Minggu, 24 Juni 2018

Imbalan Bantuan


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Di ruang meeting ponselku bergetar dalam saku blazer. Di layar kulihat sebuah nomor yang tidak terdaftar. Mungkin klien? Pikirku. Aku minta ijin untuk keluar dari ruangan. Di luar aku angkat telepon tersebut.
“Maaf ini dengan Ibu Dita?” Terdengar suara seorang wanita, usai aku ucapkan salam.
Saat aku iyakan, wanita itu kembali melanjutkan. Ternyata dia adalah salah satu guru di sekolah anakku. Menginformasikan kalau si kecil sakit, badannya panas. Kemudian dia menanyakan apa aku bisa datang menjemput si kecil.
Mendengar itu aku jadi panik. Suamiku masih di luar kota. Pembantu tidak ada kendaraan buat dipakai menjemput. Sedangkan aku lagi ada meeting penting. Bagaimana ini? Aku kebingungan. Mendadak aku ingat dengan Leo. Semoga dia tidak ada jadwal kuliah pagi itu. Dan untungnya Leo sudah balik dari kampus. Hari itu cuma ada satu mata kuliah, kata dia. Aku minta tolong dia untuk menjemput si kecil. Kalau perlu diajak ke dokter atau rumah sakit.
“Siap Kak. Aku jemput adek deh.” Begitu ucap Leo.
Menghela nafas lega aku saat itu. Balik aku ke ruangan, sambil berharap meeting akan selesai lebih cepat. Sungguh pikiranku kacau saat itu.
Setengah jam kemudian ponsel kembali bergetar. Masuk pesan dari Leo. “Kak, adek udah selesai di periksa. Kata dokter musti opname, ada gejala DB.” Begitu isi pesannya.
Membaca itu aku kaget luar biasa. Kembali aku ijin keluar ruangan. Buru-buru aku telpon Leo. Aku tanyakan informasi lebih lengkap soal kondisi si kecil. Leo berusaha menenangkan diriku, karena tahu aku masih ada pekerjaan. Dia bilang akan mengurus semuanya sampai aku datang. Aku jadi sedikit lega, meski insting keibuan tetap was-was.
Balik ke ruangan aku berusaha tetap fokus, karena giliranku untuk presentasi. Pikiranku terbagi memikirkan kondisi anak. Selesai presentasi, hari sudah lewat tengah hari. Meeting belum juga berakhir. Klien masih minta beberapa informasi tambahan. Ditengah obrolan, beberapa kali aku berkirim chat dengan Leo. Memastikan keadaan si kecil.
“Lagi tidur, Kak.” Informasi terakhir yang aku peroleh dari Leo.
Akhirnya selesai juga meeting hari itu. Klien cukup terkesan dengan presentasi kami. Berikutnya tinggal mengurus syarat-syarat administrasi. Begitu klien meninggalkan kantor, aku minta ijin ke bos untuk menengok anakku. Begitu mendapat ijin, langsung aku pacu mobil menuju ke rumah sakit. Berusaha aku tiba secepat mungkin.
Aku dapati si kecil masih tertidur. Berterima kasih aku pada Leo. Dia nyengir. “Apa sih yang nggak buat Kak Dita,” begitu kata dia.
Mengingat Leo sudah sedari pagi di rumah sakit, kusodori dia uang untuk membeli makan siang. Leo lalu pergi menuju kantin. Tidak lama Leo sudah kembali, membawa bungkusan makanan dan minuman. Aku sendiri belum makan. Melihat kondisi si kecil laparku seolah sirna. Terbaring lemas dengan infus terpasang di telapak tangan. Leo memaksa aku untuk berbagi makanan. Aku pun menerima beberapa suapan darinya. Segera pula aku menelpon atasan. Kali ini meminta ijin untuk tidak balik lagi ke kantor. Untungnya bosku bisa maklum, serta menitip salam agar anakku cepat sembuh. Habis itu aku telpon suami. Dia kaget diberitahu si kecil opname. Bertanya suami, dengan siapa aku di rumah sakit. Terpaksa aku bohong. Bilang kalau lagi sendirian. Suami pun bilang akan menelpon mertuaku.
“Leo, kamu pulang aja gih, istirahat dulu.” Selain itu, kujelaskan pula kalau mertua akan datang. Bahaya kalau mereka melihat dirinya, akan memunculkan banyak pertanyaan.
Sadar dengan kondisi tersebut, Leo mau menurut. Dia pamitan dan bilang besok akan datang lagi buat menengok. Selang setengah jam sepeninggal Leo, ayah dan ibu mertua datang. Bertepatan pula dengan si kecil yang terbangun. Merengek dia minta pulang. Syukur setelah dirayu-rayu ibu mertua, akhirnya anakku kembali tenang. Malam itu kedua mertua yang berjaga di rumah sakit. Ibu mertua menyuruh aku pulang untuk beristirahat.
Esoknya, aku balik ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Soalnya mertuaku harus bekerja. Aku bawa beberapa baju ganti, buat berjaga-jaga. Selepas kepergian mertua, Leo datang sejam kemudian. Membawakan si kecil game komputer di Ipad-nya. Dia langsung kegirangan. Pintar sekali Leo mengambil hati anakku. Tak lama, ponselku berbunyi. Salah satu calon klien minta ketemu. Soal kesepakatan kontrak. Terpaksa aku merepotkan Leo lagi. Kutanya apa bisa dia aku tinggal.
“Siap Kak!” Leo menyatakan kesediaan. Dengan syarat, tentunya. Dan pasti mesum, tentunya.
Masuk kamar mandi buat ganti pakaian, aku harus menyisakan celah di pintu. Secukupnya untuk mengintip ke dalam. Aku sendiri bisa melihat Leo, berdiri sambil bersandar di dinding. Sesekali terdengar suara Leo bicara dengan anakku. Namun, aku tahu mata dia pasti tidak lepas dariku.
Keluar dari kamar mandi, aku lihat Leo cengar-cengir. Mungkin karena puas melihat aku buka-bukaan. Sementara si kecil masih sibuk dengan game-nya. Tanpa tahu ibunya sedang dilecehkan. Kucium pipi anakku, sebelum berpamitan.
Begitu seterusnya, sampai hari ketiga. Hari dimana suamiku sudah datang. Leo menemaniku tiap kali aku sendiri di rumah sakit. Di sela waktu, dia selalu mencari kesempatan menyentuhku. Aku biarkan saja, mengingat Leo sudah mengorbankan waktu juga. Malam terakhir bahkan Leo minta melakukan seks kilat. Aku menolak, karena tidak enak dengar keberadaan si kecil. Aku janjikan akan menggantinya di hari lain. Saat situasi sudah kembali normal. Leo pun bisa mengerti.
***
Dua minggu berlalu. Aku sedang mengecek email, ketika ponselku bergetar di atas meja. Sebuah pesan singkat masuk. Terlihat nomor Leo. Isinya, “Udah di parkiran Kak.” Maka aku matikan laptop, mengambil tas jinjing, dan keluar ruangan. Sudah aku jadwalkan hari itu berkeliling, agar sesuai dengan jadwal Leo. Sedikit lagi matahari akan meninggi. Dari kaca lobi kantor aku lihat Leo melambai. Berlarian aku mendekati dia. Ternyata dia bawa mobil yang berbeda dari biasa. Saat membuka pintu depan, Leo malah nyuruh aku duduk di belakang. Ya sudah, aku ikuti saja kemauannya itu.
“Kok duduknya di belakang?” Tanyaku padanya, begitu kami sudah di dalam mobil.
Loh, hari ini kan aku sopir kakak, masa bos duduknya di depan sih.”
Kulihat cengiran khas Leo dari pantulan spion depan. Aku hanya menggeleng. Tiga hari lalu Leo memang mengirim chat. Katanya, hari ini jadwal kuliah dia kosong. Dia lalu menagih janjiku sewaktu di rumah sakit. Namun sebelum kami bercinta, dia minta bermain peran lebih dahulu. Hitung-hitung pemanasan, kata Leo. Dia pengen main peran ‘sopir mesum dan bos seksi’. Salah satu, dari sekian fantasi seks nakalnya. Mau tidak mau aku sanggupi. Mumpung sopir kantorku ada yang cuti. Tidak berpikir kalau Leo akan menghayati banget perannya itu. Sampai pakai baju batik resmi dan rental mobil segala. Ah sudahlah, suka-suka dia sajalah.
“Mau dianter kemana Bu Dita?” Tanya Leo lagi. Kali ini ekspresi Leo berubah serius.
Aduh, sampai-sampai pakai panggilan ‘Ibu’ juga nih. Lagi aku menggeleng, sambil tertawa kecil. “Ke jalan Sudirman ya Pak,” sahutku. Mencoba untuk ikut dalam ‘permainan’ ini.
Selesai men-stater mobil, kulihat Leo sibuk mengatur spion depan.
“Ngapain sih?” Tanyaku penasaran.
Bukannya menjawab, Leo malah berujar lagi. “Bu, tolong duduknya digeser sedikit ke tengah.”
Aku ulangi pertanyaanku, Leo juga mengulangi ujarannya. Maka aku ikuti saja kemauan Leo itu. Begitu berpindah, kulirik pantulan kaca spion. Dari sana bisa terlihat ujung rokku dengan sangat jelas. Barulah aku mengerti maksud Leo. Mau ngintip ternyata sopirku ini.
“Udah keliatan belum, Pak?” Tanyaku langsung to the point. Sekalian menggoda Leo.
Leo terkekeh. “Belum Bu. Tapi kalo Bu Dita ikhlas sih, boleh dong dibuka dikit pahanya.”
Tersenyum diriku. Sopir mesum, tapi tetap sopan ternyata. Kuturuti permintaan Leo. Perlahan aku buka paha. Cukup lebar untuk memamerkan isinya. Jempol Leo pun teracung. Tanda kalau dia sudah melihat apa yang diinginkan. Tak berhenti disana, dia juga minta aku buka kancing.
“Warnanya sama kayak celana dalem.” Kusahuti saja duluan, karena sudah kutangkap inginnya.
Lagi Leo terkekeh. Tidak dia paksa lagi aku untuk buka kancing. Hanya meminta aku melepas blazer saja. Saat kuturuti, mobil pun melaju meninggalkan parkiran.
Selama di jalan, Leo kerap curi-curi lirik ke belakang. Aku peringatkan agar dia fokus nyetir. Dia menurut. Tetapi sebagai gantinya, setiap kali ketemu lampu merah atau mobil kena macet, Leo akan memberi kode. Kode itu berarti aku harus buka paha, lagi. Mana ketemu lampu merah sama macetnya banyak lagi. Puas banget deh sopir mesumku itu cuci mata.
Kemesuman sopirku hari itu belum selesai. Tahu warna daleman saja belumlah cukup. Leo minta aku melepas daleman, atas bawah. Jelas dong aku protes mendengarnya.
Ih enak aja. Ini lagi kerja loh ini, masa nggak pake daleman sih...”
Debat berdebat, tawar menawar, akhirnya Leo mau ngalah. Dibiarkan aku tetap pakai daleman. Cuma nanti waktu makan siang musti dilepas. Aku pun menyetujuinya.
Bukan apa-apa aku ngotot-ngototan soal daleman. Ketemu nasabah lain sih masih aman, ketemu Pak Pram yang rada rawan. Tahu sendiri dia dan Leo itu mirip-mirip. Mana pernah aku dibiarkan pergi tanpa ‘diraba-raba’ dulu. Meski niat datangnya cuma ngasih kalender dan souvenir. Nggak sampai gituan sih. Sekedar ciuman, tapi tangannya ngerogoh kemana-mana. Kebayang andai Pak Pram tidak menemui apa-apa dalam rok. Bahaya buat image profesional. Leo sih nggak tahu itu. Dia kan nunggu di parkiran.
“Habis ini kita langsung ke kampus ya, Bu Dita?” Tanya Leo, begitu aku masuk lagi ke mobil.
“Boleh,” sahutku singkat.
Selain bermain peran, Leo cukup baik mengatur sebuah janji untukku. Bertemu dengan Dekan di kampusnya. Sambil menyelam minum airlah, ceritanya. Leo bercerita padaku, kalau pembayaran uang kuliah rencananya akan dipindah bank. Biasa ganti pimpinan, ganti juga kebijakan. Bagi aku ini sih peluang bagus. Apalagi Leo dan Dekannya itu cukup dekat. Dulu katanya bapak ini mengurus bidang kemahasiswaan. Bikin janjinya saja lewat telepon, nggak pakai surat. Semoga ‘nego-nego’ yang aku tawarkan diterima.
Mobil akhirnya terparkir di areal kampus. Suasananya sudah sangat berubah, sejak terakhir aku datang ke sana. Banyak gedung-gedung tambahan. Kampus masih ramai, karena jadwal kuliah masih berlangsung. Turun mobil, langsung saja aku diajak Leo ke gedung utama. Ruang Dekan ada di lantai atas. Pintu di ketuk, kami disambut langsung oleh yang bersangkutan. Mereka memang terlihat sangat akrab.
“Oh ini yang namanya Mba Dita.” Laki-laki paruh baya itu menyodorkan tangan.
Kusambut tangannya dan berkenalan. Dia minta aku panggil Pak Zul. Singkatan dari Zulfikri.
Dia mengajak kami duduk. Mengingat sebentar lagi Pak Zul ada rapat di Rektorat, aku diminta langsung memulai presentasi. Aku sodorkan proposal kerja sama. Dia membaca lembar demi lembar, sambil mendengar penjelasan dariku. Sesekali dia lontarkan pertanyaan.
Sedang serius menjelaskan, tiba-tiba terasa sentuhan di paha. Rupanya tangan Leo, lagi meraba di bawah meja. Sempat aku melengos ke arahnya, tapi dia cuek saja. Malah nyengir. Untungnya Pak Zul tetap serius membaca, sehingga tidak sadar apa yang terjadi. Aku harus konsentrasi pada presentasi. Pak Zul harus setuju memilih bank tempatku bekerja. Sadar aku tak lagi fokus kepada dirinya, Leo meneruskan aksinya itu.
“Betul Pak. Kalau soal ‘fee nanti bisa dibicarakan lebih lanjut.” Berusaha aku tetap tersenyum ramah. Meski di bawah sana, ujung rok sudah terangkat separuh paha.
“Begini saja, bagaimana kalau saja minta kontak Mba Dita. Saya musti dengarkan tawaran dari bank yang lain. Mba Dita keberatan kalau kita bicarakan ini lebih pribadi? Sambil makan siang mungkin?”
Duh, dapet lagi nih model klien kayak gini, meruntuk aku dalam hati. Klien yang musti dilayani, musti dibikin ‘seneng’, dan lain-lain. Semoga ujung-ujungnya nggak minta naik kasur. Habisnya Pak Zul ini jauh banget dari seleraku. Aku berikan saja nomor ponsel bisnis. Pakai acara dicek segala lagi. Takut kuberi nomor palsu mungkin.
“Kalau yang ini pembagian persentasenya seperti apa?”
Berusaha aku tidak meruntuk. Kupikir presentasi sudah selesai. Terpaksa aku berikan penjelasan lagi, dalam kondisi celana dalam yang lagi diraba. Menahan diri aku agar tidak mendesah. Kalau saja keadaan tidak seperti ini, sudah kucubiti habis si Leo.
“Baiklah, saya rasa cukup penjelasannya...” Mendengar itu barulah Leo menarik tangannya.
Pak Zul lebih dulu berdiri, lalu menyodorkan tangannya. Sebelum berdiri aku rapikan dulu ujung rok. Barulah menyambut tangan Pak Zul. Bergegas aku keluar dari ruangan. Rabaan Leo tadi bikin aku kebelet pipis. Begitu keluar toilet, langsung aku omeli Leo. Dan bisa ditebak, dia hanya cengar-cengir. “Kan sopir mesum...” Hanya itu alasan dia. Mau tidak mau, aku pun hanya bisa menahan kesal. Sadar kalau hari ini dialah yang ‘berkuasa’.
“Sekarang makan yuk. Laper nih,” ucapku begitu sampai di mobil.
Leo menoleh ke belakang. “Kalo gitu dalemannya di lepas dulu dong.” Kemudian terkekeh.
Duh, masih ingat saja dia dengan kesepakatan kami. Kembali aku tidak kuasa menolak. Dimulai dengan menarik lepas celana dalam. Kusimpan kain mungil itu di dalam tas. Sebelum lanjut ke atas, Leo minta aku buka paha dulu. Katanya, pengen tahu bulunya lagi panjang apa pendek. Dan dia pun nyengir, saat tidak melihat adanya bulu. Lanjut kulepas bra. Aku lakukan tanpa melepas blouse, dan masuk juga ke tas. Leo memberi kecupan jauh, ketika putingku tak sengaja terlihat. “Sabar ya sayang, nanti kenyotin deh kamu,” begitu kata dia. Pesan untuk kedua putingku.
Habis itu, mobil melaju menuju sebuah mall. Sampai di parkiran basement, kami turun. Berjalan kami menuju lift, di salah sudut Leo menarik tanganku. Dia dorong aku mepet ke dinding, lalu melumat bibirku. “Mmm, mmm, mmm,” berusaha aku menarik bibir tapi gagal. Aku takut kalau ada orang lewat. Lebih parah satpam memergoki kami. Leo sih cuek saja. Langsung aku tepuk bahu Leo, begitu bibir kami terpisah. Dari seperti biasa, ditanggapi saja dengan cengiran. Sebel.
Keusilan Leo berhenti di sana. Ketika berada di eskalator, tiba-tiba ujung rokku terangkat. Itu berarti pantatku bisa terlihat dari belakang. Mengingat aku tidak lagi pakai celana dalam. Dengan refleks aku turunkan. Menoleh dan melotot aku ke arah Leo. Lagi dia tanggapi dengan nyengir. “Tenang Bu, nggak ada orang kok.” Aku melengos, eh cengiran dia makin lebar. Sebel, sebel.
Berikutnya makin bikin sebel. Kali ini dia minta aku lakukan dengan sukarela, agar menggoda dirinya. Ketika kutolak, Leo mengancam akan balik ke parkiran. Pergi dan kami putus hubungan. Ancaman itu berhasil bikin aku takluk. Leo tahu kalau aku butuh dia.
Sebagai pemanasan, dimulai dengan mengangkat rok beberapa kali. Kalau situasi sepi dan aman. Memamerkan organ intimku, depan dan belakang. Termasuk payudara, lewat celah blouse yang kancingnya terbuka. Syukurnya suasana mall memang cukup lengang siang itu. Cengiran Leo makin lebar dan lebar saja. Seiring aksiku yang makin ‘berani’. Sesekali kami juga saling peluk dan cium. Jujur aksi tersebut kian memancing sisi liarku. Leo pun sepertinya tahu itu.
“Bu Dita mulai nakal ya sekarang,” Leo terkekeh.
Aku mengerling. “Tapi Pak Leo suka kan?”
Dia balas mengerling, sambil ngacungin jempol. Kami berdua kemudian tertawa lebar.
Untuk lebih meningkatkan ketegangan. Kami berjalan menuju sebuah counter pakaian. Di sana aku ambil sembarang dua pasang pakaian. Aku tarik Leo menuju kamar pas. Dari cengiran Leo, agaknya dia bisa membaca maksudku. Di dalam, dua pasang pakain itu jadi saksi bisu. Melihat aku dan Leo berpagutan panas. Ketika tangan Leo hendak mengincar payudara, aku hentikan dia. Sadar kalau dinding bilik cukup tipis. Kalau dia dibiarkan mainin dada, aku akan sulit menahan desah. Selain itu, pakaianku bisa saja jadi lecek. Balik ke kantor dalam kondisi seperti itu, pasti akan timbul kecurigaan.
“Udah yuk, kita makan sekarang, ” bisikku padanya.
Yah, belum juga buka-bukaan.” Leo merajuk.
Kutepuk bahu Leo pelan. “Katanya udah booking kamar. Ngapain buka-bukaan di sini.”
“Kalo gitu sepong aja deh.”
“Nggak.”
Melangkah aku keluar dari kamar pas, tanpa menunggu reaksi Leo. Mau tak mau Leo mengikuti langkahku. Hari ini dia memang penentu ‘permainan’, tetapi harus aku tunjukin kalau aku tetap punya kendali.
Kami sudah duduk di food court. Siang itu aku pesan makanan ‘berat’, karena dilanda kelaparan. Leo sendiri hanya memesan kue dan minuman dingin. “Makannya segitu aja? Awas ntar lemes loh di kamar,” godaku padanya. Dia cuma nyengir. Memang dia tidak fokus dengan makan. Dia lebih menikmati meraba sana-sini. Sudah bisa diduga sih, saat dia milih meja di pojokan. Sekali-dua kali, dia memagut bibirku. Tidak ada gunanya juga menghentikan kenakalan itu. Biarlah Leo menikmatinya. Sampai dia mengeluarkan suatu benda dari tas selempang.
“Nggak-nggak, nggak mau...” Aku protes.
Benda itu adalah dildo mini. Sudah pernah aku merasakan efek benda itu. Minta ampun gelinya, kalau sudah bergetar. Pokoknya bikin repot kalau ada di tempat umum. Mulai deh Leo memelas. Gaya khas kalau permintaan dia tidak dipenuhi. Aku memang bilang akan ikut maunya dia hari ini, tapi kan nggak aneh-aneh seperti ini. Terus dia memelas dan memelas, tidak aku pedulikan.
“Bentar aja, bentar aja...” Memelas dan memelas lagi.
Akhirnya aku iyakan. Semata karena takut rengekan Leo mengundang perhatian. Soalnya, meja-meja di dekat kami kini sudah berpenghuni. Terlihat lagi deh cengiran itu anak. Sudah dapat ijin dariku, Leo segera beraksi. Dia buka dua kancing tengah blouse-ku. Lewat sana dia masukkan dildo, tepat mengenai puting payudara kiri. Klik, dia tekan tombol on. Mulailah si dildo bergetar.
Dreet, dreet, dreet...” Aku sedikit tersentak. Meski diatur dengan volume paling minimal, tapi tetap saja tak bisa mengurangi rasa geli. Mengingat puting memang bagian yang sangat sensitif.
Berusaha aku tahan ekspresi. Berusaha tetap terlihat biasa. Kutaruh tas jinjing di atas meja, guna menutup bagian atas tubuh. Makin sulit terlihat wajar, begitu dildo pindah ke puting kanan. Dan makin sulit lagi, ketika dipindah ke dalam rok. Mataku sampai berkaca-kaca menahan geli. Bibir bawah aku gigit agar desahan tidak keluar. “Sshh, sshh, sshh...”
“Udah ya Leo, udah nggak tahan nih...” Giliran aku yang memelas. “Pengen pipis...”
Leo tertawa kecil mendengarnya. Belum ada niat dia menarik keluar dildo itu. Benda itu masih menyapu permukaan paha dalam dan kewanitaan. Tidak sampai dimasukkan, tetapi sudah cukup bikin aku nyaris kelenjotan. Akhirnya, mungkin karena melihat wajahku yang makin memerah, dia tarik juga si dildo. Aku menghela nafas. Tanpa minta diri, langsung berdiri, dan melangkah cepat ke kamar mandi. Air kencing sudah ada di ujung. Lega sekali rasanya setelah dikeluarkan.
Balik ke meja, aku tepuki lengan Leo sebisa mungkin. Lagi dia hanya tertawa-tawa kecil. Malah dia sempat merogoh lagi ke dalam rok. “Yah, kok celana dalemnya udah di pake sih...” Dia cek braku, lalu terlontar gerutuan yang sama.
Ganti aku yang nyengir, lengkap dengan juluran lidah. Leo pun hanya bisa melengos dongkol.
Tidak mau terlihat kalah, Leo mengangkat tangannya. Dia panggil pelayan untuk meminta bill. Seorang pelayan cowok datang ke meja kami. Waktu bill sudah di tangan, dengan sengaja Leo bikin kertas itu terjatuh. Tidak hanya itu. Saat si pelayan refleks jongkok, Leo melempar sendok dan garpu. Terjatuh keduanya ke lantai.
“Maaf, maaf...” Ucap Leo, membuat seolah itu semua tidak sengaja terjadi.
Masih belum ngeh apa yang terjadi, kurasakan cubitan di paha. Spontan pahaku bergerak karena rasa sakit. Momen itu dipakai Leo untuk menarik lutut kananku ke sisi dia. Otomatis paha jadi membuka lebar. Sangat lebar. Sempat dia menahan pahaku tetap membuka, untuk beberapa saat, sebelum berhasil aku apitkan lagi.
Ketika si pelayan berdiri lagi, dari ekspresi wajahnya bisa diterka, kalau tadi dia sempat melihat celana dalamku. Aku ikut jadi malu sendiri, mengingat waktu itu aku pakai seragam. Si pelayan pasti kalau aku pegawai bank. Pasti dia juga tahu dari bank mana. Dan dia telah melihat bagian intimku, gegara keusilan Leo. Mana dia senyum-senyum jail lagi ke arahku, saat menyodorkan bill kepada Leo. Seolah dalam hati dia berujar, “Gue tau warna cangcut lu...”
Mana sengaja lagi Leo berlama-lama nyerahin uang. Pakai acara pilih-pilih isi dompet. Padahal aku lirik isinya seratus ribuan semua. Aku jadi makin canggung.
“Gitu aja sebel sih Bu Dita. Hitung-hitung ngasi tips gitu.” Tawa nyebelin itu terdengar lagi.
Kami sudah ada di dalam mobil. Duduk di sebelah Leo, masih aku melengos. Meski begitu, tetap aku biarkan tangannya mengelusi paha. Dia masih punya hak sampai malam nanti. Memang itu tujuan Leo minta aku pindah duduk ke depan.
“Bu Dita, disepongin dong saya sambil nyetir.”
Uuhh. Pak sopir banyak banget sih maunya,” sahutku ketus.
Leo terkekeh. “Janji, ini yang terakhir deh. Lagian udah deket kan dari kantor, palingan berapa menit doang nyepongnya.”
“Janji ini yang terakhir ya...” Dijawab oleh Leo dengan anggukan.
Terpaksa aku turuti. Aku sudah lelah jadi ‘mainan’ Leo. Aku pegang janjinya, kalau ini adalah pemintaan ‘aneh-aneh’ terakhirnya.
Bergeser aku mendekat. Tanganku bergerak membuka kaitan sabuk, celana, serta resleting. Aku rogoh pakai tangan kiri, berusaha meraih batang penisnya Leo. Kebetulan mobil kena macet, itu membantu usahaku tersebut. Tidak perlu lama, aku sudah merunduk, dan mulai mengulum.
“Duh enak banget ternyata sepongan cewek kantoran. Jilatin juga dong ujungnya Bu Dita...” Leo merancau. Menghayati perannya sebagai sopir mesum.
Kuturuti lagi kemauannya. Kurasakan mobil hanya bergerak lambat-lambat, artinya kami belum keluar dari kemacetan. Mulai aku jilati ujung ‘kepala’, tepat di bagian lubang kencing. Terdengar lenguhan si pemilik penis. Sengaja tidak aku berikan sepongan maksimal, takut jadi muncrat dan pejuhnya kena seragamku. Aku kulum-kulum lembut. Tidak ada keberatan terlontar dari Leo. Itu berarti dia menikmati permainan mulut dan lidahku.
Sepuluh menitan aku menengadah, melihat posisi kami ada di mana. Mobil telah melaju dengan lancar. Ternyata kantorku sudah terlihat, sebentar lagi kami memasuki parkiran. Leo minta aku menyepong sedikit lagi. Aku turuti sampai mobil benar-benar berhenti. Leo ternyata cukup sopan untuk bilang terima kasih atas jasaku, mesti tidak sampai ejakulasi.
Keluar dari mobil, Leo ikut aku masuk ke dalam. Kasihan kalau dibiarkan menunggu di parkiran, meskipun dia sudah ‘menyiksa’ diriku seharian. Toh, sebentar lagi jam kerja akan berakhir. Kami masuk ke ruanganku. Menunggu Leo di sofa, sementara aku menginput data klien yang tadi kami temui. Termasuk pekerjaan lain, yang sudah menunggu di atas meja.
Tidak lama pintu diketuk. Ternyata Putri pelakunya. Tanpa disuruh dia langsung saja masuk.
“Hai, hai, couple, boleh ganggu nih?” Dia nyengir. Kalau sudah seperti ini, berarti dia lagi nggak ada kerjaan.
Bukannya mendekati diriku, eh si Putri malah nyelendor ke arah Leo. Duduk dia di sebelah Leo. Dasar penyuka daun muda. Mereka berdua saling melempar senyum.
“Kalian abis ngewe yah?” Tanpa basa-basi, pertanyaan itu yang terlontar pertama. Mana keras lagi nada suaranya.
Langsung aku melotot ke arah Putri. Nggak sekalian sekalian pake TOA aja nih anak, umpatku dalam hati. Biar semua orang kantor bisa denger. Putri sendiri malah cengar-cengir. Begitu pula dengan Leo. Kompak banget deh mereka berdua.
“Nggak sempet, Kak.” Leo menimpali.
Duh kacian,” Putri terkekeh. “Kalo gitu lu ngewe ama gue aja yuk.”
Mendengar itu Leo tersipu. Aku hanya menggeleng. Sudah hapal aku dengan kelakukan Putri.
“Nggak ah Kak, nanti dimarahin sama Kak Dita.”
Putri terkekeh. “Gila. Jinak amat si Leo ama lu, Dit. Mantap nih artinya goyangan lu.”
Aku tersenyum kecil, masih tetap sibuk dengan keyboard. Tidak tahu Putri kelakuan Leo yang sebenarnya. Pintar saja dia akting ‘lugu’ kalau ada orang lain. Kembali dia berujar, “Kasilah Leo gue ‘pinjem’ bentar. Paket skincare ama komestik yang kemarin, nggak usah lu bayar deh.”
Langsung aku mengalihkan pandangan. “Serius lu, Put?”
Dia mengangguk mantap. Ganti aku tatap Leo.
“Kamu layanin Putri gih Leo, hitung-hitung sekalian kamu nraktir aku skincare.”
Kini Leo yang terkekeh, usai bertukar pandangan dengan Putri. Dengan nakal Putri mengerling. Dia juga mengaum layaknya singa betina, bertemu mangsa. Lanjut dia memberi kode agar Leo mendekat. Aku jadi ikut tertawa melihat kejadian itu. Sekali lagi Leo menoleh kepadaku, yang aku respon dengan anggukan. Dan berlangsunglah sebuah momen panas di hadapanku. Putri dan Leo berpagutan panas. Bukan Putri namanya, kalau tidak pakai acara ‘tempur’ lidah.
“Ke ruangan gue yuk. Di sini ada kameranya.”
Putri menarik tangan Leo. Bagaikan kerbau dicocok hidungnya, Leo manut-manut saja. Sebelum keluar, Putri sempat melambai ke arahku. Aku hanya menggeleng kepala. Sepeninggal mereka, aku kembali lanjut bekerja. Hampir setengah jam lamanya, Putri dan Leo baru nongol lagi.
“Nih, gebetan lu gue balikin.” Putri mengerling, yang disambut cengiran Leo.
Setelah itu, Putri melambai dan ninggalin kami.
“Ngapain aja kamu sama Putri?” Tanyaku, ketika dia berdiri di belakangku. Pura-pura aku sibuk mengamati layar, menutupi rasa penasaran.
Mesti tidak melihat, aku yakin Leo sedang nyengir. “Kenapa Bu Dita? Cemburu?”
“Nggak. Pengen tau aja.”
“Nggak ngapa-ngapain kok, cuma ngobrol aja. Kak Putri nanya-nanya soal temen aku yang dia kenal dari media sosial. Kebetulan satu kampus.”
Aku menoleh ke belakang. “Serius?”
Mengangguk Leo. “Lagian kalo diajak ‘macem-macem’ sama Kak Putri, aku nggak bakalan mau kok. Aku kan tipe cowok setia.”
Ganti aku yang tersenyum. “Yakin? Terus tadi itu cipokan basah apa namanya?”
“Itu namanya khilaf, tapi enak...”
Kucubit paha Leo. Nyengirnya semakin lebar. Kemudian dia pamitan. Mau ngerokok di parkiran dulu, kata dia. Tidak lama dia keluar ruangan, masuk pesan singkat dari Leo. Isinya bilang mau nunggu di hotel saja. Ditambah info nama hotel dan nomor kamar. Aku balas, dan mengiyakan hal tersebut. Masih ada dua puluh menit lagi, sebelum jam kerja berakhir.
Pulang kantor, mobilku melaju agak kencang. Beruntung lalu lintas agak lengang. Aku memang perlu segera sampai di hotel, agar tak sampai pulang malam. Mengingat Leo kalau bercinta suka lama. Kelamaan di foreplay sih biasanya. Bel pintu aku pencet, muncullah dia dari balik pintu. Leo terlihat sudah memakai kimono, yang artinya dia sudah bersih-bersih.
“Kamu sudah mandi? Kalo gitu aku mandi juga ya.”
Leo malah langsung memeluk. “Nggak usah,” ucap dia. Dibalik tubuhku, dan didorong sampai mentok dinding. Terdengar nafas Leo yang sudah memburu. Dia sudah dilanda birahi.
Terasa ujung rok terangkat tinggi sekali. Menyusul elusan dan remasan tangan Leo di paha dan pantat. Selang beberapa saat, sesuatu bergetar menyusuri kain celana dalam. Pasti itu dildo yang tadi dipakai Leo di mall. Pasrah aku rasakan sensasi geli yang melanda. Selangkangan langsung berdenyut, ketika dildo sampai lubang vagina. Leo sengaja menekan-nekan di bagian itu. Belum lagi terasa gesekan penis di pantat. Tidak sampai hitungan menit, celana dalamku sudah basah.
Sadar aku sudah terangsang, Leo mengganti dildo dengan ujung penis. Masih dia gesekin celana dalamku, tepat di lubang pipis. Gesekan itu menimbulkan celah di sisi celana dalam. Dia tusuk lalu penisnya lewat celah tersebut. Masuk dengan mulus. “Aaahhhh,” aku mendesah panjang.
Tahu kalau vaginaku sudah basah, Leo tidak merasa perlu lagi main slow. Langsung dia tancap gas sekencang mungkin. Aku sampai dibuat kelenjotan. Tubuhku jadi makin tertekan ke dinding. Lagi-lagi aku hanya bisa pasrah. Hanya bisa memejamkan mata. Sepenuhnya tak berdaya. Dalam kondisi seperti itu, aku seperti merasakan sensasi diperkosa. Kasar dan tanpa ampun. Meskipun aku belum pernah diperkosa sebelumnya.
“Gue entot lu bos, gue entot memek lu! Rasain nih kontol gue! Rasain!” Leo merancau. Mungkin dia masih menghayati perannya sebagai sopir.
Tidak aku berkomentar. Hanya desahan demi desahan keluar dari mulutku, seiring lesakan demi lesakan penisnya Leo. “Oohhh, oohhh, aahhh, aahhh...”
Menjelang ujung, Leo mengangkat satu kakiku. Dengan begini, penis dia jadi bisa menghujam lebih dalam. Berkedut-kedut sebelum menyemburkan cairan hangat. Dia banjiri rahimku dengan sperma. Pantas tadi siang dia bertanya apakah aku lagi ‘aman’ atau tidak. Sebelumnya, sudah dia siapkan skenario ‘perkosaan’ ini. Dia sempat bercanda, bilang kalau mau ngerasain jadi suamiku, bisa keluar di dalam. Leo tidak menarik penisnya dengan segera. Dibiarkan penis itu mengendur perlahan, dalam kewanitaanku.
Begitu penis dicabut, Leo menahan tubuhku agar tidak terjatuh. Kakiku terasa lemas, tidak kuat menahan tubuhku sendiri. Perlahan dia memapahku ke ranjang. Dia bantu aku berbaring, sampai akhirnya aku bisa menguasai diri. Kemudian, Leo membantu aku menelanjangi diri.
“Jahat kamu ih, kasar banget mainnya...” Aku meruntuk.
Leo nyengir. “Sekali-kali ngerasain sensasi yang beda Bu Dita. Masa lembut-lembut terus.”
Meski merengut, Leo tahu kalau aku menikmati permainan tadi. Beranjak aku menuju kamar mandi. Leo ikut dari belakang. Sementara aku bersih-bersih, dia mengawasi dari pintu. Senyum-senyum dia melihat aku membilas vagina. Mungkin bangga, tadi sempat membanjiri bagian itu dengan sperma miliknya.
Kami juga sempat ngobrol. Barulah terungkap, kalau tadi di ruangan lain Leo dan Putri sempat petting. Tidak sampai buka-bukaan, tapi sempat sentuh-menyentuh organ intim. Itu yang rupanya bikin Leo terangsang. Pantas saja tadi saat pulang Putri sempat nyeletuk, “Leo udah gue panesin tuh, tinggal lu ‘pake’ aja.”
Sadar tidak punya banyak waktu, usai mengeringkan tubuh, Leo langsung minta aku berbaring lagi di ranjang. Telanjang. Kulihat lalu dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Semuanya itu mainan seks. Heran aku, dimana sih Leo mendapat benda-benda tersebut. Kemudian dia minta ijin memakaikan aku borgol. Duh, ada-ada aja nih, pikirku. Setelah diyakinkan kalau semuanya aman, aku menyetujuinya. Dalam hati ada sedikit rasa penasaran juga.
“Pelan-pelan ya, awas tanganku lecet.”
“Nggak bakalan, ini ada pelindung kainnya kok.”
Leo mengangkat kedua tanganku. Dipasang borgol tersebut, sehingga tanganku terkunci di ujung ranjang. Menyusul selembar kain, yang dia pakai menutup mataku. Aku seperti merasa ada di dalam film Fifty Shades of Grey, dimana milionernya adalah seorang mahasiswa. “Leo?” Berujar diriku, karena aku sudah tidak bisa melihat apa-apa.
“Iya Bu Dita, saya masih di sini.”
Lagi kemudian terdengar getaran dari dildo. Sedetik kemudian, tubuhku sudah dilanda lagi rasa geli. Permukaan dildo menyusuri kulitku. Mulai dari kedua payudara, berputar-putar benda itu di sana. Mengenai kedua puting, turun ke perut, pusar, paha, lutut, dan kaki. Balik lagi ke payudara. Setiap syaraf dilanda sensasi geli. Makin geli, saat puting kanan terkena dildo, sementara puting kiri diemuti. Dilakukan bergantian. Lagi-lagi aku tak berdaya. Terbaring lemah, tak punya kuasa.
“Leo, Leo...” Ucapku lirih, disela-sela desahan.
Foreplay berlanjut. Getaran dildo berganti cairan. Dingin ketika terkena kulit. Kuterka itu adalah minuman ringan, karena terasa ada nyes-nyes dari gelembung soda. Dituang di kedua payudara, dan terasa meleleh menjalari perut, sampai ke pusar. Sapuan lidah kemudian menyusul. Kembali sensasi geli melanda diri. Seolah Leo meneguk minuman itu langsung dari tubuhku. Usai tubuh atas, Leo menuangkan juga di selangkangan. Kini dia menjilati daerah kewanitaan. Dia lakukan dengan sangat telaten. Hampir setiap sudut vaginaku terkena sapuan lidah. Area itu pun kembali basah. Dengan rakus diseruputnya pula cairan cintaku itu.
Dalam kegelapan, aku hanya mampu menerka-nerka, apa yang akan terjadi berikutnya. Justru itu menimbulkan sensasi yang nikmat. Setelah jeda beberapa saat, terasa Leo menyapukan sesuatu ke bibirku. Ketika kena lidah rasanya manis. Mungkin sejenis madu. Setelah itu, menyusul Leo memasukkan batang penis ke mulutku. Rasanya sama manisnya. Dia pasti mengolesinya dengan cairan yang sama.
Mmhhh, mmhhh, mmhhh,” Desahku jadi tertahan, saat Leo mulai menusuk-nusukan penisnya.
Dia pasti lagi mengangkang di atas kepalaku. Terasa dari guncangan ranjang. Terasa pula kalau batang penis itu terus mengembang. Puas ‘menyetubuhi’ mulutku, Leo ganti mengulumi bibirku. Dia jilati bibir, telinga, dan leherku. Terus turun, sampai sekujur tubuhku jadi berliur. Ujungnya kembali di areal intim. Nikmat sekali sensasinya.
“Sshhh, sshhh, sshhh...” Terus aku mendesah, mendesah, dan mendesah.
“Udah siap dimasukin, Bu Dita?” Bisik Leo di telingaku.
“I-iya,” sahutku lirih.
“Bilang kalau ibu mau dientot, bilang kalo ibu mau dikontolin.”
“Entot saya Pak, kontolin saya. Saya mohon, Pak.”
Terdengar tawa Leo. Puas karena aku menuruti maunya. Berperan bak majikan yang takluk pada bawahan. Kelamin kami beradu kembali. Leo menusukan penisnya. Entah kenapa, dalam kondisi mata tertutup, tusukan terasa lebih nikmat. Gesekan demi gesekan jadi lebih nikmat. Syaraf di kemaluan jadi lebih sensitif. Mungkin ditambah faktor bermain peran pula. Leo dengan sengaja memainkan penisnya pelan-pelan. Dilakukan sambil meremas-remas lembut payudaraku.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
Kembali getaran dildo menyerang kedua putingku. Sementara tusukan penis Leo tidak berhenti. Diserang kenikmatan aku dari dua sisi. Terus dan terus, sampai aku mendapat orgasme. Terasa Leo menarik penisnya. Dia buka penutup mata, dan langsung kulihat cengirannya. Dibiarkan aku mengatur nafas, lalu berujar, “Lanjutin entotannya lagi ya, Bu Dita...”
Leo buka borgol sebelah kiri. Dia minta aku berbalik dan telungkup. Usai aku penuhi, dia pasang kembali borgol itu. Disetubuhinya lagi aku dari belakang. Sempat Leo nyeletuk, “Masukin pantat ya.” Yang langsung aku protes keras. Dia tertawa. Penis pun masuk lewat jalur ‘normal’. Lima menit, Leo merubah posisiku nungging. Dalam posisi ini barulah aku dihajar, persis seperti di awal. Digenjotnya aku sekencang dia bisa. Aku mendesah, dia mendesah. Ranjang berguncang dengan hebatnya.
“Aahhh, aahhh, aahhh, AAHHH!!!” Menyusul, “CROOT, CROOT, CROOT.”
Untuk kali kedua, Leo membanjiri rahimku dengan sperma. Seperti tadi, dia tunda juga menarik penisnya. Meski tahu aku ‘aman’, sepertinya dia menikmati sensasi sedang ‘menghamili’ diriku. Ada semenit dia menindih aku. Baru setelah itu dia membuka borgol.
Bergegas aku ke kamar mandi, membersihkan sisa sperma di vagina. Tidak ada salahnya berhati-hati kan? Leo menyusul setelahnya. Dia juga ikut membersihkan diri.
“Aku langsung mandi ya. Nggak apa-apa kan?”
Leo menggeleng. Malah dia menawari untuk bantu menggosok punggung. Tentu tidak aku tolak.
Sedang membasuh tubuh masing-masing, terdengar suara bel pintu. Leo bilang biar dia saja yang keluar. Dia sambar handuk dan mengeringkan tubuh, barulah keluar kamar mandi. Kudengar lalu suara yang tidak asing. Ikut aku sambar handuk, menutupi tubuh, dan mengintip keluar.
“Putri?”
Kaget aku melihat siapa yang datang. Dia nyengir dan melambai. Melangkah lalu dia mendekat.
“Pengennya ngagetin elu. Eh kayaknya gue datengnya telat nih,” Putri terkekeh.
Aku lihat Leo sama sekali tidak kaget. Sepertinya dia sudah tahu kalau Putri akan datang. Pasti dia pula yang memberitahu kamar kami.
“Habis mandi, gue malah mau pulang.”
Hhmm. Kalo gitu lu nggak apa-apa kan kalo gue ‘pinjem’ si Leo lagi?” Bergeser dia mendekat, lalu berbisik, “Lagi jablay nih.”
“Terserah kalian ajalah. Kalo Leo masih kuat sih silakan...” Aku tersenyum.
Beranjak Putri mendekati Leo. Ganti Leo kemudian yang mendekati aku. Meyakinkan kalau aku beneran tidak apa-apa. Tentu aku tidak bisa melarang. Lagian hubungan kami kan tidak memberi hak untuk itu. Dari wajahnya, ketahuan kok kalau Leo penasaran sama Putri. Ya, iyalah, cowok mana sih yang nggak ‘penasaran’ sama sahabatku itu. Anggap saja itu imbalan juga atas bantuan dia buatku, tempo hari. Kemudian aku lanjut mandi, membiarkan mereka berdua ngobrol.
Begitu keluar, kudapati Putri dan Leo sedang bergumul di ranjang. Sedang berciuman. Aktifitas itu sempat berhenti, tapi aku bilang dilanjutin saja. Aku sendiri mengambil pakaian di atas kursi, dan sepatu, lalu masuk lagi ke kamar mandi. Selesai berpakaian, aku tidak langsung berias. Nanti saja deh di mobil, pikirku. Ketika keluar kamar mandi lagi, kali ini kudapati Leo lagi berjongkok di depan Putri. Sementara sahabatku itu duduk di tepi ranjang. Kepala Leo ada dalam rok Putri.
“Gue duluan ya...”
Mendengar suaraku, Leo menarik kepalanya. Putri melambai, begitu pula dengan Leo.
Ketika pintu kamar kubuka, Putri menyeletuk, “Eh Dit, lu ada kondom?”
Aku rogoh tas jinjing dan mengeluarkan satu pax kondom. Masih disegel, mengingat aku tidak memakainya bersama Leo.
“Yakin nih elu nggak mau threesome bareng kita, Dit? Nanti gue bantu nelpon laki lu buat bikin alesan deh.”
“Nggak, makasi.”
“Oke,” Putri mengerling. “Maybe next time?
Aku tertawa kecil.
Maybe...”
.

6 komentar:

  1. Lagi... Lagi... Lagi...

    BalasHapus
  2. Bakal lebih seru lagi kalo dita akhirnya ngentot dg orang jelek yg baru dia kenal. Apalagi sampe kena gangbang. Wkwkwk, bakal crottt sekali nih ��

    BalasHapus
  3. Tambah lagi, kalau bisa ada cerita quicky di Public area, biar tambah greget.

    BalasHapus
  4. Dita Belum ada update lagi nih, ayo bikin dita makin binal supaya bisa di icip2 banyak cowok.

    BalasHapus
  5. sambungan yg Bermain Api donk, masih penasaran sama kelanjutannya yakin jadi episode paling hot nih kayaknya, ayo donk min!!!

    BalasHapus