Selasa, 03 Mei 2016

Rengekan Adik


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Ih apaan sih dek, nggak mau ah.”
Please kak, please..”
Adikku terus memelas. Lebih mirip rengekan sih, tepatnya. Sudah hampir sejam dia mengikutiku kemana-mana. Dari dapur, kamar, sampai ke pekarangan belakang. Hanya ke kamar mandi saja dia tidak ikut, itupun menunggu didepan pintu.
“Kakak udah bilang nggak mau, ya nggak mau. Jangan maksa terus deh.”
Rengekannya masih saja terdengar. Sebenarnya malas meladeni rengekan itu. Hanya saja, aku sangat menyayangi dia. Adikku terus merengek agar kupenuhi permintaannya. Kalau permintaan itu masuk akal, pasti tidak keberatan kupenuhi. Namun, permintaan dia kali ini kunilai terlalu janggal. Dia minta agar aku mau membuka pakaian untuk temannya. Terdengar sangat janggal bukan? Wanita normal manapun pasti menolaknya. Pasti itu.
Begini cerita lengkapnya. Teman adikku itu bernama Danang. Mereka sekelas, tapi usia Danang lebih tua setahun. Aku tahu kalau dia naksir aku, kalau tidak boleh disebut nafsu sih. Jadi intinya prosentase nafsunya lebih besar ketimbang naksirnya. Menurut penelitian, usia remaja seperti dia memang lebih tertarik dengan wanita dewasa. Mungkin karena faktor lekukan tubuh yang sudah matang, berbeda dengan gadis sebaya dia. Saat itu aku duduk dibangku kuliah.
Dua bulan lagi, adikku menjalani ujian akhir nasional (UAN). Kesempatan ini dipakai Danang mewujudkan niatnya. Bocoran soal UAN dipakainya alat barter dengan adikku. Asalkan dia bisa melihat tubuh bugilku, maka bocoran soal itu menjadi milik adikku. Kukatakan pada adikku agar percaya pada diri sendiri, bukan pada bocoran. Belum tentu bocoran itu asli, bisa saja tipu-tipu. Namun, masih tetap saja dia merengek.
Please kak, aku janji bakal bersih-bersih rumah sebulan deh. Nyapu, ngepel, nyiram tanaman, nyuci baju juga sendiri. Beneran deh kak..”
Kesempatan nih, pikirku. Kalau beneran lumayan bisa santai sebulan. Setan berbisik menggoda di telinga kiriku. Di telinga kananku, malaikat mengingatkan agar mendidik adikku jujur.
“Serius nih?”
Adikku mengangguk dengan mantap. Dia mengangkat tangannya. Ditambah memberi kode V, dengan jari tengah dan telunjuk. Tanda kalau perkataannya tadi serius.
“Jadiin dua bulan kita deal deh. Gimana?” tawarku. Bisikan setan menang.
Adikku terdiam sesaat. Sepertinya dia sedang berpikir. “Satu setengah bulan aja deh kak. Sisanya kan aku musti konsen belajar.”
Giliran aku yang berpikir. Benar juga kata-katanya. Aku tentu tidak ingin mengganggu jadwal belajar adikku. Dia harus dapat perguruan negeri favorit. Akhirnya kami mencapai kesepakatan. Satu setengah bulan penuh. Dan dia akan bersih-bersih mulai besok. Kutunggu keseriusannya.
Benar saja. Keesokan harinya, sepulang dari kampus kulihat sebuah keajaiban. Begitu memasuki gerbang depan, kulihat rumput terpotong rapi. Tidak nampak sampah berserakan. Tanaman juga sudah disirami. Didalam rumah tidak kalah mengagetkan. Lantai rumah nampak mengkilat. Tak ada lagi barang-barang berantakan. Melangkah ke dapur, kutemukan hal yang sama. Semua perabotan rapi pada posisinya. Tersenyum bahagia aku dibuatnya. Adikku menepati janjinya. Kudengar suara senandung di halaman belakang. Ketika kudekati, kulihat disana adikku sedang menyirami tanaman.
“Sore kak.” Adikku nyengir.
“Ada yang mendadak jadi rajin nih. Dari dulu kek kayak gini,” pujiku.
Kudekati adikku dan kuusap-usap kepalanya. Cengirannya semakin lebar.
“Kakak, bawain makanan tuh ntar abis mandi kita makan bareng yah.” Dijawab adikku dengan anggukan.
Demikian seterusnya sampai sebulan lamanya. Adikku tetap menepati janjinya. Pekerjaan rumah sehari-hari jadi mudah sekarang. Dia membantuku setiap ada kesempatan. Bahkan saat papa dan mama datang menengok kami, mereka terkaget. Mama-lah tentu yang paling bersyukur. Mama sempat khawatir meninggalkan kami keluar negeri bersama papa. Kini mama lega melihat kami bisa kompak. Tanpa tahu adanya kesepakatan diantara kami, tentunya.
Kini tibalah untuk aku yang menepati janji. Malamnya adikku datang ke kamarku. Dia menagih janjiku, dan kukatakan akan memenuhinya. Dengan kesepakatan, hanya melihat tidak berbuat lebih. Adikku menyetujuinya. Dia juga tidak ingin terjadi apa-apa padaku. Maka kesepakatan pun tercapai. Tiga hari lagi adikku akan mengajak Danang ke rumah.
***
Kulihat pantulan ketelanjanganku di kaca kamar mandi. Berputar aku beberapa kali. Tiap jengkal kuperhatikan dengan seksama. Kulihat tidak ada hal yang aneh, ataupun kurang enak dipandang. Dua hari lagi aku akan bertelanjang ria didepan Danang. Hal itu membuatku gugup. Tetap saja ada ketidak-percayaan diri dalam diriku. Padahal ini bukan pertama kali aku telanjang didepan laki-laki. Namun, kali ini konteksnya berbeda. Aku tidaklah telanjang untuk pacarku.
Kuambil handuk dan kubalut tubuhku. Melangkah aku keluar. Pacarku, Hendra, masih terbaring di ranjang. Pacar, sekaligus suamiku di masa depan. Kulihat dia masih sibuk dengan ponselnya. Selimut menutupi tubuh telanjangnya. Kudekati dirinya. Kulepas handuk, lalu beringsut masuk kedalam selimut. Bergelayut manja aku dipelukannya. Dia meletakkan ponselnya, dan tersenyum kearahku. Diciumnya dahiku mesra.
“Udah siap ronde kedua?” Dielusnya kemudian rambutku.
Aku merajuk. “Ntar dulu, ada yang mau aku tanyain nih.”
Kualihkan pandangan menatap wajahnya. Dahinya sedikit berkerut. “Oh, nanya apa?”
“Hhmm..” Berdehem aku sebelum memulai. “Sayang, menurut kamu badan aku bagus nggak?”
“Aduh. Ini pertanyaan jebakan buat pacar semacem ‘aku keliatan gendutan’ yah? Terus kalo aku salah jawab, kamu bakal cemberut seharian kan?” Hendra balik bertanya, sambil nyengir.
Melengos aku mendengarnya. Langsung kujewer pelan telinga dia. Kubuat dia mengaduh, tapi kemudian kembali nyengir. “Ih, serius nih. Pengen denger pendapat dari kamu.”
Hendra lalu meminta aku berdiri. Untuk memberi nilai, dia bilang perlu melihat tubuhku dengan jelas. Tetapi kuturuti, walau tahu kalau itu hanya alasan semata. Dia sudah berkali-kali melihatku telanjang sebelumnya. Kemudian disanalah aku bergaya dalam berbagai pose, bak model. Hanya bedanya, bukan pakaian yang kuperagakan tapi tubuhku sendiri. Puas melihat aku berpose, Hendra mengacungkan dua jempolnya. Dia lalu berdiri dan mendaratkan ciuman dibibirku.
“Jadi berapa nilainya?” tanyaku, sehabis pacarku menarik bibirnya.
“Nilainya..” Dia tersenyum. “Dua puluh.”
Tidak kuat aku menahan tawa. “Lah, kan nilainya dari nol sampai sepuluh?”
“Orang lain mungkin ngasi nilai dari delapan sampai sepuluh, soalnya kan cuma ngeliat dari luar. Nah, kalo aku kan udah ngeliat dari luar sampe dalem. Malah atas bawah juga, komplit. Jadi nilai dikasinya dobel. Badan kamu itu enak diliatin, lebih enak lagi kalo dinikmatin.”
Kata-kata Hendra membuatku tersipu. Ketidak-percayaan diri langsung sirna. Kini aku pun pede menanggalkan pakaian dua hari lagi. Namun, pacarku tentu tidak perlu tahu rencana itu.
“Oya, cuma satu nih yang sedikit kurang..” Hendra melanjutkan kata-katanya.
“Oh, apa itu?”
“Rambut yang bawah udah agak ‘gondrong’ tuh. Mau dibantuin ngerapiin? Dikasi diskon spesial deh, mumpung lagi promo nih.” Pacarku nyengir lagi.
Lagi-lagi tawaku terlepas, bersamaan dengan rona diwajahku. Kuakui beberapa minggu ini aku terlalu sibuk dengan tugas-tugas kampus. Maklum saja, ujian semester sudah cukup dekat. Wajar aku jadi kurang perhatian dengan diri sendiri. Khususnya bagian selangkangan, dibawah sana.
Berikutnya, jadilah aku duduk ditepi bathtub. Mengangkang lebar didepan pacarku. Sementara dia jongkok, sibuk dengan gunting, sabun dan kurisan. Harus kuakui keahliannya dalam menata rambutku. Rambut bawahku, tepatnya. Bahkan dia sendiri dibuat horni olehnya. Maka kami pun bersetubuh dua kali, sebelum akhirnya terlelap berpelukan. Dia menginap dirumahku hari itu.
***
Dua hari setelahnya, siang harinya. Aku pulang dari fitness, kegiatan rutinku setiap kali libur. Di ruang tamu kutemukan adikku bersama Danang. Mereka terlihat sedang belajar bareng. Danang berbasa-basi menanyakan aku darimana. Kujawab dengan sopan, walau aku tahu benar maksud kedatangannya hari itu. Guna melihat tubuhku, tentunya. Setelah berbincang sebentar, aku pamit masuk ke kamarku. Selesai melepas sepatu, adikku menyusul masuk ke kamar.
“Gimana kak, udah siap?” tanya adikku.
“Sekarang? Kakak masih keringetan gini nih.”
“Justru itu kak, malah bagus. Tadi aja Danang nyeletuk katanya kakak seksi banget pake tanktop ama yoga pants ketat. Ditambah lagi keringetan gini, makin nafsuin.”
Kutoel hidung adikku. “Itu beneran Danang yang ngomong, atau pendapat kamu sendiri dek?”
Adikku nyengir, sambil mengusap kepalanya. “Pendapat Danang ama aku sama sih kak.”
Kutoel lagi adikku. Kusuruh dia keluar. Kubilang padanya aku sudah siap memamerkan diri. Dia pun melangkah keluar. Sengaja tidak ditutupnya pintu kamarku dengan rapat. Disisakan celah untuk mengintip kedalam. Mulailah jantungku berdetup dengan kencang, bak artis sedang demam panggung. Kupatut diriku dicermin. Kupastikan penampilanku sudah layak dipamerkan. Untuk menghilangkan grogi, kunyalakan musik. Sengaja kupilih musik yang sedikit nge-bit. Kugoyangkan tubuhku menghilangkan deg-degan. Tidak lama, kulihat kelebatan bayangan dari bawah pintu kamar. ‘Penonton’-ku pastilah sudah diposisi. It’s show time!
Kutarik nafas panjang, sebelum perlahan membuka tanktop didepan kaca. Bagian atasku kini hanya tertutupi sport bra. Kulihat bayangan dadaku dicermin. Ganjalan dua cup sport bra yang menekan ketat, membuat payudaraku kelihatan padat berisi. Sengaja lalu kuremas-remas sendiri kedua payudaraku. Seolah memperlihatkan betapa kenyalnya milikku itu, pada ‘penonton’ diluar sana. Kulakukan sambil terus bergoyang mengikuti alunan musik.
Dengan goyangan bak striper, kutarik turun yoga pants. Sengaja kulakukan secara perlahan, agar gregetnya dapat. Kini bagian bawahku hanya tertutupi celana dalam mini. Kugoyangkan pinggul agak kencang. Dengan demikian bongkahan pantatku akan terguncang, menggoda mata. Apalagi kutahu celana dalam tidak seutuhnya menutupi pantatku. Bagian-bagian tubuh sensitifku mulai bereaksi. Putingku perlahan mengeras. Kewanitaanku mulai terasa gatal.
This girl is on fire, this girl is on fire, she’s walking on fire, this girl is on fire..” Terus saja aku bergoyang sambil bersenandung. Dengan tubuh setengah telanjang. Benar-benar aku merasa bak artis diatas panggung.
Berikutnya, aku melangkah kesekeliling kamar. Berpura-pura merapikan benda-benda didalam kamar. Sengaja kubuat langkahku bak model dilantai catwalk. Kuanggap diriku seorang model pakaian dalam, victoria secret. Sengaja pula kudekatkan diri ke pintu kamar. Dengan demikian, ‘penonton’-ku bisa melihat semuanya lebih jelas. Kecanggungan diawal kini tidak lagi kurasa. Malahan kini aku menikmati sekali sensasi ini. Mungkin aku memang ada bakat eksibisionis.
I know you want me, you know I want cha, I know you want me, you know I want cha..” Lagu selanjutnya mulai mengalun. Semakin semangat-lah aku bergoyang.
So go just take it off, take it off, take it off, take it off, just take it off..” Lagu berganti, barulah kutingkatkan aksiku. Aku sadar aku sudah cukup dekat dengan pintu.
Kubelakangi pintu, saat mulai membuka kaitan braku. Kulakukan pula perlahan. Kubuat seolah-olah bukan tanganku yang melakukan. Kulakukan sambil menggoyangkan pantatku naik turun. Begitu braku terbuka, kuputar-putar diatas kepala. Beraksi bak cowboy girl sedang memutar laso diatas kuda liar. Setelahnya, kulempar bra itu keatas ranjang. Lalu berjingkrak-jingkrak, sambil memutar-mutar tubuhku. Kubiarkan saja kedua payudaraku terguncang bebas. Putingku makin mengacung. Entah apa jelas terlihat dari balik pintu. Tanpa kusadari aku terangsang. Gerakanku makin liar. Kutahu kini guncangan payudaraku pasti bisa dinikmati ‘penonton’-ku.
Now you can ride to this motherfucker, bounce to this motherfucker, freak to this motherfucker, get it on the floor, get it on the floor..
Masih dengan posisi membelakangi pintu. Mulai lorotkan celana dalamku. Sebelum kain mungil itu basah oleh cairan cintaku. Untuk gerakan yang satu ini, sengaja kulakukan selambat mungkin. Seiring celana dalam yang terus turun, posisi pantatku juga makin nungging. Yakin sekali telah kuberikan pemandangan paling panas hari itu. Posisi nungging sedekat itu, mata ‘penonton’-ku pasti terbelalak. Bongkahan pantatku, ditambah lubang dubur dan lubang vagina, pasti terekspos jelas. Benar-benar jelas, sejelas-jelasnya. Kuputar pula celana dalamku diatas kepala, sebelum melemparnya keatas ranjang. Resmilah aku telanjang bulat saat itu.
Sekali lagi kuputar-putar tubuhku, sambil berjingkrak. Kali ini kulakukan dengan sedikit pelan. Kupastikan setiap jengkal tubuhku terekspos. Kulakukan lagi beberapa putaran, lalu aku berjalan menjauhi pintu. Didepan kaca kembali aku beraksi. Meremas payudara, meremas pantat, meraba kedua paha, memainkan rambut. Dan yang paling penting memasang ekspresi mupeng di wajah. Kubayangkan ada seorang pria sedang merabai tubuhku, siap menyetubuhiku.
Whoa! She’s fire burning, fire burning on the dance floor. That little shawty’s fire burning on the dance floor..” Diiringi alunan lagu ini, aku ambil handukku. Masih bergoyang, kulangkahkan kaki masuk ke kamar mandi. Sengaja tidak kututup rapat pula pintunya.
Sambil membilas diri dibawah shower, kuperhatikan bawah pintu. Tidak ada kelebatan bayangan disana. Rupanya Danang tidak senekat kukira. Padahal aku sempat merinding, membayangkan mandi diintip sepasang mata. Menggodaku memainkan putingku sendiri. Harus segera kukurangi membaca website panas di internet, runtukku dalam hati. Fantasiku sudah terlalu liar.
Selesai membersihkan tubuh, kuambil handuk dan membalutnya. Bisa saja aku keluar telanjang, namun harus kupastikan dulu situasi diluar. Bisa saja kutemukan Danang diluar sana. Aku belum tahu senekat apa anak muda itu. Saat kubuka pintu, kulihat kamarku tetap kosong. Hanya alunan musik yang masih terdengar memenuhi ruangan. “Undress me, undress me, unlock this chain and set me free, remind me to be myself..” Lalu aku melangkah keluar.
Saat mendekati ranjang, aku kaget. Kutemukan celana dalamku tergeletak dilantai. Padahal tadi jelas kulempar keatas ranjang. “Apa ada orang yang mindahin?” tanyaku dalam hati. Pelan-pelan kuambil kain mungil itu, dan setelahnya aku menghela nafas lega. Tidak ada bercak cairan kental membasahinya, seperti kutakutkan. Hanya permukaannya saja sedikit lecek. Kulempar benda itu lagi keatas ranjang.
Kulihat kearah celah pintu kamar. Cukup penasaran juga, apakah Danang masih disana. Kuambil ponselku dan mengetik pesan. “Dek, Danang masi didepan pintu kamar?” Tidak menunggu lama masuk balasan. “Masi kak.” Langsung kuterka kalau tadi Danang sempat masuk kedalam.
Kuletakkan ponsel kembali ke meja rias. ‘Penonton’-ku masih menunggu aksi panasku yang lain. Maka kubuka handuk dan menggantungnya. Kuekspos lagi tubuh telanjangku. Lanjut kulakukan kegiatan dalam kamar sambil bertelanjang ria. Dari mengeringkan rambut, membersihkan wajah, sampai memasukkan pakaian yang kemarin kusetrika kedalam lemari. Bertelanjang ria seperti itu membuat darahku berdesir. Kembali aku terangsang. Curi-curi kusentuh payudara dan vaginaku sendiri. Kulakukan sambil bergoyang mengikuti alunan musik. Hanya saja, kali ini tidak seheboh sebelumnya. Tidak ingin aku berkeringat lagi setelah mandi.
Musik masih terus mengalun. “Damn girl, damn you’se a sexy bitch, a sexy bitch, damn you’se a sexy bitch, damn girl..
Terakhir, kupilih pakaian yang akan kupakai. Kupilih pakaian casual, sebuah tanktop dan celana pendek. Saat memakai pakaian dalam, lagi-lagi kulakukan secara perlahan. Kubiarkan dulu mata diluar sana puas menikmati tubuh telanjangku. Selesai memakai pakaian dalam, sengaja kembali aku bergoyang sensual cukup lama. Tidak lama setelah selesai berpakaian, masuk sebuah pesan singkat. Dari adikku, memberitahu Danang sudah balik ke ruang tamu. Show-ku pun berakhir.
Sengaja aku tidak keluar kamar. Kubatalkan niat melihat ekspresi mupeng di wajah Danang. Aku tahu pasti akan terasa sangat canggung, baik untuk dia maupun untukku. Kebetulan pula pacarku menelpon. Bisa sedikit kualihkan desiran rasa yang tadi sempat melanda. Kecuali, saat Hendra mulai bertanya pakaian dalam yang kupakai. Terpaksa kusentuh lagi tubuhku, terutama bagian-bagian sensitifnya. Tidak bikin basah, namun itu cukup bikin sekujur tubuh merinding. Ditengah obrolan adikku masuk ke kamar. Beruntung aku sudah menarik tanganku dari dalam celana pendek. Kuakhiri obrolanku dengan pacarku.
“Danang udah pulang?”
Adikku naik ke ranjang dan duduk disampingku. “Udah kak. Makasi banget yah.”
“Udah dikasi bocoran soal ujiannya?” Sengaja tidak kutanyakan lebih lanjut tentang Danang. Sedikit risih juga menanyakan hal itu. Aku tahu pastilah dia puas dengan aksiku tadi. Pasti itu.
Dia tersenyum dan mengangguk. Kuingatkan sekali lagi adikku agar tetap belajar. Agar dia tidak sepenuhnya percaya pada bocoran soal. Dia mengangguk sekali lagi. Dan kubuat dia berjanji.
“Terus ngapain kesini?”
“Mau ijin ama kakak, mau main ke tempat temen.”
Dahiku berkerut. “Temen yang mana nih? Cewek cowok? Namanya?” selidikku. Baru saja tadi aku ‘unjuk bodi’ demi kepentingan pribadinya, kini dia mau ninggalin aku sendirian dirumah. Tentu aku jadi sedikit kesal.
“Cewek kak, si Desi.”
“Adik kelasmu itu? Loh, kalian balikan lagi? Kok nggak pernah cerita?” selidikku lagi.
Adikku berdehem dua kali. Sepertinya dia bingung menjawab pertanyaanku. “Nggak balikan sih kak, cuma tadi dia ngundang aku ke rumahnya. Minta ditemenin, soalnya ortunya ke luar kota.”
“Oh,” hanya itu tanggapanku. Entah apa makna ‘ditemenin’ dalam kalimatnya tadi. Itu urusan mereka berdua. Mereka sudah cukup dewasa. Namun, tetap saja aku kepo ingin mencari tahu. Kupancinglah adikku untuk bercerita. Dan mengakulah dia kalau yang dimaksud ‘ditemenin’ itu berkaitan dengan adu kelamin. Adikku juga mengaku kalau tadi dia ikut mengintipku, bersama Danang. Kaget aku mendengar pengakuannya itu. Baru kutahu kalau ternyata aku tidak hanya merangsang Danang. Aku juga telah membuat adikku horni. Ketika beronani dalam kamar, tiba-tiba dia menerima telpon dari sang mantan. Obrolan itu lalu berujung ‘undangan’. Kebetulankah ini namanya? Memang sedikit aneh sih kedengarannya.
Akhirnya kuijinkan adikku pergi. Kulihat raut horni tingkat tinggi diwajahnya. Tidak mungkin kocokan tanganku bisa memuaskan itu. Tidak mungkin juga kuijinkan dia menyetubuhiku.
“Mungkin nanti pulangnya agak malem ya kak. Mungkin bisa nggak pulang juga sih. Aku telpon deh nanti,” ucap adikku sambil nyengir.
Aku hanya bisa menggeleng kepala. “Iya,” sahutku singkat.
Wajahnya langsung berubah cerah. Ketika hendak turun dari ranjang, kutahan dia. Kurogoh tas jinjingku dan mengambil sesuatu.
“Nih, bawa ini. Inget loh dipake. Jangan sampe lupa.”
Kusodorkan satu pax kondom padanya. Diterimanya sambil kembali nyengir. Adikku kemudian melambai, dan beranjak keluar dari kamarku. Tidak lama kudengar deru suara motornya. Setelah itu, kusambar ponsel dan menekan nomor Hendra. Aku juga butuh ‘ditemenin’ malam ini.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar