Rabu, 30 Maret 2016

Dalam Perjalanan


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Aahh.. Aahh.. Aahh..”
Desahan Pak Pram memenuhi ruangan. Dia memang tidak berniat menahannya. Berbeda halnya denganku. Kugigit bibir agar desahanku tidak keluar. Tapi, tetap saja beberapa kali keceplosan. Terutama saat dia menghujamkan penisnya terlalu keras. Iya, kami memang sedang bersetubuh.
Posisiku berdiri membelakangi Pak Pram. Pantatku yang sedikit menungging dipakainya sebagai tumpuan. Aku sendiri memakai meja rapat sebagai pegangan. Terasa sekali gelora semangat Pak Pram saat menyetubuhiku. Kami memang sudah lama tidak melakukannya. Sudah hampir enam bulan, sejak terakhir kami bertemu di sebuah hotel.
“Aahh.. Aahh.. Aahh..”
Pakaian kami seluruhnya masih menempel dibadan. Pakaian bawah saja yang diturunkan, guna memberi akses kelamin kami bertemu. Tiga kancing blusku terbuka. Namun, itu tidak membuat seluruh tubuh atasku terlihat. Hanya agar tangan Pak Pram bisa mudah meremas payudaraku. Remasan yang membuat bra-ku tidak lagi diposisinya.
Meeting hari itu berjalan sukses. Proposal yang kuajukan ditanda-tangani rekan kerja Pak Pram. Pembicaraan sempat berjalan alot. Draft kontrak sampai harus berkali-kali direvisi. Akhirnya negosiasi bisa ditutup, membuatku lega. Pak Pram langsung meminta ‘jatah’-nya. Kuakui peran Pak Pram sangatlah besar. Tentu tidak keberatan aku melayaninya. Namun, ajakan buka kamar hari itu terpaksa kutolak. Sore itu aku harus mengejar pesawat. Aku harus menyusul suami dan anakku keluar kota. Kami ada rencana liburan. Mumpung tanggal merah berbaris diakhir pekan.
Maka jadilah kami melakukan quicky sex. Di ruang rapat kantornya. Berhubung Pak Pram sudah tidak kuat menahan nafsu. Tidak bisa juga dibilang ‘quick’ sih. Mengingat sudah hampir dua puluh menit lebih. Dan kelamin kami masih beradu. Belum ada tanda-tanda dia akan ejakulasi.
“Aahh.. Aahh.. Aahh..”
Pak Pram seperti berusaha menahan klimaks-nya. Kurasakan berkali-kali kedutan otot penisnya. Namun, tidak juga batang itu mengendur. Malah kian menegang. Setiap kali terasa kedutan, kurasakan pula remasan dipantatku. Sampai Pak Pram tak kuasa lagi. Dia pun mengeluh panjang.
Genjotan Pak Pram berhenti. Perlahan penisnya mengendur. Ditolehkannya wajahku, dan kami berciuman. Setelah itu barulah dia menarik penisnya. Kulirik banyak sekali cairan putih diujung kondom. Pak Pram menarik karet pelindung itu perlahan. Dibuangnya ke tempat sampah. Setelah dibalut tissue, tentunya. Tissue basah kupakai melap keringat di wajah dan dada. Demikian pula bagian vagina. Pak Pram kusodorkan juga, guna membersihkan batang dan ujung penisnya.
“Abis ini kamu langsung ke bandara?” tanya Pak Pram, sambil memakai celana panjangnya.
Begitu pula denganku. Kutarik naik celana dalam, dan celana panjangku. “Iya Om.”
“Salam buat keluargamu ya..”
Aku mengangguk. Kulihat lagi kecemburuan di wajah Pak Pram. Dia memang pernah mengakui cemburu pada suamiku. Cemburu karena bisa menikmati tubuhku kapan saja, setiap hari. Tidak demikian dengan dirinya. Biasanya hanya kutanggapi hal itu dengan senyuman.
Kurapikan pula bra dan kancing blusku. Bedak kukeluarkan dari dalam tas. Kugunakan kacanya untuk melihat penampilan wajah dan rambut. Kurapikan ala kadarnya. Sengaja tidak kupakai make up kembali. Tidak akan ada gunanya selama Pak Pram masih didekatku. Ciuman pada pipi dan bibir pasti akan kuterima lagi. Dan benar saja, beberapa saat kemudian dia melumat bibirku.
Begitu bibir kami berpisah, dia bertanya. “Kapan kamu balik?”
“Kalo nggak Sabtu, mungkin Minggu Om. Kenapa?”
Kulihat ekspresi kekecewaan diwajahnya. “Yah, nggak bisa booking kamar dong minggu ini..”
“Senin kan bisa, atau Selasa juga saya bisa.”
“Nggak ah. Nggak enak. Nggak bisa seharian ngamar.” Pak Pram merajuk. Tersenyum geli aku melihatnya. Ekspresi wajahnya terlihat lucu. Percis seperti balita kehilangan balon.
Pak Pram memang kerap memilih kutemani saat liburan. Dengan begitu aku bisa jadi ‘milik’-nya seharian. Dipastikan seharian itu tubuhku akan polos. Dia akan menerapkan larangan berpakaian. Bercinta, bercinta, dan bercinta. Itu sajalah aktifitas kami dalam kamar. Kalau hari kerja, berarti waktu kami bersama paling lama dua jam. Dari pulang kerja, sampai maksimal jam sembilan malam. Agar keluarga kami tidak curiga. Karena alasan lembur, paling sering kami pakai.
“Kalau gitu, hari Minggu depan deh. Saya kosongin deh jadwal khusus buat Om.”
Pak Pram merengut. “Kelamaan Dit, keburu puyeng nih kepala kontol Om.”
Terkekeh aku dibuatnya. Tumben kudengar kepala penis bisa puyeng, alias pusing. Kirain kepala Barbie doang yang bisa pusing.
“Kalo gitu. Saya temenin Om dua kali deh, Senin ama Selasa. Gimana?”
Nasabah prioritasku itu terdiam sejenak. Mungkin dia lagi berpikir. Entah apa isi pikirannya. Tak lama Pak Pram berucap juga, “Kalau dijadiin tiga malem, kita deal deh..”
Giliran aku yang harus berpikir. Kalau dua hari beralasan lembur, tentu masih masuk akal. Tapi, kalau tiga hari belum tentulah. Kami pun bernegosisasi. Pak Pram masih ngotot dengan tiga kali. Berusaha aku menawarnya maksimal dua kali. Selain faktor keluarga, menimbang pula statusku sebagai istri. Tentu tidaklah etis, kalau penis laki-laki lain terlalu sering ‘bersarang’ di vaginaku. Mengingat tak semua persetubuhan dengan Pak Pram, kuceritakan pada suami.
Kesepakatan akhirnya tercapai. Pak Pram setuju kutemani dua kali saja. Selasa dan Rabu. Dia berbaik hati melewatkan hari Senin. Katanya biar aku nggak capek pasca penerbangan. Dengan syarat, no condom di dua malam itu. Itu berarti menampung spermanya di rahimku. Menimbang dua hari itu bukanlah masa subur, maka kusetujui saja. Pak Pram pun sumringah, puas. Lagi-lagi, bagian dari dirinya akan jadi bagian dari diriku.
Kami kembali berciuman, sebelum aku berpamitan.
***
Wajahku terlihat sempurna lagi di kaca toilet bandara. Baru kudapat kesempatan memakai make up. Sebatas merapikan bedak dan lipstik saja sih sebenarnya. Serta menyisir rambut, tentunya. Kuperhatikan kembali pantulan diriku di kaca. Kupastikan tidak terlihat hal-hal mencurigakan. Terutama jejak-jejak bekas persetubuhan. Setelah memastikan semua oke, baru aku melangkah keluar. Sempat kukirim pesan singkat ke suami. Memberitahu kalau aku sudah di bandara.
Bandara sangat ramai. Maklum hari itu akhir pekan, dipadu liburan panjang. Rencananya aku, suami dan anakku akan berangkat bersama. Namun, rencana batal karena meeting dadakan pagi tadi. Untungnya tidak ada kendala diproses perubahan tiket. Sempat aku meruntuk, karena harus berangkat tanpa teman. Aku tahu, travelling sendirian pasti jadi sasaran empuk godaan.
Kurasakan godaan mulai dalam taxi, loket check in, sampai kini duduk diruang tunggu. Sedetik lalu, seorang pria paruh baya mengerling. Tepat kearahku. Padahal dia datang bersama seorang wanita. Kupakai kaca mata hitam. Berlagak acuh tak acuh. Kuambil novel, dan mulai membaca.
“Sendirian aja mbak?”
“Iya,” sahutku singkat, saat petugas ticketing bertanya.
“Duh, kasihan cewek cantik berangkat sendirian. Kalau nggak tugas pasti saya temenin deh.”
Dia tersenyum. Kupaksakan diri membalas senyumannya. Setelahnya petugas itu menatap nanar tubuhku, dari atas kebawah. Lagi-lagi berusaha aku acuh tak acuh.
Didalam pesawat, kutemukan nomor kursiku. Harapanku terkabul. Kursiku ada didekat jendela. Kuletakkan travel bag kecil milikku dibagasi atas. Memang itu saja barang bawaanku, selain tas jinjing. Sisanya sudah dibawa suami sehari sebelumnya. Saat hendak kembali duduk, terdengar sapaan dari sebelah. Rupanya dari pria paruh baya diruang tunggu tadi. Dia coba berbasa-basi. Kujawab seadanya, sesopan mungkin. Sambil berharap dia tidak duduk disebelahku. Harapanku terkabul lagi. Dia dipanggil teman wanitanya. Mereka duduk dua deret didepanku.
Beberapa menit, dua kursi disebelahku masih kosong. Iseng aku berharap dua kursi itu akan tetap kosong. Dengan begitu aku bisa tenang tidur. Bekerja plus bercinta, di hari libur telah menguras staminaku. Kurasakan lelah yang teramat sangat. Rupanya, harapanku kali ini tidaklah terkabul. Pramugari mengantarkan seorang anak laki-laki kederetan kursiku.
“Ini kursi 7 B, silakan,” ucap pramugari itu sopan.
Anak itu langsung mengambil tempat. Dia duduk tepat disebelahku. Perawakannya masih sangat muda. Kuperkirakan dia masih SMP. Terlihat dari raut wajahnya yang imut, untuk ukuran laki-laki. Barang bawaannya pun tidak banyak. Hanya sebuah ransel ukuran sedang.
“Sendirian juga Kak?” tanyanya padaku.
Kaget juga aku ditanya seperti itu. Padahal aku belum dikenalnya. “Iya,” sahutku singkat.
Perbincangan terus berlanjut. Rupanya anak laki-laki itu ramah sekali. Perkiraanku meleset. Dia sudah SMU, kelas sebelas. Dia bernasib sepertiku, berangkat sendirian. Juga menyusul keluarga yang sudah berangkat kemarin. Harus menjalani ujian susulan, membuat dia tertahan. Menurut pengakuannya, dia sudah memperhatikan aku sejak dari ruang tunggu. Katanya aku cantik sekali. Perkiraan dia juga meleset. Dikiranya aku ini mahasiswi. Tersipu aku mendengarnya. Sekaligus bangga, tentunya. Kami kemudian berkenalan. Indra, itulah namanya.
Saat pemberitahuan pesawat akan take off, obrolan kami terputus. Tidak ada orang ketiga dideret kursi kami. Kursi dekat selasar tetap kosong. Lampu sabuk pengaman padam, Indra memulai pertanyaannya lagi. Ditengah obrolan, Indra menyodorkan sweater miliknya. Mungkin dia sadar sedari tadi aku menahan dingin. Suhu kabin di-set kurang manusiawi, menurutku sih. Kuterima dan kupakai menyelimuti tubuh. Ternyata sweater itu tidak gratis. Indra minta barter dengan pin blackberry-ku. Ternyata anak muda ini main otaknya, pikirku. Dan barter pun terjadi.
Obrolan terus berlanjut, hingga tak kuat lagi kutahan kantuk. Kelopak mataku terasa begitu berat.
“Dra, aku tidur dulu sebentar ya. Ngantuk banget nih,” ujarku menengahi obrolan.
“Iya Kak, kakak tidur aja. Aku nggak ganggu lagi deh.”
Kuatur sandaran kursi. Mencari posisi tidur sambil duduk, memang sulit. Penumpang lain sudah ada yang tertidur. Sementara diluar sana, gelap gulita. Hanya sesekali nampak kerlipan lampu pesawat. Kulihat Indra mengeluarkan earphone, sebelum kupejamkan mata. Tak lama aku mulai terlelap. Semuanya perlahan memudar.
Entah berapa lama aku terlelap. Perlahan kesadaranku kembali. Kurasakan tubuhku jadi sedikit kaku. Kusapu pandangan. Hampir sebagian besar penumpang masih tertidur. Begitu pula Indra disebelahku. Lampu kabin sudah diredupkan. Kuputuskan kembali memejamkan mata. Ketika memperbaiki posisi sweater, baru kusadari sesuatu. Dua kancing blusku terbuka. Aku yakin tadi tertutup dengan rapat. Tidak mungkin terbuka sendiri, pikirku. Kecuali ada yang membukanya.
“Dra.. Dra..” Bisikku memanggil nama Indra. Kurasa kecurigaanku berlebihan. Tidak mungkin Indra. Anak muda itu terlihat lelap tertidur. Aku coba berpikir positif. Mungkin posisi tidurku membuat kancing itu terbuka. Kukancingkan lagi keduanya. Dan kembali memejamkan mata.
Menit-menit berlalu, belum juga aku terlelap. Berusaha tetap kupejamkan mata. Berharap bisa tertidur lagi sebelum landing. “Sreett..” tiba-tiba terdengar suara. Detik berikutnya kurasa sebuah tangan menyelip pelan, masuk kebalik sweater. Coba kutelaah lagi. Tidak salah, memang itu sebuah tangan. Dan jari-jarinya perlahan mulai bergerak. Merabai payudara kiriku. Berusaha aku tetap tenang. Mungkin karena diamku, tangan itu santai berpindah ke payudara kanan. Apakah pelakunya Indra? tanyaku dalam hati.
Eehhmm..” Aku melenguh pelan. Berpura-pura masih terlelap, kupindahkan posisi kepala. Dari semula menghadap jendela, kini keposisi sebaliknya. Kubuka sedikit mataku. Kulihat kelebatan si pemilik buru-buru menarik tangannya. Maka semakin yakinlah aku. Pelakunya adalah Indra.
“Kak Dita.. Kak..” Kudengar bisikan Indra. Tidak kujawab, tetap aku berpura-pura terlelap.
Namaku disebut ketiga kalinya. Tetap saja kudiamkan. Seperti kuduga, tangan itu mulai beraksi lagi. Merabai payudaraku. Bingung aku harus melakukan apa. Kalau dibiarkan, dia pasti makin menjadi. Kalau ditangkap-tangan, takutnya dia tersulut emosi. Dan yang kutakutkan pun terjadi. Rabaan itu berubah jadi remasan halus. Cup bra-ku cukup tebal. Hanya itu yang menghalangi dia bisa merasakan kekenyalan dadaku. Mengingat kain blusku berbahan tipis. Merasa perbuatan itu belum cukup lancang, kubiarkan saja dia terus meremas. Aku tetap berpura-pura terlelap.
Gerakan selanjutnya, sungguh tak terduga. Tangan itu berpindah ke pahaku. Disana dia merabai keduanya, bergantian. Bahkan berikutnya, makin tak terduga. Tangan itu merabai kewanitaanku. Iya, daerah antara dua paha. Gerakan itu membuat tubuhku berdesir. Tiga jam lalu, sebuah penis membuat bagian itu berkontraksi. Kini sentuhan Indra merangsangnya lagi. Cairan kewanitaanku mulai bereaksi. Pilihan celana panjang patut kusyukuri. Bayangkan apa yang terjadi seandainya aku memakai rok. Berusaha kutahan desahanku. Aku harus tetap berpura-pura terlelap.
“Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi pesawat kita akan mendarat..” Sayup-sayup kudengar suara pramugari. Dia mengingatkan kami untuk memakai sabuk pengaman.
Ini kesempatan, pikirku. Tangan Indra masih diposisinya. Masih merabaiku. Harus kuhentikan, kalau tidak ingin ‘pipis’ dicelana. Maka mendadak kubuka mata. Lalu pura-pura merenggangkan tubuh. Buru-buru Indra menarik tangannya. Namun, tangan itu terjepit disabuk pengamanku.
“Aduh..” Indra mengerang.
Tidak kusangka hal itu akan terjadi. Inikah yang namanya karma? Aku tidak tahu. Yang jelas itu terasa lucu. Aku tersenyum geli. Kubantu tangan Indra terlepas dari jepitan. Tangannya tidak cedera. Dia masih meringis, begitu tangannya terlepas. Penuh usaha aku menahan tawa.
“Kok tangan kamu bisa di kursiku?” tanyaku. Memancing kejujurannya.
Ekspresi wajah Indra langsung berubah. Merah padam. Makin gelilah aku. Dia terlihat bingung menjawab pertanyaanku. Sebuah pertanyaan rekoris. Dia beruntung pramugari datang mendekat. Memeriksa posisi sabuk pengaman kami. Pertanyaanku tetap tanpa jawaban. Tidak berniat pula kupaksa Indra menjawabnya.
Pesawat akhirnya berhenti. Penumpang mulai berdiri. Bergantian mengambil barang mereka dari bagasi. Indra membantuku menurunkan travel bag. Kulempar senyum, dibalasnya sambil tersipu. Sweater pun kembali berpindah tangan, disertai ucapan terima kasih. Kucoba bersikap tidak tahu apa-apa. Hanya sikap Indra nampak berubah. Kini dia lebih banyak diam.
“Kak Dita..” seseorang memanggilku, begitu keluar dari koridor. Rupanya Indra menungguku.
Kudekati dirinya. “Kenapa Dra?”
“Sa-saya mau minta maaf Kak..” ucapnya ragu.
Dahiku berkerut. “Minta maaf buat apa?”
Sejenak Indra terdiam. Terlihat bingung untuk memulai kalimatnya. “Gi-gini Kak, sa-saya mau minta maaf soalnya tadi di pesawat saya megang-megang kakak. Maafin saya ya Kak..”
Kulihat ketulusan diwajahnya. Selain ketegangan, tentunya. Ternyata anak muda ini gentleman juga, pikirku. Berani mengakui perbuatannya. Dengan konsekuensi aku mungkin marah. Kubalas kata-katanya dengan senyuman. “Aku udah tahu kok perbuatanmu,” sahutku tenang.
Indra terlihat kaget. Seakan tak percaya yang barusan didengarnya. Kulihat pula adanya kelegaan disana. Kami berbincang sebentar. Setelah kumaafkan, sikap Indra balik seperti awal pertemuan. Dia bilang tidak punya saudara perempuan, begitu pula pacar. Maka dia mengaku khilaf saat menatap tubuhku. Kucandai dia, kalau laki-laki normal pasti khilaf melihat aku. Tawa diantara kami pun kembali. Dia minta ijin memelukku, sebelum berpisah. Kuiijikan tentu saja. Kami lalu saling melambai. Kulihat Indra dijemput beberapa orang. Mungkin itu keluarganya, pikirku.
***
Selesai urusanku dengan Indra, kulanjutkan langkahku. Mendekati pintu keluar, kulihat lambaian tangan suamiku. Dia terlihat menggendong si kecil yang tertidur. Kubalas lambaiannya. Semakin dekat, baru kusadari sosok disebelah suami. Dia adalah Reza. Teman semasa kuliah. Dialah yang mengundang kami. Resminya, Reza mengundang suamiku dan keluarga. Dibalik itu, sebenarnya dia ingin bertemu denganku. Dia bilang langsung padaku. Reza cerdas. Dia tahu kalau lewat aku, undangan itu pasti kutolak. Mengingat diantara kami pernah ada sejarah. Sejarah percintaan.
“Hei, sayang..” Suamiku mencium kedua pipiku. “Capek ya?”
Aku tersenyum. Sepertinya dilihatnya guratan lelah diwajahku. “Lumayan sih,” sahutku singkat.
“Hei, Dit.” Reza menyodorkan tangannya. Kubalas, dan kami bersalaman.
“Hei, Rez. Repot-repot amat ikutan jemput.” Aku tersenyum lagi.
Dia balas tersenyum. Reza bilang kalau tamu spesial datang, musti tuan rumah yang jemput. Itu peraturan pertama perusahaannya. Tersipu aku mendengarnya. Reza sama sekali tidak berubah. Masih karismatik, seperti terakhir kuingat. Itu yang kusuka darinya. Sedikit canggung sih berada didekatnya. Apalagi kini suamiku ada diantara kami.
Bertiga kami melangkah menuju parkiran. Didalam mobil, Reza memegang kemudi. Suamiku duduk disebelahnya. Aku duduk dibelakang, memangku si kecil. Sedang mendengarkan obrolan suami dan Reza, ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Sebuah blackberry messenger.
Makasi Kak, tadi udah gak marah ama saya.” Rupanya dari Indra.
Aku tersenyum, lalu kubalas. “Sama2. Lain kali janji yah gak nakal lagi.” Kulengkapi dengan imote senyuman. Kemudian dibalasnya lagi dengan imote nyengir. “Iya Kak, janji.
Dua setengah jam kami tempuh dari bandara ke hotel. Menurut Reza, biasanya lalu lintas tidak semacet malam itu. Mungkin pengaruh akhir pekan dan libur panjang. Memang sih bagi kita para pekerja, momen liburan panjang adalah berkah yang jarang terjadi. Musti dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sampai di hotel kami langsung menuju lobi.
“Eh Dit, jadi nyoba minuman pereda jetlag-nya? Jam segini kayaknya bar masi buka deh,” Ucap Reza sebelum pintu lift tertutup. Dia bilang bar ada di lantai empat.
Dimobil sempat kubilang mengalami jetlag. Kepala terasa sedikit pengar. Reza lalu menawarkan racikan barista hotelnya. Katanya minuman itu bisa meredakan jetlag. Dijamin minim alkohol pastinya. Bingung kujawab tawaran itu. Kualihkan pandangan pada suami. Seolah meminta ijin darinya. Suami bilang terserah aku, tapi dia tidak bisa menemani. Si kecil sudah ngantuk berat. Kuputuskan ikut dengan Reza. Tidak ingin pengar ini nantinya mengganggu tidurku. Maka kami keluar lift dilantai empat, sedang suami lanjut ke lantai enam.
“Gimana minumannya? Mantap kan?” Reza tersenyum kecil. “Gue selalu minum itu kalau habis terbang jauh.”
Aku mengangguk. Beberapa tegukan, tubuhku terasa hangat. Pusing dikepala pun mereda. Setiap tegukan terasa aroma lemon yang kental. Terasa juga campuran rempah, dan sedikit liquir. Saat kutanya resepnya kepada sang barista, dia menjawab dengan gerakan mengunci bibir. Rahasia dapur katanya. Kami bertiga pun tertawa. Obrolan berlanjut sambil kuhabiskan minuman itu.
Habis tegukan terakhir, kuminta ijin balik ke kamar. Reza menawarkan tinggal beberapa menit lagi. Namun, kukatakan tidak enak pada suami. Dia mengerti dan menawarkan diri mengantar. Tawarannya kali ini tidak bisa kutolak. Kami pun melangkah menuju lift.
Sampai didepan kamar, Reza menarik tanganku. Tersentak aku karenanya. Makin tersentak saat dia mendorongku ke dinding koridor. Didaratkan bibirnya ke bibirku. Kejadiannya begitu cepat, hingga otakku tak sempat mencernanya. Tahu-tahu dia sudah melumat bibirku. Sementara  kedua tangannya memeluk tubuhku erat. Beruntung koridor hotel malam itu sepi sekali. Mungkin tamu hotel dilantai itu sudah pada tidur.
“Maafin gue Dit, gue udah nggak bisa lagi nahan diri. Maaf banget..” ungkapnya pelan, setelah bibir kami berpisah.
Aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Aku shock. Tubuhku masih tersandar di dinding. Tubuh Reza masih merapat ditubuhku. Wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Nafasnya menderu. Kami bertatapan. Mata Reza terlihat sanyu. Tergambar guratan rindu disana.
Beberapa detik dalam kesunyian, akhirnya mulutku mampu berkata-kata. “Gue tahu nggak bakal bisa menghindari ini waktu tahu undangan itu dari lu. Tapi kita sama-sama tahu kalau ini salah Rez. Lu udah berkeluarga, gue juga udah berkeluarga. Hubungan kita udah sebatas masa lalu.”
Reza tersenyum dan mengangguk. “Seharusnya elu yang jadi istri gue Dit..”
Giliran aku yang tersenyum. “Rez, kita nggak bisa menolak apa yang sudah ditakdirkan Tuhan.”
“Iya gue tahu, gue ngerti..” Reza terdiam. “Besok gue ada perjalanan dinas ke luar kota, silakan lu ama keluarga menikmati liburan disini. Pakai aja semua fasilitas yang ada. Kalo kalian perlu apa-apa tinggal kontak manager gue. Nomornya udah gue kasi ke suami lu. Atau lu bisa kontak gue langsung, gue bakal seneng banget denger suara lu.”
Aku tersenyum lagi. “Makasi banget Rez.”
“Dan sebelum gue pergi. Boleh nggak gue cium lu sekali lagi?” Dia melanjutkan kata-katanya.
Kuanggukan kepalaku. Bibir kami pun bertemu kembali. Bedanya, kali ini lumatan tidak terjadi sepihak. Lumatan demi lumatan memancing memori masa lalu. Kenangan saat masih bersama. Istilah nembak memang tidak pernah ada. Hanya hati kami yang saling berbicara. Namun, takdir akhirnya menulis berbeda. Kami harus menempuh jalan yang tak sama.
Dia hanya menciumku. Sama sekali tidak menyentuh tubuh yang lain. Mungkin itu bentuk rasa hormatnya, atas hubungan kami saat ini. Bibir kami terlepas, tiba juga saat saling melepas. Rindu sudah tertuntaskan. Kami saling melambai. Sosok Reza menghilang dibalik pintu lift. Begitu pula aku dibalik pintu kamar.
***
Dikaca kamar mandi kulihat diriku. Disana terpantul tubuh telanjangku. Wajahku terlihat polos terbebas dari make up. Rambut kubiarkan tergerai. Guratan rasa lelah, terpancar dengan jelas. Gemericik air terdengar disebelahku. Kucuran air hangat berlahan mengisi bathtub. Busa-busa sabun perlahan ikut naik kepermukaan.
Pintu kamar mandi terbuka. Dari pantulan kaca kulihat sosok suami. Dia tersenyum kearahku. Kulihat dia hanya memakai boxer saja. Dia mendekat dan memelukku dari belakang. Diciumnya pipi dan leherku. Kemudian dia memijat pundakku. Aku bergelinjang.
“Mau dipijitin sambil rendeman?” Kulihat pantulan wajah suami nyengir.
“Boleh..” sahutku manja.
Dibaliknya tubuhku. Dia menempelkan bibirnya dibibirku. Kami berpagutan. Bibir ketiga yang menciumku di hari itu. Tentu suami tidak perlu tahu itu. Cukup anda saja yang tahu.
Kami lalu pindah ke bathtub. Posisi suami dibawah dan aku diatas. Sulit mencari posisi duduk yang enak, karena terganjal penis suami yang mengacung. Kami berusaha menahan tawa. Kami tidak ingin si kecil terbangun. Terakhir kutemukan posisi enak. Duduk aku membelakangi suami. Dia memijat dari belakang. Dengan penis tertancap di vagina. Ketika pijatan suami mengenai syaraf sensitif, aku bergelinjang. Tiap kali aku bergelinjang, penis itu makin mengencang.
“Mama diapain aja tadi sama Pak Pram?” Pertanyaan itu akhirnya muncul. Aku yakin suami sudah ingin menanyakan itu sedari tadi.
Mulailah aku bercerita. Kuceritakan semua secara detail. Minus janji pertemuanku dengan Pak Pram pada Selasa dan Rabu, tentunya. Makin aku bercerita, makin terasa penis suami menyesaki vagina. Dia terangsang hebat mendengarku itu. Berikutnya, suami menanyakan kondisiku. Aku bilang jetlag-ku sudah mendingan. “Kalau papa mau bercinta, mama masih kuat kok,” tambahku.
Mendengar itu, suamiku sumringah luar biasa. Seperti bocah dihadiahi mainan. Memang suami tidak mengutarakan. Namun, penisnya dengan gamblang menunjukkan. Sesi pijat-memijat pun berakhir dibawah shower. Dibawah kucuran air hangat. Dengan posisi aku nungging dan suami menggenjot dari belakang. Kumulai hari itu dengan quicky sex, kuakhiri pula dengan quicky sex.
Sungguh perjalanan paling melelahkan yang pernah kujalani.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar