Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Ih apaan
sih dek, nggak mau ah.”
“Please kak, please..”
Adikku
terus memelas. Lebih mirip rengekan sih, tepatnya. Sudah hampir sejam dia
mengikutiku kemana-mana. Dari dapur, kamar, sampai ke pekarangan belakang.
Hanya ke kamar mandi saja dia tidak ikut, itupun menunggu didepan pintu.
“Kakak udah bilang nggak mau,
ya nggak mau. Jangan maksa terus deh.”
Rengekannya
masih saja terdengar. Sebenarnya malas meladeni rengekan itu. Hanya saja, aku
sangat menyayangi dia. Adikku terus merengek agar kupenuhi permintaannya. Kalau
permintaan itu masuk akal, pasti tidak keberatan kupenuhi. Namun, permintaan dia
kali ini kunilai terlalu janggal. Dia minta agar aku mau membuka pakaian untuk
temannya. Terdengar sangat janggal bukan? Wanita normal manapun pasti
menolaknya. Pasti itu.
Begini
cerita lengkapnya. Teman adikku itu bernama Danang. Mereka sekelas, tapi usia
Danang lebih tua setahun. Aku tahu kalau dia naksir aku, kalau tidak boleh
disebut nafsu sih. Jadi intinya prosentase nafsunya lebih besar ketimbang
naksirnya. Menurut penelitian, usia remaja seperti dia memang lebih tertarik
dengan wanita dewasa. Mungkin karena faktor lekukan tubuh yang sudah matang, berbeda
dengan gadis sebaya dia. Saat itu aku duduk dibangku kuliah.
Dua bulan
lagi, adikku menjalani ujian akhir nasional (UAN). Kesempatan ini dipakai Danang
mewujudkan niatnya. Bocoran soal UAN dipakainya alat barter dengan adikku. Asalkan
dia bisa melihat tubuh bugilku, maka bocoran soal itu menjadi milik adikku. Kukatakan
pada adikku agar percaya pada diri sendiri, bukan pada bocoran. Belum tentu bocoran
itu asli, bisa saja tipu-tipu. Namun, masih tetap saja dia merengek.
“Please kak, aku janji bakal
bersih-bersih rumah sebulan deh. Nyapu, ngepel, nyiram tanaman, nyuci baju juga
sendiri. Beneran deh kak..”
Kesempatan
nih, pikirku. Kalau beneran lumayan
bisa santai sebulan. Setan berbisik menggoda di telinga kiriku. Di telinga
kananku, malaikat mengingatkan agar mendidik adikku jujur.
“Serius
nih?”
Adikku
mengangguk dengan mantap. Dia mengangkat tangannya. Ditambah memberi kode V,
dengan jari tengah dan telunjuk. Tanda kalau perkataannya tadi serius.
“Jadiin
dua bulan kita deal deh. Gimana?”
tawarku. Bisikan setan menang.
Adikku
terdiam sesaat. Sepertinya dia sedang berpikir. “Satu setengah bulan aja deh
kak. Sisanya kan aku musti konsen belajar.”
Giliran
aku yang berpikir. Benar juga kata-katanya. Aku tentu tidak ingin mengganggu jadwal
belajar adikku. Dia harus dapat perguruan negeri favorit. Akhirnya kami
mencapai kesepakatan. Satu setengah bulan penuh. Dan dia akan bersih-bersih
mulai besok. Kutunggu keseriusannya.
Benar
saja. Keesokan harinya, sepulang dari kampus kulihat sebuah keajaiban. Begitu
memasuki gerbang depan, kulihat rumput terpotong rapi. Tidak nampak sampah
berserakan. Tanaman juga sudah disirami. Didalam rumah tidak kalah mengagetkan.
Lantai rumah nampak mengkilat. Tak ada lagi barang-barang berantakan. Melangkah
ke dapur, kutemukan hal yang sama. Semua perabotan rapi pada posisinya.
Tersenyum bahagia aku dibuatnya. Adikku menepati janjinya. Kudengar suara
senandung di halaman belakang. Ketika kudekati, kulihat disana adikku sedang
menyirami tanaman.
“Sore kak.”
Adikku nyengir.
“Ada yang
mendadak jadi rajin nih. Dari dulu kek kayak gini,” pujiku.
Kudekati
adikku dan kuusap-usap kepalanya. Cengirannya semakin lebar.
“Kakak,
bawain makanan tuh ntar abis mandi kita makan bareng yah.” Dijawab adikku
dengan anggukan.
Demikian
seterusnya sampai sebulan lamanya. Adikku tetap menepati janjinya. Pekerjaan
rumah sehari-hari jadi mudah sekarang. Dia membantuku setiap ada kesempatan.
Bahkan saat papa dan mama datang menengok kami, mereka terkaget. Mama-lah tentu
yang paling bersyukur. Mama sempat khawatir meninggalkan kami keluar negeri
bersama papa. Kini mama lega melihat kami bisa kompak. Tanpa tahu adanya
kesepakatan diantara kami, tentunya.
Kini
tibalah untuk aku yang menepati janji. Malamnya adikku datang ke kamarku. Dia
menagih janjiku, dan kukatakan akan memenuhinya. Dengan kesepakatan, hanya
melihat tidak berbuat lebih. Adikku menyetujuinya. Dia juga tidak ingin terjadi
apa-apa padaku. Maka kesepakatan pun tercapai. Tiga hari lagi adikku akan
mengajak Danang ke rumah.
***
Kulihat
pantulan ketelanjanganku di kaca kamar mandi. Berputar aku beberapa kali. Tiap
jengkal kuperhatikan dengan seksama. Kulihat tidak ada hal yang aneh, ataupun
kurang enak dipandang. Dua hari lagi aku akan bertelanjang ria didepan Danang. Hal
itu membuatku gugup. Tetap saja ada ketidak-percayaan diri dalam diriku.
Padahal ini bukan pertama kali aku telanjang didepan laki-laki. Namun, kali ini
konteksnya berbeda. Aku tidaklah telanjang untuk pacarku.
Kuambil
handuk dan kubalut tubuhku. Melangkah aku keluar. Pacarku, Hendra, masih
terbaring di ranjang. Pacar, sekaligus suamiku di masa depan. Kulihat dia masih
sibuk dengan ponselnya. Selimut menutupi tubuh telanjangnya. Kudekati dirinya. Kulepas
handuk, lalu beringsut masuk kedalam selimut. Bergelayut manja aku
dipelukannya. Dia meletakkan ponselnya, dan tersenyum kearahku. Diciumnya
dahiku mesra.
“Udah
siap ronde kedua?” Dielusnya kemudian rambutku.
Aku
merajuk. “Ntar dulu, ada yang mau aku tanyain nih.”
Kualihkan
pandangan menatap wajahnya. Dahinya sedikit berkerut. “Oh, nanya apa?”
“Hhmm..”
Berdehem aku sebelum memulai. “Sayang, menurut kamu badan aku bagus nggak?”
“Aduh.
Ini pertanyaan jebakan buat pacar semacem ‘aku keliatan gendutan’ yah? Terus
kalo aku salah jawab, kamu bakal cemberut seharian kan?” Hendra balik bertanya,
sambil nyengir.
Melengos aku
mendengarnya. Langsung kujewer pelan telinga dia. Kubuat dia mengaduh, tapi
kemudian kembali nyengir. “Ih, serius nih. Pengen denger pendapat dari kamu.”
Hendra
lalu meminta aku berdiri. Untuk memberi nilai, dia bilang perlu melihat tubuhku
dengan jelas. Tetapi kuturuti, walau tahu kalau itu hanya alasan semata. Dia sudah
berkali-kali melihatku telanjang sebelumnya. Kemudian disanalah aku bergaya
dalam berbagai pose, bak model. Hanya bedanya, bukan pakaian yang kuperagakan
tapi tubuhku sendiri. Puas melihat aku berpose, Hendra mengacungkan dua
jempolnya. Dia lalu berdiri dan mendaratkan ciuman dibibirku.
“Jadi
berapa nilainya?” tanyaku, sehabis pacarku menarik bibirnya.
“Nilainya..”
Dia tersenyum. “Dua puluh.”
Tidak
kuat aku menahan tawa. “Lah, kan nilainya dari nol sampai sepuluh?”
“Orang
lain mungkin ngasi nilai dari delapan sampai sepuluh, soalnya kan cuma ngeliat
dari luar. Nah, kalo aku kan udah ngeliat dari luar sampe dalem. Malah atas
bawah juga, komplit. Jadi nilai dikasinya dobel. Badan kamu itu enak diliatin,
lebih enak lagi kalo dinikmatin.”
Kata-kata
Hendra membuatku tersipu. Ketidak-percayaan diri langsung sirna. Kini aku pun pede menanggalkan pakaian dua hari lagi.
Namun, pacarku tentu tidak perlu tahu rencana itu.
“Oya,
cuma satu nih yang sedikit kurang..” Hendra melanjutkan kata-katanya.
“Oh, apa
itu?”
“Rambut
yang bawah udah agak ‘gondrong’ tuh. Mau dibantuin ngerapiin? Dikasi diskon
spesial deh, mumpung lagi promo nih.” Pacarku nyengir lagi.
Lagi-lagi
tawaku terlepas, bersamaan dengan rona diwajahku. Kuakui beberapa minggu ini
aku terlalu sibuk dengan tugas-tugas kampus. Maklum saja, ujian semester sudah
cukup dekat. Wajar aku jadi kurang perhatian dengan diri sendiri. Khususnya bagian
selangkangan, dibawah sana.
Berikutnya,
jadilah aku duduk ditepi bathtub.
Mengangkang lebar didepan pacarku. Sementara dia jongkok, sibuk dengan gunting,
sabun dan kurisan. Harus kuakui keahliannya dalam menata rambutku. Rambut
bawahku, tepatnya. Bahkan dia sendiri dibuat horni olehnya. Maka kami pun
bersetubuh dua kali, sebelum akhirnya terlelap berpelukan. Dia menginap
dirumahku hari itu.
***
Dua hari
setelahnya, siang harinya. Aku pulang dari fitness,
kegiatan rutinku setiap kali libur. Di ruang tamu kutemukan adikku bersama
Danang. Mereka terlihat sedang belajar bareng. Danang berbasa-basi menanyakan
aku darimana. Kujawab dengan sopan, walau aku tahu benar maksud kedatangannya
hari itu. Guna melihat tubuhku, tentunya. Setelah berbincang sebentar, aku pamit
masuk ke kamarku. Selesai melepas sepatu, adikku menyusul masuk ke kamar.
“Justru
itu kak, malah bagus. Tadi aja Danang nyeletuk katanya kakak seksi banget pake tanktop ama yoga pants ketat. Ditambah lagi keringetan gini, makin nafsuin.”
Kutoel
hidung adikku. “Itu beneran Danang yang ngomong, atau pendapat kamu sendiri
dek?”
Adikku
nyengir, sambil mengusap kepalanya. “Pendapat Danang ama aku sama sih kak.”
Kutoel
lagi adikku. Kusuruh dia keluar. Kubilang padanya aku sudah siap memamerkan diri.
Dia pun melangkah keluar. Sengaja tidak ditutupnya pintu kamarku dengan rapat. Disisakan
celah untuk mengintip kedalam. Mulailah jantungku berdetup dengan kencang, bak artis
sedang demam panggung. Kupatut diriku dicermin. Kupastikan penampilanku sudah
layak dipamerkan. Untuk menghilangkan grogi, kunyalakan musik. Sengaja kupilih
musik yang sedikit nge-bit. Kugoyangkan
tubuhku menghilangkan deg-degan. Tidak lama, kulihat kelebatan bayangan dari
bawah pintu kamar. ‘Penonton’-ku pastilah sudah diposisi. It’s show time!
Kutarik
nafas panjang, sebelum perlahan membuka tanktop
didepan kaca. Bagian atasku kini hanya tertutupi sport bra. Kulihat bayangan dadaku dicermin. Ganjalan dua cup sport bra yang menekan ketat, membuat
payudaraku kelihatan padat berisi. Sengaja lalu kuremas-remas sendiri kedua
payudaraku. Seolah memperlihatkan betapa kenyalnya milikku itu, pada ‘penonton’
diluar sana. Kulakukan sambil terus bergoyang mengikuti alunan musik.
Dengan
goyangan bak striper, kutarik turun yoga pants. Sengaja kulakukan secara
perlahan, agar gregetnya dapat. Kini bagian bawahku hanya tertutupi celana
dalam mini. Kugoyangkan pinggul agak kencang. Dengan demikian bongkahan
pantatku akan terguncang, menggoda mata. Apalagi kutahu celana dalam tidak seutuhnya
menutupi pantatku. Bagian-bagian tubuh sensitifku mulai bereaksi. Putingku
perlahan mengeras. Kewanitaanku mulai terasa gatal.
“This girl is on fire, this girl is on fire,
she’s walking on fire, this girl is on fire..” Terus saja aku bergoyang
sambil bersenandung. Dengan tubuh setengah telanjang. Benar-benar aku merasa
bak artis diatas panggung.
Berikutnya,
aku melangkah kesekeliling kamar. Berpura-pura merapikan benda-benda didalam
kamar. Sengaja kubuat langkahku bak model dilantai catwalk. Kuanggap diriku seorang model pakaian dalam, victoria secret. Sengaja pula kudekatkan
diri ke pintu kamar. Dengan demikian, ‘penonton’-ku bisa melihat semuanya lebih
jelas. Kecanggungan diawal kini tidak lagi kurasa. Malahan kini aku menikmati
sekali sensasi ini. Mungkin aku memang ada bakat eksibisionis.
“I know you want me, you know I want cha, I
know you want me, you know I want cha..” Lagu selanjutnya mulai mengalun. Semakin
semangat-lah aku bergoyang.
“So go just take it off, take it off, take it
off, take it off, just take it off..” Lagu berganti, barulah kutingkatkan
aksiku. Aku sadar aku sudah cukup dekat dengan pintu.
Kubelakangi
pintu, saat mulai membuka kaitan braku. Kulakukan pula perlahan. Kubuat seolah-olah
bukan tanganku yang melakukan. Kulakukan sambil menggoyangkan pantatku naik
turun. Begitu braku terbuka, kuputar-putar diatas kepala. Beraksi bak cowboy girl sedang memutar laso diatas
kuda liar. Setelahnya, kulempar bra itu keatas ranjang. Lalu berjingkrak-jingkrak,
sambil memutar-mutar tubuhku. Kubiarkan saja kedua payudaraku terguncang bebas.
Putingku makin mengacung. Entah apa jelas terlihat dari balik pintu. Tanpa
kusadari aku terangsang. Gerakanku makin liar. Kutahu kini guncangan payudaraku
pasti bisa dinikmati ‘penonton’-ku.
“Now you can ride to this motherfucker,
bounce to this motherfucker, freak to this motherfucker, get it on the floor,
get it on the floor..”
Masih dengan
posisi membelakangi pintu. Mulai lorotkan celana dalamku. Sebelum kain mungil
itu basah oleh cairan cintaku. Untuk gerakan yang satu ini, sengaja kulakukan
selambat mungkin. Seiring celana dalam yang terus turun, posisi pantatku juga
makin nungging. Yakin sekali telah kuberikan pemandangan paling panas hari itu.
Posisi nungging sedekat itu, mata ‘penonton’-ku pasti terbelalak. Bongkahan
pantatku, ditambah lubang dubur dan lubang vagina, pasti terekspos jelas. Benar-benar
jelas, sejelas-jelasnya. Kuputar pula celana dalamku diatas kepala, sebelum
melemparnya keatas ranjang. Resmilah aku telanjang bulat saat itu.
Sekali
lagi kuputar-putar tubuhku, sambil berjingkrak. Kali ini kulakukan dengan sedikit
pelan. Kupastikan setiap jengkal tubuhku terekspos. Kulakukan lagi beberapa
putaran, lalu aku berjalan menjauhi pintu. Didepan kaca kembali aku beraksi. Meremas
payudara, meremas pantat, meraba kedua paha, memainkan rambut. Dan yang paling
penting memasang ekspresi mupeng di wajah. Kubayangkan ada seorang pria sedang
merabai tubuhku, siap menyetubuhiku.
“Whoa! She’s fire burning, fire burning on
the dance floor. That little shawty’s fire burning on the dance floor..” Diiringi
alunan lagu ini, aku ambil handukku. Masih bergoyang, kulangkahkan kaki masuk
ke kamar mandi. Sengaja tidak kututup rapat pula pintunya.
Sambil
membilas diri dibawah shower, kuperhatikan bawah pintu. Tidak ada kelebatan
bayangan disana. Rupanya Danang tidak senekat kukira. Padahal aku sempat
merinding, membayangkan mandi diintip sepasang mata. Menggodaku memainkan
putingku sendiri. Harus segera kukurangi membaca website panas di internet, runtukku dalam hati. Fantasiku sudah
terlalu liar.
Selesai
membersihkan tubuh, kuambil handuk dan membalutnya. Bisa saja aku keluar telanjang,
namun harus kupastikan dulu situasi diluar. Bisa saja kutemukan Danang diluar
sana. Aku belum tahu senekat apa anak muda itu. Saat kubuka pintu, kulihat kamarku
tetap kosong. Hanya alunan musik yang masih terdengar memenuhi ruangan. “Undress me, undress me, unlock this chain
and set me free, remind me to be myself..” Lalu aku melangkah keluar.
Saat mendekati
ranjang, aku kaget. Kutemukan celana dalamku tergeletak dilantai. Padahal tadi
jelas kulempar keatas ranjang. “Apa ada orang yang mindahin?” tanyaku dalam
hati. Pelan-pelan kuambil kain mungil itu, dan setelahnya aku menghela nafas lega.
Tidak ada bercak cairan kental membasahinya, seperti kutakutkan. Hanya permukaannya
saja sedikit lecek. Kulempar benda itu lagi keatas ranjang.
Kulihat
kearah celah pintu kamar. Cukup penasaran juga, apakah Danang masih disana. Kuambil
ponselku dan mengetik pesan. “Dek, Danang
masi didepan pintu kamar?” Tidak menunggu lama masuk balasan. “Masi kak.” Langsung kuterka kalau tadi
Danang sempat masuk kedalam.
Kuletakkan
ponsel kembali ke meja rias. ‘Penonton’-ku masih menunggu aksi panasku yang
lain. Maka kubuka handuk dan menggantungnya. Kuekspos lagi tubuh telanjangku. Lanjut
kulakukan kegiatan dalam kamar sambil bertelanjang ria. Dari mengeringkan rambut,
membersihkan wajah, sampai memasukkan pakaian yang kemarin kusetrika kedalam
lemari. Bertelanjang ria seperti itu membuat darahku berdesir. Kembali aku
terangsang. Curi-curi kusentuh payudara dan vaginaku sendiri. Kulakukan sambil bergoyang
mengikuti alunan musik. Hanya saja, kali ini tidak seheboh sebelumnya. Tidak
ingin aku berkeringat lagi setelah mandi.
Musik
masih terus mengalun. “Damn girl, damn
you’se a sexy bitch, a sexy bitch, damn you’se a sexy bitch, damn girl..”
Terakhir,
kupilih pakaian yang akan kupakai. Kupilih pakaian casual, sebuah tanktop dan celana pendek. Saat memakai pakaian
dalam, lagi-lagi kulakukan secara perlahan. Kubiarkan dulu mata diluar sana puas
menikmati tubuh telanjangku. Selesai memakai pakaian dalam, sengaja kembali aku
bergoyang sensual cukup lama. Tidak lama setelah selesai berpakaian, masuk sebuah
pesan singkat. Dari adikku, memberitahu Danang sudah balik ke ruang tamu. Show-ku pun berakhir.
Sengaja
aku tidak keluar kamar. Kubatalkan niat melihat ekspresi mupeng di wajah Danang.
Aku tahu pasti akan terasa sangat canggung, baik untuk dia maupun untukku. Kebetulan
pula pacarku menelpon. Bisa sedikit kualihkan desiran rasa yang tadi sempat melanda.
Kecuali, saat Hendra mulai bertanya pakaian dalam yang kupakai. Terpaksa
kusentuh lagi tubuhku, terutama bagian-bagian sensitifnya. Tidak bikin basah, namun
itu cukup bikin sekujur tubuh merinding. Ditengah obrolan adikku masuk ke
kamar. Beruntung aku sudah menarik tanganku dari dalam celana pendek. Kuakhiri
obrolanku dengan pacarku.
“Danang
udah pulang?”
Adikku
naik ke ranjang dan duduk disampingku. “Udah kak. Makasi banget yah.”
“Udah dikasi
bocoran soal ujiannya?” Sengaja tidak kutanyakan lebih lanjut tentang Danang. Sedikit
risih juga menanyakan hal itu. Aku tahu pastilah dia puas dengan aksiku tadi.
Pasti itu.
Dia
tersenyum dan mengangguk. Kuingatkan sekali lagi adikku agar tetap belajar.
Agar dia tidak sepenuhnya percaya pada bocoran soal. Dia mengangguk sekali
lagi. Dan kubuat dia berjanji.
“Terus ngapain
kesini?”
“Mau ijin
ama kakak, mau main ke tempat temen.”
Dahiku berkerut.
“Temen yang mana nih? Cewek cowok? Namanya?” selidikku. Baru saja tadi aku ‘unjuk
bodi’ demi kepentingan pribadinya, kini dia mau ninggalin aku sendirian dirumah. Tentu aku jadi sedikit kesal.
“Cewek
kak, si Desi.”
“Adik
kelasmu itu? Loh, kalian balikan lagi? Kok nggak pernah cerita?” selidikku
lagi.
Adikku
berdehem dua kali. Sepertinya dia bingung menjawab pertanyaanku. “Nggak balikan
sih kak, cuma tadi dia ngundang aku ke rumahnya. Minta ditemenin, soalnya
ortunya ke luar kota.”
“Oh,” hanya
itu tanggapanku. Entah apa makna ‘ditemenin’ dalam kalimatnya tadi. Itu urusan
mereka berdua. Mereka sudah cukup dewasa. Namun, tetap saja aku kepo ingin mencari tahu. Kupancinglah
adikku untuk bercerita. Dan mengakulah dia kalau yang dimaksud ‘ditemenin’ itu berkaitan
dengan adu kelamin. Adikku juga mengaku kalau tadi dia ikut mengintipku,
bersama Danang. Kaget aku mendengar pengakuannya itu. Baru kutahu kalau
ternyata aku tidak hanya merangsang Danang. Aku juga telah membuat adikku horni.
Ketika beronani dalam kamar, tiba-tiba dia menerima telpon dari sang mantan. Obrolan
itu lalu berujung ‘undangan’. Kebetulankah ini namanya? Memang sedikit aneh sih
kedengarannya.
Akhirnya kuijinkan
adikku pergi. Kulihat raut horni tingkat tinggi diwajahnya. Tidak mungkin
kocokan tanganku bisa memuaskan itu. Tidak mungkin juga kuijinkan dia
menyetubuhiku.
“Mungkin
nanti pulangnya agak malem ya kak. Mungkin bisa nggak pulang juga sih. Aku telpon deh nanti,” ucap adikku sambil nyengir.
Aku hanya
bisa menggeleng kepala. “Iya,” sahutku singkat.
Wajahnya
langsung berubah cerah. Ketika hendak turun dari ranjang, kutahan dia. Kurogoh
tas jinjingku dan mengambil sesuatu.
“Nih,
bawa ini. Inget loh dipake. Jangan sampe lupa.”
Kusodorkan
satu pax kondom padanya. Diterimanya
sambil kembali nyengir. Adikku kemudian melambai, dan beranjak keluar dari
kamarku. Tidak lama kudengar deru suara motornya. Setelah itu, kusambar ponsel
dan menekan nomor Hendra. Aku juga butuh ‘ditemenin’ malam ini.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar