Minggu, 01 Oktober 2017

Salah Kirim


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“WOW..!!!”
Begitu isi pesan singkat suami. Ditambah emoji melotot dan ngiler. Baru saja aku kirimi dia foto. Foto diriku memakai lingerie baru yang aku beli sore tadi. Warnanya merah menyala, dengan paduan bra dan celana dalam mini senada. Penuh renda dan transparan. Menonjolkan seluruh lekukan tubuhku. Awalnya aku ingin menjadikan itu kejutan. Namun, tidak kuasa aku menahan diri untuk menggoda suamiku.
“Mama bikin papa pengen cepet² pulang.” Begitu lanjutan pesan singkat suami.
Aku tersenyum. Aku balas dengan mengirim foto lain. Kali ini aku turunkan kali mungil lingerie sebelah kanan. Belahan payudaraku jadi terekspos total. Suamiku semakin bereaksi. Kali ini dia mengaku kalau penisnya menegang hebat. Sexting (sexual texting) itu pun terus aku lanjutkan, dengan foto-foto yang makin panas.
“Aaahh...” Pelan-pelan birahiku ikut bangkit. Kewanitaanku mulai basah.
Suami akhirnya menelpon. Sexting berganti sesi jadi phone sex. Desahan suami terdengar begitu menggoda. Tidak heran, mengingat lima hari sudah aku tidur sendiri. Suami harus keluar kota untuk mengurus proyeknya.
Kusentuh seluruh tubuhku, seakan-akan tanganku adalah tangan suami. Satu persatu pakaian di tubuhku terlepas. Hingga akhirnya aku bergelinjang polos. Bergantian aku meremas payudara yang mulai mengeras. Sementara di bawah sana sudah semakin membanjir. Sudah sangat siap untuk disetubuhi. Terpaksa malam itu, hanya dijejali dengan dua jari tangan kanan. Kemudian aku pakai headset, agar tangan kiri bisa ikut difungsikan.
Aku mendesah dan terus mendesah. Suami pasti butuh stimulasi juga di seberang sana. Desahan suami pun kini tidak kalah intens. Dia bilang kalau di sana dia juga sudah telanjang.
“Aahh, aahh, aahh...”
“Uuhh, uuhh, uuhh...”
Sampai akhirnya suami mengerang. Dia bilang sudah keluar. Senang aku mendengarnya. Paling tidak, walau berjauhan aku masih bisa melayani dia. Aku sendiri? Sekedar ‘ganjel’ sih lumayan, tapi masih sangat jauh dari orgasme. Masturbasi sudah lama tidak lagi bisa memuaskan birahiku. Hanya penis yang kini bisa memberiku kepuasan.
“Makasi Ma, I love you. Met bobo.” Begitu ucapan terakhir suami.
Telepon pun terputus. Setelah itu, beranjak aku dari ranjang menuju kamar mandi. Masih dengan tubuh polos, tanpa sehelai benang. Aku membilas wajah, kaki, dan selangkangan. Kucuran air hangat kembali menstimulus kewanitaan. Kuraba lagi bagian itu. Melanjutkan ‘permainan’ yang tadi sempat terputus. Sampai bisa kuraih sedikit kepuasan malam itu.
Balik ke ranjang, tidak aku pakai lagi pakaianku. Aku tidur telanjang.
***
Keesokan hari, aku bangun pagi-pagi sekali. Si kecil ada jadwal olah raga di sekolah. Terpaksa aku ikut bersiap lebih awal. Menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, dan berdadan. Biasanya sih ini adalah tugas suami. Selesai memakai lipstik, ponselku bergetar di atas ranjang. Sepagi ini, awalnya aku pikir dari suamiku. Ternyata bukan. Pesan singkat dari Mas Riski, supervisor dari kantor pusat. Dia ditugaskan melakukan audit internal. Baru dua minggu dia bertugas di kantor.
“Makasi kiriman fotonya. Seksi banget.” Begitu isinya. Ditambah imoji cengiran.
DUEERR! Kaget bukan kepalang diriku. Ternyata kemarin aku ada salah kirim foto. Mati gue, mati gue! Aku panik sendiri. Masa aku musti bermasalah sama pegawai kantor pusat sih.
Langsung aku membalasnya. “Maaf Mas, itu kemarin aku salah kirim.” Aku memanggil dirinya dengan sebutan ‘Mas’, karena usia dia sedikit lebih tua dari diriku. Selain itu dia juga atasanku.
Balasan selanjutnya hanya berupa imoji cengiran lagi. Itu saja. Justru ini membuat aku semakin khawatir. Namun, aku tidak sempat memikirkannya lagi. Si kecil harus segera diantar.
Rasa was-was kembali datang saat tiba di kantor. Terbayang hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Aku bisa terkena terguran, sanksi, atau mungkin peringatan. Yang paling menakutkan, bayangan cerita-cerita panas yang pernah aku baca. Mas Riski memakai foto itu untuk mengancam diriku. Minta aku jadi pelampiasan nafsu dia. Jadi budak seks dia. Kan dia lagi jauh dari istri sekarang.
TIDAAAK! Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aku harus mengusir pikiran negatif itu. Mas Riski orang baik, mas Riski orang baik. Aku meyakinkan diriku.
Tok, tok, tok.” Suara pintu menghentikan lamunanku.
DUEERR! Yang aku bayangin muncul dari balik pintu. “Boleh masuk?” Begitu kata dia.
“Bo-boleh Mas,” aku tergagap.
Aku terpaku di kursi, ketika Mas Riski masuk dan berjalan mendekat. Dia lalu duduk di kursi.
“Fotonya udah aku hapus. Nggak usah ngeri gitu deh mukanya.”
Mas Riski terkekeh. Sepertinya dia menangkap kekhawatiran di wajahku. Rupanya Mas Riski bukan pria cabul, sebagaimana dugaanku. Dia malah menjadikan kesalahanku itu sebagai bahan candaan. Pagi itu kami ngobrol cukup lama. Malah sempat bersambung saat jam makan siang. Mau mengenal aku lebih dekat kata dia. Aku sih tidak masalah dengan itu. Anggap saja ucapan terima kasih, karena tidak membesarkan kesalahan yang aku perbuat.
Hari-hari berikutnya pun berjalan normal. Hanya saja, kini Mas Riski jadi lebih berani melempar flirting-flirting nakal. Kulayani dengan sesekali mem-flirting balik. Aku tahu dibalik godaan-godaan itu ada terbersit harapan. Harapan untuk bisa mencicipi tubuhku. Namun, masih teguh aku memegang prinsipku. Tidak menjalin affair dengan rekan kerja. Dan syukurnya, Mas Riski pun menghormati itu. Sampai akhirnya kami berpisah. Dia harus balik bertugas di kantor pusat. Meski berpisah, terkadang Mas Riski dan aku tetap saling kontak.
***
Sampai suatu hari. Suamiku minta ijin untuk meniduri sekretarisnya, Cindy. Kaget sih awalnya, tapi aku hargai kejujuran dia. Daripada dia main belakang kan? Suami bilang kalau aku tidak mengijinkan, maka dia tidak akan melakukan. Mengingat dosa-dosaku ke suami, tidur dengan beberapa pria tanpa sepengetahuan dia, akhirnya aku memberi ijin. Dengan syarat utama, jangan sampai dihamili. Suami berusaha terlihat cool, tapi aku tahu dalam hatinya girang.
“Tapi mama boleh juga dong tidur sama temen kantor mama?” Tanyaku dengan nada becanda. Ingin aku tahu bagaimana tanggapan suami soal itu.
“Iya boleh.” Ternyata sesantai itu jawaban suami.
Aku langsung manyun. “Jadi papa udah bosen sama mama? Dibuang gitu aja ke cowok lain?”
Suamiku tertawa kecil. Dia langsung memeluk, dan mendaratkan ciuman mesra. Terus mulai deh dia melancarkan rayuan. Suami bilang kalau dia selalu mencintai aku. Wanita lain hanya sebagai pemuasan egonya sebagai laki-laki. Dia adalah laki-laki yang paling beruntung di dunia, karena memiliki istri pengertian seperti diriku. Dan bla, bla, bla... gombalan-gombalan lainnya.
Semua obrolan itu diakhiri dengan kami saling menelanjangi. Malam itu suami sangat bergairah. Entah apa sebabnya. Apa karena ‘pertengkaran’ kami tadi, atau sedang membayangkan Cindy. Bukan pertama kali aku dengar suami menyetubuhi istrinya, sambil membayangkan wanita lain. Kebanyakan aku dengar dari klien-klienku. Mereka bersetubuh sambil membayangkan diriku. Kalau pun suami melakukan hal yang sama, sepertinya itu hal yang normal. Ah sudahlah, yang penting aku terpuaskan malam itu.
***
Singkat cerita, suamiku akhirnya menyetubuhi Cindy. Salut juga aku dengan kemampuan suami. Mengingat dua bulan lagi Cindy menikah, namun bisa digiringnya ke kamar hotel. Bahkan kata suami, sekretarisnya itu cukup lihai di atas ranjang. Beragam posisi dapat dia lakukan dengan cukup fasih. Tidak terlalu heran sih, kalau melihat pergaulan generasi muda sekarang. Hanya oral, yang kata suami butuh sedikit latihan lagi. Yah yang penting suamiku bahagia.
Lalu bagaimana dengan diriku? Meski mengantongi ijin suami, namun aku belum ada niat untuk bercinta dengan rekan kerja. Belum ada yang nafsuin, menurut penilaianku. Sampai aku bertemu lagi dengan Mas Riski, di salah satu acara kantor. Dia sudah diangkat menjadi salah satu kepala cabang saat itu. Muda banget sih? Ya, iyalah kan kakeknya pemegang saham di perusahaan.
Kala itu, bank tempatku bekerja mengadakan event konferensi internasional perbankan. Aku ikut ditugaskan sebagai panitia. Dua minggu sebelum kegiatan dimulai, aku sudah stand by di hotel venue. Bekerja sama dengan PCO rekanan, dan vendor-vendor terkait. Ternyata Mas Riski ada pula di dalam tim panitia. Kami jadi sering berinteraksi, yang membuat kami makin akrab. Kami sering satu mobil apabila perlu melakukan survei lokasi. Flirting-flirting nakal pun makin sering dia lontarkan.
“Kita sudah kenal lama nih Dit, jadi kapan nih kita selingkuh?”
Mas Riski menggoda aku lagi. Saat itu kami ada di sebuah restoran, yang rencananya sebagai tempat farewell dinner. Salah satu tempat yang musti kami survei. Baru saja kami selesai santap siang. Pemilik restoran cukup ramah untuk menawarkan salah satu paket untuk dicoba. Tawaran yang tidak mungkin kami tolak.
“Tergantung sih...” Aku mengerling. Berniat untuk menggoda dirinya.
Mas Riski terlihat penasaran. “Tergantung apa?”
“Tergantung Mas bisa jaga rahasia apa nggak. Dipecat gara-gara ketahuan selingkuh kan nggak keren banget. Gara-gara korupsi, nah itu baru keren. Nggak malu lah kalo sampai masuk TV.”
Dia tergelak cukup lama mendengar kata-kataku itu.
“Aku bukan cowok ember loh Dit, beneran...” ucap Mas Riski, saat tawanya selesai.
“Yakin? Berani di tes?” Lagi-lagi aku mengerling.
Dahinya berkerut. “Cara ngetesnya gimana?”
Aku lalu mengajaknya beranjak dari meja. Kemudian aku tanya kepada waiter, lokasi toilet ada dimana. Aku minta Mas Riski menemani ke sana. Sampai di depan toilet wanita, aku menarik tangan Mas Riski untuk mengajak dia masuk. Awalnya dia kaget, walau kemudian tersenyum. Aku kemudian mencium bibir Mas Riski. Peduli amat deh dianggap cewek agresif. Toh, kami sama-sama sudah tahu hubungan ini akan mengarah kemana. Tinggal siapa yang memulai saja. Sesuai prinsip ekonomi, kalau mau jalanin affair mesti nguntungin. Jangan nanggung, mending langsung sama level atas. Punya ‘orang dalam’ di kantor pusat kan lumayan menjamin karier.
Nah, bisa nggak Mas nge-rahasia-in kejadian ini ke temen-temen kantor?” Ucapku begitu bibir kami berpisah. Kami lalu sama-sama tersenyum.
“Jadi ciuman aja nih sekarang?” Giliran Mas Riski yang mengerling.
Kujawab dengan anggukan kepala. “Nggak apa-apa kan?” Dia kemudian mengangguk.
Kami berciuman satu kali lagi, sebelum keluar toilet. Kali ini Mas Riski sedikit usil memainkan lidah. Sampai kembali ke hotel, kami tidak lagi membahas soal ciuman tersebut. Kami kembali berbaur dengan teman-teman, seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami berdua.
***
Sepanjang kegiatan konferensi, aku dan Mas Riski jarang bertemu. Kami bertugas dalam bidang yang berbeda. Kami berkonsentrasi pada tugas masing-masing, mengingat peserta yang hadir kebanyakan dari luar negeri. Nggak mau dong kita terlihat tidak profesional. Hanya malam hari saja kami saling mengirim pesan. Awalnya hanya pesan-pesan singkat biasa. Seputar kegiatan dan lain-lainnya. Namun, semakin lama berbalas-balas pesan itu mulai memanas. Perlahan mulai menjurus ke arah sensual. Begitu setiap malam terus berulang. Lama jauh dari keluarga membuat api itu mudah terpercik.
Sampai kemudian di hari terakhir kegiatan, saat jadwal kegiatan tidak lagi padat. Di lorong hotel, aku berpapasan dengan Mas Riski.
“Dit, ikut aku yuk.” Dia menarik tanganku. Mau tidak mau, aku ikuti saja ajakan dia.
Ternyata Mas Riski mengajak aku masuk ke sebuah kamar. Dia bilang kamar itu kosong, karena ada peserta yang pulang duluan. Wajar dia tahu, karena memang tugasnya mengatur akomodasi. “Kasurnya empuk loh Dit, enak buat kita pakai enjot-enjotan,” begitu kata dia, sambil nyengir.
Aku tersenyum dong. “Kita Mas? Kok yakin amat sih?” Godaku.
Terbahak dia mendengarnya. “Yakin dong. Sini coba aku tes.” Lagi-lagi dia nyengir. Dia meng-copas kata-kataku saat di restoran.
Usai berkata seperti itu, Mas Riski menarik tubuhku mendekat. Dia lalu mendaratkan bibirnya. Dilumatnya bibirku dengan lembut. Agak kaget juga sih. Melihat begitu intensnya kami saling berbalas sinyal-sinyal seks. Biasanya kalau ada kesempatan seperti saat ini, si laki-laki akan jadi kesetanan. Berusaha melampiaskan nafsunya. Ternyata Mas Riski memang berbeda.
Aku kemudian ikut membalas lumatan bibirnya. Ditengah pergumulan lidah kami, tangan Mas Riski mulai bergerak. Meraba, lalu meremas payudaraku. Aku biarkan saja, meski itu beresiko membuat blus batik yang aku pakai jadi lecek. Pun demikian saat tangan itu ganti mengangkat ujung rok. Rabaan dan remasan itu pindah ke pantatku. Sebelum menarik turun lagi ujung rokku, tangan itu sempat bercokol di bagian intim. Dan bibir kami pun kemudian berpisah.
“Oh yah, aku jadi tambah yakin kalo kita bakal enjot-enjotan.” Begitu ucapnya sumringah.
Aku hanya tertawa kecil. Aku ingatkan Mas Riski untuk tidak terlalu berharap. Mengingat tugas kami belumlah selesai. Mas Riski sih menanggapi santai. Kata dia, “Dibuat mengalir saja. Kalau tidak malam ini, kan masih ada hari lain. Yang jelas kan udah sama-sama ‘paham’.” Mengerling nakal lagi dia.
Mas Riski keluar kamar lebih dahulu. Sebelum pergi dia menyerahkan kunci kamar padaku. Dia menawarkan aku pindah ke kamar itu, karena fasilitasnya lebih lengkap. Kubilang akan pikir-pikir dulu. Sebelum keluar kamar, aku rapikan dulu penampilan. Ciuman tadi membuat bibirku butuh dipoles ulang.
Singkat cerita, seluruh rangkaian acara konferensi akhirnya selesai. Tidak ada lagi jadwal acara khusus. Kebanyakan peserta konferensi memakai momen itu untuk hunting souvenir, sebelum balik ke negara mereka. Beberapa ada yang iseng ‘ngajakin’ aku ikut, tapi aku tolak. Profesional dong. Kan kesini buat kerja, bukan buat one night stand.
“Uuhh!” Aku hempasku tubuh di ranjang. Enak banget rasanya. Dari pagi mondar-mandir pakai high heels membuat betisku mati rasa. Belum ditambah lagi seminggu dalam tekanan kerjaan. Bikin lelah lahir batin. Ternyata benar kata Mas Riski, ranjang di kamar ini empuk banget. Iya, aku memang jadi pindah kamar. Aku baru bisa ke kamar setelah memastikan paket dinner sudah siap. Baru sebentar leyeh-leyeh, ponselku berbunyi. Mas Riski menelpon.
“Maaf Dit, kayaknya aku nggak bisa ke sana, bos besar minta ditemenin ‘hang out’ nih,” begitu kaya dia, usai menanyakan apakah aku sudah pindah kamar.
Aku bilang, “Nggak apa-apa Mas.”
Padahal besok siang Mas Riski sudah balik bersama rombongan. Artinya malam ini aku tidur sendiri lagi. Aku sih santai saja, toh yang rugi dia bukan aku. Usai menelpon, aku hempaskan diri lagi ke ranjang. Pengennya sih mandi, tapi malam itu gravitasi kasur terlalu kuat. Aku tidak punya cukup tenaga untuk melawannya.
Tahu-tahu ponselku berbunyi lagi. Padahal baru saja aku selesai ngobrol dengan suami, dan satu teman panitia. Ponselku memang begitu ‘cerewet’ sedari pagi. Awalnya aku enggan mengangkat, tetapi setelah melihat nama di layar aku tersenyum. “Tumben nih Rez? Mendadak kangen gue?”
Terdengar tawa di ujung telepon. Dia kemudian berujar, “Kalo gue bilang gue lagi di lobi hotel tempat lu nginep, gue boleh main ke kamar nggak?”
Serius? Dahiku berkerut. Saat aku tanya tahunya dari mana, Reza bilang ngeliat dari status media sosialku. Tahu suamiku tidak ikut, dia bilang langsung membeli tiket pesawat. Pengen melepas kangen, kata dia. “Dasar stalker...” aku berkomentar. Terdengar lagi tawa Reza. Kemudian aku beri tahu dia nomor kamarku. Hitung-hitung ada temen ngobrol, pikirku.
Dan Reza pun sudah duduk di samping ranjang. Sementara aku ngelanjutin lagi aksi leyeh-leyeh yang tadi terputus, dalam posisi telungkup. Sambil ngobrol Reza memijati betisku. Mumpung dia lagi disini mending aku berdayakan dong. Harus aku akui pijatan Reza enak banget. Pegal-pegal yang tadi melanda, kini berangsur menghilang. Pelan-pelan pijatan itu terus naik menuju paha.
“Serius Rez? Pantat gue nggak ikutan pegel tau...” Aku memalingkan wajah, mengajukan protes. Saat Reza menyingkap rok dan meremasi pantatku.
Dia sih cuman nyengir kuda. “Sorry, tau sendiri kan kalo gue selalu penasaran ama isi rok lu.”
Oke, sekarang lu udah tau warna celana dalem gue. Sekarang mijitnya pindah ke pudak gih.”
Lagi-lagi dia nyengir, tapi menurut sih. Dia turunkan lagi ujung rokku, sebelum memindahkan pijatan ke pundak. Rasanya tidak kalah enak. Aku sampai memejamkan mata, agar sensasi dari aksi tangan Reza itu kian terasa. Disertai pula dengan desahan pelan. Beberapa lama aksi pijat-memijat itu berlangsung, tahu-tahu kami jadi berciuman. Bibir kami bertemu, kemudian saling melumat. Ciuman penuh birahi. Reza yang sudah lama tidak merasakan tubuhku. Dan aku yang sudah lama tidak disetubuhi. Sebuah perpaduan sempurna menuju pergumulan nafsu.
Kami mulai menelanjangi diri. Dengan teramat sangat terburu-buru. Kami melempar pakaian ke segala arah. Kami sama-sama sedang dilanda birahi. Pijatan Reza memancing birahiku. Desahan aku memancing birahinya. Lagi-lagi kami saling melumat. Kali ini dalam keadaan polos tanpa sehelai benang. Tidak hanya saling mencium, kami juga meraba dan meremas. Tidak lama sih, karena kami ingin bergegas menuju ke sesi utama. Kami terlalu bergairah untuk berlama-lama melakukan foreplay. Dan kelamin kami pun bertemu. Bertemu untuk melampiaskan nafsu.
I miss you. I miss you so much, ” ujar Reza, sambil menghujam-hujamkan kejantanannya.
Aku tidak sempat menjawab. Terlalu menghayati keberadaan penis itu di vaginaku. Sudah terlalu lama kewanitaanku berpuasa. Rasanya nikmat sekali bisa merasakan jejalan penis lagi di bawah sana. Tanpa dasar aku merancau. Meminta Reza untuk menghujamkan batang miliknya itu lebih keras lagi. Lebih kencang lagi. Dia pun melakukannya dengan senang hati.
Sampai cairan pejuh kental membasahi perutku. Sesaat setelah aku mencapai orgasme.
“Lagi dong Rez...” Aku menggigit bibir menahan malu. Tidak percaya kata-kata itu bisa keluar dari mulutku. Reza sampai terkekeh mendengarnya. Tetapi sungguh vaginaku masih ‘lapar’. Aku butuh orgasme kedua.
Maka aku berikan Reza service oral terbaikku. Menstimulus agar penisnya bisa secepat mungkin bangkit lagi. Aku kulumi dan jilati, sampai ke buah zakarnya. Bahkan aku melakukan rimming agar otot penisnya segera berkontraksi. Usahaku berhasil. Penis itu kembali mengacung perkasa.
Persetubuhan kedua pun terjadi. Diakhiri dengan orgasme lagi. Namun semuanya tidak berhenti disana ternyata. Persetubuhan itu terus saja berlanjut, dan berlanjut. Ketiga, keempat, kelima... sampai kami sama-sama kelelahan. Terlentang dengan nafas terengah-engah. Kemudian terlelap dalam kepuasan. Malam itu aku tidak jadi tidur sendirian.
***
Pagi harinya, aku terbangun di balik selimut. Pastilah Reza yang menyelimuti tubuh telanjangku. Teringat lagi aku kejadian tadi malam. One of the best sex of my life. Sayup-sayup aku dengar suara gemericik air di kamar mandi. Terdengar pula suara Reza bersenandung. Kemarin malam dia memang bilang harus ke bandara pagi-pagi. Dia ada janji meeting dengan klien. Tahu punya janji dengan klien penting, eh masih saja sempat-sempatnya dia datang menemui aku. Memang kadang Reza bisa sedikit agak ‘nekat’.
Bangkit aku dari ranjang. Masih dalam keadaan telanjang. Beranjak lalu aku ke kamar mandi. Aku buka pintunya, dan kulihat Reza di bawah shower. Tubuh itu dalam keadaan basah terlihat semakin mempesona.
Can I join you?” Tanyaku sambil tersenyum.
Reza ikut tersenyum. Dia menarik tanganku. Kami pun berciuman di bawah guyuran air hangat. Berciuman, sambil meraba dan meremas. Andai saja bel pintu tidak berbunyi, kami pasti sudah bersetubuh lagi.
Cukup kaget aku mendengar suara bel. Hanya Mas Riski saja yang tahu aku di kamar ini. Apa itu Mas Riski? Atau room service? Aku membatin. Segera aku keluar kamar mandi. Aku minta Reza untuk mematikan shower, dan tetap di dalam.
Ketika aku di luar, ponselku berbunyi. Aku mengambilnya. Kembali aku kaget melihat nama yang tertera di layar. Ternyata benar Mas Riski yang ada di luar. Duh, bagaimana ini? Di tengah kepanikan, aku coba berpikir jernih. Bergegas aku merapikan ranjang yang berantakan, gara-gara ulahku dan Reza semalam. Tidak lupa aku sambar semua pakaian yang berserakan. Punyaku dan juga punya Reza. Aku lempar semua ke dalam lemari.
Bergegas aku buka koper. Main asal sambar beberapa pakaian, lalu memakainya sambil bicara di telepon. Aku lihat Reza membuka pintu kamar mandi. Langsung aku beri dia kode agar masuk lagi ke dalam. Dia terlihat bingung, tapi tetap menuruti kemauanku.
“Maaf Mas, aku baru bangun nih,” sahutku berbohong.
“Aku yang minta maaf udah ganggu Dit. Aku cuma pengen pamitan nih sebelum ke bandara. Boleh masuk nggak?” Lalu aku minta dia menunggu sebentar.
Aku ambil handuk untuk mengeringkan rambut. Eh malah jadi terlihat acak-acakan, tapi sesuai dengan alibiku. Aku rapikan sedikit agar lebih meyakinkan. Dengan kilat aku lihat penampilan di kaca. Nggak malu-maluin banget untuk ukuran orang baru bangun. Bergegas aku menuju pintu, menarik nafas panjang, dan membukanya. Mas Riski tersenyum melihat aku. Dia terlihat sudah rapi. Bahkan sudah membawa pula kopernya.
Tiba-tiba Mas Riski langsung memeluk dan mendaratkan ciuman. Dia melumat bibirku dengan sangat bernafsu. Di tengah ciuman dia bilang menyesal tidak bisa datang semalam. Aku biarkan saja dia melakukan itu. Menghentikan laki-laki yang sedang bernafsu, bukanlah sebuah tindakan yang bagus. Aku biarkan sampai dia puas.
“Nggak apa-apa Mas, kan lain kali kita bisa ketemu lagi.” Berusaha aku menenangkan dia, usai kami bercumbu.
“Mungkin ini kedengerannya lancang. Kita mungkin bakal ketemu lagi agak lama. Jadi aku ada pemintaan nih Dit, tapi kamu jangan marah ya...” Mas Riski berkata-kata sambil sedikit terbata.
“Nggaklah Mas, permintaan apa sih?” Aku tersenyum.
Mas Riski terlihat sedikit ragu. Kemudian dia berbisik, “Boleh nggak aku ngeliat badan kamu?” Sesaat dia terdiam. Mungkin mencoba menelisik ekspresi wajahku. Melihat aku tersenyum lagi, barulah dia melanjutkan kata-katanya. “Buka pakaian luar aja, dalemannya nggak usah kok.”
Aku pun mengangguk. Mas Riski terlihat sumringah. Aku malah menggodanya. “Mau aku yang buka, apa Mas aja yang buka?” Sudah tahu dong jawabannya apa.
Aku tutup pintu kamar, sebelum membiarkan dia melolosi kaos yang aku pakai. Mas Riski kaget luar biasa, seperti hampir terkena serangan jantung. Dibalik kaos itu aku memang tidak memakai bra. Anggap saja bonus untuk atasanku itu. Dia benar-benar tidak menyangka ‘kejutan’ itu. Dia terlihat takjub dengan pemandangan yang tersaji di depannya. Namun, itu bukan berarti dia jadi lupa untuk melolosi celana pendek yang kupakai. Sepertinya dia sempat berharap aku juga tidak memakai celana dalam. Hanya saja, harapan itu tidak jadi kenyataan. Pujian lalu terlontar untuk bentuk tubuh dan payudaraku. Bahkan dia sempat meminta aku berputar, agar bisa melihat lebih jelas katanya.
Kesempatan itu aku pakai juga untuk inspeksi. Calon penis yang mungkin akan menyetubuhi aku. Ciuman kali kedua, tanganku merogoh masuk ke celana Mas Riski. Jelas dia tidak menolak. Laki-laki mana sih yang menolak selangkangannya di sentuh wanita. Kecuali dia nggak normal, tentunya. Lumayan juga ukuran belum keras. Masuk standarlah kira-kira.
“Boleh?” Tanya Mas Riski, meminta ijin untuk sedikit menyentuh payudaraku. Serta ijin untuk mengintip sedikit kewanitaanku.
Kembali aku mengangguk. Dan dia pun melakukan semua itu. Aku pikir dia akan berbuat lebih, eh ternyata tidak. Mas Riski cukup gentlement untuk menahan diri. Nanti saja deh di pertemuan berikutnya, kata dia. Lagian ponselnya sempat berbunyi tadi. Memberitahu kalau rombongan akan segera berangkat. Entah apa yang terjadi kalau ponsel itu tidak berbunyi. Kami kembali berciuman, kemudian berpamitan. Disertai janji bertemu di lain kesempatan. Entah kapan.
“Siapa sih itu tadi?” Reza mengintip dari kamar mandi. Mungkin karena tidak lagi mendengar percakapan, maka dia berani untuk mendongakkan kepala. Dia pun kaget mendapati aku berdiri di depan pintu kamar, hanya ber-celana dalam.
“Ih mau tauuu aja...” ucapku, sambil melangkah masuk lagi ke kamar mandi. “Udah nggak usah dibahas. Mau ngelanjutin yang tadi nggak?” Ucapku lagi. Kali ini sambil melolosi celana dalam.
Reza bersorak kegirangan. Segera dia menarik lepas handuk yang menutupi bagian bawahnya.
.

3 komentar:

  1. Akhirnya ada update juga. Keren banget cerita ditha, makin hot. Favorite gw bgt nih. Thanx aduat updatenya

    BalasHapus
  2. Hot bgt, musti Nyiapin baby oil dulu buat ngocok. Hehehe...

    BalasHapus