pilihan celana panjang
patut kusyukuri. Bayangkan apa yang terjadi seandainya aku memakai rok. Berusaha
kutahan desahanku. Aku harus tetap berpura-pura terlelap.
“Para
penumpang yang terhormat, sebentar lagi pesawat kita akan mendarat..”
Sayup-sayup kudengar suara pramugari. Dia mengingatkan kami untuk memakai sabuk
pengaman.
Ini
kesempatan, pikirku. Tangan Indra masih diposisinya. Masih merabaiku. Harus
kuhentikan, kalau tidak ingin ‘pipis’ dicelana. Maka mendadak kubuka mata. Lalu
pura-pura merenggangkan tubuh. Buru-buru Indra menarik tangannya. Namun, tangan
itu terjepit disabuk pengamanku.
“Aduh..”
Indra mengerang.
Tidak kusangka
hal itu akan terjadi. Inikah yang namanya karma? Aku tidak tahu. Yang jelas itu
terasa lucu. Aku tersenyum geli. Kubantu tangan Indra terlepas dari jepitan. Tangannya
tidak cedera. Dia masih meringis, begitu tangannya terlepas. Penuh usaha aku
menahan tawa.
“Kok
tangan kamu bisa di kursiku?” tanyaku. Memancing kejujurannya.
Ekspresi
wajah Indra langsung berubah. Merah padam. Makin gelilah aku. Dia terlihat bingung
menjawab pertanyaanku. Sebuah pertanyaan rekoris. Dia beruntung pramugari datang
mendekat. Memeriksa posisi sabuk pengaman kami. Pertanyaanku tetap tanpa jawaban.
Tidak berniat pula kupaksa Indra menjawabnya.
Pesawat akhirnya
berhenti. Penumpang mulai berdiri. Bergantian mengambil barang mereka dari
bagasi. Indra membantuku menurunkan travel
bag. Kulempar senyum, dibalasnya sambil tersipu. Sweater pun kembali berpindah tangan, disertai ucapan terima kasih.
Kucoba bersikap tidak tahu apa-apa. Hanya sikap Indra nampak berubah. Kini dia
lebih banyak diam.
“Kak
Dita..” seseorang memanggilku, begitu keluar dari koridor. Rupanya Indra
menungguku.
Kudekati
dirinya. “Kenapa Dra?”
“Sa-saya mau
minta maaf Kak..” ucapnya ragu.
Dahiku
berkerut. “Minta maaf buat apa?”
Sejenak
Indra terdiam. Terlihat bingung untuk memulai kalimatnya. “Gi-gini Kak, sa-saya
mau minta maaf soalnya tadi di pesawat saya megang-megang kakak. Maafin saya ya
Kak..”
Kulihat
ketulusan diwajahnya. Selain ketegangan, tentunya. Ternyata anak muda ini gentleman juga, pikirku. Berani mengakui
perbuatannya. Dengan konsekuensi aku mungkin marah. Kubalas kata-katanya dengan
senyuman. “Aku udah tahu kok perbuatanmu,” sahutku tenang.
Indra
terlihat kaget. Seakan tak percaya yang barusan didengarnya. Kulihat pula adanya
kelegaan disana. Kami berbincang sebentar. Setelah kumaafkan, sikap Indra balik
seperti awal pertemuan. Dia bilang tidak punya saudara perempuan, begitu pula
pacar. Maka dia mengaku khilaf saat menatap tubuhku. Kucandai dia, kalau laki-laki
normal pasti khilaf melihat aku. Tawa diantara kami pun kembali. Dia minta ijin
memelukku, sebelum berpisah. Kuiijikan tentu saja. Kami lalu saling melambai. Kulihat
Indra dijemput beberapa orang. Mungkin itu keluarganya, pikirku.
***
Selesai
urusanku dengan Indra, kulanjutkan langkahku. Mendekati pintu keluar, kulihat
lambaian tangan suamiku. Dia terlihat menggendong si kecil yang tertidur. Kubalas
lambaiannya. Semakin dekat, baru kusadari sosok disebelah suami. Dia adalah
Reza. Teman semasa kuliah. Dialah yang mengundang kami. Resminya, Reza mengundang
suamiku dan keluarga. Dibalik itu, sebenarnya dia ingin bertemu denganku. Dia
bilang langsung padaku. Reza cerdas. Dia tahu kalau lewat aku, undangan itu
pasti kutolak. Mengingat diantara kami pernah ada sejarah. Sejarah percintaan.
“Hei,
sayang..” Suamiku mencium kedua pipiku. “Capek ya?”
Aku
tersenyum. Sepertinya dilihatnya guratan lelah diwajahku. “Lumayan sih,”
sahutku singkat.
“Hei,
Dit.” Reza menyodorkan tangannya. Kubalas, dan kami bersalaman.
“Hei,
Rez. Repot-repot amat ikutan jemput.” Aku tersenyum lagi.
Dia balas
tersenyum. Reza bilang kalau tamu spesial datang, musti tuan rumah yang jemput.
Itu peraturan pertama perusahaannya. Tersipu aku mendengarnya. Reza sama sekali
tidak berubah. Masih karismatik, seperti terakhir kuingat. Itu yang kusuka
darinya. Sedikit canggung sih berada didekatnya. Apalagi kini suamiku ada
diantara kami.
Bertiga kami
melangkah menuju parkiran. Didalam mobil, Reza memegang kemudi. Suamiku duduk
disebelahnya. Aku duduk dibelakang, memangku si kecil. Sedang mendengarkan obrolan
suami dan Reza, ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Sebuah blackberry messenger.
“Makasi Kak, tadi udah gak marah ama saya.”
Rupanya dari Indra.
Aku
tersenyum, lalu kubalas. “Sama2. Lain
kali janji yah gak nakal lagi.” Kulengkapi dengan imote senyuman. Kemudian dibalasnya lagi dengan imote nyengir. “Iya Kak, janji.”
Dua setengah
jam kami tempuh dari bandara ke hotel. Menurut Reza, biasanya lalu lintas tidak
semacet malam itu. Mungkin pengaruh akhir pekan dan libur panjang. Memang sih bagi kita para pekerja, momen liburan
panjang adalah berkah yang jarang terjadi. Musti dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Sampai di hotel kami langsung menuju lobi.
“Eh Dit,
jadi nyoba minuman pereda jetlag-nya?
Jam segini kayaknya bar masi buka deh,” Ucap Reza sebelum pintu lift tertutup.
Dia bilang bar ada di lantai empat.
Dimobil sempat
kubilang mengalami jetlag. Kepala
terasa sedikit pengar. Reza lalu menawarkan racikan barista hotelnya. Katanya minuman itu bisa meredakan jetlag. Dijamin minim alkohol pastinya.
Bingung kujawab tawaran itu. Kualihkan pandangan pada suami. Seolah meminta
ijin darinya. Suami bilang terserah aku, tapi dia tidak bisa menemani. Si kecil
sudah ngantuk berat. Kuputuskan ikut dengan Reza. Tidak ingin pengar ini
nantinya mengganggu tidurku. Maka kami keluar lift dilantai empat, sedang suami
lanjut ke lantai enam.
“Gimana
minumannya? Mantap kan?” Reza tersenyum kecil. “Gue selalu minum itu kalau
habis terbang jauh.”
Aku
mengangguk. Beberapa tegukan, tubuhku terasa hangat. Pusing dikepala pun
mereda. Setiap tegukan terasa aroma lemon yang kental. Terasa juga campuran
rempah, dan sedikit liquir. Saat
kutanya resepnya kepada sang barista,
dia menjawab dengan gerakan mengunci bibir. Rahasia dapur katanya. Kami bertiga
pun tertawa. Obrolan berlanjut sambil kuhabiskan minuman itu.
Habis
tegukan terakhir, kuminta ijin balik ke kamar. Reza menawarkan tinggal beberapa
menit lagi. Namun, kukatakan tidak enak pada suami. Dia mengerti dan menawarkan
diri mengantar. Tawarannya kali ini tidak bisa kutolak. Kami pun melangkah
menuju lift.
Sampai didepan
kamar, Reza menarik tanganku. Tersentak aku karenanya. Makin tersentak saat dia
mendorongku ke dinding koridor. Didaratkan bibirnya ke bibirku. Kejadiannya
begitu cepat, hingga otakku tak sempat mencernanya. Tahu-tahu dia sudah melumat
bibirku. Sementara kedua tangannya
memeluk tubuhku erat. Beruntung koridor hotel malam itu sepi sekali. Mungkin tamu
hotel dilantai itu sudah pada tidur.
“Maafin
gue Dit, gue udah nggak bisa lagi nahan diri. Maaf banget..” ungkapnya pelan,
setelah bibir kami berpisah.
Aku tidak
tahu harus merespon seperti apa. Aku shock.
Tubuhku masih tersandar di dinding. Tubuh Reza masih merapat ditubuhku.
Wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Nafasnya menderu. Kami bertatapan.
Mata Reza terlihat sanyu. Tergambar guratan rindu disana.
Beberapa
detik dalam kesunyian, akhirnya mulutku mampu berkata-kata. “Gue tahu nggak bakal
bisa menghindari ini waktu tahu undangan itu dari lu. Tapi kita sama-sama tahu
kalau ini salah Rez. Lu udah berkeluarga, gue juga udah berkeluarga. Hubungan
kita udah sebatas masa lalu.”
Reza
tersenyum dan mengangguk. “Seharusnya elu yang jadi istri gue Dit..”
Giliran
aku yang tersenyum. “Rez, kita nggak bisa menolak apa yang sudah ditakdirkan
Tuhan.”
“Iya gue
tahu, gue ngerti..” Reza terdiam. “Besok gue ada perjalanan dinas ke luar kota,
silakan lu ama keluarga menikmati liburan disini. Pakai aja semua fasilitas
yang ada. Kalo kalian perlu apa-apa tinggal kontak manager gue. Nomornya udah
gue kasi ke suami lu. Atau lu bisa kontak gue langsung, gue bakal seneng banget
denger suara lu.”
Aku
tersenyum lagi. “Makasi banget Rez.”
“Dan
sebelum gue pergi. Boleh nggak gue cium lu sekali lagi?” Dia melanjutkan
kata-katanya.
Kuanggukan
kepalaku. Bibir kami pun bertemu kembali. Bedanya, kali ini lumatan tidak terjadi
sepihak. Lumatan demi lumatan memancing memori masa lalu. Kenangan saat masih
bersama. Istilah nembak memang tidak
pernah ada. Hanya hati kami yang saling berbicara. Namun, takdir akhirnya menulis
berbeda. Kami harus menempuh jalan yang tak sama.
Dia hanya
menciumku. Sama sekali tidak menyentuh tubuh yang lain. Mungkin itu bentuk rasa
hormatnya, atas hubungan kami saat ini. Bibir kami terlepas, tiba juga saat
saling melepas. Rindu sudah tertuntaskan. Kami saling melambai. Sosok Reza menghilang
dibalik pintu lift. Begitu pula aku dibalik pintu kamar.
***
Dikaca
kamar mandi kulihat diriku. Disana terpantul tubuh telanjangku. Wajahku
terlihat polos terbebas dari make up.
Rambut kubiarkan tergerai. Guratan rasa lelah, terpancar dengan jelas. Gemericik
air terdengar disebelahku. Kucuran air hangat berlahan mengisi bathtub. Busa-busa sabun perlahan ikut
naik kepermukaan.
Pintu
kamar mandi terbuka. Dari pantulan kaca kulihat sosok suami. Dia tersenyum
kearahku. Kulihat dia hanya memakai boxer
saja. Dia mendekat dan memelukku dari belakang. Diciumnya pipi dan leherku.
Kemudian dia memijat pundakku. Aku bergelinjang.
“Mau dipijitin
sambil rendeman?” Kulihat pantulan wajah suami nyengir.
“Boleh..”
sahutku manja.
Dibaliknya
tubuhku. Dia menempelkan bibirnya dibibirku. Kami berpagutan. Bibir ketiga yang
menciumku di hari itu. Tentu suami tidak perlu tahu itu. Cukup anda saja yang
tahu.
Kami lalu
pindah ke bathtub. Posisi suami
dibawah dan aku diatas. Sulit mencari posisi duduk yang enak, karena terganjal
penis suami yang mengacung. Kami berusaha menahan tawa. Kami tidak ingin si
kecil terbangun. Terakhir kutemukan posisi enak. Duduk aku membelakangi suami.
Dia memijat dari belakang. Dengan penis tertancap di vagina. Ketika pijatan
suami mengenai syaraf sensitif, aku bergelinjang. Tiap kali aku bergelinjang,
penis itu makin mengencang.
“Mama
diapain aja tadi sama Pak Pram?” Pertanyaan itu akhirnya muncul. Aku yakin
suami sudah ingin menanyakan itu sedari tadi.
Mulailah
aku bercerita. Kuceritakan semua secara detail. Minus janji pertemuanku dengan Pak Pram pada Selasa dan Rabu,
tentunya. Makin aku bercerita, makin terasa penis suami menyesaki vagina. Dia
terangsang hebat mendengarku itu. Berikutnya, suami menanyakan kondisiku. Aku
bilang jetlag-ku sudah mendingan.
“Kalau papa mau bercinta, mama masih kuat kok,” tambahku.
Mendengar
itu, suamiku sumringah luar biasa. Seperti bocah dihadiahi mainan. Memang suami
tidak mengutarakan. Namun, penisnya dengan gamblang menunjukkan. Sesi
pijat-memijat pun berakhir dibawah shower.
Dibawah kucuran air hangat. Dengan posisi aku nungging dan suami menggenjot
dari belakang. Kumulai hari itu dengan quicky
sex, kuakhiri pula dengan quicky sex.
Sungguh perjalanan
paling melelahkan yang pernah kujalani.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar