Selasa, 28 Februari 2017

Istri Sehari


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Hari itu jam kerjaku harus berakhir agak panjang. Sesuatu hal yang biasa terjadi menjelang akhir bulan. Banyak laporan dan pembukuan yang harus diselesaikan. Tentunya bekerja lembur tidak aku lakukan sendirian. Aku bersama tim manajerial lain, ditambah beberapa pegawai junior untuk membantu. Kami baru selesai menjelang pukul sembilan malam.
“Pulang sendirian Dit?”
Mendengar itu, aku yang sedang merapikan berkas menoleh. Rupanya salah satu dari manager mendekatku. Namanya Pak Darmono, salah satu manager keuangan senior yang ada di kantor.
“Iya nih Pak.” Kujawab sambil melemparkan senyuman.
“Mau ikut hang out nggak? Kita mau nongkrong di tempat biasa dulu nih.”
Pasti yang dimaksud night club tempat langganan kami. Sebulan sekali pegawai kantorku selalu menyempatkan untuk kumpul bareng. Sekedar ngobrol sambil minum-minum ringan. Karaoke juga kadang menjadi jadwal rutin. Tujuannya untuk mempererat kekerabatan. Namun, malam itu aku tidak bisa ikut. Ada kegiatan lain yang harus kulakukan.
“Maaf Pak, kayaknya saya nggak bisa ikut nih.”
Kulihat kekecewaan di wajahnya, namun dia tidak memaksa aku untuk tetap ikut. Harus kuakui kalau managerku itu tertarik padaku. Bisa kulihat dari tatapannya. Kadang dengan nada gurauan dia sering mengajakku jalan. Dua kali kusetujui ajakannya untuk makan siang. Sekedar berusaha untuk tetap sopan. Sisanya kami keluar kantor untuk urusan kerja. Itu pun tidak hanya berdua saja pastinya. Berusaha tetap menjaga prinsip tidak terlibat affair dengan rekan kerja.
Sepeninggal Pak Darmono, ponselku berbunyi. Pesan singkat dari Pak Pram. “Kamu jadi kesini Dit?” Begitulah isinya. Kubalas kalau aku baru saja selesai di kantor, dan segera menuju kesana.
Kemarin aku membuat janji dengan nasabah priotitasku itu. Tahu sendiri dong apa yang terjadi tiap kali aku bertemu Pak Pram. Iya, hampir pasti pertemuan itu akan berakhir dengan seks. Pun demikian dengan malam itu. Hanya saja, malam itu berbeda dengan malam lainnya. Pertemuan kami kali itu tidak hanya sebatas dua sampai tiga jam saja. Pak Pram memintaku untuk menginap di rumahnya. Menjadi penghangat ranjangnya. Menggantikan sang istri yang sedang travelling ke luar negeri. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya.
Kebetulan tiga hari sudah aku juga tidur sendirian. Suamiku sedang dinas keluar kota. Si kecil kebetulan pula minta untuk menginap di rumah mertua. Sebuah kebetulan yang pas. Tentu hal ini tidak kusampaikan kepada Pak Pram. Biarlah dia menganggap aku, seorang istri yang setia, rela meninggalkan suami untuk memuaskan nafsu pria lain. Fantasi seks yang luar biasa bagi seorang pria, pastinya.
Tidak lama aku sudah berada dalam taxi. Di bangku belakang kuhubungi suami. Kusampaikan kalau aku dalam perjalanan menuju rumah Putri, rekan kerjaku. Setahu suami memang aku akan menginap di rumah Putri. Kebohongan yang sudah aku karang dari kemarin. Kebohongan yang sudah kuatur sedemikian rupa. Putri sih menanggapi dengan santai saat kusampaikan ‘skenario’ itu. Bagi Putri, perselingkuhan dan affair bukanlah sesuatu yang asing. Dia hanya menggodaku dengan pesan, “Inget ber-enak doang jangan sampai ber-anak.” Sambil terkekeh pastinya.
“Ya udah, mama hati-hati di jalan yah. Bobo jangan malem-malem.” Demikian pesan suamiku, menutup pembicaraan kami.
Sedikit terbersit rasa bersalah dalam hatiku. Mengingat malam itu aku tidak akan ‘bobo’ sendiri. Namun, sudah kepalang tanggung jadi kulanjutkan saja rencana itu. Sedikit lagi sampai, baru aku ingat kalau tidak membawa stok kondom. Maka kuminta sopir berhenti di depan sebuah mini mart. Cukup ramai juga pembeli yang ada di dalam. Aku berkeliling dulu sambil menunggu kasir sepi. Tengsin dong diliatin beli kondom pakai seragam bank. Kuambil beberapa bungkus roti dan camilan. Kuambil pula bahan spagetti, kebetulan aku memang belum makan malam. Setelah sepi barulah kuambil lima box kondom, dan langsung menuju kasir.
“Langsung lima box Mba? Mau ‘party’ nih ceritanya?” Goda kasir didepanku, sambil memegang kondom yang kubeli. Usianya terlihat masih muda.
Tidak mau kalah, kugoda balik dirinya. “Iya nih, kamu mau ikutan? Nambah satu cowok lagi aku masih kuat kok,” ucapku sambil mengerling.
Mendengar itu kasir muda itu jadi salah tingkah. Teman disebelahnya terlihat terkekeh.
Kutinggalkan kemudian kedua dengan lambaian. Sayangnya mereka kurang ahli menggoda. Aku juga sedang diburu waktu. Kalau saja tidak, kedua kasir muda itu cukup imut dan masuk kriteria untuk aku ‘kerjai’.
***
Taxi sampai di depan rumah Pak Pram. Si tuan rumah sudah menungguku di teras. Kulihat dia tersenyum dan bergegas beranjak. Rumah itu ternyata benar-benar kosong, sampai-sampai Pak Pram sendiri yang membukakan gerbang. Begitu keluar dari taxi, aku langsung disambut dengan pelukan. Sedikit risih sih aku dibuatnya. Meski saat itu lingkungan sekitar tampak sepi, paling tidak ada sopir taxi yang melihat kami.
“Tuh ada yang ngeliatin loh Om,” ucapku sambil menarik wajahku menjauh. Kubuat Pak Pram menyadari kalau sopir taxi memperhatikan kami. Niatnya mengincar bibirku pun batal terwujud.
Pak Pram tersenyum. Sepertinya dia mengerti dengan kekhawatiranku.
“Kalo gitu kita masuk yuk.”
Sehabis membayari ongkos taxi-ku, digiringnya aku masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di ruang tamu, Pak Pram kembali mengulangi niatnya. Kali ini aku tidak menolak. Bibir kami pun berpagutan. Dari pagutan itu bisa kurasakan adanya kerinduan disana. Kubiarkan saja Pak Pram menyalurkan rasa kangennya. Termasuk rasa kangennya pada dua payudaraku. Entah dia benar-benar menikmatinya atau tidak, mengingat cup beha-ku cukup tebal.
“Dit, Om udah nganceng dari tadi nih. Kamu langsung Om ‘masukin’ nggak apa-apa ya?”
Giliran aku yang tersenyum. Tanpa diucapkan pun aku bisa merasakan gundungkan itu. Sedari tadi Pak Pram memang sengaja menggesek-gesekkannya, di perutku. Aku mengangguk sebagai jawaban. Pak Pram kemudian ikut tersenyum. Dengan bergegas ditariknya aku ke sofa. Mengerti dengan kemauannya, berpegangan aku pada sandaran sofa. Berdiri membelakangi Pak Pram, aku ambil posisi setengah nungging. Pantatku mulai terasa diremas-remas. Sengaja aku menggoyang pinggul untuk menggoda dia.
“Nggak buka baju dulu nih Om?”
“Nggak usah, kamu malah makin nafsuin kayak gini. Pasti banyak nasabah kamu yang cuma bisa mimpi ngelakuin apa yang Om lakuin sekarang.”
Walau membelakangi, aku yakin saat itu Pak Pram sedang tersenyum lebar. Senyum penuh rasa bangga. Kemudian terasa rokku terangkat tinggi. Berikutnya kurasakan belaian pada permukaan celana dalamku, tepat di depan lubang vaginaku. Membuatku merinding nikmat, mengingat tiga hari sudah bagian itu tidak disentuh laki-laki. Tidak lama terasa penutup vaginaku itu digeser posisinya, dilanjutkan dengan sapuan lidah. Rupanya dalam keadaan horni berat pun Pak Pram masih gentle. Dia memastikan vaginaku terlumasi sebelum penetrasi.
“Pake kondom dulu yah Om,” aku menoleh saat kurasakan sapuan permukaan penis di vaginaku.
“Yang pertama ini nggak usah ya Dit, Om janji keluar di luar deh.”
Kulihat Pak Pram mengacungkan jari membentuk huruf V. Sudah biasa dengan karakter dirinya, aku pun malas menolak. Kuiyakan saja kemauannya itu.
“Oohh Om...” Aku mendesah pelan. Penisnya masuk ke vaginaku.
Tidak membuang-buang waktu, Pak Pram langsung menggenjotku cepat. Sedikit kelimpungan aku dibuatnya diawal. Pelan-pelan aku mulai bisa menguasai diri, dan menikmati permainan. Kupejamkan mata menikmati sensasi persetubuhan itu. Pelan tapi pasti intensitas genjotan penis itu semakin cepat. Aku selalu menyukai genjotan laki-laki yang sedang dilanda birahi. Rasanya cenderung kasar dan tergesa-gesa. Sebuah sensasi yang lain dari biasanya. Sensasi yang selalu bisa membuatkan terbang melayang, larut dalam kenikmatan.
Menjelang akhir persetubuhan kukulum penis Pak Pram. Sesuatu yang merasa harus kulakukan. Mempercayai lelaki bisa mengontrol ejakulasinya adalah kenistayaan. Apalagi dengan desahan kenikmatan seperti Pak Pram saat itu. Sebagai wanita aku harus melindungi sel telurku, agar tak dibuahi sembarangan sperma. Maka membiarkan dia mengotori wajahku menjadi pilihan terbaik. Yang bersangkutan juga sepertinya tidak keberatan. Pak Pram justru menikmatinya.
“DITAAA... AAKKHH...!!!”
Teriakan itu menjadi pertanda. Kutarik penis itu dari mulutku. Dan cairan kental pun memenuhi wajahku. Disemprotan terakhir, Pak Pram menyodorkan lagi penisnya ke mulutku. Kukulum sekali lagi. Setelah itu, dia cukup gentle membantu membersihkan wajahku dengan tissue basah, sebelum mencucinya di kamar mandi. Dia juga minta maaf kalau tadi terlalu kasar, dan karena spermanya yang kena rambutku sedikit. Aku ucapkan tidak apa-apa. Dia kemudian memelukku dengan mesra.
“Kita langsung berendem yuk, Om siapin deh bathtub-nya.”
Aku mengangguk. Sambil menunggu Pak Pram menyuguhi green tea, dan menyodori kimono. Dia lalu menelanjangi dirinya lebih dahulu. Kutunggu air bathtub penuh, barulah aku menyusul membuka pakaian. Pak Pram menikmati menonton aku menelanjangi diri. Kugoda dia dengan sedikit bergoyang layaknya stripper. Kulihat penisnya langsung mereaksi. Kami pun kemudian masuk ke dalam bathtub bersama-sama. Bathtub itu benar-benar luas, lebih menyerupai jakuzi. Empat orang mungkin muat masuk bersamaan. Gelembung busa sabun, sebotol wine dan lilin aroma terapi, menambah romantis suasana. Sambil berpelukan kami ngobrol. Sesekali obrolan diselipi candaan dan ciuman mesra. Kalau saja ada yang melihat, mungkin mereka akan mengira kami suami istri sungguhan.
Keluar dari bathtub kami bercinta di bawah shower. Kemudian bercinta lagi ranjang. Ranjang dimana Pak Pram dan istrinya biasa tidur. Bercinta lagi di dapur, usai menikmati spagetti untuk makan malam. Lalu bercinta lagi dan lagi. Selanjutnya diatas sofa dan lantai ruang tamu. Praktis selepas berendam tadi kami tidak sempat lagi berpakaian. Semua aktivitas di dalam rumah kami lakukan dalam keadaan bugil, termasuk masak dan makan malam.
Permainan cinta malam itu diakhiri kembali di ranjang. Dua kali aku disetubuhi disana. Sekali aku ada diatas, dan satu kali aku dibawah tindihannya. Dua setengah box kondom kami habiskan malam itu. Sungguh aku dibuat kewalahan oleh Pak Pram. Aku curiga kalau tadi dia minum obat kuat sebelum aku datang. Stamina Pak Pram malam itu begitu menggila. Selepas persetubuhan terakhir kami, aku langsung tertidur. Aku benar-benar kelelahan.
***
Paginya aku terbangun lebih dulu. Aku bangun dalam pelukan Pak Pram. Terasa agak canggung diawal bangun di kamar yang berbeda. Kugeser tubuhku, berusaha keluar dari rangkulan dirinya. Rupanya Pak Pram tidur terlalu pulas. Sampai aku berhasil turun dari ranjang, dia tidak juga terbangun. Kurapikan lagi selimut yang menutupi tubuhnya.
Kusapu pandanganku ke sekeliling kamar. Kulihat interior kamar tersebut sangat tertata. Kulihat pula ada foto Pak Pram bersama istri, dan anak-anak mereka. Lagi-lagi terbersit rasa canggung di dalam diriku. Buru-buru kualihkan pandangan dari sana. Melangkah aku menuju kamar mandi. Aku mencuci muka dan menyegarkan diri. Setelah itu kuambil kaos dan celana pendek dari tas kecil yang kubawa kemarin. Kupakai itu menutupi tubuh polosku, tanpa pakaian dalam. Pikirku toh nanti juga aku akan bercinta lagi. Kurapikan diri kembali sebelum keluar kamar.
Melangkah aku ke dapur. Aku berpikir untuk menyiapkan sarapan. Sebelum itu kutelpon suami, sekedar memastikan dia sudah bangun. Aku tahu kalau hari itu dia ada meeting. Kugoda dia apa disana ada berkenalan dengan klien wanita. Suami bilang ada, sambil menggoda balik apa dia boleh ‘bobo bareng’ sama klien itu. Tidak mau kalah, kugoda lagi dengan bilang boleh saja asal jangan dihamili. Kami tertawa diakhir pembicaraan. Begitu kututup telpon, kurasakan pelukan dari belakang.
“Selamat pagi sayang,” kudengar suara Pak Pram.
Sebuah kecupan mendarat di pipiku. Sejak kemarin Pak Pram memang memanggilku ‘sayang’. Katanya agar lebih menghayati hubungan ‘suami istri’ kami. Aku sih tidak keberatan dengan itu.
Aku menoleh dan tersenyum. “Pagi juga.”
“Kok nggak dibangunin sih?”
“Abis Om bobo-nya nyenyak banget sih.”
Kemudian giliran bibir kami bertemu. Kami berpagutan mesra. Sambil berciuman tangan Pak Pram beraksi kemana-mana. Meremasi dadaku, merabai selangkanganku. Sebuah kebiasaan yang biasa darinya, dan mungkin laki-laki lainnya juga. Dari balik boxer yang dipakainya, aku bisa melihat kalau penis Pak Pram menenang.
“Duduk dulu Om, sarapan dulu,” ucapku sambil menghentikan gerakan Pak Pram. Tangannya berusaha merogoh masuk celana pendekku. Masih terlalu pagi untuk bercinta.
Dia menurut. Di meja makan, kami kemudian sarapan berdua. Bukan makanan berat sih. Hanya roti bakar selai, telur orak-arik, orange juice, dan buah apel potong. Lebih dekat dengan gaya sarapan eropa. Selesai sarapan Pak Pram mengajakku berenang. Berenang telanjang tepatnya. Karena suasana mendukung aku pun tidak keberatan. Dan bisa ditebak apa yang lalu terjadi. Iya, kami bercumbu dan bercinta di pinggir kolam. Waktu itu kami hanya ingin bersenang-senang. Setelah selesai baru kami sadar. Bisa saja tadi ada yang melihat, atau mengintip. Tembok rumah Pak Pram memang tinggi sih, namun rumah di kanan dan kiri tidak kalah tinggi. Whatever, toh aku bangga dengan tubuhku sendiri.
Keluar dari kolam, kami membilas tubuh bersama-sama. Kembali kami saling cumbu di bawah pancuran. Bercinta lagi tepatnya. Gairah Pak Pram benar-benar bak pengantin baru. Terakhir kali aku mengalami seks sehebat ini ketika masa bulan madu. Satu minggu aku dan suami habiskan dengan seks, seks, dan seks. Padahal sebelum nikah, seks bukanlah hal yang asing bagi aku dan suami. Namun, kami tetap saja larut dalam suasana romantis pasca pernikahan.
“Pakai yang ini aja,” Pak Pram menyodorkan kemeja miliknya yang berwarna putih. Di kamar dia minta aku memakai itu. Hanya kemeja itu. “Nggak usah pakai daleman, kamu masih disini sampai sore kan?” Dia nyengir.
Aku hanya tersenyum. Kuikuti saja kemauan Pak Pram. Keberadaanku disini kan memang untuk melayani dia. Masih banyak menunggu klien-klien baru lainnya. Koneksi Pak Pram memang luar biasa luas. Dari kalangan pengusaha, sampai para penguasa. Hubungan baik dengan ‘nasabah prioritas’ tentu harus dijaga. Maka kupakai kemeja itu. Bahan yang tipis membuat apa yang ada dibaliknya menerawang jelas. Tubuh sintalku, tepatnya. Cukup risih aku dengan penampilanku itu. Maka aku minta ‘keringanan’ pada Pak Pram. Paling tidak agar diijinkan pakai celana dalam. Sempat berdebat, akhirnya permintaan itu dikabulkan. Pak Pram sendiri memilih memakai kaos gombrong dan celana pendek, tanpa boxer.
“Ting-tong, ting-tong...” Terdengar suara bel.
Pak Pram permisi pergi membuka pintu. Kurapikan penampilan selepas kepergiannya. Sayup-sayup lalu kudengar suara obrolan. Terdengar suara laki-laki lain selain suara Pak Pram. Aku intip keluar dari celah pintu. Pak Pram terlihat sedang berbincang dengan dua orang laki-laki. Mereka membawa perlengkapan, mirip perlengkapan cleaning AC. Aku tahu itu karena di kantor cukup rutin petugas AC datang.
Kulihat Pak Pram mengantar mereka ke ruang tamu. Mereka lalu berdiri di depan AC. Beberapa kali Pak Pram menunjuk ke arah AC. Dugaanku tidak salah. Melihat itu muncul niat isengku. Bagaimana kalau aku keluar dengan pakaian seperti ini. Pasti nanti jadi seru, pikirku. Akan jadi sesi eksibisionis yang menegangkan, sekaligus aman. Pak Pram pasti melindungi aku, kalau saja nanti kedua laki-laki itu berani macam-macam. Maka aku bulatkan tekad. Kuhembuskan nafas panjang, sebelum akhirnya melangkah keluar kamar.
“Siapa mas-mas ini Om?” Kurangkul tangan Pak Pram, sambil bergelayut manja.
Pak Pram terlihat kaget. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan keluar kamar. Begitu pula dua laki-laki di depannya. Keduanya tidak kalah kaget. Lebih ke melotot kaget, tepatnya. Rencanaku sepertinya akan berjalan sukses.
“Oh ini tukang AC sayang. AC Om ngadat satu nih.”
“Ih pantesan lama ditungguin di kamar, udah nggak tahan loh ini,” ucapanku bernada merajuk. “Udah basah tauuu...” Tambahku sambil berbisik, namun berusaha agar tetap terdengar.
Pak Pram rupanya langsung mengerti dengan permainan peranku itu. Bisa kulihat dari senyuman dia. Kemudian dia balik merangkul pinggangku, dan mencium keningku.
“Sabar dong sayang, kan kita masih ada tamu. Udah kamu bikinin minuman dulu sana buat mas-mas ini.”
Sengaja kutekuk wajahku, menunjukkan kekecewaan. Berpura-pura tentunya. Kulirik kearah dua tukang AC itu, mereka masih terlihat mematung. Entah apa yang ada dipikiran mereka saat itu. Mungkin mereka bertanya-tanya siapa sih cewek cakep ini? GR dikit boleh dong? Hehehe. Kalau istri, keliatan terlalu muda. Kalau selingkuhan, masa sampai diajak ke rumah. Kalau keponakan, nah yang satu ini mantap nih. Mungkin itu yang terbayang di benak keduanya. Tertawa kecil aku dalam hati, dengan bayanganku sendiri.
“Mas-mas mau minum apa? Mau teh, kopi, apa susu?” Kugoyang sedikit dadaku saat mengucap kata ‘susu’. Entah mereka jadi sadar atau tidak, kalau aku tidak memakai beha.
“Susunya boleh nih, eh ma-maksud saya kopi susu.” Salah satu laki-laki itu menyahut, tergagap. “Itu, maksud teman saya kopi sama susu gitu, kopi yang diisiin susu.” Yang lain menimpali.
Tidak bisa kutahan lagi senyumku. Dari cara mereka menyebut ‘susu’, kelihatan kalau mereka sadar aku tidak ber-beha. Kulihat Pak Pram ikut tersenyum. Kemudian aku melangkah ke dapur. Dua pasang mata itu pasti sedang menatap pantatku. Sayangnya aku pakai celana dalam. Kalau tidak, ‘permainan’ ini pasti akan jadi lebih seru.
Di dapur kusempatkan melirik ke ruang tamu. Mereka bertiga kembali bercakap-cakap. Samar-samar terdengar apa yang mereka bicarakan. Sempat kudengar salah satunya bertanya tentang aku. Pak Pram menjawab dengan cukup nakal. Kata dia, aku itu mahasiswi yang lagi bimbingan skripsi. Langsung disambut dengan acungan jempol oleh keduanya. Aku hanya tersenyum geli melihat itu. Mungkin kedua tukang AC itu sudah tahu profesi sampingan Pak Pram. Profesinya yang sering diundang sebagai dosen tamu.
“Ini minumannya mas, kalo susunya kurang nanti saya tambahin. Susunya masih banyak kok,” godaku ke mereka. Duanya nyengir, setengah mesum.
Keduanya mengambil gelas di nampan yang aku sodorkan. Diseruputnya kemudian. “Pas kok susunya, pas banget.” Lagi-lagi mereka nyengir. Kali ini sambil menyapu pandangan ke arahku, dari atas ke bawah. Pandangan itu seakan-akan menembus kemeja tipis yang aku pakai.
“Kalo Om minum susunya di kamar aja ya, ditunggu loh. Nggak pake lama.”
Aku mengerling ke arah Pak Pram. Kemudian lanjut melangkah masuk ke dalam kamar. Samar-samar kembali kudengar percakapan ketiganya. Namun, kali ini kurang begitu jelas ucapannya.
Tidak lama Pak Pram menyusul masuk ke kamar. Dia langsung memelukku, dan menghujani aku dengan ciuman. “Nakal ya kamu, tapi Om suka banget. Bikin horni tau tadi itu.”
Aku terkekeh. Kulihat gundukan di balik celananya. Pak Pram minta ijin untuk menyetubuhiku. Mengangguk aku tanda setuju. Pak Pram lalu melangkah ke pintu kamar. Dia hendak menutup pintu, namun aku mencegahnya. Kuminta dia menyisakan sedikit celah di pintu. Aku bilang ke dia, siapa tahu nanti ada yang pengen ngintip. Kini giliran Pak Pram yang terkekeh.
Dengan cepat Pak Pram menelanjangiku. Cukup mudah karena aku hanya memakai dua potong pakaian. Dia bilang kalau mau eksib jangan nanggung. Aku nyengir mendengarnya. Pak Pram sendiri hanya membuka pakaian bawahnya saja. Di ranjang aku mengambil posisi doggie. Kami berdua sengaja membelakangi pintu. Namun, kami bisa melihat pantulan pintu dari kaca lemari.
“Aaahh... Aaahh... Aaahh...” Pak Pram mulai memainkan penisnya. Sengaja aku mendesah agak keras. Mengundang rasa penasaran mereka yang ada di luar.
Upayaku berhasil. Dari pantulan kaca, kulihat dua pasang mata dari celah pintu. Makin semangat aku mengeluarkan desahan. Ternyata benar, ngeseks sambil diintip itu sensasinya berbeda. Lebih panas dan menegangkan. “Ooohh Om, terus Om... enak Om, ooohh...”
Kami lalu berganti posisi. Kali ini memakai gaya woman on top. Sengaja aku menghadap pintu, agar dua pasang mata di luar bisa menikmati payudaraku. Mungkin saat aku berdiri tadi, mata itu sempat pula melihat vaginaku. Sepertinya mereka akan puas dengan apa yang mereka tonton. Bokep dengan kualitas gambar super HD. Bening dan jernih.
Sayangnya Pak Pram tidak bertahan lama. Mungkin karena dia sudah kelelahan karena semalam. Atau mungkin karena goyanganku yang terlalu bersemangat. Atau adrenalinnya terlalu terpacu karena ada yang menonton. Entahlah. Akhirnya tontonan sensual itu berakhir lebih cepat dari harapan. Sperma Pak Pram tumpah di perutku. Saat kelamin kami berpisah, kulihat kedua pasang mata itu sudah tidak kelihatan lagi. Mungkin mereka khawatir kalau sampai ketahuan. Aku dan Pak Pram lalu berberes. Kukatakan kepada dia aku harus pamit, karena hari sudah sore. Malam nanti aku harus menjemput suami di bandara. Pak Pram mengangguk. Kemudian aku berjalan menuju kamar mandi, menyegarkan diri. Tentu aku tidak mau suami sampai menemukan sisa-sisa persetubuhan di tubuhku.
Selesai mandi tidak ada lagi Pak Pram di kamar. Malah kulihat lagi dua pasang mata tadi di celah pintu. Dimana Pak Pram? Apakah dia mengijinkan mereka mengintip aku? Pura-pura aku tidak sadar dengan keberadaan mereka disana. Dengan santai aku mengeringkan tubuh, mengambil pakaian dan memakainya. Kulakukan semua gerakan itu sepelan mungkin. Harus kuakui kalau eksib kini sudah menjadi hobi-ku. Beres berpakaian, kedua pasang mata itu pun menghilang kembali. Aku hanya menggelengkan kepala. Kurapikan barang-barang bawaan. Sebelum keluar kamar, kupesan kendaraan via online.
“Om, anterin pulang?”
Rupanya Pak Pram ada di ruang tamu sedari tadi. Artinya dia memang mengijinkan dua laki-laki itu mengintipku. Tapi aku tidak merasa perlu untuk mengkonfirmasi hal itu.
“Nggak usah Om, saya sudah order Grab kok. Om urus mas-mas ini aja.”
Sambil menunggu kendaraan, kami berbincang. Sesekali kulihat dua tukang AC masih curi-curi pandang ke arahku. Aku sih masih tetap pura-pura tidak menyadari itu. Pandangan mereka jelas-jelas menelanjangiku. Secara harfiah, karena tadi mereka beneran telah melihatku telanjang.
Ponselku berbunyi, artinya kendaraanku sudah sampai. Pamitan aku ke Pak Pram. Tanpa diduga-duga dia memelukku. Mendaratkan ciuman di bibirku, lalu memagutnya. Dia melakukan itu di depan kedua tukang AC. Terkaget diawal, namun kemudian aku bisa menguasai diri. Kubalas pagutan itu. Disela pagutannya, tangan Pak Pram nakal meremasi pantatku. Tidak hanya sampai disana, tangan itu juga mengangkat sedikit ujung rok jeansku. Walau sedikit, tapi aku tahu celana dalam yang kupakai pasti jadi kelihatan. G-stringku, tepatnya.
“Minggu depan, bisa ‘bimbingan’ lagi kan?” Ucapnya begitu bibir kami berpisah.
Aku tersenyum, dan mengangguk. “Bisa Om. Ketemu disini lagi apa di hotel nih?” Tidak mau kalah aku mendramatisir percakapan.
“Nanti Om kasi tau deh tempatnya.”
Dia mengecup lagi bibirku. Aku melambai. Kulambaikan tangan pula ke arah tukang AC, yang mana keduanya lagi kompak menatap mupeng ke arahku. Kulihat juga tadi satu orang sampai menelan ludahnya. Sebuah ending yang sempurna untuk menutup permainan peranku. Peranku sebagai istri sehari.
.

2 komentar: