Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Mobilku
akhirnya bisa terparkir rapi. Dua kali berputar baru kutemukan tempat kosong. Siang
itu sengaja aku keliling memakai mobil pribadi. Usai menemui tiga nasabah, aku
mampir ke kantor suami. Itulah alasanku kenapa tidak mengajak sopir kantor. Suami
tidak tahu kedatanganku. Hari itu hari ulang tahun pernikahan kami. Sebagai
kejutan kusiapkan makanan favoritnya. Mengantar makanan itu sendiri pasti akan terasa spesial,
pikirku.
Di pintu depan
lobi aku disambut oleh satpam. Dia tersenyum padaku. “Eh Ibu Dita, tumben nih
main kesini,” ucapnya ramah.
“Iya Pak,
mau ngecek suami nih.”
“Aduh,
pake dicekin segala sih Bu. Sudah saya jaga baik-baik kok Pak Hendra-nya biar nggak
nakal di kantor.”
Tertawa
kecil aku mendengarnya. Setelah basa-basi singkat, aku dipersilakan masuk. Kupastikan
pada satpam agar tidak memberitahu kedatanganku. Kukatakan padanya kejutan buat
suami. Dia pun menyatakan siap, sambil memberi hormat ala militer. Kembali aku
tertawa.
Aku
kemudian masuk ke dalam lift, menuju lantai tiga. Disana aku disambut ramah oleh
Cindy, sekretaris suamiku. Parasnya cantik. Sering kugoda suamiku soal
sekretarisnya itu. Suami hanya menanggapi sambil tersenyum. “Yang di rumah jauh
lebih cantik kok,” itulah jawaban dia setiap kali kugoda. Membuat hatiku
berbunga. Aku percaya memang tidak ada apa-apa antara mereka.
“Ibu
Dita. Apa kabar Bu?” Cindy berdiri dari kursinya. Menyambutku sopan.
“Baik.”
sahutku sambil tersenyum.
Kukatakan
padanya kedatanganku untuk bertemu suami. Namun menurut Cindy suamiku sedang meeting. Sebelumnya dia meminta maaf
padaku. Katanya tadi suamiku berpesan kalau ada tamu diminta menunggu. Kukatakan
tidak apa-apa, aku tidak keberatan menunggu. Diantarnya lalu aku menuju ruang
tunggu. Tidak lama, Cindy datang lagi membawa sebotol air mineral. Terima kasih
kuucapkan padanya. Dia kemudian pamit kembali ke mejanya.
Sambil
menunggu, kubalas pesan media sosial dan email
yang masuk ke ponsel. Beberapa pesan penting, sisanya hanya basa-basi dari rekan
dan klien. Sekedar menanyakan kabar, sampai ajakan makan siang. Ada pula yang
terang-terangan mengajak affair. Masih
kuanggap wajar, mengingat sebagian besar klienku berusia paruh baya lebih.
Masa-masa puber kedua bagi kebanyakan laki-laki. Berusaha kutanggapi, ataupun
kutolak sesopan mungkin. Berikutnya, aku isi waktu dengan membaca bahan bacaan
yang tersedia di meja.
Cukup lama
aku larut membaca. Saat mengalihkan mata dari majalah, baru kusadari kehadiran
seseorang. Dia ada diluar ruangan. Jongkok dibalik kaca, tepat di depanku.
Setelah kuperhatikan, ternyata itu office
boy yang sedang mengelap kaca. Sering kulihat sosoknya saat datang ke
kantor suami. Hanya saja, aku tidak tahu namanya. Kata suami dia pegawai paling
tua disana. Sebentar lagi akan memasuki usia pensiun. Dia berstatus duda. Tinggal
sendirian di salah satu rusun dekat kantor, kalau aku tidak salah ingat. Kulihat
orangnya ramah dan baik. Setiap kali melihatku pasti dia melempar senyum.
Kudengar sih dia juga rajin mengerjakan tugasnya.
Entah
berapa lama dia sudah ada disana. Ketika itu pula kusadari posisi dudukku yang
terbuka. Menimbulkan celah di ujung rok. Celah yang cukup lebar antara dua pahaku.
Pantas dia berlama-lama menggosok kaca disana. Ada ‘tontonan’ indah tersaji didepannya.
Yaitu, isi dalam rokku.
Ingin kuperbaiki
posisi dudukku, tapi kubatalkan. Ingin aku bermain-main sebentar dengan
laki-laki itu. Ingin kucari tahu apa dia tipe tua-tua keladi, atau bukan. Kembali
kualihkan pandangan ke majalah yang kupegang. Kali ini hanya pura-pura membaca,
sambil memainkan kedua kaki. Kubiarkan ujung rok spanku terangkat karenanya. Celah
yang ada pun jadi makin lebar. Kulirik dia jadi mulai gelisah. Artinya ‘tontonan’
yang kuberikan sudah makin jelas. Entah apa yang sedang dinikmatinya saat itu. Betis,
paha, lutut atau kain penutup kelaminku. Makin dia gelisah, makin aku
menikmatinya. Ternyata laki-laki seusia dia, birahinya masih saja tinggi.
Terus
kumainkan bergantian kakiku. Kubuat seolah kulakukan itu tanpa sengaja. Terasa
desiran disekujur tubuhku. Kunikmati sekali sensasi yang kini melanda. Tidak
sedasyat saat melakukan petting atau
bersetubuh, namun cukup kuat memicu birahi. Oh, rupanya aku memang memiliki bibit
eksibisionis. Beruntung Cindy muncul,
sebelum aku benar-benar larut dalam sensasi itu.
“Maaf Bu
Dita, Pak Hendra sudah selesai meeting.
Sekarang sudah di ruangan.”
Kutarik
nafas sebelum menjawab. Semoga wajahku tidak memerah saat itu. “Makasi Cin, kamu
nggak bilang kalo saya nunggu disini kan?”
Cindy
tersenyum, lalu mengangguk pelan. Dia memang sempat kuberitahu agar
merahasiakan kedatanganku. Kemudian aku berdiri dari sofa. Kulihat laki-laki itu
sudah tidak ada lagi di balik kaca. Kuikuti langkah Cindy keluar ruangan. Di luar,
ternyata kami berpapasan dengan si office
boy. Dia memalingkan wajahnya, mungkin karena merasa malu. Seandainya saja dia
tahu sensasi yang tadi kurasakan, harusnya aku berhutang padanya. Tapi tidak
apa-apa, toh sudah kuberikan dia bahan
untuk berfantasi.
Di depan
ruangan suami, kuketuk pintu. Terdengar seruan dari dalam agar aku masuk. Perlahan
kubuka pintu. Suami mendongak dan terkejut melihat kedatanganku. Kulempar
senyuman, dan dia langsung berdiri dari kursinya.
“Surprise!” seruku pelan.
“Mama?” Suami
melangkah mendekat. “Mimpi apa nih kok tiba-tiba papa didatengin bidadari?” Dipeluknya
aku, lalu mendaratkan ciuman di kening dan bibir. Aku sendiri jadi tersipu.
Kami
melangkah masuk, setelah suami menutup pintu. Kami berdua lalu duduk di sofa. Di
atas meja, kuletakkan bungkusan berisi lima kotak makan plastik.
“Nganterin
makan siang nih buat papa. Hayo, inget nggak hari ini hari apa?”
Dahi
suamiku berkerut. Mencoba mengingat. Mencoba menemukan jawaban dari pertanyaanku.
Tersenyum aku melihat ekspresinya. Aku tahu seberapa pun dia berusaha, tidak
akan berguna. Tahu benar aku dengan karakter suami. Dia ahli dalam mengingat deretan
angka, namun tidak dengan tanggal. Maka kudekati dia dan kucium bibirnya.
“Selamat
hari ulang tahun pernikahan..” ucapku mesra.
Kerutan
di dahi suamiku menghilang. Dia tersipu. “Ya ampun, papa lupa banget loh. Maaf
ya.”
Kembali kucium
bibirnya. “Udah tahu papa pasti lupa, makanya mama ngingetin. Udah segini lamanya
nikah masih sayang kan sama mama?”
Suami
terbahak. Dipegangnya kedua tanganku. “Masih dong. Makin sayang malah.”
Kemudian
kubuka bungkusan diatas meja. Satu persatu kubuka kotak makan itu. Isinya ketupat,
ayam suwir bumbu kecap, sayur kuah isi tahu, buah pepaya, dan kue brownies. Kukeluarkan juga gelas plastik
berisi mix juice. Tersenyum suami melihat
semua makanan itu. Dia terlihat girang. Makin girang dia saat mulai kusuapi. Suami
pun makan dengan lahap. Beberapa kali, gantian dia yang menyuapi aku. Kembali
kami pada romansa masa pacaran.
“Buat dessert papa mau yang ini, apa yang
ini?”
Kusodori
suami sepotong kue brownies, sebagai
alternatif pertama. Dan kudaratkan french
kiss di bibirnya, sebagai alternatif kedua. Dia tersenyum lebar. Dengan
mantap dia memilih alternatif dua. Maka kami pun melakukan french kiss. Kali ini lengkap dengan pagutan, dan sapuan lidah yang
panas. Cukup lama bibir dan lidah kami beradu.
“Sekarang
mama tutup mata deh, papa juga punya kejutan buat mama.”
Giliran kini
dahiku yang berkerut. Akhirnya kuturuti kemauannya. Kututup mata setelah suami
terus memaksa. Beberapa saat, dia memintaku membuka mata kembali. Di depanku
kulihat dia memegang sebuah kotak kecil. Sungguh aku kaget. Apa lagi saat dibilangnya
itu hadiah ulang tahun pernikahan kami. Ternyata tadi dia hanya akting pura-pura
lupa. Disodorkannya kepadaku, dan minta aku untuk membukanya. Saat terbuka kutemukan
sepasang anting-anting dan sebuah kalung. Keduanya berbahan emas. Terharu aku
melihatnya. Bukan karena nilai dari hadiah itu, namun karena suami mengingat kebersamaan
kami.
“Makasi
banget ya Pa, bagus banget loh.”
Suami
memintaku untuk langsung memakainya. Sempat kutolak, namun dia memaksa. Kulepas
anting-anting di telinga dan menggantinya. Kuganti pula kalung yang kupakai. Melihat
itu suami berseru kalau aku cocok memakainya. Membuat kulit wajahku semakin berbinar.
Kubalas seruan itu dengan ucapan gombal. Dibalasnya lagi dengan tawa.
Didaratkan lalu ciuman di keningku.
“Pa, mama
nggak nyiapin hadiah apa-apa nih buat papa.” Aku cemberut.
Dia malah
menyambut dengan senyuman. “Lah, ini di dalem perut papa ini bukan hadiah?”
“Tapi
kan..” Kata-kataku terhenti, saat suami meletakkan telunjuknya dibibirku.
“Kalo
mama mau ngasi papa hadiah, ntar pulang kantor mama mandi terus pake lingerie paling seksi. Jangan lupa pake
pita di kepala. Nah, tungguin deh papa di kamar. Itu udah hadiah paling wah
buat papa, apalagi bisa sampe subuh.”
Tidak
kuasa kutahan tawa mendengarnya. Suamiku ikut tertawa. Lalu kupeluk suamiku.
Bahagia sekali aku bisa menjadi istrinya. Tiba-tiba saja terlintas sebuah ide
nakal di kepalaku. Kubisikan ide itu ditelinga suami. “Kalo mau ‘gituan’ kenapa
nunggu nanti. Sekarang aja..”
“Se-serius
Ma?” tanya suamiku terkaget.
“Serius
dong.” Aku mengerling nakal, lalu berdiri dari sofa.
Di depan
suami, kubuka blazer sambil bergaya bagai penari striptis. Kulempar ke sofa. Lanjut kuangkat naik ujung rokku, dan
memasukkan dua tangan ke dalam. Tidak lama, celana dalamku meluncur turun. Dari
paha, menuju lutut, betis, dan akhirnya terlepas. Kulempar kain mungil itu ke arah
suami. Ditangkapnya lalu dia tersenyum. Terhibur dia oleh aksiku itu.
Berjongkok
kemudian aku di depan suami. Perlahan kubuka kaitan sabuk, menyusul kaitan dan
resteling celananya. Senyum suami makin lebar mengikuti aksiku. Dia membantu
mengangkat posisi duduk saat kutarik turun celananya. Dia tahu pasti apa yang
akan kulakukan.
“Pintunya
nggak dikunci dulu?” tanyaku, bersamaan menarik turun boxer suami.
“Nggak
ada yang bakal berani masuk kok. Tenang aja Ma.”
Mendengar
itu kulanjutkan aksiku. Penis suami mengacung di depanku. Kumasukkan ke dalam
mulut dan mulai mengulum. Perlahan batang itu mengeras dimulutku. Dia mengelus
rambutku sambil menikmati sensasi dibawah sana. Sudah lama tidak kuberikan dia
servis oral. Bukannya aku tidak mau, namun lebih ke tidak sempat. Setiap
memulai sesi bercinta biasanya birahi kami sudah menggelora sebelumnya. Dengan
begitu, hidangan utama menjadi jauh lebih menggiurkan ketimbang hidangan
pembuka. Apalagi saat sudah hardir anak dalam pernikahan. Durasi bercinta yang
kami miliki tidak lagi lama. Kami harus belajar menikmati kualitas ketimbang
kuantitas.
“Ssshh..
Ssshh.. Ssshh..” Suami mendesis pelan.
Cepat
sekali penis suami mencapai titik maksimal. Dia memintaku berhenti mengulum. Agaknya
dia tidak ingin mencapai klimaks terlalu dini. Suami menyuruh aku berdiri.
Didepannya, suami memintaku menaruh satu kaki di sofa. Ujung rokku diangkatnya
tinggi-tinggi. Dipagutnya lalu bibir vaginaku, seperti sedang melakukan french kiss. Lidah suami menari-nari
lincah di lubang vaginaku. Kakiku langsung terasa lunglai. Andai saja suami
tidak memegangiku, mungkin aku akan terjatuh. Giliran aku yang mendesis karena
geli. Perlahan cairan kewanitaanku terpicu. Aku sudah basah. Aku siap
disetubuhi.
Sadar
kami sudah sama-sama siap, suami menghentikan permainan lidahnya. Ketika dia
hendak berdiri, aku menahannya. Bersiap aku untuk mengambil posisi woman on top. Suami membaca pikiranku. Dia
tetap duduk di sofa. Pasif dia menunggu apa yang ingin kulakukan. Setelahnya, aku
duduk di pangkuan suami. Kugenggam batang penis suami, dan mengatur posisinya tepat
di bibir vaginaku. Perlahan kuturunkan pantat, sampai penisnya menancap pas.
Suami melenguh pelan. Lenguhan kembali terdengar saat mulai kugoyangkan
pinggul.
“Aaahh..
aaahh.. aaahh..” Bergantian desahan berbisik keluar dari mulut kami.
Kupegangi
pundak suami sebagai tumpuan goyangan. Seiring goyanganku, suami membuka satu
persatu kancing blusku. Sepertinya dia berniat mengincar payudaraku. Kubiarkan
saja dan tetap fokus pada goyangan pinggulku. Tidak lama, tangan suami sudah
meremasi kedua payudaraku. Kaitan braku terlepas dalam waktu singkat. Suami
memang ahli dalam hal lepas melepas. Dalam posisi itu, sesekali kami saling bertukar
cium dan senyum.
“Aaahh..
aaahh.. aaahh..”
Kami
terus berusaha menahan desahan. Kami tahu dinding ruangan tidak akan mampu
meredam suara kami. Masih dalam posisi aku diatas, suami berbisik di telingaku.
Dia bilang mau mencoba posisi di bokep
yang terakhir kami tonton. Dia ingin menyetubuhiku di atas meja kerjanya. Geli
aku mendengarnya. Kuanggukan kepala tanda setuju. Bibir suami pun langsung
tersenyum lebar.
Berdiri
aku dari pangkuannya. Kutarik kemudian dasinya pelan. Lagi-lagi suami
tersenyum, dan beranjak berdiri. Diikutinya tarikanku menuju meja kerjanya.
“Ih Bapak
genit banget sih. Bapak mau ngentotin saya diatas sana?” Kutunjuk meja kerja
suami. Berlagak aku layaknya seorang sekretaris nakal. Kauajak suami bermain
peran.
Suami
langsung mengerti maksudku. “Iya nih, abis kamu seksi banget sih. Bikin Bapak
nafsu.”
Ketika
suami hendak memeluk, aku berkelit menghindar. Kurapikan ujung rok, sebelum berlari
menjauh dari suami sambil tertawa kecil. Suami berusaha mengejar, namun pakaian
bawah yang masih menyangkut menghalangi. Bergegas dia menarik lepas sepatu, berikut
celana dan boxer-nya. Setelah itu,
baru kembali dia mengejarku. Kami pun berlarian ke sekeliling ruangan, sambil
tertawa-tawa. Kami berdua terlihat seperti sepasang bocah yang sedang main
kejar-kejaran.
Sampai
akhirnya suami berhasil menangkapku. Dibawanya aku menuju ke sudut ruangan. Kini
aku terjepit antara dinding dan tubuhnya. Dihujaninya lalu aku dengan ciuman. Aku
tertawa geli, karena beberapa kali ciumannya mengenai titik sensitifku.
“Ampun
Pak, ampun.. Geli Pak, geli..” rajukku sambil bergelinjang menahan geli. Masih
kuajak suami bermain peran.
“Nakal
banget ya kamu, ngajakin bos main kejar-kejaran. Kamu musti dihukum nih..”
sahutnya. Usai berucap demikian, suami menggendongku. Dibopongnya aku menuju ke
meja kerja.
Dengan
tangan suami menyapu setengah permukaan meja. Benda-benda yang semula ada
disana, berjatuhan ke lantai. Untungnya lantai dilapisi karpet, sehingga bisa
meredam suara yang timbul. Diduduknya lalu aku di atas sana. Suami menyeringai
lebar.
“Hayo,
mau lari kemana lagi sekarang?” Tertawa lirih dia kemudian.
Tawa
kecil terus saja keluar dari mulutku. “Ampun Pak, jangan hukum saya..” ucapku
memelas. Masih dalam konteks bermain peran, tentunya.
“Oh nggak
bisa, kamu musti dihukum berat,” suami tertawa lagi.
Berikutnya,
suami langsung membuka lebar kedua kakiku. Diangkatnya naik ujung rok spanku. Dan
tanpa ba-bi-bu dihujamkan penisnya ke
dalam. Aku melenguh panjang. Syukurnya mampu kutahan lenguhan itu keluar tidak
terlalu keras. Hujaman kasar pun menghujani vaginaku. Suami terlihat begitu
bergairah. Niatku memancingnya dengan bermain peran berhasil. Dia benar-benar
menghayati perannya. Peran sebagai bos yang menyetubuhi sekretarisnya. Memang menghayati
peran atau sabagai pemuasan fantasi seks? Entahlah. Yang jelas, kunikmati sekali
persetubuhan hari itu. Nikmat sekali rasanya. Kerebahkan pasrah tubuhku di atas
meja.
“Aaahh..
aaahh.. aaahh..”
Ditengah genjotan
suami, tidak sengaja aku menoleh ke arah pintu. Bersamaan dengan itu, pintu ruangan
terbuka. Kulihat kepala Cindy mendongak sedikit ke dalam. Terkagetlah dia
dengan apa yang dilihatnya. Buru-buru ditutupnya kembali pintu. Tersenyum aku
melihatnya. Suamiku sama sekali tidak menyadari kejadian itu. Posisinya sedang membelakangi
pintu. Tetap saja dia dengan semangat menghujamkan penisnya. Tetap sibuk dia
menikmati jepitan vaginaku.
“Ssshh..
ssshh.. ssshh..” Kugigit bibirku. Kucoba untuk tidak berteriak. Genjotan suami terasa
kian kencang. Dan terus makin mengencang. Kupegang pula ujung meja
sekuat-kuatnya. Sampai akhirnya terdengar desahan panjang suami. “AAAHH..!!”
Semburan
hangat meluncur deras di dalam sana. Kubiarkan saja berlangsung sampai semburan
terakhir. Suami memenuhi rahimku dengan benihnya. Bisa kulihat guratan kepuasan
luar biasa di wajahnya. Mata suami terpejam, dengan penis masih tertancap erat.
Bahagia sekali aku melihat hal itu. Berhasil kupuaskan dirinya, walau aku
sendiri belum mencapai puncak.
Ketika
suami menarik penisnya, barulah kuangkat tubuhku. Duduk lalu aku diatas meja. Kupeluk
mesra tubuh suamiku. Kami saling tersenyum. Kudaratkan ciuman di dahinya.
“Gimana
Pa, enak?”
Suami
mendaratkan tiga ciuman di bibirku. “Enak banget Ma. Makasi ya.”
“Tapi
kenapa dikeluarin di dalem? Kan udah dibilangin kemarin kalo mama lagi subur.
Kalo ntar jadi gimana?” Kutoel hidung suami, sambil tersenyum.
Suami
balas tersenyum. “Nggak apa-apa deh kalo jadi. Biar ntar papa yang bilangin ke
anak kita kalo dia itu dibikin di atas meja kantor.”
Kutepuk
bahu suami. Tertawa geli kami berdua setelahnya. Kulirik lalu jam di dinding.
Waktuku tinggal kurang dari satu jam lagi. Kusampaikan hal itu ke suami. Aku
turun dari meja, dan kami kemudian segera berbenah. Kami gunakan tissue basah membersihkan sisa keringat,
pun dengan organ intim masing-masing. Beberapa menit, tampilan kami sudah
kembali rapi. Tersisa sedikit guratan birahi di wajah kami, namun orang-orang
tidak akan menyadarinya.
Tersisa
celana dalam untuk kupakai. Suami dengan usilnya menahan kain mungil itu. Berusaha
Kurebut dari suami. Kembali kami bak sepasang bocah, dimana kali ini terlihat sedang
berebut mainan. Sampai akhirnya berhasil kudapat lagi celana dalamku.
“Loh, kok
celana dalemnya nggak langsung dipake sih?”
“Nggak
ah, ntar aja di mobil. Biar kering dulu kena angin.” Kukerlingkan mataku genit.
Suami
nyengir mendengar itu. Dia lalu mengantar aku keluar ruangan. Digandengnya
tanganku mesra. Saat berpapasan dengan Cindy, aku menoleh dan menaruh telunjuk
di bibir. Gadis itu tersipu melihatnya. Wajahnya merona. Kulempar senyum padanya,
dan lanjut berjalan beriringan dengan suami. Tidak disadari suami kode yang
kuberikan pada Cindy itu. Di depan lift, kuminta suami tidak usah lagi mengantar.
Kuminta dia untuk lanjut saja bekerja. Suami menurut. Kami berciuman, sebelum
aku masuk ke dalam lift.
Keluar
dari lift, kulangkahkan kaki menuju lobi kantor. Kulihat lagi office boy yang tadi kutemui di ruang
tunggu. Dia terlihat sibuk mengepel lantai. Belum sadar dia akan keberadaanku
disana. Timbul niat usilku untuk menggodanya lagi. Maka sengaja kujatuhkan bungkusan
di tanganku. Demikian pula tas jinjingku. Benda-benda plastik dan lainnya pun
berhamburan di lantai. Segera setelah itu aku bersimpuh. Sengaja pula kusertai
dengan seruan, “Aduh..” untuk mendramatisir suasana. Rencanaku berhasil. Office boy itu menoleh, dan tergopoh
mendekatiku.
“Kenapa
Bu? Sini biar saya bantu.” Dia berjongkok, dan membantuku berdiri. Kuucapkan
terima kasih atas bantuannya.
Diluar
dugaan, satpam kantor juga ikut datang mendekat. Sudah terlanjur, maka kulanjutkan
saja niatku. Setelah memastikan aku baik-baik saja, mereka jongkok memunguti
barang-barang. Pada kesempatan itu aku ikut berjongkok. Hanya saja, aku
pura-pura memperbaiki posisi sepatu. Pura-pura pula aku mengecek isi tas
jinjing. Saat jongkok sengaja aku buka kedua paha agak lebar.
“Duh, kunci
mobil saya mana ya..” Kupancing dua laki-laki di depanku. Dan berhasil.
Keduanya menoleh kearahku. Momen itulah keduanya menyadari pahaku yang terbuka.
Mata-mata
di depanku pun kini menatap nanar. Sambil memunguti barang, mereka mencuri-curi
pandang ke arah celah rokku. Entah apa mereka bisa melihat jelas dari posisinya,
yang jelas aku nikmati sekali ekspresi mupeng keduanya. Satpam lebih dulu
berdiri membawa sesuatu di tangan kanannya. Berjalan dia mendekat.
“Ketemu
kunci mobilnya Bu?” tanya Pak Satpam. Berdiri dia didepanku. Dia berucap sambil
menyodorkan lipstik, bedak dan cermin kecil. Keduanya mungkin tadi terlempar
dari tasku.
“Terima
kasih. Belum Pak, ini masih saya cariin di tas,” sahutku sambil masih tetap
jongkok. Kuambil barang-barang yang disodorkan satpam itu. Kumasukkan kembali
ke dalam tas.
Satpam
itu tetap berdiri di depanku. Disana dia melihat aku memeriksa isi tas. Melihat
ke arah tasku atau celah rokku, aku tidak tahu pasti. Sementara si office boy, terlihat sibuk merapikan
kembali bungkus kotak-kotak plastik. Masih sambil mencuri pandang, tentunya. Tidak
lama, dia juga mendekati aku. Dia bilang sudah merapikan barang-barangku. Kuucapkan
terima kasih. Ikut dia berdiri didepanku. Sementara aku masih sibuk dengan tas
jinjingku. Inilah enaknya menjadi istri atasan. Anak buah suami tidak akan berani
‘macam-macam’ dengan kita, walau mungkin saja mereka ingin melakukannya.
Sebenarnya
kunci mobilku ada dalam tas. Aku hanya berpura-pura mengaduk isinya. Kubiarkan dulu
dua laki-laki di depanku memuaskan mata mereka. Aku jadi terangsang oleh aksiku
sendiri. Dipelototi oleh dua laki-laki seperti itu memicu birahiku. Ditambah
dua pahaku yang bergesekan saat jongkok, kian menambah sensasi yang ada. Sadarkah
mereka kalau aku sedang tidak ber-celana dalam? Penasaran aku dalam hati.
Namun, tidak perlu kucari tahu jawabannya. Biarlah itu tetap menjadi misteri. Terlihat
dari ekspresi keduanya, sepertinya mereka sadar ada yang ‘aneh’ dengan isi
rokku.
“Oh, ini ketemu
Pak..” Langsung aku berdiri. Keduanya terlihat kaget. Tidak disangka aku akan
berteriak mendadak seperti itu. Keduanya lalu terlihat kikuk. Namun, itu tidak
berlangsung lama.
Keduanya
kembali bisa menguasai diri, walau raut wajah mereka tidak bisa menipu.
Tersenyum geli aku dalam hati. Apalagi saat kulirik gundukan di celana mereka,
semakin aku merasa geli. Aksiku berakhir. Kuajak mereka ngobrol guna menenangkan kembali situasi. Setelahnya, satpam itu
menawarkan diri membawa barangku ke mobil. Kuterima tawaran itu. Sedangkan si office boy melanjutkan pekerjaannya.
Selesai memasukkan barang ke bagasi, satpam itu berpamitan.
Di dalam
mobil, kuingat lagi sensasi yang melandaku tadi. Hal itu membuat diriku
berdesir lagi. Kusentuh payudara dengan tangan kiri. Sedang tangan kanan masuk
ke dalam rok. Kurasakan di bawah sana basah lagi. Kuambil tissue basah. Kulap satu-satu jari tanganku. Setelahnya, kuraba lagi
vaginaku. Kali ini kumasukkan dua jari ke dalam. Jari tengah dan jari telunjuk.
Kutusuk sekali, dua kali, dan seterusnya. Kubuka kedua kakiku lebar-lebar. Mulailah
aku bermasturbasi. Ingin kucapai puncak kenikmatan yang tadi belum kurasa. Ingin
kupejamkan mata, namun tidak bisa kulakukan. Kaca mobilku tidak terlalu gelap.
Demikian pula banyaknya orang yang berlalu lalang, membuat aku harus tetap
waspada. Akhirnya kupincingkan saja mataku.
“Ssshh..
ooohh.. ssshhh.. ooohh..” Aku mendesah dan melenguh sendirian.
Sensasi
memamerkan diri tadi, membuat aku teringat satpam dan office boy barusan. Terbayang kini mereka-lah yang sedang menyetubuhiku.
Entah kenapa khayalanku bisa segila itu. Biasanya laki-laki bayanganku adalah
sosok yang elit dan keren, bukan rendahan seperti mereka. Namun, hari itu terasa
benar-benar berbeda. Terus kumainkan jari-jariku dibawah sana. Sampai akhirnya aku
sampai di puncak kenikmatan. Nafasku menderu hebat. Tangan kananku sampai basah
oleh cairan kewanitaan. Kuambil lagi tissue
basah, lalu kubersihkan semuanya.
Kutenangkan
diri sejenak, sebelum kuambil celana dalam dari saku blazer. Kutimang-timang sesaat
sambil berpikir. Tidak lama, kumasukkan lagi kain mungil itu. Kulihat pantulan
wajahku di kaca spion. “Sejam lagi nggak pake daleman,
nggak bakal apa-apa kan?” ucapku pada diri sendiri. Malah mungkin bisa kurasakan sensasi sensual nikmat lainnya. Satu jam itu waktu yang cukup lama. Tersungging
senyuman nakal di bibirku.
Kupakai
sabuk pengaman, dan melaju meninggalkan parkiran. Bra yang tadi sempat terpasang,
kini tergolek pasrah di jok sebelah.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar