Selasa, 24 Mei 2016

Kejutan Siang


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Mobilku akhirnya bisa terparkir rapi. Dua kali berputar baru kutemukan tempat kosong. Siang itu sengaja aku keliling memakai mobil pribadi. Usai menemui tiga nasabah, aku mampir ke kantor suami. Itulah alasanku kenapa tidak mengajak sopir kantor. Suami tidak tahu kedatanganku. Hari itu hari ulang tahun pernikahan kami. Sebagai kejutan kusiapkan makanan favoritnya. Mengantar  makanan itu sendiri pasti akan terasa spesial, pikirku.
Di pintu depan lobi aku disambut oleh satpam. Dia tersenyum padaku. “Eh Ibu Dita, tumben nih main kesini,” ucapnya ramah.
“Iya Pak, mau ngecek suami nih.”
“Aduh, pake dicekin segala sih Bu. Sudah saya jaga baik-baik kok Pak Hendra-nya biar nggak nakal di kantor.”
Tertawa kecil aku mendengarnya. Setelah basa-basi singkat, aku dipersilakan masuk. Kupastikan pada satpam agar tidak memberitahu kedatanganku. Kukatakan padanya kejutan buat suami. Dia pun menyatakan siap, sambil memberi hormat ala militer. Kembali aku tertawa.
Aku kemudian masuk ke dalam lift, menuju lantai tiga. Disana aku disambut ramah oleh Cindy, sekretaris suamiku. Parasnya cantik. Sering kugoda suamiku soal sekretarisnya itu. Suami hanya menanggapi sambil tersenyum. “Yang di rumah jauh lebih cantik kok,” itulah jawaban dia setiap kali kugoda. Membuat hatiku berbunga. Aku percaya memang tidak ada apa-apa antara mereka.
“Ibu Dita. Apa kabar Bu?” Cindy berdiri dari kursinya. Menyambutku sopan.
“Baik.” sahutku sambil tersenyum.
Kukatakan padanya kedatanganku untuk bertemu suami. Namun menurut Cindy suamiku sedang meeting. Sebelumnya dia meminta maaf padaku. Katanya tadi suamiku berpesan kalau ada tamu diminta menunggu. Kukatakan tidak apa-apa, aku tidak keberatan menunggu. Diantarnya lalu aku menuju ruang tunggu. Tidak lama, Cindy datang lagi membawa sebotol air mineral. Terima kasih kuucapkan padanya. Dia kemudian pamit kembali ke mejanya.
Sambil menunggu, kubalas pesan media sosial dan email yang masuk ke ponsel. Beberapa pesan penting, sisanya hanya basa-basi dari rekan dan klien. Sekedar menanyakan kabar, sampai ajakan makan siang. Ada pula yang terang-terangan mengajak affair. Masih kuanggap wajar, mengingat sebagian besar klienku berusia paruh baya lebih. Masa-masa puber kedua bagi kebanyakan laki-laki. Berusaha kutanggapi, ataupun kutolak sesopan mungkin. Berikutnya, aku isi waktu dengan membaca bahan bacaan yang tersedia di meja.
Cukup lama aku larut membaca. Saat mengalihkan mata dari majalah, baru kusadari kehadiran seseorang. Dia ada diluar ruangan. Jongkok dibalik kaca, tepat di depanku. Setelah kuperhatikan, ternyata itu office boy yang sedang mengelap kaca. Sering kulihat sosoknya saat datang ke kantor suami. Hanya saja, aku tidak tahu namanya. Kata suami dia pegawai paling tua disana. Sebentar lagi akan memasuki usia pensiun. Dia berstatus duda. Tinggal sendirian di salah satu rusun dekat kantor, kalau aku tidak salah ingat. Kulihat orangnya ramah dan baik. Setiap kali melihatku pasti dia melempar senyum. Kudengar sih dia juga rajin mengerjakan tugasnya.
Entah berapa lama dia sudah ada disana. Ketika itu pula kusadari posisi dudukku yang terbuka. Menimbulkan celah di ujung rok. Celah yang cukup lebar antara dua pahaku. Pantas dia berlama-lama menggosok kaca disana. Ada ‘tontonan’ indah tersaji didepannya. Yaitu, isi dalam rokku.
Ingin kuperbaiki posisi dudukku, tapi kubatalkan. Ingin aku bermain-main sebentar dengan laki-laki itu. Ingin kucari tahu apa dia tipe tua-tua keladi, atau bukan. Kembali kualihkan pandangan ke majalah yang kupegang. Kali ini hanya pura-pura membaca, sambil memainkan kedua kaki. Kubiarkan ujung rok spanku terangkat karenanya. Celah yang ada pun jadi makin lebar. Kulirik dia jadi mulai gelisah. Artinya ‘tontonan’ yang kuberikan sudah makin jelas. Entah apa yang sedang dinikmatinya saat itu. Betis, paha, lutut atau kain penutup kelaminku. Makin dia gelisah, makin aku menikmatinya. Ternyata laki-laki seusia dia, birahinya masih saja tinggi.
Terus kumainkan bergantian kakiku. Kubuat seolah kulakukan itu tanpa sengaja. Terasa desiran disekujur tubuhku. Kunikmati sekali sensasi yang kini melanda. Tidak sedasyat saat melakukan petting atau bersetubuh, namun cukup kuat memicu birahi. Oh, rupanya aku memang memiliki bibit eksibisionis. Beruntung Cindy muncul, sebelum aku benar-benar larut dalam sensasi itu.
“Maaf Bu Dita, Pak Hendra sudah selesai meeting. Sekarang sudah di ruangan.”
Kutarik nafas sebelum menjawab. Semoga wajahku tidak memerah saat itu. “Makasi Cin, kamu nggak bilang kalo saya nunggu disini kan?”
Cindy tersenyum, lalu mengangguk pelan. Dia memang sempat kuberitahu agar merahasiakan kedatanganku. Kemudian aku berdiri dari sofa. Kulihat laki-laki itu sudah tidak ada lagi di balik kaca. Kuikuti langkah Cindy keluar ruangan. Di luar, ternyata kami berpapasan dengan si office boy. Dia memalingkan wajahnya, mungkin karena merasa malu. Seandainya saja dia tahu sensasi yang tadi kurasakan, harusnya aku berhutang padanya. Tapi tidak apa-apa, toh sudah kuberikan dia bahan untuk berfantasi.
Di depan ruangan suami, kuketuk pintu. Terdengar seruan dari dalam agar aku masuk. Perlahan kubuka pintu. Suami mendongak dan terkejut melihat kedatanganku. Kulempar senyuman, dan dia langsung berdiri dari kursinya.
Surprise!” seruku pelan.
“Mama?” Suami melangkah mendekat. “Mimpi apa nih kok tiba-tiba papa didatengin bidadari?” Dipeluknya aku, lalu mendaratkan ciuman di kening dan bibir. Aku sendiri jadi tersipu.
Kami melangkah masuk, setelah suami menutup pintu. Kami berdua lalu duduk di sofa. Di atas meja, kuletakkan bungkusan berisi lima kotak makan plastik.
“Nganterin makan siang nih buat papa. Hayo, inget nggak hari ini hari apa?”
Dahi suamiku berkerut. Mencoba mengingat. Mencoba menemukan jawaban dari pertanyaanku. Tersenyum aku melihat ekspresinya. Aku tahu seberapa pun dia berusaha, tidak akan berguna. Tahu benar aku dengan karakter suami. Dia ahli dalam mengingat deretan angka, namun tidak dengan tanggal. Maka kudekati dia dan kucium bibirnya.
“Selamat hari ulang tahun pernikahan..” ucapku mesra.
Kerutan di dahi suamiku menghilang. Dia tersipu. “Ya ampun, papa lupa banget loh. Maaf ya.”
Kembali kucium bibirnya. “Udah tahu papa pasti lupa, makanya mama ngingetin. Udah segini lamanya nikah masih sayang kan sama mama?”
Suami terbahak. Dipegangnya kedua tanganku. “Masih dong. Makin sayang malah.”
Kemudian kubuka bungkusan diatas meja. Satu persatu kubuka kotak makan itu. Isinya ketupat, ayam suwir bumbu kecap, sayur kuah isi tahu, buah pepaya, dan kue brownies. Kukeluarkan juga gelas plastik berisi mix juice. Tersenyum suami melihat semua makanan itu. Dia terlihat girang. Makin girang dia saat mulai kusuapi. Suami pun makan dengan lahap. Beberapa kali, gantian dia yang menyuapi aku. Kembali kami pada romansa masa pacaran.
“Buat dessert papa mau yang ini, apa yang ini?”
Kusodori suami sepotong kue brownies, sebagai alternatif pertama. Dan kudaratkan french kiss di bibirnya, sebagai alternatif kedua. Dia tersenyum lebar. Dengan mantap dia memilih alternatif dua. Maka kami pun melakukan french kiss. Kali ini lengkap dengan pagutan, dan sapuan lidah yang panas. Cukup lama bibir dan lidah kami beradu.
“Sekarang mama tutup mata deh, papa juga punya kejutan buat mama.”
Giliran kini dahiku yang berkerut. Akhirnya kuturuti kemauannya. Kututup mata setelah suami terus memaksa. Beberapa saat, dia memintaku membuka mata kembali. Di depanku kulihat dia memegang sebuah kotak kecil. Sungguh aku kaget. Apa lagi saat dibilangnya itu hadiah ulang tahun pernikahan kami. Ternyata tadi dia hanya akting pura-pura lupa. Disodorkannya kepadaku, dan minta aku untuk membukanya. Saat terbuka kutemukan sepasang anting-anting dan sebuah kalung. Keduanya berbahan emas. Terharu aku melihatnya. Bukan karena nilai dari hadiah itu, namun karena suami mengingat kebersamaan kami.
“Makasi banget ya Pa, bagus banget loh.”
Suami memintaku untuk langsung memakainya. Sempat kutolak, namun dia memaksa. Kulepas anting-anting di telinga dan menggantinya. Kuganti pula kalung yang kupakai. Melihat itu suami berseru kalau aku cocok memakainya. Membuat kulit wajahku semakin berbinar. Kubalas seruan itu dengan ucapan gombal. Dibalasnya lagi dengan tawa. Didaratkan lalu ciuman di keningku.
“Pa, mama nggak nyiapin hadiah apa-apa nih buat papa.” Aku cemberut.
Dia malah menyambut dengan senyuman. “Lah, ini di dalem perut papa ini bukan hadiah?”
“Tapi kan..” Kata-kataku terhenti, saat suami meletakkan telunjuknya dibibirku.
“Kalo mama mau ngasi papa hadiah, ntar pulang kantor mama mandi terus pake lingerie paling seksi. Jangan lupa pake pita di kepala. Nah, tungguin deh papa di kamar. Itu udah hadiah paling wah buat papa, apalagi bisa sampe subuh.”
Tidak kuasa kutahan tawa mendengarnya. Suamiku ikut tertawa. Lalu kupeluk suamiku. Bahagia sekali aku bisa menjadi istrinya. Tiba-tiba saja terlintas sebuah ide nakal di kepalaku. Kubisikan ide itu ditelinga suami. “Kalo mau ‘gituan’ kenapa nunggu nanti. Sekarang aja..”
“Se-serius Ma?” tanya suamiku terkaget.
“Serius dong.” Aku mengerling nakal, lalu berdiri dari sofa.
Di depan suami, kubuka blazer sambil bergaya bagai penari striptis. Kulempar ke sofa. Lanjut kuangkat naik ujung rokku, dan memasukkan dua tangan ke dalam. Tidak lama, celana dalamku meluncur turun. Dari paha, menuju lutut, betis, dan akhirnya terlepas. Kulempar kain mungil itu ke arah suami. Ditangkapnya lalu dia tersenyum. Terhibur dia oleh aksiku itu.
Berjongkok kemudian aku di depan suami. Perlahan kubuka kaitan sabuk, menyusul kaitan dan resteling celananya. Senyum suami makin lebar mengikuti aksiku. Dia membantu mengangkat posisi duduk saat kutarik turun celananya. Dia tahu pasti apa yang akan kulakukan.
“Pintunya nggak dikunci dulu?” tanyaku, bersamaan menarik turun boxer suami.
“Nggak ada yang bakal berani masuk kok. Tenang aja Ma.”
Mendengar itu kulanjutkan aksiku. Penis suami mengacung di depanku. Kumasukkan ke dalam mulut dan mulai mengulum. Perlahan batang itu mengeras dimulutku. Dia mengelus rambutku sambil menikmati sensasi dibawah sana. Sudah lama tidak kuberikan dia servis oral. Bukannya aku tidak mau, namun lebih ke tidak sempat. Setiap memulai sesi bercinta biasanya birahi kami sudah menggelora sebelumnya. Dengan begitu, hidangan utama menjadi jauh lebih menggiurkan ketimbang hidangan pembuka. Apalagi saat sudah hardir anak dalam pernikahan. Durasi bercinta yang kami miliki tidak lagi lama. Kami harus belajar menikmati kualitas ketimbang kuantitas.
“Ssshh.. Ssshh.. Ssshh..” Suami mendesis pelan.
Cepat sekali penis suami mencapai titik maksimal. Dia memintaku berhenti mengulum. Agaknya dia tidak ingin mencapai klimaks terlalu dini. Suami menyuruh aku berdiri. Didepannya, suami memintaku menaruh satu kaki di sofa. Ujung rokku diangkatnya tinggi-tinggi. Dipagutnya lalu bibir vaginaku, seperti sedang melakukan french kiss. Lidah suami menari-nari lincah di lubang vaginaku. Kakiku langsung terasa lunglai. Andai saja suami tidak memegangiku, mungkin aku akan terjatuh. Giliran aku yang mendesis karena geli. Perlahan cairan kewanitaanku terpicu. Aku sudah basah. Aku siap disetubuhi.
Sadar kami sudah sama-sama siap, suami menghentikan permainan lidahnya. Ketika dia hendak berdiri, aku menahannya. Bersiap aku untuk mengambil posisi woman on top. Suami membaca pikiranku. Dia tetap duduk di sofa. Pasif dia menunggu apa yang ingin kulakukan. Setelahnya, aku duduk di pangkuan suami. Kugenggam batang penis suami, dan mengatur posisinya tepat di bibir vaginaku. Perlahan kuturunkan pantat, sampai penisnya menancap pas. Suami melenguh pelan. Lenguhan kembali terdengar saat mulai kugoyangkan pinggul.
“Aaahh.. aaahh.. aaahh..” Bergantian desahan berbisik keluar dari mulut kami.
Kupegangi pundak suami sebagai tumpuan goyangan. Seiring goyanganku, suami membuka satu persatu kancing blusku. Sepertinya dia berniat mengincar payudaraku. Kubiarkan saja dan tetap fokus pada goyangan pinggulku. Tidak lama, tangan suami sudah meremasi kedua payudaraku. Kaitan braku terlepas dalam waktu singkat. Suami memang ahli dalam hal lepas melepas. Dalam posisi itu, sesekali kami saling bertukar cium dan senyum.
“Aaahh.. aaahh.. aaahh..”
Kami terus berusaha menahan desahan. Kami tahu dinding ruangan tidak akan mampu meredam suara kami. Masih dalam posisi aku diatas, suami berbisik di telingaku. Dia bilang mau mencoba posisi di bokep yang terakhir kami tonton. Dia ingin menyetubuhiku di atas meja kerjanya. Geli aku mendengarnya. Kuanggukan kepala tanda setuju. Bibir suami pun langsung tersenyum lebar.
Berdiri aku dari pangkuannya. Kutarik kemudian dasinya pelan. Lagi-lagi suami tersenyum, dan beranjak berdiri. Diikutinya tarikanku menuju meja kerjanya.
“Ih Bapak genit banget sih. Bapak mau ngentotin saya diatas sana?” Kutunjuk meja kerja suami. Berlagak aku layaknya seorang sekretaris nakal. Kauajak suami bermain peran.
Suami langsung mengerti maksudku. “Iya nih, abis kamu seksi banget sih. Bikin Bapak nafsu.”
Ketika suami hendak memeluk, aku berkelit menghindar. Kurapikan ujung rok, sebelum berlari menjauh dari suami sambil tertawa kecil. Suami berusaha mengejar, namun pakaian bawah yang masih menyangkut menghalangi. Bergegas dia menarik lepas sepatu, berikut celana dan boxer-nya. Setelah itu, baru kembali dia mengejarku. Kami pun berlarian ke sekeliling ruangan, sambil tertawa-tawa. Kami berdua terlihat seperti sepasang bocah yang sedang main kejar-kejaran.
Sampai akhirnya suami berhasil menangkapku. Dibawanya aku menuju ke sudut ruangan. Kini aku terjepit antara dinding dan tubuhnya. Dihujaninya lalu aku dengan ciuman. Aku tertawa geli, karena beberapa kali ciumannya mengenai titik sensitifku.
“Ampun Pak, ampun.. Geli Pak, geli..” rajukku sambil bergelinjang menahan geli. Masih kuajak suami bermain peran.
“Nakal banget ya kamu, ngajakin bos main kejar-kejaran. Kamu musti dihukum nih..” sahutnya. Usai berucap demikian, suami menggendongku. Dibopongnya aku menuju ke meja kerja.
Dengan tangan suami menyapu setengah permukaan meja. Benda-benda yang semula ada disana, berjatuhan ke lantai. Untungnya lantai dilapisi karpet, sehingga bisa meredam suara yang timbul. Diduduknya lalu aku di atas sana. Suami menyeringai lebar.
“Hayo, mau lari kemana lagi sekarang?” Tertawa lirih dia kemudian.
Tawa kecil terus saja keluar dari mulutku. “Ampun Pak, jangan hukum saya..” ucapku memelas. Masih dalam konteks bermain peran, tentunya.
“Oh nggak bisa, kamu musti dihukum berat,” suami tertawa lagi.
Berikutnya, suami langsung membuka lebar kedua kakiku. Diangkatnya naik ujung rok spanku. Dan tanpa ba-bi-bu dihujamkan penisnya ke dalam. Aku melenguh panjang. Syukurnya mampu kutahan lenguhan itu keluar tidak terlalu keras. Hujaman kasar pun menghujani vaginaku. Suami terlihat begitu bergairah. Niatku memancingnya dengan bermain peran berhasil. Dia benar-benar menghayati perannya. Peran sebagai bos yang menyetubuhi sekretarisnya. Memang menghayati peran atau sabagai pemuasan fantasi seks? Entahlah. Yang jelas, kunikmati sekali persetubuhan hari itu. Nikmat sekali rasanya. Kerebahkan pasrah tubuhku di atas meja.
“Aaahh.. aaahh.. aaahh..”
Ditengah genjotan suami, tidak sengaja aku menoleh ke arah pintu. Bersamaan dengan itu, pintu ruangan terbuka. Kulihat kepala Cindy mendongak sedikit ke dalam. Terkagetlah dia dengan apa yang dilihatnya. Buru-buru ditutupnya kembali pintu. Tersenyum aku melihatnya. Suamiku sama sekali tidak menyadari kejadian itu. Posisinya sedang membelakangi pintu. Tetap saja dia dengan semangat menghujamkan penisnya. Tetap sibuk dia menikmati jepitan vaginaku.
“Ssshh.. ssshh.. ssshh..” Kugigit bibirku. Kucoba untuk tidak berteriak. Genjotan suami terasa kian kencang. Dan terus makin mengencang. Kupegang pula ujung meja sekuat-kuatnya. Sampai akhirnya terdengar desahan panjang suami. “AAAHH..!!”
Semburan hangat meluncur deras di dalam sana. Kubiarkan saja berlangsung sampai semburan terakhir. Suami memenuhi rahimku dengan benihnya. Bisa kulihat guratan kepuasan luar biasa di wajahnya. Mata suami terpejam, dengan penis masih tertancap erat. Bahagia sekali aku melihat hal itu. Berhasil kupuaskan dirinya, walau aku sendiri belum mencapai puncak.
Ketika suami menarik penisnya, barulah kuangkat tubuhku. Duduk lalu aku diatas meja. Kupeluk mesra tubuh suamiku. Kami saling tersenyum. Kudaratkan ciuman di dahinya.
“Gimana Pa, enak?”
Suami mendaratkan tiga ciuman di bibirku. “Enak banget Ma. Makasi ya.”
“Tapi kenapa dikeluarin di dalem? Kan udah dibilangin kemarin kalo mama lagi subur. Kalo ntar jadi gimana?” Kutoel hidung suami, sambil tersenyum.
Suami balas tersenyum. “Nggak apa-apa deh kalo jadi. Biar ntar papa yang bilangin ke anak kita kalo dia itu dibikin di atas meja kantor.”
Kutepuk bahu suami. Tertawa geli kami berdua setelahnya. Kulirik lalu jam di dinding. Waktuku tinggal kurang dari satu jam lagi. Kusampaikan hal itu ke suami. Aku turun dari meja, dan kami kemudian segera berbenah. Kami gunakan tissue basah membersihkan sisa keringat, pun dengan organ intim masing-masing. Beberapa menit, tampilan kami sudah kembali rapi. Tersisa sedikit guratan birahi di wajah kami, namun orang-orang tidak akan menyadarinya.
Tersisa celana dalam untuk kupakai. Suami dengan usilnya menahan kain mungil itu. Berusaha Kurebut dari suami. Kembali kami bak sepasang bocah, dimana kali ini terlihat sedang berebut mainan. Sampai akhirnya berhasil kudapat lagi celana dalamku.
“Loh, kok celana dalemnya nggak langsung dipake sih?”
“Nggak ah, ntar aja di mobil. Biar kering dulu kena angin.” Kukerlingkan mataku genit.
Suami nyengir mendengar itu. Dia lalu mengantar aku keluar ruangan. Digandengnya tanganku mesra. Saat berpapasan dengan Cindy, aku menoleh dan menaruh telunjuk di bibir. Gadis itu tersipu melihatnya. Wajahnya merona. Kulempar senyum padanya, dan lanjut berjalan beriringan dengan suami. Tidak disadari suami kode yang kuberikan pada Cindy itu. Di depan lift, kuminta suami tidak usah lagi mengantar. Kuminta dia untuk lanjut saja bekerja. Suami menurut. Kami berciuman, sebelum aku masuk ke dalam lift.
Keluar dari lift, kulangkahkan kaki menuju lobi kantor. Kulihat lagi office boy yang tadi kutemui di ruang tunggu. Dia terlihat sibuk mengepel lantai. Belum sadar dia akan keberadaanku disana. Timbul niat usilku untuk menggodanya lagi. Maka sengaja kujatuhkan bungkusan di tanganku. Demikian pula tas jinjingku. Benda-benda plastik dan lainnya pun berhamburan di lantai. Segera setelah itu aku bersimpuh. Sengaja pula kusertai dengan seruan, “Aduh..” untuk mendramatisir suasana. Rencanaku berhasil. Office boy itu menoleh, dan tergopoh mendekatiku.
“Kenapa Bu? Sini biar saya bantu.” Dia berjongkok, dan membantuku berdiri. Kuucapkan terima kasih atas bantuannya.
Diluar dugaan, satpam kantor juga ikut datang mendekat. Sudah terlanjur, maka kulanjutkan saja niatku. Setelah memastikan aku baik-baik saja, mereka jongkok memunguti barang-barang. Pada kesempatan itu aku ikut berjongkok. Hanya saja, aku pura-pura memperbaiki posisi sepatu. Pura-pura pula aku mengecek isi tas jinjing. Saat jongkok sengaja aku buka kedua paha agak lebar.
“Duh, kunci mobil saya mana ya..” Kupancing dua laki-laki di depanku. Dan berhasil. Keduanya menoleh kearahku. Momen itulah keduanya menyadari pahaku yang terbuka.
Mata-mata di depanku pun kini menatap nanar. Sambil memunguti barang, mereka mencuri-curi pandang ke arah celah rokku. Entah apa mereka bisa melihat jelas dari posisinya, yang jelas aku nikmati sekali ekspresi mupeng keduanya. Satpam lebih dulu berdiri membawa sesuatu di tangan kanannya. Berjalan dia mendekat.
“Ketemu kunci mobilnya Bu?” tanya Pak Satpam. Berdiri dia didepanku. Dia berucap sambil menyodorkan lipstik, bedak dan cermin kecil. Keduanya mungkin tadi terlempar dari tasku.
“Terima kasih. Belum Pak, ini masih saya cariin di tas,” sahutku sambil masih tetap jongkok. Kuambil barang-barang yang disodorkan satpam itu. Kumasukkan kembali ke dalam tas.
Satpam itu tetap berdiri di depanku. Disana dia melihat aku memeriksa isi tas. Melihat ke arah tasku atau celah rokku, aku tidak tahu pasti. Sementara si office boy, terlihat sibuk merapikan kembali bungkus kotak-kotak plastik. Masih sambil mencuri pandang, tentunya. Tidak lama, dia juga mendekati aku. Dia bilang sudah merapikan barang-barangku. Kuucapkan terima kasih. Ikut dia berdiri didepanku. Sementara aku masih sibuk dengan tas jinjingku. Inilah enaknya menjadi istri atasan. Anak buah suami tidak akan berani ‘macam-macam’ dengan kita, walau mungkin saja mereka ingin melakukannya.
Sebenarnya kunci mobilku ada dalam tas. Aku hanya berpura-pura mengaduk isinya. Kubiarkan dulu dua laki-laki di depanku memuaskan mata mereka. Aku jadi terangsang oleh aksiku sendiri. Dipelototi oleh dua laki-laki seperti itu memicu birahiku. Ditambah dua pahaku yang bergesekan saat jongkok, kian menambah sensasi yang ada. Sadarkah mereka kalau aku sedang tidak ber-celana dalam? Penasaran aku dalam hati. Namun, tidak perlu kucari tahu jawabannya. Biarlah itu tetap menjadi misteri. Terlihat dari ekspresi keduanya, sepertinya mereka sadar ada yang ‘aneh’ dengan isi rokku.
“Oh, ini ketemu Pak..” Langsung aku berdiri. Keduanya terlihat kaget. Tidak disangka aku akan berteriak mendadak seperti itu. Keduanya lalu terlihat kikuk. Namun, itu tidak berlangsung lama.
Keduanya kembali bisa menguasai diri, walau raut wajah mereka tidak bisa menipu. Tersenyum geli aku dalam hati. Apalagi saat kulirik gundukan di celana mereka, semakin aku merasa geli. Aksiku berakhir. Kuajak mereka ngobrol guna menenangkan kembali situasi. Setelahnya, satpam itu menawarkan diri membawa barangku ke mobil. Kuterima tawaran itu. Sedangkan si office boy melanjutkan pekerjaannya. Selesai memasukkan barang ke bagasi, satpam itu berpamitan.
Di dalam mobil, kuingat lagi sensasi yang melandaku tadi. Hal itu membuat diriku berdesir lagi. Kusentuh payudara dengan tangan kiri. Sedang tangan kanan masuk ke dalam rok. Kurasakan di bawah sana basah lagi. Kuambil tissue basah. Kulap satu-satu jari tanganku. Setelahnya, kuraba lagi vaginaku. Kali ini kumasukkan dua jari ke dalam. Jari tengah dan jari telunjuk. Kutusuk sekali, dua kali, dan seterusnya. Kubuka kedua kakiku lebar-lebar. Mulailah aku bermasturbasi. Ingin kucapai puncak kenikmatan yang tadi belum kurasa. Ingin kupejamkan mata, namun tidak bisa kulakukan. Kaca mobilku tidak terlalu gelap. Demikian pula banyaknya orang yang berlalu lalang, membuat aku harus tetap waspada. Akhirnya kupincingkan saja mataku.
“Ssshh.. ooohh.. ssshhh.. ooohh..” Aku mendesah dan melenguh sendirian.
Sensasi memamerkan diri tadi, membuat aku teringat satpam dan office boy barusan. Terbayang kini mereka-lah yang sedang menyetubuhiku. Entah kenapa khayalanku bisa segila itu. Biasanya laki-laki bayanganku adalah sosok yang elit dan keren, bukan rendahan seperti mereka. Namun, hari itu terasa benar-benar berbeda. Terus kumainkan jari-jariku dibawah sana. Sampai akhirnya aku sampai di puncak kenikmatan. Nafasku menderu hebat. Tangan kananku sampai basah oleh cairan kewanitaan. Kuambil lagi tissue basah, lalu kubersihkan semuanya.
Kutenangkan diri sejenak, sebelum kuambil celana dalam dari saku blazer. Kutimang-timang sesaat sambil berpikir. Tidak lama, kumasukkan lagi kain mungil itu. Kulihat pantulan wajahku di kaca spion. “Sejam lagi nggak pake daleman, nggak bakal apa-apa kan?” ucapku pada diri sendiri. Malah mungkin bisa kurasakan sensasi sensual nikmat lainnya. Satu jam itu waktu yang cukup lama. Tersungging senyuman nakal di bibirku.
Kupakai sabuk pengaman, dan melaju meninggalkan parkiran. Bra yang tadi sempat terpasang, kini tergolek pasrah di jok sebelah.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar