Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Di ruang meeting ponselku bergetar dalam saku blazer.
Di layar kulihat sebuah nomor yang tidak terdaftar. Mungkin klien? Pikirku. Aku
minta ijin untuk keluar dari ruangan. Di luar aku angkat telepon tersebut.
“Maaf ini
dengan Ibu Dita?” Terdengar suara seorang wanita, usai aku ucapkan salam.
Saat aku
iyakan, wanita itu kembali melanjutkan. Ternyata dia adalah salah satu guru di
sekolah anakku. Menginformasikan kalau si kecil sakit, badannya panas. Kemudian
dia menanyakan apa aku bisa datang menjemput si kecil.
Mendengar
itu aku jadi panik. Suamiku masih di luar kota. Pembantu tidak ada kendaraan
buat dipakai menjemput. Sedangkan aku lagi ada meeting penting. Bagaimana ini? Aku kebingungan. Mendadak aku ingat
dengan Leo. Semoga dia tidak ada jadwal kuliah pagi itu. Dan untungnya Leo sudah
balik dari kampus. Hari itu cuma ada satu mata kuliah, kata dia. Aku minta
tolong dia untuk menjemput si kecil. Kalau perlu diajak ke dokter atau rumah
sakit.
“Siap
Kak. Aku jemput adek deh.” Begitu ucap Leo.
Menghela
nafas lega aku saat itu. Balik aku ke ruangan, sambil berharap meeting akan selesai lebih cepat.
Sungguh pikiranku kacau saat itu.
Setengah
jam kemudian ponsel kembali bergetar. Masuk pesan dari Leo. “Kak, adek udah selesai
di periksa. Kata dokter musti opname, ada gejala DB.” Begitu isi pesannya.
Membaca
itu aku kaget luar biasa. Kembali aku ijin keluar ruangan. Buru-buru aku telpon
Leo. Aku tanyakan informasi lebih lengkap soal kondisi si kecil. Leo berusaha
menenangkan diriku, karena tahu aku masih ada pekerjaan. Dia bilang akan mengurus
semuanya sampai aku datang. Aku jadi sedikit lega, meski insting keibuan tetap
was-was.
Balik ke ruangan aku berusaha tetap
fokus, karena giliranku untuk presentasi. Pikiranku terbagi memikirkan kondisi anak.
Selesai presentasi, hari sudah lewat tengah hari. Meeting belum juga berakhir. Klien masih minta beberapa informasi
tambahan. Ditengah obrolan, beberapa kali aku berkirim chat dengan Leo. Memastikan keadaan si kecil.
“Lagi
tidur, Kak.” Informasi terakhir yang aku peroleh dari Leo.
Akhirnya
selesai juga meeting hari itu. Klien
cukup terkesan dengan presentasi kami. Berikutnya tinggal mengurus
syarat-syarat administrasi. Begitu klien meninggalkan kantor, aku minta ijin ke
bos untuk menengok anakku. Begitu mendapat ijin, langsung aku pacu mobil menuju
ke rumah sakit. Berusaha aku tiba secepat mungkin.
Aku dapati
si kecil masih tertidur. Berterima kasih aku pada Leo. Dia nyengir. “Apa sih
yang nggak buat Kak Dita,” begitu kata dia.
Mengingat
Leo sudah sedari pagi di rumah sakit, kusodori dia uang untuk membeli makan
siang. Leo lalu pergi menuju kantin. Tidak lama Leo sudah kembali, membawa bungkusan
makanan dan minuman. Aku sendiri belum makan. Melihat kondisi si kecil laparku seolah
sirna. Terbaring lemas dengan infus terpasang di telapak tangan. Leo memaksa
aku untuk berbagi makanan. Aku pun menerima beberapa suapan darinya. Segera
pula aku menelpon atasan. Kali ini meminta ijin untuk tidak balik lagi ke
kantor. Untungnya bosku bisa maklum, serta menitip salam agar anakku cepat
sembuh. Habis itu aku telpon suami. Dia kaget diberitahu si kecil opname. Bertanya
suami, dengan siapa aku di rumah sakit. Terpaksa aku bohong. Bilang kalau lagi sendirian.
Suami pun bilang akan menelpon mertuaku.
“Leo,
kamu pulang aja gih, istirahat dulu.” Selain itu, kujelaskan pula kalau mertua
akan datang. Bahaya kalau mereka melihat dirinya, akan memunculkan banyak pertanyaan.
Sadar
dengan kondisi tersebut, Leo mau menurut. Dia pamitan dan bilang besok akan
datang lagi buat menengok. Selang setengah jam sepeninggal Leo, ayah dan ibu
mertua datang. Bertepatan pula dengan si kecil yang terbangun. Merengek dia minta
pulang. Syukur setelah dirayu-rayu ibu mertua, akhirnya anakku kembali tenang.
Malam itu kedua mertua yang berjaga di rumah sakit. Ibu mertua menyuruh aku
pulang untuk beristirahat.
Esoknya,
aku balik ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Soalnya mertuaku harus bekerja. Aku
bawa beberapa baju ganti, buat berjaga-jaga. Selepas kepergian mertua, Leo
datang sejam kemudian. Membawakan si kecil game komputer di Ipad-nya. Dia langsung kegirangan.
Pintar sekali Leo mengambil hati anakku. Tak lama, ponselku berbunyi. Salah
satu calon klien minta ketemu. Soal kesepakatan kontrak. Terpaksa aku
merepotkan Leo lagi. Kutanya apa bisa dia aku tinggal.
“Siap
Kak!” Leo menyatakan kesediaan. Dengan syarat, tentunya. Dan pasti mesum,
tentunya.
Masuk
kamar mandi buat ganti pakaian, aku harus menyisakan celah di pintu. Secukupnya
untuk mengintip ke dalam. Aku sendiri bisa melihat Leo, berdiri sambil
bersandar di dinding. Sesekali terdengar suara Leo bicara dengan anakku. Namun,
aku tahu mata dia pasti tidak lepas dariku.
Keluar dari
kamar mandi, aku lihat Leo cengar-cengir. Mungkin karena puas melihat aku buka-bukaan.
Sementara si kecil masih sibuk dengan game-nya.
Tanpa tahu ibunya sedang dilecehkan. Kucium pipi anakku, sebelum berpamitan.
Begitu
seterusnya, sampai hari ketiga. Hari dimana suamiku sudah datang. Leo menemaniku
tiap kali aku sendiri di rumah sakit. Di sela waktu, dia selalu mencari
kesempatan menyentuhku. Aku biarkan saja, mengingat Leo sudah mengorbankan
waktu juga. Malam terakhir bahkan Leo minta melakukan seks kilat. Aku menolak, karena
tidak enak dengar keberadaan si kecil. Aku janjikan akan menggantinya di hari
lain. Saat situasi sudah kembali normal. Leo pun bisa mengerti.
***
Dua minggu
berlalu. Aku sedang mengecek email, ketika ponselku bergetar di atas meja. Sebuah
pesan singkat masuk. Terlihat nomor Leo. Isinya, “Udah di parkiran Kak.” Maka aku matikan laptop, mengambil tas
jinjing, dan keluar ruangan. Sudah aku jadwalkan hari itu berkeliling, agar sesuai
dengan jadwal Leo. Sedikit lagi matahari akan meninggi. Dari kaca lobi kantor aku
lihat Leo melambai. Berlarian aku mendekati dia. Ternyata dia bawa mobil yang
berbeda dari biasa. Saat membuka pintu depan, Leo malah nyuruh aku duduk di belakang. Ya sudah, aku ikuti saja kemauannya
itu.
“Kok duduknya
di belakang?” Tanyaku padanya, begitu kami sudah di dalam mobil.
“Loh, hari ini kan aku sopir kakak, masa
bos duduknya di depan sih.”
Kulihat
cengiran khas Leo dari pantulan spion depan. Aku hanya menggeleng. Tiga hari
lalu Leo memang mengirim chat.
Katanya, hari ini jadwal kuliah dia kosong. Dia lalu menagih janjiku sewaktu di
rumah sakit. Namun sebelum kami bercinta, dia minta bermain peran lebih dahulu.
Hitung-hitung pemanasan, kata Leo. Dia pengen main peran ‘sopir mesum dan bos
seksi’. Salah satu, dari sekian fantasi seks nakalnya. Mau tidak mau aku
sanggupi. Mumpung sopir kantorku ada yang cuti. Tidak berpikir kalau Leo akan
menghayati banget perannya itu.
Sampai pakai baju batik resmi dan rental mobil segala. Ah sudahlah, suka-suka dia sajalah.
“Mau
dianter kemana Bu Dita?” Tanya Leo lagi. Kali ini ekspresi Leo berubah serius.
Aduh, sampai-sampai
pakai panggilan ‘Ibu’ juga nih. Lagi aku menggeleng, sambil tertawa kecil. “Ke
jalan Sudirman ya Pak,” sahutku. Mencoba untuk ikut dalam ‘permainan’ ini.
Selesai
men-stater mobil, kulihat Leo sibuk
mengatur spion depan.
“Ngapain
sih?” Tanyaku penasaran.
Bukannya
menjawab, Leo malah berujar lagi. “Bu, tolong duduknya digeser sedikit ke
tengah.”
Aku
ulangi pertanyaanku, Leo juga mengulangi ujarannya. Maka aku ikuti saja kemauan
Leo itu. Begitu berpindah, kulirik pantulan kaca spion. Dari sana bisa terlihat
ujung rokku dengan sangat jelas. Barulah aku mengerti maksud Leo. Mau ngintip
ternyata sopirku ini.
“Udah keliatan
belum, Pak?” Tanyaku langsung to the
point. Sekalian menggoda Leo.
Leo
terkekeh. “Belum Bu. Tapi kalo Bu Dita ikhlas sih, boleh dong dibuka dikit
pahanya.”
Tersenyum
diriku. Sopir mesum, tapi tetap sopan ternyata. Kuturuti permintaan Leo. Perlahan
aku buka paha. Cukup lebar untuk memamerkan isinya. Jempol Leo pun teracung. Tanda
kalau dia sudah melihat apa yang diinginkan. Tak berhenti disana, dia juga minta
aku buka kancing.
“Warnanya
sama kayak celana dalem.” Kusahuti saja duluan, karena sudah kutangkap inginnya.
Lagi Leo
terkekeh. Tidak dia paksa lagi aku untuk buka kancing. Hanya meminta aku
melepas blazer saja. Saat kuturuti, mobil pun melaju meninggalkan parkiran.
Selama di
jalan, Leo kerap curi-curi lirik ke belakang. Aku peringatkan agar dia fokus nyetir.
Dia menurut. Tetapi sebagai gantinya, setiap kali ketemu lampu merah atau mobil
kena macet, Leo akan memberi kode. Kode itu berarti aku harus buka paha, lagi. Mana
ketemu lampu merah sama macetnya banyak lagi. Puas banget deh sopir mesumku itu
cuci mata.
Kemesuman
sopirku hari itu belum selesai. Tahu warna daleman saja belumlah cukup. Leo
minta aku melepas daleman, atas bawah. Jelas dong aku protes mendengarnya.
“Ih enak aja. Ini lagi kerja loh ini, masa nggak pake daleman sih...”
Debat
berdebat, tawar menawar, akhirnya Leo mau ngalah.
Dibiarkan aku tetap pakai daleman. Cuma nanti waktu makan siang musti dilepas.
Aku pun menyetujuinya.
Bukan
apa-apa aku ngotot-ngototan soal daleman. Ketemu nasabah lain sih masih aman, ketemu
Pak Pram yang rada rawan. Tahu sendiri dia dan Leo itu mirip-mirip. Mana pernah
aku dibiarkan pergi tanpa ‘diraba-raba’ dulu. Meski niat datangnya cuma ngasih kalender dan souvenir. Nggak sampai gituan
sih. Sekedar ciuman, tapi tangannya ngerogoh
kemana-mana. Kebayang andai Pak Pram tidak menemui apa-apa dalam rok. Bahaya
buat image profesional. Leo sih nggak tahu itu. Dia kan nunggu di
parkiran.
“Habis
ini kita langsung ke kampus ya, Bu Dita?” Tanya Leo, begitu aku masuk lagi ke
mobil.
“Boleh,”
sahutku singkat.
Selain
bermain peran, Leo cukup baik mengatur sebuah janji untukku. Bertemu dengan
Dekan di kampusnya. Sambil menyelam minum airlah, ceritanya. Leo bercerita
padaku, kalau pembayaran uang kuliah rencananya akan dipindah bank. Biasa ganti
pimpinan, ganti juga kebijakan. Bagi aku ini sih peluang bagus. Apalagi Leo dan
Dekannya itu cukup dekat. Dulu katanya bapak ini mengurus bidang kemahasiswaan.
Bikin janjinya saja lewat telepon, nggak
pakai surat. Semoga ‘nego-nego’ yang
aku tawarkan diterima.
Mobil
akhirnya terparkir di areal kampus. Suasananya sudah sangat berubah, sejak terakhir
aku datang ke sana. Banyak gedung-gedung tambahan. Kampus masih ramai, karena jadwal
kuliah masih berlangsung. Turun mobil, langsung saja aku diajak Leo ke gedung
utama. Ruang Dekan ada di lantai atas. Pintu di ketuk, kami disambut langsung oleh
yang bersangkutan. Mereka memang terlihat sangat akrab.
“Oh ini
yang namanya Mba Dita.” Laki-laki paruh baya itu menyodorkan tangan.
Kusambut
tangannya dan berkenalan. Dia minta aku panggil Pak Zul. Singkatan dari Zulfikri.
Dia
mengajak kami duduk. Mengingat sebentar lagi Pak Zul ada rapat di Rektorat, aku
diminta langsung memulai presentasi. Aku sodorkan proposal kerja sama. Dia
membaca lembar demi lembar, sambil mendengar penjelasan dariku. Sesekali dia
lontarkan pertanyaan.
Sedang serius
menjelaskan, tiba-tiba terasa sentuhan di paha. Rupanya tangan Leo, lagi meraba
di bawah meja. Sempat aku melengos ke arahnya, tapi dia cuek saja. Malah
nyengir. Untungnya Pak Zul tetap serius membaca, sehingga tidak sadar apa yang
terjadi. Aku harus konsentrasi pada presentasi. Pak Zul harus setuju memilih
bank tempatku bekerja. Sadar aku tak lagi fokus kepada dirinya, Leo meneruskan
aksinya itu.
“Betul
Pak. Kalau soal ‘fee’ nanti bisa dibicarakan lebih lanjut.”
Berusaha aku tetap tersenyum ramah. Meski di bawah sana, ujung rok sudah terangkat
separuh paha.
“Begini
saja, bagaimana kalau saja minta kontak Mba Dita. Saya musti dengarkan tawaran
dari bank yang lain. Mba Dita keberatan kalau kita bicarakan ini lebih pribadi?
Sambil makan siang mungkin?”
Duh, dapet lagi nih
model klien kayak gini, meruntuk aku dalam hati. Klien yang musti dilayani, musti
dibikin ‘seneng’, dan lain-lain. Semoga ujung-ujungnya nggak minta naik kasur.
Habisnya Pak Zul ini jauh banget dari seleraku. Aku berikan saja nomor ponsel
bisnis. Pakai acara dicek segala lagi. Takut kuberi nomor palsu mungkin.
“Kalau
yang ini pembagian persentasenya seperti apa?”
Berusaha
aku tidak meruntuk. Kupikir presentasi sudah selesai. Terpaksa aku berikan penjelasan
lagi, dalam kondisi celana dalam yang lagi diraba. Menahan diri aku agar tidak
mendesah. Kalau saja keadaan tidak seperti ini, sudah kucubiti habis si Leo.
“Baiklah,
saya rasa cukup penjelasannya...” Mendengar itu barulah Leo menarik tangannya.
Pak Zul
lebih dulu berdiri, lalu menyodorkan tangannya. Sebelum berdiri aku rapikan
dulu ujung rok. Barulah menyambut tangan Pak Zul. Bergegas aku keluar dari
ruangan. Rabaan Leo tadi bikin aku kebelet
pipis. Begitu keluar toilet, langsung aku omeli Leo. Dan bisa ditebak, dia
hanya cengar-cengir. “Kan sopir mesum...” Hanya itu alasan dia. Mau tidak mau,
aku pun hanya bisa menahan kesal. Sadar kalau hari ini dialah yang ‘berkuasa’.
“Sekarang
makan yuk. Laper nih,” ucapku begitu sampai di mobil.
Leo
menoleh ke belakang. “Kalo gitu dalemannya di lepas dulu dong.” Kemudian terkekeh.
Duh, masih ingat
saja dia dengan kesepakatan kami. Kembali aku tidak kuasa menolak. Dimulai
dengan menarik lepas celana dalam. Kusimpan kain mungil itu di dalam tas.
Sebelum lanjut ke atas, Leo minta aku buka paha dulu. Katanya, pengen tahu
bulunya lagi panjang apa pendek. Dan dia pun nyengir, saat tidak melihat adanya
bulu. Lanjut kulepas bra. Aku lakukan tanpa melepas blouse, dan masuk juga ke tas. Leo memberi kecupan jauh, ketika putingku
tak sengaja terlihat. “Sabar ya
sayang, nanti kenyotin deh kamu,” begitu kata dia. Pesan untuk kedua putingku.
Habis
itu, mobil melaju menuju sebuah mall.
Sampai di parkiran basement, kami turun.
Berjalan kami menuju lift, di salah sudut Leo menarik tanganku. Dia dorong aku mepet
ke dinding, lalu melumat bibirku. “Mmm,
mmm, mmm,” berusaha aku menarik bibir tapi gagal. Aku takut kalau ada orang
lewat. Lebih parah satpam memergoki kami. Leo sih cuek saja. Langsung aku tepuk
bahu Leo, begitu bibir kami terpisah. Dari seperti biasa, ditanggapi saja
dengan cengiran. Sebel.
Keusilan Leo
berhenti di sana. Ketika berada di eskalator, tiba-tiba ujung rokku terangkat. Itu
berarti pantatku bisa terlihat dari belakang. Mengingat aku tidak lagi pakai
celana dalam. Dengan refleks aku turunkan. Menoleh dan melotot aku ke arah Leo.
Lagi dia tanggapi dengan nyengir. “Tenang Bu, nggak ada orang kok.” Aku
melengos, eh cengiran dia makin
lebar. Sebel, sebel.
Berikutnya
makin bikin sebel. Kali ini dia minta aku lakukan dengan sukarela, agar menggoda
dirinya. Ketika kutolak, Leo mengancam akan balik ke parkiran. Pergi dan kami
putus hubungan. Ancaman itu berhasil bikin aku takluk. Leo tahu kalau aku butuh
dia.
Sebagai
pemanasan, dimulai dengan mengangkat rok beberapa kali. Kalau situasi sepi dan aman.
Memamerkan organ intimku, depan dan belakang. Termasuk payudara, lewat celah blouse
yang kancingnya terbuka. Syukurnya suasana mall
memang cukup lengang siang itu. Cengiran Leo makin lebar dan lebar saja.
Seiring aksiku yang makin ‘berani’. Sesekali kami juga saling peluk dan cium. Jujur
aksi tersebut kian memancing sisi liarku. Leo pun sepertinya tahu itu.
“Bu Dita
mulai nakal ya sekarang,” Leo terkekeh.
Aku
mengerling. “Tapi Pak Leo suka kan?”
Dia balas
mengerling, sambil ngacungin jempol. Kami
berdua kemudian tertawa lebar.
Untuk lebih
meningkatkan ketegangan. Kami berjalan menuju sebuah counter pakaian. Di sana aku ambil sembarang dua pasang pakaian. Aku
tarik Leo menuju kamar pas. Dari cengiran Leo, agaknya dia bisa membaca
maksudku. Di dalam, dua pasang pakain itu jadi saksi bisu. Melihat aku dan Leo berpagutan
panas. Ketika tangan Leo hendak mengincar payudara, aku hentikan dia. Sadar
kalau dinding bilik cukup tipis. Kalau dia dibiarkan mainin dada, aku akan sulit menahan desah. Selain itu, pakaianku
bisa saja jadi lecek. Balik ke kantor dalam kondisi seperti itu, pasti akan timbul
kecurigaan.
“Udah yuk,
kita makan sekarang, ” bisikku padanya.
“Yah, belum juga buka-bukaan.” Leo
merajuk.
Kutepuk
bahu Leo pelan. “Katanya udah booking
kamar. Ngapain buka-bukaan di sini.”
“Kalo
gitu sepong aja deh.”
“Nggak.”
Melangkah
aku keluar dari kamar pas, tanpa menunggu reaksi Leo. Mau tak mau Leo mengikuti
langkahku. Hari ini dia memang penentu ‘permainan’, tetapi harus aku tunjukin
kalau aku tetap punya kendali.
Kami
sudah duduk di food court. Siang itu
aku pesan makanan ‘berat’, karena dilanda kelaparan. Leo sendiri hanya memesan kue
dan minuman dingin. “Makannya segitu aja? Awas ntar lemes loh di kamar,” godaku padanya. Dia cuma nyengir. Memang dia tidak
fokus dengan makan. Dia lebih menikmati meraba sana-sini. Sudah bisa diduga sih,
saat dia milih meja di pojokan. Sekali-dua kali, dia memagut bibirku. Tidak ada
gunanya juga menghentikan kenakalan itu. Biarlah Leo menikmatinya. Sampai dia
mengeluarkan suatu benda dari tas selempang.
“Nggak-nggak,
nggak mau...” Aku protes.
Benda itu
adalah dildo mini. Sudah pernah aku merasakan efek benda itu. Minta ampun gelinya,
kalau sudah bergetar. Pokoknya bikin repot kalau ada di tempat umum. Mulai deh
Leo memelas. Gaya khas kalau permintaan dia tidak dipenuhi. Aku memang bilang akan
ikut maunya dia hari ini, tapi kan nggak
aneh-aneh seperti ini. Terus dia memelas dan memelas, tidak aku pedulikan.
“Bentar
aja, bentar aja...” Memelas dan memelas lagi.
Akhirnya aku
iyakan. Semata karena takut rengekan Leo mengundang perhatian. Soalnya, meja-meja
di dekat kami kini sudah berpenghuni. Terlihat lagi deh cengiran itu anak. Sudah
dapat ijin dariku, Leo segera beraksi. Dia buka dua kancing tengah blouse-ku. Lewat sana dia masukkan dildo,
tepat mengenai puting payudara kiri. Klik,
dia tekan tombol on. Mulailah si
dildo bergetar.
“Dreet, dreet, dreet...” Aku
sedikit tersentak. Meski diatur dengan volume paling minimal, tapi tetap saja tak
bisa mengurangi rasa geli. Mengingat puting memang bagian yang sangat sensitif.
Berusaha
aku tahan ekspresi. Berusaha tetap terlihat biasa. Kutaruh tas jinjing di atas
meja, guna menutup bagian atas tubuh. Makin sulit terlihat wajar, begitu dildo
pindah ke puting kanan. Dan makin sulit lagi, ketika dipindah ke dalam rok. Mataku
sampai berkaca-kaca menahan geli. Bibir bawah aku gigit agar desahan tidak
keluar. “Sshh, sshh, sshh...”
“Udah ya
Leo, udah nggak tahan nih...” Giliran aku yang memelas. “Pengen pipis...”
Leo
tertawa kecil mendengarnya. Belum ada niat dia menarik keluar dildo itu. Benda
itu masih menyapu permukaan paha dalam dan kewanitaan. Tidak sampai dimasukkan,
tetapi sudah cukup bikin aku nyaris kelenjotan.
Akhirnya, mungkin karena melihat wajahku yang makin memerah, dia tarik juga si dildo.
Aku menghela nafas. Tanpa minta diri, langsung berdiri, dan melangkah cepat ke
kamar mandi. Air kencing sudah ada di ujung. Lega sekali rasanya setelah
dikeluarkan.
Balik ke
meja, aku tepuki lengan Leo sebisa mungkin. Lagi dia hanya tertawa-tawa kecil.
Malah dia sempat merogoh lagi ke dalam rok. “Yah, kok celana dalemnya udah di pake sih...” Dia cek braku, lalu
terlontar gerutuan yang sama.
Ganti aku
yang nyengir, lengkap dengan juluran lidah. Leo pun hanya bisa melengos
dongkol.
Tidak mau
terlihat kalah, Leo mengangkat tangannya. Dia panggil pelayan untuk meminta bill. Seorang pelayan cowok datang ke
meja kami. Waktu bill sudah di
tangan, dengan sengaja Leo bikin kertas itu terjatuh. Tidak hanya itu. Saat si
pelayan refleks jongkok, Leo melempar sendok dan garpu. Terjatuh keduanya ke
lantai.
“Maaf,
maaf...” Ucap Leo, membuat seolah itu semua tidak sengaja terjadi.
Masih
belum ngeh apa yang terjadi,
kurasakan cubitan di paha. Spontan pahaku bergerak karena rasa sakit. Momen itu
dipakai Leo untuk menarik lutut kananku ke sisi dia. Otomatis paha jadi membuka
lebar. Sangat lebar. Sempat dia menahan pahaku tetap membuka, untuk beberapa
saat, sebelum berhasil aku apitkan lagi.
Ketika si
pelayan berdiri lagi, dari ekspresi wajahnya bisa diterka, kalau tadi dia
sempat melihat celana dalamku. Aku ikut jadi malu sendiri, mengingat waktu itu
aku pakai seragam. Si pelayan pasti kalau aku pegawai bank. Pasti dia juga tahu
dari bank mana. Dan dia telah melihat bagian intimku, gegara keusilan Leo. Mana
dia senyum-senyum jail lagi ke arahku, saat menyodorkan bill kepada Leo. Seolah dalam hati dia berujar, “Gue tau warna cangcut lu...”
Mana
sengaja lagi Leo berlama-lama nyerahin
uang. Pakai acara pilih-pilih isi dompet. Padahal aku lirik isinya seratus
ribuan semua. Aku jadi makin canggung.
“Gitu aja
sebel sih Bu Dita. Hitung-hitung ngasi tips
gitu.” Tawa nyebelin itu terdengar lagi.
Kami
sudah ada di dalam mobil. Duduk di sebelah Leo, masih aku melengos. Meski
begitu, tetap aku biarkan tangannya mengelusi paha. Dia masih punya hak sampai
malam nanti. Memang itu tujuan Leo minta aku pindah duduk ke depan.
“Bu Dita,
disepongin dong saya sambil nyetir.”
“Uuhh. Pak sopir banyak banget sih
maunya,” sahutku ketus.
Leo
terkekeh. “Janji, ini yang terakhir deh. Lagian udah deket kan dari kantor,
palingan berapa menit doang nyepongnya.”
“Janji
ini yang terakhir ya...” Dijawab oleh Leo dengan anggukan.
Terpaksa
aku turuti. Aku sudah lelah jadi ‘mainan’ Leo. Aku pegang janjinya, kalau ini
adalah pemintaan ‘aneh-aneh’ terakhirnya.
Bergeser
aku mendekat. Tanganku bergerak membuka kaitan sabuk, celana, serta resleting. Aku
rogoh pakai tangan kiri, berusaha meraih batang penisnya Leo. Kebetulan mobil
kena macet, itu membantu usahaku tersebut. Tidak perlu lama, aku sudah
merunduk, dan mulai mengulum.
“Duh enak
banget ternyata sepongan cewek kantoran. Jilatin juga dong ujungnya Bu Dita...”
Leo merancau. Menghayati perannya sebagai sopir mesum.
Kuturuti
lagi kemauannya. Kurasakan mobil hanya bergerak lambat-lambat, artinya kami
belum keluar dari kemacetan. Mulai aku jilati ujung ‘kepala’, tepat di bagian
lubang kencing. Terdengar lenguhan si pemilik penis. Sengaja tidak aku berikan
sepongan maksimal, takut jadi muncrat dan pejuhnya kena seragamku. Aku
kulum-kulum lembut. Tidak ada keberatan terlontar dari Leo. Itu berarti dia
menikmati permainan mulut dan lidahku.
Sepuluh menitan
aku menengadah, melihat posisi kami ada di mana. Mobil telah melaju dengan
lancar. Ternyata kantorku sudah terlihat, sebentar lagi kami memasuki parkiran.
Leo minta aku menyepong sedikit lagi.
Aku turuti sampai mobil benar-benar berhenti. Leo ternyata cukup sopan untuk
bilang terima kasih atas jasaku, mesti tidak sampai ejakulasi.
Keluar
dari mobil, Leo ikut aku masuk ke dalam. Kasihan kalau dibiarkan menunggu di
parkiran, meskipun dia sudah ‘menyiksa’ diriku seharian. Toh, sebentar lagi jam kerja akan berakhir. Kami masuk ke
ruanganku. Menunggu Leo di sofa, sementara aku menginput data klien yang tadi
kami temui. Termasuk pekerjaan lain, yang sudah menunggu di atas meja.
Tidak lama
pintu diketuk. Ternyata Putri pelakunya. Tanpa disuruh dia langsung saja masuk.
“Hai,
hai, couple, boleh ganggu nih?” Dia
nyengir. Kalau sudah seperti ini, berarti dia lagi nggak ada kerjaan.
Bukannya
mendekati diriku, eh si Putri malah nyelendor
ke arah Leo. Duduk dia di sebelah Leo. Dasar penyuka daun muda. Mereka berdua saling
melempar senyum.
“Kalian
abis ngewe yah?” Tanpa basa-basi,
pertanyaan itu yang terlontar pertama. Mana keras lagi nada suaranya.
Langsung
aku melotot ke arah Putri. Nggak sekalian
sekalian pake TOA aja nih anak, umpatku dalam hati. Biar semua orang kantor
bisa denger. Putri sendiri malah cengar-cengir. Begitu pula dengan Leo. Kompak
banget deh mereka berdua.
“Nggak sempet,
Kak.” Leo menimpali.
“Duh kacian,” Putri terkekeh. “Kalo gitu
lu ngewe ama gue aja yuk.”
Mendengar
itu Leo tersipu. Aku hanya menggeleng. Sudah hapal aku dengan kelakukan Putri.
“Nggak ah
Kak, nanti dimarahin sama Kak Dita.”
Putri
terkekeh. “Gila. Jinak amat si Leo ama lu, Dit. Mantap nih artinya goyangan
lu.”
Aku
tersenyum kecil, masih tetap sibuk dengan keyboard.
Tidak tahu Putri kelakuan Leo yang sebenarnya. Pintar saja dia akting ‘lugu’
kalau ada orang lain. Kembali dia berujar, “Kasilah Leo gue ‘pinjem’ bentar. Paket
skincare ama komestik yang kemarin, nggak usah lu bayar deh.”
Langsung
aku mengalihkan pandangan. “Serius lu, Put?”
Dia
mengangguk mantap. Ganti aku tatap Leo.
“Kamu
layanin Putri gih Leo, hitung-hitung sekalian kamu nraktir aku skincare.”
Kini Leo
yang terkekeh, usai bertukar pandangan dengan Putri. Dengan nakal Putri mengerling.
Dia juga mengaum layaknya singa betina, bertemu mangsa. Lanjut dia memberi kode
agar Leo mendekat. Aku jadi ikut tertawa melihat kejadian itu. Sekali lagi Leo
menoleh kepadaku, yang aku respon dengan anggukan. Dan berlangsunglah sebuah momen
panas di hadapanku. Putri dan Leo berpagutan panas. Bukan Putri namanya, kalau
tidak pakai acara ‘tempur’ lidah.
“Ke
ruangan gue yuk. Di sini ada kameranya.”
Putri
menarik tangan Leo. Bagaikan kerbau dicocok hidungnya, Leo manut-manut saja.
Sebelum keluar, Putri sempat melambai ke arahku. Aku hanya menggeleng kepala.
Sepeninggal mereka, aku kembali lanjut bekerja. Hampir setengah jam lamanya,
Putri dan Leo baru nongol lagi.
“Nih,
gebetan lu gue balikin.” Putri mengerling, yang disambut cengiran Leo.
Setelah
itu, Putri melambai dan ninggalin kami.
“Ngapain
aja kamu sama Putri?” Tanyaku, ketika dia berdiri di belakangku. Pura-pura aku
sibuk mengamati layar, menutupi rasa penasaran.
Mesti
tidak melihat, aku yakin Leo sedang nyengir. “Kenapa Bu Dita? Cemburu?”
“Nggak. Pengen
tau aja.”
“Nggak
ngapa-ngapain kok, cuma ngobrol aja. Kak Putri nanya-nanya soal temen aku yang
dia kenal dari media sosial. Kebetulan satu kampus.”
Aku
menoleh ke belakang. “Serius?”
Mengangguk
Leo. “Lagian kalo diajak ‘macem-macem’ sama Kak Putri, aku nggak bakalan mau
kok. Aku kan tipe cowok setia.”
Ganti aku
yang tersenyum. “Yakin? Terus tadi itu cipokan basah apa namanya?”
“Itu
namanya khilaf, tapi enak...”
Kucubit
paha Leo. Nyengirnya semakin lebar. Kemudian dia pamitan. Mau ngerokok di parkiran dulu, kata dia. Tidak
lama dia keluar ruangan, masuk pesan singkat dari Leo. Isinya bilang mau nunggu
di hotel saja. Ditambah info nama hotel dan nomor kamar. Aku balas, dan mengiyakan
hal tersebut. Masih ada dua puluh menit lagi, sebelum jam kerja berakhir.
Pulang
kantor, mobilku melaju agak kencang. Beruntung lalu lintas agak lengang. Aku
memang perlu segera sampai di hotel, agar tak sampai pulang malam. Mengingat
Leo kalau bercinta suka lama. Kelamaan di foreplay
sih biasanya. Bel pintu aku pencet, muncullah dia dari balik pintu. Leo
terlihat sudah memakai kimono, yang artinya dia sudah bersih-bersih.
“Kamu
sudah mandi? Kalo gitu aku mandi juga ya.”
Leo malah
langsung memeluk. “Nggak usah,” ucap dia. Dibalik tubuhku, dan didorong sampai
mentok dinding. Terdengar nafas Leo yang sudah memburu. Dia sudah dilanda
birahi.
Terasa
ujung rok terangkat tinggi sekali. Menyusul elusan dan remasan tangan Leo di
paha dan pantat. Selang beberapa saat, sesuatu bergetar menyusuri kain celana
dalam. Pasti itu dildo yang tadi dipakai Leo di mall. Pasrah aku rasakan sensasi geli yang melanda. Selangkangan
langsung berdenyut, ketika dildo sampai lubang vagina. Leo sengaja
menekan-nekan di bagian itu. Belum lagi terasa gesekan penis di pantat. Tidak sampai
hitungan menit, celana dalamku sudah basah.
Sadar aku
sudah terangsang, Leo mengganti dildo dengan ujung penis. Masih dia gesekin celana
dalamku, tepat di lubang pipis. Gesekan itu menimbulkan celah di sisi celana
dalam. Dia tusuk lalu penisnya lewat celah tersebut. Masuk dengan mulus. “Aaahhhh,”
aku mendesah panjang.
Tahu
kalau vaginaku sudah basah, Leo tidak merasa perlu lagi main slow. Langsung dia tancap gas sekencang
mungkin. Aku sampai dibuat kelenjotan.
Tubuhku jadi makin tertekan ke dinding. Lagi-lagi aku hanya bisa pasrah. Hanya
bisa memejamkan mata. Sepenuhnya tak berdaya. Dalam kondisi seperti itu, aku
seperti merasakan sensasi diperkosa. Kasar dan tanpa ampun. Meskipun aku belum
pernah diperkosa sebelumnya.
“Gue
entot lu bos, gue entot memek lu! Rasain nih kontol gue! Rasain!” Leo merancau.
Mungkin dia masih menghayati perannya sebagai sopir.
Tidak aku
berkomentar. Hanya desahan demi desahan keluar dari mulutku, seiring lesakan
demi lesakan penisnya Leo. “Oohhh, oohhh, aahhh, aahhh...”
Menjelang
ujung, Leo mengangkat satu kakiku. Dengan begini, penis dia jadi bisa menghujam
lebih dalam. Berkedut-kedut sebelum menyemburkan cairan hangat. Dia banjiri
rahimku dengan sperma. Pantas tadi siang dia bertanya apakah aku lagi ‘aman’
atau tidak. Sebelumnya, sudah dia siapkan skenario ‘perkosaan’ ini. Dia sempat
bercanda, bilang kalau mau ngerasain jadi suamiku, bisa keluar di dalam. Leo
tidak menarik penisnya dengan segera. Dibiarkan penis itu mengendur perlahan,
dalam kewanitaanku.
Begitu
penis dicabut, Leo menahan tubuhku agar tidak terjatuh. Kakiku terasa lemas,
tidak kuat menahan tubuhku sendiri. Perlahan dia memapahku ke ranjang. Dia
bantu aku berbaring, sampai akhirnya aku bisa menguasai diri. Kemudian, Leo
membantu aku menelanjangi diri.
“Jahat
kamu ih, kasar banget mainnya...” Aku meruntuk.
Leo
nyengir. “Sekali-kali ngerasain sensasi yang beda Bu Dita. Masa lembut-lembut
terus.”
Meski merengut,
Leo tahu kalau aku menikmati permainan tadi. Beranjak aku menuju kamar mandi.
Leo ikut dari belakang. Sementara aku bersih-bersih, dia mengawasi dari pintu. Senyum-senyum
dia melihat aku membilas vagina. Mungkin bangga, tadi sempat membanjiri bagian
itu dengan sperma miliknya.
Kami juga
sempat ngobrol. Barulah terungkap, kalau tadi di ruangan lain Leo dan Putri
sempat petting. Tidak sampai buka-bukaan,
tapi sempat sentuh-menyentuh organ intim. Itu yang rupanya bikin Leo
terangsang. Pantas saja tadi saat pulang Putri sempat nyeletuk, “Leo udah gue
panesin tuh, tinggal lu ‘pake’ aja.”
Sadar
tidak punya banyak waktu, usai mengeringkan tubuh, Leo langsung minta aku
berbaring lagi di ranjang. Telanjang. Kulihat lalu dia mengeluarkan sesuatu
dari dalam tas. Semuanya itu mainan seks. Heran aku, dimana sih Leo mendapat benda-benda
tersebut. Kemudian dia minta ijin memakaikan aku borgol. Duh, ada-ada aja nih, pikirku. Setelah diyakinkan kalau semuanya
aman, aku menyetujuinya. Dalam hati ada sedikit rasa penasaran juga.
“Pelan-pelan
ya, awas tanganku lecet.”
“Nggak bakalan,
ini ada pelindung kainnya kok.”
Leo
mengangkat kedua tanganku. Dipasang borgol tersebut, sehingga tanganku terkunci
di ujung ranjang. Menyusul selembar kain, yang dia pakai menutup mataku. Aku
seperti merasa ada di dalam film Fifty
Shades of Grey, dimana milionernya adalah seorang mahasiswa. “Leo?” Berujar
diriku, karena aku sudah tidak bisa melihat apa-apa.
“Iya Bu
Dita, saya masih di sini.”
Lagi
kemudian terdengar getaran dari dildo. Sedetik kemudian, tubuhku sudah dilanda
lagi rasa geli. Permukaan dildo menyusuri kulitku. Mulai dari kedua payudara,
berputar-putar benda itu di sana. Mengenai kedua puting, turun ke perut, pusar,
paha, lutut, dan kaki. Balik lagi ke payudara. Setiap syaraf dilanda sensasi
geli. Makin geli, saat puting kanan terkena dildo, sementara puting kiri
diemuti. Dilakukan bergantian. Lagi-lagi aku tak berdaya. Terbaring lemah, tak
punya kuasa.
“Leo,
Leo...” Ucapku lirih, disela-sela desahan.
Foreplay berlanjut. Getaran
dildo berganti cairan. Dingin ketika terkena kulit. Kuterka itu adalah minuman ringan,
karena terasa ada nyes-nyes dari
gelembung soda. Dituang di kedua payudara, dan terasa meleleh menjalari perut, sampai
ke pusar. Sapuan lidah kemudian menyusul. Kembali sensasi geli melanda diri. Seolah
Leo meneguk minuman itu langsung dari tubuhku. Usai tubuh atas, Leo menuangkan juga
di selangkangan. Kini dia menjilati daerah kewanitaan. Dia lakukan dengan
sangat telaten. Hampir setiap sudut vaginaku terkena sapuan lidah. Area itu pun
kembali basah. Dengan rakus diseruputnya pula cairan cintaku itu.
Dalam
kegelapan, aku hanya mampu menerka-nerka, apa yang akan terjadi berikutnya. Justru
itu menimbulkan sensasi yang nikmat. Setelah jeda beberapa saat, terasa Leo
menyapukan sesuatu ke bibirku. Ketika kena lidah rasanya manis. Mungkin sejenis
madu. Setelah itu, menyusul Leo memasukkan batang penis ke mulutku. Rasanya
sama manisnya. Dia pasti mengolesinya dengan cairan yang sama.
“Mmhhh, mmhhh, mmhhh,” Desahku
jadi tertahan, saat Leo mulai menusuk-nusukan penisnya.
Dia pasti
lagi mengangkang di atas kepalaku. Terasa dari guncangan ranjang. Terasa pula
kalau batang penis itu terus mengembang. Puas ‘menyetubuhi’ mulutku, Leo ganti
mengulumi bibirku. Dia jilati bibir, telinga, dan leherku. Terus turun, sampai sekujur
tubuhku jadi berliur. Ujungnya kembali di areal intim. Nikmat sekali
sensasinya.
“Sshhh,
sshhh, sshhh...” Terus aku mendesah, mendesah, dan mendesah.
“Udah
siap dimasukin, Bu Dita?” Bisik Leo di telingaku.
“I-iya,”
sahutku lirih.
“Bilang
kalau ibu mau dientot, bilang kalo ibu mau dikontolin.”
“Entot
saya Pak, kontolin saya. Saya mohon, Pak.”
Terdengar
tawa Leo. Puas karena aku menuruti maunya. Berperan bak majikan yang takluk
pada bawahan. Kelamin kami beradu kembali. Leo menusukan penisnya. Entah kenapa,
dalam kondisi mata tertutup, tusukan terasa lebih nikmat. Gesekan demi gesekan
jadi lebih nikmat. Syaraf di kemaluan jadi lebih sensitif. Mungkin ditambah faktor
bermain peran pula. Leo dengan sengaja memainkan penisnya pelan-pelan.
Dilakukan sambil meremas-remas lembut payudaraku.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
Kembali
getaran dildo menyerang kedua putingku. Sementara tusukan penis Leo tidak
berhenti. Diserang kenikmatan aku dari dua sisi. Terus dan terus, sampai aku
mendapat orgasme. Terasa Leo menarik penisnya. Dia buka penutup mata, dan langsung
kulihat cengirannya. Dibiarkan aku mengatur nafas, lalu berujar, “Lanjutin entotannya
lagi ya, Bu Dita...”
Leo buka
borgol sebelah kiri. Dia minta aku berbalik dan telungkup. Usai aku penuhi, dia
pasang kembali borgol itu. Disetubuhinya lagi aku dari belakang. Sempat Leo nyeletuk, “Masukin pantat ya.” Yang
langsung aku protes keras. Dia tertawa. Penis pun masuk lewat jalur ‘normal’.
Lima menit, Leo merubah posisiku nungging. Dalam posisi ini barulah aku
dihajar, persis seperti di awal. Digenjotnya aku sekencang dia bisa. Aku
mendesah, dia mendesah. Ranjang berguncang dengan hebatnya.
“Aahhh,
aahhh, aahhh, AAHHH!!!” Menyusul, “CROOT, CROOT, CROOT.”
Untuk kali
kedua, Leo membanjiri rahimku dengan sperma. Seperti tadi, dia tunda juga
menarik penisnya. Meski tahu aku ‘aman’, sepertinya dia menikmati sensasi
sedang ‘menghamili’ diriku. Ada semenit dia menindih aku. Baru setelah itu dia
membuka borgol.
Bergegas
aku ke kamar mandi, membersihkan sisa sperma di vagina. Tidak ada salahnya
berhati-hati kan? Leo menyusul setelahnya. Dia juga ikut membersihkan diri.
“Aku
langsung mandi ya. Nggak apa-apa kan?”
Leo
menggeleng. Malah dia menawari untuk bantu menggosok punggung. Tentu tidak aku
tolak.
Sedang
membasuh tubuh masing-masing, terdengar suara bel pintu. Leo bilang biar dia
saja yang keluar. Dia sambar handuk dan mengeringkan tubuh, barulah keluar
kamar mandi. Kudengar lalu suara yang tidak asing. Ikut aku sambar handuk,
menutupi tubuh, dan mengintip keluar.
“Putri?”
Kaget aku
melihat siapa yang datang. Dia nyengir dan melambai. Melangkah lalu dia
mendekat.
“Pengennya
ngagetin elu. Eh kayaknya gue
datengnya telat nih,” Putri terkekeh.
Aku lihat
Leo sama sekali tidak kaget. Sepertinya dia sudah tahu kalau Putri akan datang.
Pasti dia pula yang memberitahu kamar kami.
“Habis
mandi, gue malah mau pulang.”
“Hhmm. Kalo gitu lu nggak apa-apa kan kalo
gue ‘pinjem’ si Leo lagi?” Bergeser dia mendekat, lalu berbisik, “Lagi jablay nih.”
“Terserah
kalian ajalah. Kalo Leo masih kuat sih silakan...” Aku tersenyum.
Beranjak Putri mendekati Leo. Ganti
Leo kemudian yang mendekati aku. Meyakinkan kalau aku beneran tidak apa-apa. Tentu
aku tidak bisa melarang. Lagian hubungan kami kan tidak memberi hak untuk itu. Dari
wajahnya, ketahuan kok kalau Leo penasaran sama Putri. Ya, iyalah, cowok mana
sih yang nggak ‘penasaran’ sama sahabatku itu. Anggap saja itu imbalan juga atas
bantuan dia buatku, tempo hari. Kemudian aku lanjut mandi, membiarkan mereka
berdua ngobrol.
Begitu
keluar, kudapati Putri dan Leo sedang bergumul di ranjang. Sedang berciuman. Aktifitas
itu sempat berhenti, tapi aku bilang dilanjutin saja. Aku sendiri mengambil
pakaian di atas kursi, dan sepatu, lalu masuk lagi ke kamar mandi. Selesai
berpakaian, aku tidak langsung berias. Nanti saja deh di mobil, pikirku. Ketika
keluar kamar mandi lagi, kali ini kudapati Leo lagi berjongkok di depan Putri. Sementara
sahabatku itu duduk di tepi ranjang. Kepala Leo ada dalam rok Putri.
“Gue
duluan ya...”
Mendengar
suaraku, Leo menarik kepalanya. Putri melambai, begitu pula dengan Leo.
Ketika
pintu kamar kubuka, Putri menyeletuk, “Eh
Dit, lu ada kondom?”
Aku rogoh
tas jinjing dan mengeluarkan satu pax
kondom. Masih disegel, mengingat aku tidak memakainya bersama Leo.
“Yakin
nih elu nggak mau threesome bareng
kita, Dit? Nanti gue bantu nelpon laki lu buat bikin alesan deh.”
“Nggak,
makasi.”
“Oke,”
Putri mengerling. “Maybe next time?”
Aku
tertawa kecil.
“Maybe...”
.
Lagi... Lagi... Lagi...
BalasHapusBakal lebih seru lagi kalo dita akhirnya ngentot dg orang jelek yg baru dia kenal. Apalagi sampe kena gangbang. Wkwkwk, bakal crottt sekali nih ��
BalasHapusTambah lagi, kalau bisa ada cerita quicky di Public area, biar tambah greget.
BalasHapusDita Belum ada update lagi nih, ayo bikin dita makin binal supaya bisa di icip2 banyak cowok.
BalasHapussambungan yg Bermain Api donk, masih penasaran sama kelanjutannya yakin jadi episode paling hot nih kayaknya, ayo donk min!!!
BalasHapusMenunggu update
BalasHapus