Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sampai
akhirnya suami mengerang. Dia bilang sudah keluar. Senang aku mendengarnya.
Paling tidak, walau berjauhan aku masih bisa melayani dia. Aku sendiri? Sekedar
‘ganjel’ sih lumayan, tapi masih sangat jauh dari orgasme. Masturbasi sudah lama
tidak lagi bisa memuaskan birahiku. Hanya penis yang kini bisa memberiku
kepuasan.
“Makasi
Ma, I love you. Met bobo.” Begitu
ucapan terakhir suami.
Telepon pun
terputus. Setelah itu, beranjak aku dari ranjang menuju kamar mandi. Masih dengan
tubuh polos, tanpa sehelai benang. Aku membilas wajah, kaki, dan selangkangan. Kucuran
air hangat kembali menstimulus kewanitaan. Kuraba lagi bagian itu. Melanjutkan
‘permainan’ yang tadi sempat terputus. Sampai bisa kuraih sedikit kepuasan
malam itu.
Balik ke
ranjang, tidak aku pakai lagi pakaianku. Aku tidur telanjang.
***
Keesokan
hari, aku bangun pagi-pagi sekali. Si kecil ada jadwal olah raga di sekolah. Terpaksa
aku ikut bersiap lebih awal. Menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, dan berdadan.
Biasanya sih ini adalah tugas suami. Selesai memakai lipstik, ponselku bergetar
di atas ranjang. Sepagi ini, awalnya aku pikir dari suamiku. Ternyata bukan.
Pesan singkat dari Mas Riski, supervisor
dari kantor pusat. Dia ditugaskan melakukan audit
internal. Baru dua minggu dia bertugas di kantor.
DUEERR! Kaget
bukan kepalang diriku. Ternyata kemarin aku ada salah kirim foto. Mati gue,
mati gue! Aku panik sendiri. Masa aku musti bermasalah sama pegawai kantor
pusat sih.
Langsung
aku membalasnya. “Maaf Mas, itu kemarin aku salah kirim.” Aku memanggil dirinya
dengan sebutan ‘Mas’, karena usia dia sedikit lebih tua dari diriku. Selain itu
dia juga atasanku.
Balasan
selanjutnya hanya berupa imoji cengiran lagi. Itu saja. Justru ini membuat aku
semakin khawatir. Namun, aku tidak sempat memikirkannya lagi. Si kecil harus segera
diantar.
Rasa
was-was kembali datang saat tiba di kantor. Terbayang hal-hal buruk yang
mungkin terjadi. Aku bisa terkena terguran, sanksi, atau mungkin peringatan.
Yang paling menakutkan, bayangan cerita-cerita panas yang pernah aku baca. Mas
Riski memakai foto itu untuk mengancam diriku. Minta aku jadi pelampiasan nafsu
dia. Jadi budak seks dia. Kan dia lagi jauh dari istri sekarang.
TIDAAAK!
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aku harus mengusir pikiran negatif itu. Mas
Riski orang baik, mas Riski orang baik. Aku meyakinkan diriku.
“Tok,
tok, tok.” Suara pintu
menghentikan lamunanku.
DUEERR!
Yang aku bayangin muncul dari balik pintu. “Boleh masuk?” Begitu kata dia.
“Bo-boleh
Mas,” aku tergagap.
Aku
terpaku di kursi, ketika Mas Riski masuk dan berjalan mendekat. Dia lalu duduk
di kursi.
“Fotonya
udah aku hapus. Nggak usah ngeri gitu deh mukanya.”
Mas Riski
terkekeh. Sepertinya dia menangkap kekhawatiran di wajahku. Rupanya Mas Riski
bukan pria cabul, sebagaimana dugaanku. Dia malah menjadikan kesalahanku itu
sebagai bahan candaan. Pagi itu kami ngobrol cukup lama. Malah sempat
bersambung saat jam makan siang. Mau mengenal aku lebih dekat kata dia. Aku sih
tidak masalah dengan itu. Anggap saja ucapan terima kasih, karena tidak
membesarkan kesalahan yang aku perbuat.
Hari-hari
berikutnya pun berjalan normal. Hanya saja, kini Mas Riski jadi lebih berani
melempar flirting-flirting nakal.
Kulayani dengan sesekali mem-flirting
balik. Aku tahu dibalik godaan-godaan itu ada terbersit harapan. Harapan untuk
bisa mencicipi tubuhku. Namun, masih teguh aku memegang prinsipku. Tidak
menjalin affair dengan rekan kerja. Dan
syukurnya, Mas Riski pun menghormati itu. Sampai akhirnya kami berpisah. Dia
harus balik bertugas di kantor pusat. Meski berpisah, terkadang Mas Riski dan
aku tetap saling kontak.
***
Sampai
suatu hari. Suamiku minta ijin untuk meniduri sekretarisnya, Cindy. Kaget sih
awalnya, tapi aku hargai kejujuran dia. Daripada dia main belakang kan? Suami
bilang kalau aku tidak mengijinkan, maka dia tidak akan melakukan. Mengingat
dosa-dosaku ke suami, tidur dengan beberapa pria tanpa sepengetahuan dia,
akhirnya aku memberi ijin. Dengan syarat utama, jangan sampai dihamili. Suami berusaha
terlihat cool, tapi aku tahu dalam
hatinya girang.
“Tapi
mama boleh juga dong tidur sama temen kantor mama?” Tanyaku dengan nada
becanda. Ingin aku tahu bagaimana tanggapan suami soal itu.
“Iya
boleh.” Ternyata sesantai itu jawaban suami.
Aku
langsung manyun. “Jadi papa udah bosen sama mama? Dibuang gitu aja ke cowok
lain?”
Suamiku
tertawa kecil. Dia langsung memeluk, dan mendaratkan ciuman mesra. Terus mulai
deh dia melancarkan rayuan. Suami bilang kalau dia selalu mencintai aku. Wanita
lain hanya sebagai pemuasan egonya sebagai laki-laki. Dia adalah laki-laki yang
paling beruntung di dunia, karena memiliki istri pengertian seperti diriku. Dan
bla, bla, bla... gombalan-gombalan
lainnya.
Semua
obrolan itu diakhiri dengan kami saling menelanjangi. Malam itu suami sangat
bergairah. Entah apa sebabnya. Apa karena ‘pertengkaran’ kami tadi, atau sedang
membayangkan Cindy. Bukan pertama kali aku dengar suami menyetubuhi istrinya,
sambil membayangkan wanita lain. Kebanyakan aku dengar dari klien-klienku.
Mereka bersetubuh sambil membayangkan diriku. Kalau pun suami melakukan hal
yang sama, sepertinya itu hal yang normal. Ah
sudahlah, yang penting aku terpuaskan malam itu.
***
Singkat
cerita, suamiku akhirnya menyetubuhi Cindy. Salut juga aku dengan kemampuan
suami. Mengingat dua bulan lagi Cindy menikah, namun bisa digiringnya ke kamar
hotel. Bahkan kata suami, sekretarisnya itu cukup lihai di atas ranjang. Beragam
posisi dapat dia lakukan dengan cukup fasih.
Tidak terlalu heran sih, kalau melihat pergaulan generasi muda sekarang. Hanya
oral, yang kata suami butuh sedikit latihan lagi. Yah yang penting suamiku bahagia.
Lalu
bagaimana dengan diriku? Meski mengantongi ijin suami, namun aku belum ada niat
untuk bercinta dengan rekan kerja. Belum ada yang nafsuin, menurut penilaianku.
Sampai aku bertemu lagi dengan Mas Riski, di salah satu acara kantor. Dia sudah
diangkat menjadi salah satu kepala cabang saat itu. Muda banget sih? Ya, iyalah
kan kakeknya pemegang saham di perusahaan.
Kala itu,
bank tempatku bekerja mengadakan event konferensi
internasional perbankan. Aku ikut ditugaskan sebagai panitia. Dua minggu
sebelum kegiatan dimulai, aku sudah stand
by di hotel venue. Bekerja sama
dengan PCO rekanan, dan vendor-vendor
terkait. Ternyata Mas Riski ada pula di dalam tim panitia. Kami jadi sering
berinteraksi, yang membuat kami makin akrab. Kami sering satu mobil apabila
perlu melakukan survei lokasi. Flirting-flirting
nakal pun makin sering dia lontarkan.
“Kita
sudah kenal lama nih Dit, jadi kapan nih kita selingkuh?”
Mas Riski
menggoda aku lagi. Saat itu kami ada di sebuah restoran, yang rencananya
sebagai tempat farewell dinner. Salah
satu tempat yang musti kami survei. Baru
saja kami selesai santap siang. Pemilik restoran cukup ramah untuk menawarkan salah
satu paket untuk dicoba. Tawaran yang tidak mungkin kami tolak.
“Tergantung
sih...” Aku mengerling. Berniat untuk menggoda dirinya.
Mas Riski
terlihat penasaran. “Tergantung apa?”
“Tergantung
Mas bisa jaga rahasia apa nggak. Dipecat gara-gara ketahuan selingkuh kan nggak
keren banget. Gara-gara korupsi, nah itu baru keren. Nggak malu lah kalo sampai
masuk TV.”
Dia tergelak
cukup lama mendengar kata-kataku itu.
“Aku
bukan cowok ember loh Dit, beneran...” ucap Mas Riski, saat tawanya selesai.
“Yakin?
Berani di tes?” Lagi-lagi aku mengerling.
Dahinya
berkerut. “Cara ngetesnya gimana?”
Aku lalu
mengajaknya beranjak dari meja. Kemudian aku tanya kepada waiter, lokasi toilet
ada dimana. Aku minta Mas Riski menemani ke sana. Sampai di depan toilet
wanita, aku menarik tangan Mas Riski untuk mengajak dia masuk. Awalnya dia kaget,
walau kemudian tersenyum. Aku kemudian mencium bibir Mas Riski. Peduli amat deh
dianggap cewek agresif. Toh, kami
sama-sama sudah tahu hubungan ini akan mengarah kemana. Tinggal siapa yang
memulai saja. Sesuai prinsip ekonomi, kalau mau jalanin affair mesti nguntungin. Jangan
nanggung, mending langsung sama level
atas. Punya ‘orang dalam’ di kantor pusat kan lumayan menjamin karier.
“Nah, bisa nggak Mas nge-rahasia-in
kejadian ini ke temen-temen kantor?” Ucapku begitu bibir kami berpisah. Kami
lalu sama-sama tersenyum.
“Jadi
ciuman aja nih sekarang?” Giliran Mas Riski yang mengerling.
Kujawab
dengan anggukan kepala. “Nggak apa-apa kan?” Dia kemudian mengangguk.
Kami
berciuman satu kali lagi, sebelum keluar toilet. Kali ini Mas Riski sedikit usil
memainkan lidah. Sampai kembali ke hotel, kami tidak lagi membahas soal ciuman tersebut.
Kami kembali berbaur dengan teman-teman, seolah tidak pernah terjadi apa-apa
diantara kami berdua.
***
Sepanjang
kegiatan konferensi, aku dan Mas Riski jarang bertemu. Kami bertugas dalam
bidang yang berbeda. Kami berkonsentrasi pada tugas masing-masing, mengingat
peserta yang hadir kebanyakan dari luar negeri. Nggak mau dong kita terlihat
tidak profesional. Hanya malam hari saja kami saling mengirim pesan. Awalnya hanya
pesan-pesan singkat biasa. Seputar kegiatan dan lain-lainnya. Namun, semakin lama
berbalas-balas pesan itu mulai memanas. Perlahan mulai menjurus ke arah
sensual. Begitu setiap malam terus berulang. Lama jauh dari keluarga membuat
api itu mudah terpercik.
Sampai kemudian
di hari terakhir kegiatan, saat jadwal kegiatan tidak lagi padat. Di lorong
hotel, aku berpapasan dengan Mas Riski.
“Dit,
ikut aku yuk.” Dia menarik tanganku. Mau tidak mau, aku ikuti saja ajakan dia.
Ternyata
Mas Riski mengajak aku masuk ke sebuah kamar. Dia bilang kamar itu kosong,
karena ada peserta yang pulang duluan. Wajar dia tahu, karena memang tugasnya
mengatur akomodasi. “Kasurnya empuk loh Dit, enak buat kita pakai enjot-enjotan,”
begitu kata dia, sambil nyengir.
Aku
tersenyum dong. “Kita Mas? Kok yakin amat sih?” Godaku.
Terbahak
dia mendengarnya. “Yakin dong. Sini coba aku tes.” Lagi-lagi dia nyengir. Dia
meng-copas kata-kataku saat di
restoran.
Usai
berkata seperti itu, Mas Riski menarik tubuhku mendekat. Dia lalu mendaratkan
bibirnya. Dilumatnya bibirku dengan lembut. Agak kaget juga sih. Melihat begitu
intensnya kami saling berbalas sinyal-sinyal seks. Biasanya kalau ada
kesempatan seperti saat ini, si laki-laki akan jadi kesetanan. Berusaha
melampiaskan nafsunya. Ternyata Mas Riski memang berbeda.
Aku
kemudian ikut membalas lumatan bibirnya. Ditengah pergumulan lidah kami, tangan
Mas Riski mulai bergerak. Meraba, lalu meremas payudaraku. Aku biarkan saja, meski
itu beresiko membuat blus batik yang aku pakai jadi lecek. Pun demikian saat tangan
itu ganti mengangkat ujung rok. Rabaan dan remasan itu pindah ke pantatku.
Sebelum menarik turun lagi ujung rokku, tangan itu sempat bercokol di bagian intim.
Dan bibir kami pun kemudian berpisah.
“Oh yah, aku
jadi tambah yakin kalo kita bakal enjot-enjotan.” Begitu ucapnya sumringah.
Aku hanya
tertawa kecil. Aku ingatkan Mas Riski untuk tidak terlalu berharap. Mengingat
tugas kami belumlah selesai. Mas Riski sih menanggapi santai. Kata dia, “Dibuat
mengalir saja. Kalau tidak malam ini, kan masih ada hari lain. Yang jelas kan udah
sama-sama ‘paham’.” Mengerling nakal lagi dia.
Mas Riski
keluar kamar lebih dahulu. Sebelum pergi dia menyerahkan kunci kamar padaku.
Dia menawarkan aku pindah ke kamar itu, karena fasilitasnya lebih lengkap. Kubilang
akan pikir-pikir dulu. Sebelum keluar kamar, aku rapikan dulu penampilan. Ciuman
tadi membuat bibirku butuh dipoles ulang.
Singkat
cerita, seluruh rangkaian acara konferensi akhirnya selesai. Tidak ada lagi
jadwal acara khusus. Kebanyakan peserta konferensi memakai momen itu untuk hunting souvenir, sebelum balik ke
negara mereka. Beberapa ada yang iseng ‘ngajakin’
aku ikut, tapi aku tolak. Profesional dong. Kan kesini buat kerja, bukan buat one night stand.
“Uuhh!”
Aku hempasku tubuh di ranjang. Enak banget rasanya. Dari pagi mondar-mandir pakai
high heels membuat betisku mati rasa.
Belum ditambah lagi seminggu dalam tekanan kerjaan. Bikin lelah lahir batin. Ternyata
benar kata Mas Riski, ranjang di kamar ini empuk banget. Iya, aku memang jadi
pindah kamar. Aku baru bisa ke kamar setelah memastikan paket dinner sudah siap. Baru sebentar leyeh-leyeh, ponselku berbunyi. Mas Riski
menelpon.
“Maaf
Dit, kayaknya aku nggak bisa ke sana, bos besar minta ditemenin ‘hang out’ nih,” begitu kaya dia, usai
menanyakan apakah aku sudah pindah kamar.
Aku
bilang, “Nggak apa-apa Mas.”
Padahal
besok siang Mas Riski sudah balik bersama rombongan. Artinya malam ini aku tidur
sendiri lagi. Aku sih santai saja, toh yang
rugi dia bukan aku. Usai menelpon, aku hempaskan diri lagi ke ranjang. Pengennya
sih mandi, tapi malam itu gravitasi kasur
terlalu kuat. Aku tidak punya cukup tenaga untuk melawannya.
Tahu-tahu
ponselku berbunyi lagi. Padahal baru saja aku selesai ngobrol dengan suami, dan satu teman panitia. Ponselku memang begitu
‘cerewet’ sedari pagi. Awalnya aku enggan mengangkat, tetapi setelah melihat
nama di layar aku tersenyum. “Tumben nih Rez? Mendadak kangen gue?”
Terdengar
tawa di ujung telepon. Dia kemudian berujar, “Kalo gue bilang gue lagi di lobi
hotel tempat lu nginep, gue boleh main ke kamar nggak?”
Serius?
Dahiku berkerut. Saat aku tanya tahunya dari mana, Reza bilang ngeliat dari status media sosialku. Tahu
suamiku tidak ikut, dia bilang langsung membeli tiket pesawat. Pengen melepas
kangen, kata dia. “Dasar stalker...”
aku berkomentar. Terdengar lagi tawa Reza. Kemudian aku beri tahu dia nomor
kamarku. Hitung-hitung ada temen ngobrol, pikirku.
Dan Reza
pun sudah duduk di samping ranjang. Sementara aku ngelanjutin lagi aksi leyeh-leyeh
yang tadi terputus, dalam posisi telungkup. Sambil ngobrol Reza memijati
betisku. Mumpung dia lagi disini mending aku berdayakan dong. Harus aku akui
pijatan Reza enak banget. Pegal-pegal yang tadi melanda, kini berangsur menghilang.
Pelan-pelan pijatan itu terus naik menuju paha.
“Serius
Rez? Pantat gue nggak ikutan pegel tau...” Aku memalingkan wajah, mengajukan
protes. Saat Reza menyingkap rok dan meremasi pantatku.
Dia sih
cuman nyengir kuda. “Sorry, tau
sendiri kan kalo gue selalu penasaran ama isi rok lu.”
“Oke, sekarang lu udah tau warna celana
dalem gue. Sekarang mijitnya pindah ke pudak gih.”
Lagi-lagi
dia nyengir, tapi menurut sih. Dia turunkan lagi ujung rokku, sebelum memindahkan
pijatan ke pundak. Rasanya tidak kalah enak. Aku sampai memejamkan mata, agar
sensasi dari aksi tangan Reza itu kian terasa. Disertai pula dengan desahan
pelan. Beberapa lama aksi pijat-memijat itu berlangsung, tahu-tahu kami jadi berciuman.
Bibir kami bertemu, kemudian saling melumat. Ciuman penuh birahi. Reza yang
sudah lama tidak merasakan tubuhku. Dan aku yang sudah lama tidak disetubuhi. Sebuah
perpaduan sempurna menuju pergumulan nafsu.
Kami
mulai menelanjangi diri. Dengan teramat sangat terburu-buru. Kami melempar pakaian
ke segala arah. Kami sama-sama sedang dilanda birahi. Pijatan Reza memancing
birahiku. Desahan aku memancing birahinya. Lagi-lagi kami saling melumat. Kali
ini dalam keadaan polos tanpa sehelai benang. Tidak hanya saling mencium, kami
juga meraba dan meremas. Tidak lama sih, karena kami ingin bergegas menuju ke
sesi utama. Kami terlalu bergairah untuk berlama-lama melakukan foreplay. Dan kelamin kami pun bertemu. Bertemu
untuk melampiaskan nafsu.
“I miss you. I miss you so much, ” ujar Reza, sambil menghujam-hujamkan
kejantanannya.
Aku tidak
sempat menjawab. Terlalu menghayati keberadaan penis itu di vaginaku. Sudah terlalu
lama kewanitaanku berpuasa. Rasanya nikmat sekali bisa merasakan jejalan penis
lagi di bawah sana. Tanpa dasar aku merancau. Meminta Reza untuk menghujamkan
batang miliknya itu lebih keras lagi. Lebih kencang lagi. Dia pun melakukannya
dengan senang hati.
Sampai
cairan pejuh kental membasahi perutku. Sesaat setelah aku mencapai orgasme.
“Lagi dong
Rez...” Aku menggigit bibir menahan malu. Tidak percaya kata-kata itu bisa keluar
dari mulutku. Reza sampai terkekeh mendengarnya. Tetapi sungguh vaginaku masih ‘lapar’.
Aku butuh orgasme kedua.
Maka aku berikan
Reza service oral terbaikku. Menstimulus
agar penisnya bisa secepat mungkin bangkit lagi. Aku kulumi dan jilati, sampai
ke buah zakarnya. Bahkan aku melakukan rimming
agar otot penisnya segera berkontraksi. Usahaku berhasil. Penis itu kembali
mengacung perkasa.
Persetubuhan
kedua pun terjadi. Diakhiri dengan orgasme lagi. Namun semuanya tidak berhenti
disana ternyata. Persetubuhan itu terus saja berlanjut, dan berlanjut. Ketiga,
keempat, kelima... sampai kami sama-sama kelelahan. Terlentang dengan nafas
terengah-engah. Kemudian terlelap dalam kepuasan. Malam itu aku tidak jadi
tidur sendirian.
***
Pagi harinya,
aku terbangun di balik selimut. Pastilah Reza yang menyelimuti tubuh
telanjangku. Teringat lagi aku kejadian tadi malam. One of the best sex of my life. Sayup-sayup aku dengar suara
gemericik air di kamar mandi. Terdengar pula suara Reza bersenandung. Kemarin
malam dia memang bilang harus ke bandara pagi-pagi. Dia ada janji meeting dengan klien. Tahu punya janji
dengan klien penting, eh masih saja sempat-sempatnya
dia datang menemui aku. Memang kadang Reza bisa sedikit agak ‘nekat’.
Bangkit
aku dari ranjang. Masih dalam keadaan telanjang. Beranjak lalu aku ke kamar
mandi. Aku buka pintunya, dan kulihat Reza di bawah shower. Tubuh itu dalam keadaan basah terlihat semakin mempesona.
“Can I join you?” Tanyaku sambil
tersenyum.
Reza ikut
tersenyum. Dia menarik tanganku. Kami pun berciuman di bawah guyuran air
hangat. Berciuman, sambil meraba dan meremas. Andai saja bel pintu tidak berbunyi,
kami pasti sudah bersetubuh lagi.
Cukup
kaget aku mendengar suara bel. Hanya Mas Riski saja yang tahu aku di kamar ini.
Apa itu Mas Riski? Atau room service?
Aku membatin. Segera aku keluar kamar mandi. Aku minta Reza untuk mematikan shower, dan tetap di dalam.
Ketika
aku di luar, ponselku berbunyi. Aku mengambilnya. Kembali aku kaget melihat
nama yang tertera di layar. Ternyata benar Mas Riski yang ada di luar. Duh, bagaimana ini? Di tengah kepanikan,
aku coba berpikir jernih. Bergegas aku merapikan ranjang yang berantakan, gara-gara
ulahku dan Reza semalam. Tidak lupa aku sambar semua pakaian yang berserakan.
Punyaku dan juga punya Reza. Aku lempar semua ke dalam lemari.
Bergegas
aku buka koper. Main asal sambar beberapa pakaian, lalu memakainya sambil bicara
di telepon. Aku lihat Reza membuka pintu kamar mandi. Langsung aku beri dia
kode agar masuk lagi ke dalam. Dia terlihat bingung, tapi tetap menuruti
kemauanku.
“Maaf
Mas, aku baru bangun nih,” sahutku berbohong.
“Aku yang
minta maaf udah ganggu Dit. Aku cuma pengen pamitan nih sebelum ke bandara. Boleh
masuk nggak?” Lalu aku minta dia menunggu sebentar.
Aku ambil
handuk untuk mengeringkan rambut. Eh malah
jadi terlihat acak-acakan, tapi sesuai dengan alibiku. Aku rapikan sedikit agar
lebih meyakinkan. Dengan kilat aku lihat penampilan di kaca. Nggak malu-maluin banget untuk ukuran orang baru bangun. Bergegas aku menuju pintu,
menarik nafas panjang, dan membukanya. Mas Riski tersenyum melihat aku. Dia
terlihat sudah rapi. Bahkan sudah membawa pula kopernya.
Tiba-tiba
Mas Riski langsung memeluk dan mendaratkan ciuman. Dia melumat bibirku dengan
sangat bernafsu. Di tengah ciuman dia bilang menyesal tidak bisa datang
semalam. Aku biarkan saja dia melakukan itu. Menghentikan laki-laki yang sedang
bernafsu, bukanlah sebuah tindakan yang bagus. Aku biarkan sampai dia puas.
“Nggak
apa-apa Mas, kan lain kali kita bisa ketemu lagi.” Berusaha aku menenangkan
dia, usai kami bercumbu.
“Mungkin ini
kedengerannya lancang. Kita mungkin bakal ketemu lagi agak lama. Jadi aku ada pemintaan
nih Dit, tapi kamu jangan marah ya...” Mas Riski berkata-kata sambil sedikit
terbata.
“Nggaklah
Mas, permintaan apa sih?” Aku tersenyum.
Mas Riski
terlihat sedikit ragu. Kemudian dia berbisik, “Boleh nggak aku ngeliat badan
kamu?” Sesaat dia terdiam. Mungkin mencoba menelisik ekspresi wajahku. Melihat
aku tersenyum lagi, barulah dia melanjutkan kata-katanya. “Buka pakaian luar
aja, dalemannya nggak usah kok.”
Aku pun
mengangguk. Mas Riski terlihat sumringah. Aku malah menggodanya. “Mau aku yang
buka, apa Mas aja yang buka?” Sudah tahu dong jawabannya apa.
Aku tutup
pintu kamar, sebelum membiarkan dia melolosi kaos yang aku pakai. Mas Riski
kaget luar biasa, seperti hampir terkena serangan jantung. Dibalik kaos itu aku
memang tidak memakai bra. Anggap saja bonus untuk atasanku itu. Dia benar-benar
tidak menyangka ‘kejutan’ itu. Dia terlihat takjub dengan pemandangan yang tersaji
di depannya. Namun, itu bukan berarti dia jadi lupa untuk melolosi celana
pendek yang kupakai. Sepertinya dia sempat berharap aku juga tidak memakai
celana dalam. Hanya saja, harapan itu tidak jadi kenyataan. Pujian lalu terlontar
untuk bentuk tubuh dan payudaraku. Bahkan dia sempat meminta aku berputar, agar
bisa melihat lebih jelas katanya.
Kesempatan
itu aku pakai juga untuk inspeksi.
Calon penis yang mungkin akan menyetubuhi aku. Ciuman kali kedua, tanganku
merogoh masuk ke celana Mas Riski. Jelas dia tidak menolak. Laki-laki mana sih
yang menolak selangkangannya di sentuh wanita. Kecuali dia nggak normal, tentunya. Lumayan juga ukuran belum keras. Masuk
standarlah kira-kira.
“Boleh?”
Tanya Mas Riski, meminta ijin untuk sedikit menyentuh payudaraku. Serta ijin
untuk mengintip sedikit kewanitaanku.
Kembali
aku mengangguk. Dan dia pun melakukan semua itu. Aku pikir dia akan berbuat
lebih, eh ternyata tidak. Mas Riski
cukup gentlement untuk menahan diri.
Nanti saja deh di pertemuan berikutnya, kata dia. Lagian ponselnya sempat
berbunyi tadi. Memberitahu kalau rombongan akan segera berangkat. Entah apa
yang terjadi kalau ponsel itu tidak berbunyi. Kami kembali berciuman, kemudian
berpamitan. Disertai janji bertemu di lain kesempatan. Entah kapan.
“Siapa
sih itu tadi?” Reza mengintip dari kamar mandi. Mungkin karena tidak lagi
mendengar percakapan, maka dia berani untuk mendongakkan kepala. Dia pun kaget mendapati
aku berdiri di depan pintu kamar, hanya ber-celana dalam.
“Ih mau
tauuu aja...” ucapku, sambil melangkah masuk lagi ke kamar mandi. “Udah nggak
usah dibahas. Mau ngelanjutin yang tadi nggak?” Ucapku lagi. Kali ini sambil
melolosi celana dalam.
Reza bersorak
kegirangan. Segera dia menarik lepas handuk yang menutupi bagian bawahnya.
.
Akhirnya ada update juga. Keren banget cerita ditha, makin hot. Favorite gw bgt nih. Thanx aduat updatenya
BalasHapusHot bgt, musti Nyiapin baby oil dulu buat ngocok. Hehehe...
BalasHapusNgaceng
BalasHapus