Minggu, 16 Desember 2018

Membantu Mertua


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Aku keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Kudapati suami masih duduk di ranjang, masih dengan ekspresi manyun. Persis seperti saat aku tinggal mandi tadi. Masih tetap telanjang dada, hanya memakai boxer. Aku tersenyum melihatnya. Kudekati dan duduk disampingnya.
“Udah dong ngambeknya...” Kuelus rambut suami.
“Ayah itu ada-ada aja deh. Masa weekend gini kamu diajak kerja sih.”
Kembali aku tersenyum. Kali ini aku kecup pipinya.
Suamiku lagi sebel sama ayahnya. Soalnya kemarin malam ayah mertuaku menelpon. Minta aku temani bertemu klien penting. Dia minta aku jadi ‘konsultan’, kerena aku punya pengalaman soal negosiasi. Sebagai menantu yang baik tentu aku setujui. Sebelumnya aku sudah minta ijin sama suami. Malahan ayah mertua aku suruh bicara langsung dengan suami. Dengan berat hati suami ikut menyetujui. Padahal rencananya hari ini aku dan suami mau ‘bikin anak’. Mumpung si kecil ada acara di sekolah, jadi habis nganter bisa ‘ena-ena’ seharian. Buyar deh rencana itu.
Masih kuelusi rambut suami. “Ntar malem kan masih bisa,” berusaha aku menghibur dirinya.
Quicky bentar yuk, Ma. Buat ngilangin kesel.”
Lagi aku tersenyum. Gini deh kalau manja suami kumat. Terpaksa aku iyakan, soalnya tidak mau meninggalkan suami dalam kondisi dongkol. Lagian masih ada waktu, meski sangat sempit.

Selasa, 16 Oktober 2018

Affair Udara


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Manda, lu ditanyain tuh ama penumpang di kabin bisnis.”
Amanda yang sedang menyiapkan makanan di oven, sedikit kaget oleh kedatangan Karin.
“Siapa?”
“Biasa Pak Evan. Fans nomor satu lu.”
Senyum kecil tersungging di bibir Amanda. Ternyata dia memang gila. Buktinya sudah tiga kali dia ikut penerbangan, di mana Amanda ada di dalamnya. Ini adalah kali keempat, mereka ada di pesawat yang sama. Kali ini bahkan tidak main-main. Pak Evan bahkan ikut di rute penerbangan internasional. Berarti sudah membuktikan kesungguhan hatinya. Padahal, semula Amanda hanya berniat untuk mengujinya saja.
“Biar gue deh yang nganter selimutnya Pak Evan.”
Sip, asal ongkos tutup mulutnya jangan lupa.” Karin mengerling.
Lagi Amanda tersenyum. Tugas melayani penumpang kelas bisnis pun bertukar. Sejak pelatihan Amanda dan Karin sudah bersahabat dekat. Mereka juga kerap kompak dalam menyiasati senior. Keduanya juga kompak dalam melakukan flirting-flirting nakal, baik kepada petinggi maskapai maupun penumpang elit. Semata demi kelangsungan karier. Sudah menjadi rahasia umumlah di dunia penerbangan. Termasuk kepada Pak Evan, tentunya. Ternyata bapak paruh baya yang satu itu lebih merespon Amanda. Karin pun resmi kalah bersaing.
Melangkah Amanda memasuki kabin kelas bisnis. Di dalam cuma ada lima penumpang. Maklum penerbangan terakhir. Empat orang sudah terlelap. Hanya tinggal Pak Evan yang terlihat masih membaca buku.

Kamis, 04 Oktober 2018

Butik Teman


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Hari minggu siang. Setelah mengantar si kecil eskul, aku lanjut ke sebuah supermarket. Belanja keperluan bulanan. Pulangnya, aku sempetin untuk mampir ke butik salah satu teman. Namanya Ratna. Mantan teman SMU, yang kini bisnis di bidang fashion. Dia menyapa aku duluan lewat sosial media. Lama chat-chatan, akhirnya ada waktu juga untuk mampir. Habisnya butik dia ada di pinggiran kota. Bukan rute yang biasa aku lalui sehari-hari. Hitung-hitung berbagi pengalaman bisnis, pikirku.
Aku memang ada niat untuk memulai bisnis. Bekerja di bank mulai terasa melelahkan. Jam kerja yang kadang bisa tidak menentu. Belum lagi target-target yang harus dicapai. Si kecil juga mulai merengek minta ‘dibikinin’ adik. Kalau nanti aku hamil, aku ingin ada di situasi kerja yang lebih tenang. Suami pun mendukung rencanaku itu.
‘Hei Dit, nyasar nggak nyari alamatnya?” Ratna menyambut. Kami lalu bercupika-cupiki. Aku jawab dengan gelengan kepala.
Ratna masih saja seperti dulu. Tak banyak yang berubah dari penampilan dia. Mungil dan sangat cantik. Gaya-gaya berpakaiannya juga masih simpel, namun tetap terkesan stylish. Dari dulu dia memang sangat suka dunia fashion. Aku sangat suka gaya dia dalam melakukan mix and match pakaian. Kadang pakaian biasa pun jadi terlihat glamour olehnya.

Minggu, 24 Juni 2018

Imbalan Bantuan


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Di ruang meeting ponselku bergetar dalam saku blazer. Di layar kulihat sebuah nomor yang tidak terdaftar. Mungkin klien? Pikirku. Aku minta ijin untuk keluar dari ruangan. Di luar aku angkat telepon tersebut.
“Maaf ini dengan Ibu Dita?” Terdengar suara seorang wanita, usai aku ucapkan salam.
Saat aku iyakan, wanita itu kembali melanjutkan. Ternyata dia adalah salah satu guru di sekolah anakku. Menginformasikan kalau si kecil sakit, badannya panas. Kemudian dia menanyakan apa aku bisa datang menjemput si kecil.
Mendengar itu aku jadi panik. Suamiku masih di luar kota. Pembantu tidak ada kendaraan buat dipakai menjemput. Sedangkan aku lagi ada meeting penting. Bagaimana ini? Aku kebingungan. Mendadak aku ingat dengan Leo. Semoga dia tidak ada jadwal kuliah pagi itu. Dan untungnya Leo sudah balik dari kampus. Hari itu cuma ada satu mata kuliah, kata dia. Aku minta tolong dia untuk menjemput si kecil. Kalau perlu diajak ke dokter atau rumah sakit.
“Siap Kak. Aku jemput adek deh.” Begitu ucap Leo.
Menghela nafas lega aku saat itu. Balik aku ke ruangan, sambil berharap meeting akan selesai lebih cepat. Sungguh pikiranku kacau saat itu.
Setengah jam kemudian ponsel kembali bergetar. Masuk pesan dari Leo. “Kak, adek udah selesai di periksa. Kata dokter musti opname, ada gejala DB.” Begitu isi pesannya.

Sabtu, 23 Juni 2018

Bermain Api


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Hari Sabtu itu si kecil nampak bersemangat. Mondar-mandir dia sedari pagi, menyiapkan segala sesuatu untuk liburan. Dia juga sudah membangunkan aku pagi-pagi sekali. Tersenyum-senyum aku melihat tingkahnya. Ayah mertua akan mengajak kami ke sebuah waterpark. Kebetulan dia dapat kupon gratis untuk lima orang. Sudah kami rencanakan seminggu yang lalu.
Sayangnya, suamiku mendadak harus bekerja. Salah satu klien menelpon kemarin malam. Minta untuk ditemani main golf. Mau tidak mau dia harus menyetujuinya. Maklum melibatkan proyek besar. Begitu pula dengan ibu mertua. Mendadak musti keluar kota, ikut dengan rombongan ibu-ibu arisan. Mengingat dia koordinator, maka suka tidak suka musti ikut. Tersisalah ayah mertua, aku dan si kecil. Awalnya ingin aku undur, tapi melihat si kecil begitu antusias, rencana akhirnya dilanjutkan.
“Baju ganti udah?”
“Udah.”
“Alat mandi udah?”
“Udaahh Ma...” Wajah anakku terlihat kesal, ditanya-tanya terus. Aku tersenyum.
Tadi anakku minta menyiapkan sendiri perlengkapan dia. Katanya, sudah besar malu kalau terus diurus sama mama. Bagus sih, tapi kan tetap aku khawatir ada yang ketinggalan. Akhirnya aku mengalah. Aku anggap saja semuanya sudah lengkap.
Saat kami berdua keluar kamar, suamiku sudah menunggu di meja makan. Kebetulan lapangan golf dekat dengan kediaman ayah mertua. Nanti suami akan ngantar sampai di sana, kemudian berangkat ke lokasi naik mobil mertua. Suami memperkirakan acara dia tidak bakal lama. Malah mungkin bisa nyusul ke waterpark belakangan. Kalau tidak, ya di jemput di rumah mertua lagi.

Sabtu, 14 April 2018

Dua Lelaki


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Sudah hampir sepuluh menit aku duduk di ruang tunggu bandara. Di kedatangan internasional, tepatnya. Malam itu ramai sekali. Di layar informasi penerbangan, terlihat kalau ada tiga pesawat landing berbarengan. Salah satunya pesawat yang ditumpangi Fariz. Dia datang dari Malaysia. Sebenarnya kedatangan dia terkait bisnis dengan suamiku. Namun, Fariz minta ke suamiku agar aku yang menjemput. Bisa langsung kutebak maksud permintaannya itu.
Duduk sendiri, ada saja satu dua lelaki yang iseng menyapa. Biasalah sok kenal sok deket. Aku senyumin saja. Untungnya mereka tak bertingkah aneh-aneh. Rombongan penumpang pun mulai berdatangan. Beranjak aku dari kursi untuk mendekat. Tidak lama, terlihat sosok Fariz melambai ke arahku. Aku pun balas melambai.
“Makasi banget loh Dit, mau repot-repot jemput.” Fariz tersenyum. Dia lalu mencium pipi kanan dan kiriku.
“Nggak apa-apa,” sahutku singkat.
“Hendra nggak ikut?” Jelas ini adalah pertanyaan retoris. Kan mereka sudah kontak sebelumnya. Mungkin juga ingin memastikan. Aku jawab dengan gelengan kepala.
Kemudian kami sudah berkendara dalam mobil. Fariz menawarkan diri untuk menyetir. Kupikir akan langsung ke hotel, ternyata dia ngajak mampir. Ke sebuah cafe punya teman buat ngilangin jetlag, kata Fariz. Suami sempat menelpon aku. Menanyakan apakah aku sudah bertemu Fariz. Aku serahkan saja telepon ke Fariz, agar mereka bisa berbincang.

Jumat, 13 April 2018

Kasus Hukum


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Oh gini toh rasanya meeting,” Yudhi tersenyum.
Aku ikut tersenyum. “Emang belum pernah ya?”
“Belum Kak, pernah sih diajak sama ayah tapi ujungnya keluar buat ngerokok. Pusing, denger orang ngobrol ngawur-ngidul.” Kali ini dia terbahak.
“Ya belajar dong. Kan kasihan bisnis ayahmu nggak ada yang nerusin.”
Yudhi mengangguk.
By the way. Mba Dita minggu ini ada waktu kosong nggak?”
“Memang kenapa?” Tanyaku.
“Nggak sih. Pengen ngajak makan aja, sambil ngomongin kontrak ini, masih belum bener-bener ngerti soalnya. Kalo situasinya lebih nyante kali aja bisa cepet nyantol di otak.” Lagi Yudhi tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, dia lanjutkan lagi kata-katanya. “Sebenernya cuma modus doang sih ini, biar bisa ketemu Kak Dita lagi.”
Yudhi tertawa, begitu pula aku. Ini mau modus kok blak-blakan sih.
“Boleh. Nanti kita atur aja waktunya ya.”
Kami pun bersalaman, kemudian dia berpamitan. Yudhi mulai menggantikan peran ayahnya, Pak Romi, yang sakit. Agak sulit sih, karena basic dia bukanlah ekonomi ataupun manajemen. Butuh waktu baginya untuk mempelajari, termasuk kontrak dengan tempatku bekerja. Tadi dia datang ditemani Direktur Keuangan perusahaan, serta seorang pengacara.

Senin, 26 Februari 2018

Cerita Suami


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Malam itu aku melangkah naik ke ruang kerja suami. Maunya nanya soal rencana dinner sama kliennya. Suami minta aku ikut menemani, jadi aku musti atur jadwal. Ternyata di ruangan tidak aku temukan dia. Namun, aku temukan ada kertas tergeletak di meja. Rupanya sebuah undangan resepsi pernikahan. Ada nama suami tertera disana, lengkap dengan gelar. Dahiku berkerut. Ini buat besok, tapi kok suami nggak ada bilang apa-apa, pikirku.
Maka lanjut aku mencari suami, sambil membawa undangan itu. Aku temukan dia di halaman belakang. Sibuk di depan laptop. Pindah kerja ternyata. Kebiasaan suami, kalau lagi jenuh ada di ruang kerjanya. Duduk kemudian aku di sebelahnya.
“Pa, ini undangan apa sih?”
Pandangan suami beralih dari layar laptop. “Oh, itu undangan dari temen lama, dia nikah.”
“Temen papa yang mana nih?”
“Yang cewek.”
“Temen apa ‘temen’? Kok mama nggak pernah denger namanya?”
Mendengar itu suamiku langsung tersenyum. Dia meminggirkan laptop, dan meminta aku duduk dipangkuannya. Sudah hapal dia dengan ekspresi penuh selidik itu. Musti dipeluk, agar tekukan di wajahku tidak semakin menguat.
“Rumit tau Ma, ceritanya...”
“Nggak peduli. Terus?” Wajahku masih menekuk. Suamiku kembali tersenyum.
“Mama, masih inget sama Indri kan?”