Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Malam
sudah sangat larut, suamiku belum juga pulang. Sudah tiga hari hal ini
terulang. Memang tadi sempat menelepon, bilang kalau akan pulang telat. Katanya,
musti lembur mengurus tender lama. Namun, ini sudah terlalu larut. Aku mulai
khawatir. Ditambah, lima pesan singkat sudah aku kirim setelahnya. Sampai sekarang
belum juga dibalas. Duduk gelisah aku di sofa, sementara si kecil sudah tidur
sejak tadi. Bolak-balik aku pindahkan channel
televisi. Sebuah usaha untuk menenangkan pikiran yang gagal.
Satu jam
kemudian, barulah mobil suami terdengar. Langsung aku hampiri ke garasi.
“Loh, mama belum tidur?”
“Gimana
bisa tidur kalau papa tengah malem gini belum pulang.”
Suami tersenyum.
Dia kemudian menggandeng tanganku. Di kamar, aku menyiapkan air hangat untuk
mandi. Suami bilang badannya pegal-pegal. Aku tahu benar perasaan itu. Berendam
pasti bisa membantu.
Keluar
dari kamar mandi, kudapati suami sudah telanjang bulat. Berjalan dia mendekat,
sambil tersenyum genit. Dia memeluk dan mencium bibirku. “Ikut papa mandi yuk,”
bujuknya.
Tanpa
menunggu jawaban, suami menarik lepas kaos yang aku pakai. Menyusul celana
pendek, serta celana dalam. Sama-sama polos, mulai kami berpagutan panas. Dia gandeng
tanganku lagi. Kali ini mengajak masuk ke bathtub.
Pagutan panas kembali berlanjut, disertai saling menyentuh tubuh masing-masing.
Makin panas dan panas. Mengingat sudah lama kami tidak berhubungan intim. Tidak
sempat, tepatnya.
Aku ambil
‘kendali’ duluan. Tujuannya supaya suami bisa santai saja dulu. Nggak perlu keluar tenaga dulu. Duduk aku
di atas tubuhnya. Bergoyang pelan dalam posisi woman on top. Suami merem-melek menikmati, sambil meremas kedua payudaraku.
Namun,
belum ada lima menit...
“Aaahhh...”
Suami melenguh panjang. Dia keluar. Tumben nih bertahan sesingkat itu. Mungkin
karena faktor kelelahan.
“Sorry...” ucapnya pelan. Muncul guratan
kekecewaan di wajahnya.
Aku
tersenyum. Kupagut bibirnya mesra, nunjukin
kalau tidak ada masalah. Lagi aku berbaring di sampingnya, bergelayut
manja. Lanjut kami berendam. Ada di pelukan suami saja sudah bikin hatiku
senang. Suami kemudian bercerita tentang kesibukannya. Kesibukan yang bikin dia
musti terus-terusan lembur.
Sebenarnya
aku sudah tahu apa yang terjadi. Sudah aku ketahui dua minggu yang lalu, saat
tiba-tiba Yudhi muncul di kantorku. Yudhi sudah tahu hubungan ‘gelap’ antara
aku dan ayahnya. Dia tahu dari isi percakapan kami lewat pesan singkat, yang tidak
sempat dihapus. Pak Romi bisa menikmati tubuhku, Yudhi pun ingin merasakan
kehangatan yang sama. Ancaman dilontarkan. Bila aku menolak, proyek suamiku
yang jadi taruhan. Akan dilakukan tender ulang. Hari itu aku menolak. Kuanggap
itu cuma gertakan sambal. Dan hari berikutnya, suamiku jadi mulai pulang malam.
Mulai uring-uringan. Selalu kelelahan tiap kali sampai rumah. Kalau sudah
begini, aku jadi ikut terkena imbasnya. Tetapi, berusaha aku terus bertahan. Tubuh
ini tak akan aku serahkan semudah itu.
Keluar
dari bathtub, kami membilas diri dan pakai
pakaian. Baru saja menyentuh kasur, suamiku sudah langsung terlelap. Lagi-lagi harus
kutahan birahi, yang tiga hari ini lagi tinggi-tingginya.
Dengan berat
hari aku ambil ponsel. Aku kirim chat ke
Yudhi. Di akhir ‘pertarungan’ ini, dia keluar sebagai pemenang dan aku pecundang.
***
Dua hari berlalu,
sama sekali tidak ada kabar lagi dari Yudhi. Padahal sebelum-sebelumnya pasti ada
saja chat dari dia. Menggoda aku
untuk ‘menyerah’. Agaknya sengaja dia bikin aku gelisah. Walau begitu, tetap
aku menahan diri untuk tidak kirim chat lagi.
Tetap aku musti punya harga diri. Meski sudah aku serahkan diri.
Barulah
di hari minggu, suami mendapat telepon dari panitia tender. Saat itu kami mengantar
si kecil les berenang. Suamiku terlihat kegirangan. Perusahaan suami masuk jadi
salah satu calon rekanan, dalam proses tender ulang. Besok daftarnya akan
dirilis secara resmi. Hasil kerja keras terbayar sudah. Ikut senang aku
mendengarnya. Meski ini belumlah final. Proses masih panjang.
Tak berselang
lama, masuk pesan singkat dari Yudhi ke ponselku. Memberitahu hal yang sama. Kami
pun berbalas chat. Tentu tanpa
sepengetahuan suami.
“Mama mau
makan di mana habis ini?”
“Tanya
Adek aja Pa, kalo mama sih ikut-ikut aja.” Aku tersenyum. Senang melihat wajah
suami tidak lagi berkerut, penuh pikiran.
Lama
tidak ada balasan, chat terakhir dari Yudhi bikin kaget.
“Aku ada di parkiran, bisa ke sini sebentar?”
Ngapain dia ke sini, aku
membatin. Memang sih tadi dia dapat bertanya aku ada di mana.
“Pa, mama
beli camilan dulu ya,” memberi sebuah alasan.
Tanpa
curiga suamiku mengangguk.
Beranjak
aku kemudian. Meninggalkan suami mengawasi si kecil lagi berenang. Sampai di
areal parkir, kulihat dari kejauhan lambaian tangan Yudhi. Melangkah aku
mendekat.
“Ngapain
kamu ke sini?” Tanyaku.
“Kangen.”
Yudhi nyengir.
Dia
menyuruh aku masuk ke jok belakang. Menyusul kemudian dia duduk di sampingku.
Tanpa
menunggu tanggapanku, Yudhi lanjut berujar. “Inget waktu pertama kita ketemu?
Di jok belakang mobil seperti ini juga kan?” Senyumnya berganti tawa kecil. Buat
yang belum tahu apa yang terjadi saat itu, baca cerita berjudul ‘Menemani
Futsal’.
Tidak
bisa aku menahan diri untuk tersipu.
“Gituan
lagi yuk.”
Momen itu
pun tiba. Momen dimana aku harus melayani ‘kemauan’ Yudhi.
“Apa
nggak baiknya di kamar hotel aja?”
“Oh yang
itu lain.” Yudhi terkekeh. “Anggap aja ini ‘pemanasan’. Sekedar mengulang
memori masa lalu.”
Usai diyakinkan
tidak akan adegan buka-bukaan, aku pun setuju. Setelah memastikan situasi di
luar aman, bibir kami bertemu. Kaca mobil Yudhi cukup gelap, buat menutupi apa
yang terjadi di dalam. Pagutan dimulai secara pelan dan lembut. Dikulumnya
bibirku dengan penuh perasaan. Seperti dikatakan Yudhi tadi, momen ini terasa
seperti dejavu. Sampai ketika lidah
Yudhi mulai bermain. Nafsu mulai memegang kendali. Tercium aroma mint. Mungkin sisa permen karet yang
tadi dikunyah Yudhi.
Selama
perpagutan, tangan Yudhi tidak hanya diam. Lewat ujung bawah kaos, tangan itu
masuk dan mulai meraba. Tidak cuma sampai di sana, dia juga bergerak lincah
melepas kaitan bra. Kini payudaraku sepenuhnya dalam kekuasaan tangan Yudhi. Diremas
pelan, sambil terus mengulum bibirku. Puas memagut bibir, Yudhi menyingkap
kaosku ke atas. Mulutnya kemudian hinggap di puting kanan. Ganti dia mengulum
putingku dengan lembut. Bergiliran dengan yang kiri. Kanan, kiri, kanan, kiri.
Meninggalkan jejak liur, karena sesekali dia menjilatinya juga.
“Ssshh, ssshh, ssshhh...” Aku
mendesah pelan. Satu-dua kali juga menerang kecil, ketika Yudhi menggigit
putingku gemas. Mungil menggoda, kata dia.
Sambil
mengulumi payudara, tetap tangan Yudhi tidak cuma diam. Lincah membuka kaitan
dan resleting celana pendekku. Menyusup lalu ke dalam, merabai celana dalam.
Dia menggoda, saat mendapati kain mungil itu basah. Aku hanya bisa mengulum senyum.
Harus kuakui cara Yudhi memainkan payudara terasa sangat nikmat.
Puas
mengeksploitasi diriku, Yudhi minta ganti dilayani. Minta aku mulai mengulum
penisnya. Giliran aku yang membuka kaitan dan celana pendek Yudhi. Aku lorotin
celana itu turun, beserta dengan boxer
yang dipakainya. Mengacunglah penis milik Yudhi. Ukurannya sih standar, tapi
itu kan belum tegang maksimal. Masih bisa meregang lagilah, kira-kira.
“Gede nggak?
Yudhi tersenyum bangga.
“Lumayan,”
ucapku sambil tersenyum.
“Fix, artinya udah pernah ngerasain punya
bule nih.” Terkekeh Yudhi menyindir diriku, karena menilai kalau penis miliknya
‘kurang’ besar. “Kayaknya musti kerja agak keras nih buat bikin kamu puas...”
Tambahnya lagi.
Sejak
jadi Direktur, Yudhi sudah tidak lagi memanggil aku ‘Kakak’. Agar supaya tidak
terkesan ‘anak-anak’, kata dia. Mengingat kini posisi kami adalah rekan kerja.
Tidak masalah aku dengan hal itu. Mulailah kemudian kami pakai ‘aku-kamu’, atau
langsung memanggil nama.
Lagi aku mengulum
senyum. Sebelum memulai, aku mengurut lembut batang penis itu. Anggap saja
sebagai sebuah perkenalan. Bagaimana pun penis digenggaman itu akan menyetubuhi
aku dalam waktu dekat. Yudhi berkali tersenyum, melihat caraku memperlakukan
miliknya. Setelah sedikit ‘merenggang’, barulah aku masukkan itu ke dalam
mulut. Terdengar erangan-erangan kecil, ketika aku mulai menyepong. “Oohhh, oohh...”
Aku
selingi pula dengan jilatan, sampai ke buah zakar. Yudhi sangat menikmati
pelayananku itu. Terus dia melenguh-lenguh, sambil mengelusi rambutku. “Terus,
terus, terus...” Rancaunya.
Sadar tidak
punya banyak waktu, aku kombinasi sepongan dengan kocokan. Aku remas sedikit
kencang ketika mengocok. Sampai mengulumi kepala penis Yudhi. Itu kulakukan
agar si pemilik penis bisa ejakulasi secepatnya. Upaya itu cukup berhasil.
Terasa otot-otot penis menegang. Dan menyusul kemudian erangan panjang.
“AAAHHH…”
“Croot, croot, croot...”
Semburan
demi semburan memenuhi mulutku. Sebelumnya, Yudhi memang sudah minta supaya aku
menelan spermanya. Guna memastikan hal itu terjadi, dia pegangi kepalaku. Memastikan
penis tidak terlepas dari mulut. Hampir aku tersedak dibuatnya, karena semburan
sperma datang begitu kencang. Mirip seperti semprotan kencing. Dengan susah
payah aku menelan. Merebaklah aroma amis, bercampur asin di lidah. Seiring batang
penis yang melemas.
“Uhuuk, uhuuk, uhuuk...” Aku
terbatuk-batuk, begitu penis itu tercabut.
Beruntung
Yudhi berinisiatif menyodorkan botol air mineral. Segera kusambar dan menegaknya.
“Maaf,
maaf. Nggak nyangka keluarnya sebanyak itu.” Yudhi terkekeh.
Tanpa
menghiraukan tawa itu, aku merapikan lagi seluruh pakaian.
“Udah
selesai kan?”
Yudhi mengangguk.
“Untuk saat ini. Tunggu kabar selanjutnya.”
Aku pun meminta
ijin untuk keluar dari mobil. Sebelum itu, Yudhi mengulum kembali bibirku.
“Salam ya
buat Pak Hendra.”
Sepertinya
sengaja dia berkata seperti itu. Kata-kata itu lebih seperti sebuah seruan
kemenangan. Cengiran Yudhi menyiratkan dengan jelas hal itu. Keberhasilan ‘memejuhi’ seorang istri, tepat di
belakang suaminya. Tentu hal itu adalah sebuah prestise bagi seorang laki-laki muda. Aku hanya mengangguk, dan
menutup pintu mobil.
Buru-buru
aku melangkah menuju kantin. Membeli makanan ringan dan minuman, sebagai alibi.
Sambil berharap semoga saja si kecil belum selesai latihan. Kalau tidak, aku pasti
kelabakan diintrogasi oleh suami. Saat tiba kudapati suami masih duduk baca
koran, dan si kecil masih di kolam renang.
Aman, hatiku pun lega.
***
Hari Selasa,
pekan berikutnya. Ponselku berbunyi. Chat
dari Yudhi, isinya lampiran daftar nama calon rekanan resmi yang dirilis di
website. Dari sepuluh nama, kini menjadi
tinggal tiga nama. Perusahaan suami masih masuk ke dalam tiga nama tersebut. Chat berikutnya, Yudhi mengajak ketemu. Tetapi,
habis jam kerja aku musti lembur. Mengejar target laporan akhir bulan. Terpaksa
aku tolak dan minta diundur satu hari. Kebetulan besok aku ditugasi ikut
seminar sehari. Bakal ada cukup waktu, serta alasan untuk pulang telat. Yudhi setuju
dengan usulan itu.
Meski
begitu, siang harinya tiba-tiba Yudhi muncul di kantorku. Membawakan aku box makan siang. Tentu tidak hanya itu
tujuan kedatangan dia. Di salah satu ruangan meeting, dia mengulum bibirku. Melakukan french kiss dan rabaan-rabaan seperti biasan. Untungnya, Yudhi
tidak minta untuk melakukan hubungan intim. Dia cuma minta mengecek bulu vagina,
apakah sudah tumbuh atau belum. Lewat chat,
Yudhi memang pernah minta aku membiarkannya lebat.
“Panjangan
lagi dikit, pas banget deh sama seleraku.”
“Suamiku
nanya loh kenapa tiba-tiba aku jadi males nguris
rambut bawah.”
Yudhi terkekeh.
“Terus kamu jawab apa?”
“Aku bilang
aja belum sempat.”
Kali ini
Yudhi menanggapi dengan tawa lebar. Sepertinya lagi dia merasa menang atas
suamiku, karena sang istri malah patuh pada dirinya.
Perkataanku
tadi ternyata bikin Yudhi berfantasi. Dia minta aku tetap duduk di kursi,
sementara dia jongkok di depanku. Dia buka makin lebar pahaku, saat celana
dalam masih bergantung di betis. Tersenyum dia melihat aku kebingungan.
“Eh, kamu mau ngapain?”
Bukannya
menjawab pertanyaan itu, Yudhi malah mendaratkan lidahnya di vaginaku. Tidak
bisa aku menolak, dan membiarkan saja lidah itu menari-nari. Dibikinnya aku
bergelinjang tertahan. Berusaha aku tahan desahan sekuat mungkin. Meski kantor
lagi sepi, tapi bisa saja kan desahan itu terdengar sampai luar. Tidak perlu
waktu lama, Yudhi sukses membuat lubang kenikmatanku basah kuyup. Bangga dia
dengan ‘hasil karyanya’ itu. Terlihat dari senyum lebarnya. Terutama saat dia
mulai menusuk-nusukan lidahnya ke dalam lubang. Membuat aku meremas tepian
kursi, saking nikmatnya rasa itu melanda. Begitu pula saat Yudhi
menyentil-nyentil titik g-spot,
dengan ujung lidahnya. Cairan kewanitaan makin membanjir di bawah sana.
Di waktu
yang bersamaan, tangan kiriku bergerak merabai payudara. Kedua puting terasa
‘gatal’. Meski tidak sampai buka kancing, rabaan itu cukup mengurangi efek
jilatan Yudhi.
“Dibuka
aja bajunya,” goda dirinya.
“Nggak.
Gila aja, ini kantor tauuu...” aku menolak tegas.
Yudhi
hanya nyengir lebar, lalu lanjut dengan lidahnya di antara paha. Sampai
akhirnya tubuhku menegang hebat. Aku orgasme. Sepertinya Yudhi tahu itu. Di
bawah sana, dia sibuk ‘meminum’ cairan birahi yang meleleh ke luar. Dia baru
menarik wajahnya, saat tidak ada lagi yang tersisa untuk dinikmati.
“Sekarang
kita impas...” Yudhi terkekeh.
Ketika
dia berdiri, aku mengambil tissue basah
dari saku. Aku pakai untuk mengelap area intim, barulah aku pakai lagi celana
dalam. Aku yakin saat itu wajahku pasti merona merah. Menyusul berdiri, langsung
ditariknya tubuhku. Yudhi mendaratkan lagi bibirnya. Habis sudah lipstik yang tadi menempel di sana. Berpagutan
kami cukup lama, sebelum dia berpamitan.
Sepeninggal
Yudhi, aku bergegas ke toilet. Memperbaiki penampilan, sebelum lanjut bekerja.
***
Hari Rabu,
keesokan harinya.
Di lokasi
seminar, pembicara kedua akhirnya selesai juga. Acara pun dihentikan sementara
untuk insoma. Kesempatan itu aku
pakai meluncur ke sebuah hotel, di pinggiran kota. Sebelumnya, aku sudah minta sertifikat lebih awal ke panitia.
Berjaga-jaga seandainya tidak bisa balik lagi ke lokasi. Tadi pagi Yudhi sudah mengirim
chat, berisi nama hotel dan nomor kamar.
Berusaha aku datang tepat waktu sesuai janji. Kamar yang nantinya akan jadi
tempat kami memadu lendir. Saat tiba, rupanya Yudhi belum sampai. Masih kejebak
macet, kata dia waktu aku telepon. Langsung saja kuminta lebih dulu kunci ke
resepsionis.
Sampai di
kamar, aku langsung buka pakaian lalu ke kamar mandi. Aku basuh tubuh, cuci wajah,
sikat gigi, kumur-kumur, dan tidak lupa membilas area intim. Kupastikan setiap
jengkal tubuh bersih dan wangi. Ini adalah kali pertama aku akan telanjang di
depan Yudhi. Aku harus percaya diri dengan tubuhku sendiri. Kusiapkan pula
peralatan mandi untuk Yudhi. Semoga saja dia mau pakai. Biar sama-sama nyaman
waktu tubuh kami ‘beradu’ nanti. Selesai mandi, aku poles tipis make-up guna nyegerin penampilan. Semprotin sedikit parfum, rambut aku ikat agar
lebih rapi. Bahkan, pakaian dalam ‘terbaik’ pun sudah aku pakai. Semua demi memuaskan
Yudhi.
Sedang
asyik mematut diri di cermin, bel pintu berbunyi. Segera aku sambar kimono,
lalu keluar dari kamar mandi. Aku intip dari lubang pintu. Memang benar itu
Yudhi. Dia melempar senyum, saat pintu kubuka.
“Oh sudah bersih-bersih ternyata.”
“Nggak
apa-apa kan?” Aku sedikit khawatir dengan tanggapan tadi.
“Nggak
apa-apa.” Lagi dia tersenyum. “Kalau gitu aku bersih-bersih juga deh.”
Aku jawab
dengan anggukan. Kubilang kalau peralatan mandi sudah aku siapkan. Ganti dia
yang mengangguk. Melangkah Yudhi masuk kamar mandi. Tidak lama terdengar suara
air gemericik.
Selama
Yudhi mandi, seluruh tirai aku tutup. Beberapa lampu aku matikan, sehingga
nuansa jadi temaram. Mendadak muncul sedikit rasa insecure, mengingat usia kami yang selisih jauh. Pasti ada
kekurangan didiriku, bila dibanding cewek-cewek yang pernah bersama Yudhi. Image dia yang doyan gonta-ganti cewek,
sudah sering aku dengar. Rata-rata mereka itu muda dan cantik.
Keluar
dari kamar mandi, Yudhi hanya berbalut handuk sepinggang. Terlihatlah tubuhnya yang
sangat terawat, mirip seperti tubuh Leo. Terlihat otot-otot kekar, hasil dari fitnes yang pasti rutin dilakukan. Dia
keluar sambil mengusap-usap rambutnya yang basah.
“Kita
punya waktu berapa lama?”
“Maksudnya?”
“Kamu
musti balik ke tempat seminar kan?”
Rasa
kikuk bikin aku lelet berpikir. Selain
rasa kagum melihat postur tubuh Yudhi.
“Mungkin dua
jam paling lambat.” Sahutku ragu.
“Oke, kalau gitu kita mulai aja. Kita skip basa-basinya. Nggak masalah kan?”
Aku
mengangguk kaku, yang dibalas senyuman oleh Yudhi.
Percumbuan
pun dimulai. Yudhi memelukku, sementara bibir kami berpagutan. Disusul dengan
beradu lidah dan bertukar liur. Dia tarik tali pengikat kimono. Dia tanggalkan
kain satu-satunya penutup tubuhku tersebut. Terpampanglah tubuh polosku.
“Dari
dulu aku pengen sekali melihat tubuh bugil kakak secara langsung. Ternyata persis
seperti yang aku bayangin. Cakep...”
Menghela
nafas aku mendengar itu. Aduh, lega
sekali rasanya. Perasaan insecure
yang sempat melanda pun langsung sirna. Artinya tubuhku tidaklah mengecewakan
Yudhi.
Apalagi saat
Yudhi menjelajahi tiap jengkap tubuhku dengan ciuman. Dari atas ke bawah. Depan
dan belakang. Pujian yang sama terus terlontar.
Yudhi
merebahkan diriku di ranjang. Dia tindih menindih, lalu lanjut mencumbui aku. Aku
pun dengan nyaman menyambut bibir Yudhi. Dia memagut dengan lembut. Tercium bau
obat kumur, yang berarti dia memakainya. Seperti biasanya, Yudhi memainkan
lidahnya di mulutku. Ikut aku balas, sehingga lidah kami kerap beradu. Pagutan
itu kemudian pindah menyusuri telinga, leher, dan berakhir di kedua puting. Aku
mulai bergelinjang, ketika Yudhi memainkan putingku. Dia cium, jilat, dan kulum
bergantian. “Sshh, sshh, sshh...”
Puas meliuri
kedua putingku, bibir Yudhi berpindah turun. Menelusuri perut, pusar, paha, lutut,
betis, telapak kaki. Naik lagi kemudian, sampai bermuara pada vagina. “Sshh, sshh, sshh...”
Gelinjang
tubuhku semakin hebat. Yudhi sepertinya menikmati sekali liang vaginaku. Berlama-lama
dia di sana. Dia elusi bulu-bulu yang sudah makin lebat. Mencium, mengulum,
menjilati, dan menusuk memakai lidahnya. Dibuatnya basah kuyup liang intimku,
sampai ke bulu-bulunya.
“Aahh,
aahh, aahh...” Saking gelinya, aku apit kepada Yudhi dengan paha.
Beralih
dari area intim, Yudhi berbisik. Bisikan yang bikin kami berganti posisi. Gantian
Yudhi yang berbaring pasif, sementara aku yang menciumi tubuhnya. Bermula dari
bibir, leher, dada, perut, pusar. Aku tanggalkan handuk yang melilit pinggul. Nongollah
penis Yudhi. Penis yang dua hari lalu aku kulumi. Penis yang siang ini akan
menyetubuhi aku. Beda dengan terakhir, kali ini penis Yudhi sudah mengacung
maksimal. Nampak seperti hasil menelan obat kuat.
“Udah
berapa cewek yang pernah ‘digituin’ sama punyamu ini?”
Nyengir Yudhi
mendengar pertanyaan itu. “Ada deh. Cuman yang pasti belum pernah ngerasain
pepek ibu muda seksi beranak satu.” Cengirannya bertambah lebar.
Ketika
hendak mengulum penisnya, Yudhi mencegahku. Dia minta aku langsung saja ‘duduk’
di atas tubuhnya. Tentu saja aku ikuti kemauannya. Dia adalah raja, paling
tidak sampai suamiku terpilih jadi rekanan resmi. Walau dialah rajanya, namun safe sex tetap prioritas. Seperti
laki-laki lainnya, Yudhi nampak mangkel
ketika kuminta pakai kondom. Meski akhirnya dia mengiyakan.
Berdiri
lalu aku di atas Yudhi, jongkok berlahan, sambil mengatur posisi pinggul. Memastikan
kalau batang penis mengarah tepat ke lubang vagina. Begitu terduduk, penis itu
pun menembus kewanitaanku.
“Aaahhh...”
Yudhi melenguh panjang. Sah sudah kini vaginaku disetubuhi oleh ayah dan anak.
“Tunggu sebentar,”
ucapnya ketika aku hendak bergoyang.
“Kenapa?”
“Pengen
ngerasain dulu angetnya jepitan pepek ibu muda seksi beranak satu.” Lagi dia
ulangi istilah yang dia pakai memanggil diriku. “Masih sempit ternyata...”
Senyuman
aku kulum. Tersanjung juga mendengar itu dari cowok muda. Mengingat ini juga
kali pertama kelamin kami bertemu. Setelah diberi tanda, mulai aku menggoyang
pinggul. Perlahan-lahan. Kedua tangan aku taruh di perut Yudhi, sebagai
tumpuan. Sementara tangan dia meremas-remas payudaraku. Kami saling melempar
senyuman. Kedua mata kami beradu, selagi kelamin kami saling bergesekan. Sesekali
Yudhi memejamkan mata, seperti menikmati gesekan tersebut.
Selang
lima menit, Yudhi mengambil posisi duduk. Aku sendiri masih ada di pangkuan dia.
Kini aku bergoyang sambil dikulumi bibirnya. Seperti yang sudah-sudah, Yudhi
memainkan lidah di dalam mulutku. “Mmhhh, mmhhh, mmhhh...” Desahan kami
tertahan bibir masing-masing.
Yudhi
tidak minta ganti posisi. Sedari tadi kami tetap bertahan pada posisi yang
sama. Aku pun tidak niat menyarankan hal itu. Kubiarkan saja berjalan sesuai
selera Yudhi. Dia hanya minta aku goyang lebih kencang. Maka aku beri tenaga lebih
ke bagian pinggul. Desahan Yudhi terdengar lebih lirih, mengiringi gerakanku. Sekali-dua
kali dia emuti puting payudaraku.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Uuhhh,
uuhhh, uuhhh...”
Desahan,
lenguhan, erangan, memantul di antara dinding. Memenuhi seisi kamar. Keringat
mulai membasahi tubuh telanjang kami. Tak terlihat tanda Yudhi akan klimaks. Dia
malah tersenyum, seperti sedang menunggu. Menunggu aku tiba di puncak lebih dulu.
Terus dia panas-panasi aku agar bergerak lebih liar. “Terus, terus, terus...”
Begitu teriaknya.
Dan
beberapa menit kemudian aku melenguh. Yudhi menyusul setelahnya. Kami klimaks
hampir berbarengan. Salut aku akan kemampuan dia bertahan. Terlihat sangat
berpengalaman.
Yudhi menahan
tubuhku agar tidak rebah. Memeluk aku, agar tetap ada di pangkuannya. Begitu nafas
kembali tenang, dia mengecup bibirku. Mengucapkan terima kasih. Tersipu aku
mendengar itu. Padahal mustinya aku yang berterima kasih, atas klimaks yang kudapat.
“Kamu udah
makan?” Tanya dia, saat aku turun dari pangkuannya.
Aku
menggeleng. Beriniatif Yudhi menelpon room
service. Memesan makanan untuk di antar ke kamar. Sambil menunggu, dia
minta ijin untuk merokok. Apakah aku nyaman dengan asapnya atau tidak. Tak
apa-apa aku bilang, malah kubantu dia menyalakannya. Habis itu, ganti aku yang
minta ijin ke kamar mandi. Lagi cuci muka dan bersih-bersih, terdengar bel
pintu. Pasti pesanan makanan kami sudah tiba.
Keluar
dari berberes, makanan sudah terhidang. Sambil bersantap siang, kami mengobrol
ringan. Dalam obrolan sempat tercetus nama Leo. Yudhi nyindir, kalau dirinya pasti bukan daun muda pertamaku. Sindiran yang
bikin pipiku merona. Dan tidak lupa Yudhi menitip salam buat Leo.
Tak
terasa, satu setengah jam sudah berlalu. Saat hendak pamitan, dengan nakal
Yudhi menarik tanganku. Ditindihnya lagi tubuhku. Ditancapkan lagi penisnya.
Susah payah aku meraih ponsel, menelpon junior-ku
di lokasi seminar. Itupun aku lakukan dalam kondisi ‘tertusuk’ penis. Bilang
kalau aku tidak bisa balik, karena sedang bersama klien. Alasan sama yang aku
pakai saat pergi tadi. Selesai itu, barulah aku fokus menerima ‘serangan’
Yudhi.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Oohhh,
oohhh, oohhh...”
Tubuhku
dibolak-balik Yudhi di ranjang. Dibuatnya aku bergelinjang dalam kenikmatan.
Lama tidak dipuaskan suami, kunikmati sekali persetubuhan terlarang ini. Penis
Yudhi seperti oase di tengah
kekeringan birahi. Itu sebabnya aku korbankan tugas kantorku, demi bisa meraih orgasme lagi hari itu. Dan Yudhi
sepertinya bisa merasakan itu. Merasakan kehausanku.
“Terus
Yud, teruuus, yang kenceng, yang daleemm...” Aku merancau. Ganti aku yang
menggila. Tidak lagi malu-malu seperti sebelumnya.
Rancauan
itu bikin Yudhi bersemangat. Meski begitu, dia pandai membaca situasi. Justru
ketika itu dia tarik penisnya. Membuat aku memohon-mohon, supaya dimasukin lagi. Ternyata memang apel
tidak jatuh jauh dari pohonnya. Baru kemudian dia tusukan lagi batang tersebut.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Oohhh,
oohhh, oohhh...”
“AAAHHHH...!!”
Saat aku mencapai
orgasme kedua, Yudhi tidak juga kunjung usai menggenjot. Berhenti hanya
hitungan detik, mulai lagi dia tancap gas. Berguncang-guncang aku dalam kenikmatan.
Tak bisa lagi aku pertahankan posisi nungging. Lututku sudah terlalu lemas. Tertelungkup
aku lemah, di tengah tusukan ganas penis Yudhi. Keringat terus bercucuran.
“AAAHHHH...!!”
Aku
orgasme lagi. Kali ini tak hanya lututku yang lemas. Seluruh tubuhku ikut mati
rasa. Dunia seperti tertelan kegelapan. Aku seperti melayang. Nikmat sekali
rasanya.
Masih
juga Yudhi menggenjot. Masih stabil iramanya. Stamina daun muda memang beda.
Lebih kuat, lebih bertenaga. Sampai akhirnya, terasa sesuatu yang hangat
mengenai pantatku. Disertai lenguhan panjang. “AAAHHH!!” Pasti Yudhi melepas
kondom, sebelum ejakulasi tadi. Selama tidak dia keluarin di dalam, masihlah aman.
Multi
orgasme bikin tenaga terkuras habis. Tanpa sadar, aku kehilangan kontrol diri.
Sempat aku tanggapi beberapa perkataan Yudhi, setelah itu semuanya menjadi
gelap.
Baru aku
terbangun saat matahari sudah ada di peraduan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul
tujuh malam. Itu berarti aku tertidur selama empat jam. Kudapati Yudhi terlelap
di sampingku. Masih telanjang, dalam posisi memeluk tubuhku. Perlahan aku geser
tangannya, berusaha agar dia tak sampai terbangun. Turun ranjang, aku bergegas ke
kamar mandi. Bersih-bersih dan pakai pakaian. Saat mengecek ponsel, ada empat
pesan masuk. Salah satunya dari si kecil, yang minta dibeliin paket ikan bakar.
Orang rumah pasti berpikir aku lagi lembur.
Sudah
beres, barulah aku berusaha membangunkan Yudhi. Dia meregang, tapi tak kunjung juga
membuka mata. Terpaksa aku pergi tanpa pamitan. Sebagai gantinya, aku
tinggalkan note kecil di sebelah
ranjang.
Sampai di
rumah, si kecil langsung menyambut. Tadi dia lagi main sama si Mbok. Aku temani
dia makan sebentar, sebelum pergi ke kamar tidur. Di sana kulihat suami sudah
tertidur. Pasti dia juga kecapekan. Selesai
mandi, aku bantu si kecil mengecek PR. Menunggu dia terlelap, barulah aku bisa
beristirahat. Sungguh hari yang melelahkan.
***
Keesokan
harinya. Aku sampai rumah juga sudah malam, karena pekerjaan yang cukup padat.
“Adek
mana Mbok?” Tanyaku ke asisten rumah tangga.
“Di kamar
Bu.”
“Kalo
Bapak?”
“Lagi di
atas sama tamu.”
“Tamu?”
“Iya.
Yudhi gitu namanya kalo nggak salah. Orangnya masih muda.”
Terkaget
aku mendengar nama itu. Baru kemarin kami habiskan berjam-jam di kamar hotel,
kini mendadak Yudhi muncul di rumahku. Berbicara dengan suamiku.
Aku
persilakan si Mbok pulang, sebelum melangkah menuju kamar si kecil. Dia rupanya
sudah tertidur, di samping buku yang berserakan di ranjang. Semoga PR-nya sudah
selesai dibuat. Aku rapikan buku-buku itu, lalu menyelimuti anakku itu. Keluar
dari kamar, aku lanjut naik ke lantai dua. Dari luar terdengar orang
bercakap-cakap. Saat pintu aku buka, suami dan Yudhi melempar senyum bersamaan.
Berbasa-basi sebentar, aku pamit untuk mandi. Canggung rasanya ada satu ruangan
dengan suami dan Yudhi. Masih terlalu segar di ingatan, bagaimana aku
bergelinjang di bawah tindihan dirinya.
Baru
selesai membuka blazer, dan dua
kancing blouse, pintu kamarku
terbuka. Awalnya aku kira itu suami, ternyata orang itu adalah Yudhi. Dia
langsung memberi kode agar aku tidak bersuara, saat melihat ekspresi kagetku.
Aku menurut saja. Tersenyum dia, sebelum melangkah mendekat. Langsung
dipeluknya tubuhnya, lalu mendaratkan kecupan di bibirku.
“Kemarin
kita belum sempat pamitan,” ujarnya begitu bibir kami berpisah.
“Aku
sudah coba bangunin kamu.”
“Nggak
apa-apa.” Lagi dia tersenyum. “Aku singkat saja. Sebelum hasil tender akhir
diumumin, aku mau bercinta sama kamu di kamar ini. Di ranjang ini. Tolong kamu
atur waktunya.”
Kembali
aku kaget. Sebuah permintaan yang sangat tak masuk akal. Masa aku akan rela
menodai ranjang perkawinanku, dengan tidur bersama laki-laki lain di atasnya.
Untung, Yudhi tidak minta aku mengiyakan saat itu juga. Dia memberikan aku
waktu berpikir.
Bibir
Yudhi mendarat lagi di bibir. Sambil memagut, tangan dia bergerak lincah.
Membuka sisa kancing blouse-ku, serta
menarik ujungnya yang masuk dalam rok. Tidak kalah lincah, kala dia
menanggalkan bra, rok, dan celana dalam. Semuanya terjadi begitu singkat. Tahu-tahu
aku sudah dalam keadaan telanjang bulat. Berdiri mematung di depan Yudhi.
“Aku
tunggu kabar dari kamu...”
Laki-laki
itu melempar senyum. Melempar juga kecupan jauh, sebelum keluar kamar. Tidak
dia sentuh tubuhku. Selepas kepergian Yudhi, buru-buru aku masuk kamar mandi.
Berendam aku di sana. Berharap gundah dalam diri akan berkurang, saat tubuh
terkena air hangat.
Usaha itu
cukup berhasil. Pikiranku lumayan jadi sedikit tenang. Selesai berpakaian, aku
keluar kamar dan melangkah ke ruang kerja suami. Tidak ada lagi sosok Yudhi di
sana. Hanya suamiku yang masih serius depan laptop.
“Nggak
bobo, Pa?”
“Dikit
lagi ya, Ma.”
Melihat
suami tidak mengalihkan mata dari layar, aku jadi sedikit kesal. Sementara
laki-laki lain begitu bernafsu untuk meniduri aku, eh dia malah cuek-cuek aja. Duduk aku di pangkuan suami, lalu memberi
kecupan di bibirnya. Suami tersenyum. Dia mengerti kalau aku sudah bertingkah
seperti itu. Aku sedang butuh kasih sayang. Dibelainya lembut punggung dan
rambutku.
“Kelonin
mama bentar dong, Pa. Lagi pengen dipeluk,” ucapku manja.
Suami
menurut. Dia matikan laptop, lalu menggandeng diriku turun ke kamar. Hal itu
membuat aku bahagia. Naik kami ke ranjang. Bergelayut aku kemudian di pelukan
suami. Rasanya hangat dan begitu romantis. Sengaja aku tidak minta untuk
berhubungan badan. Takutnya suami masih belum mampu, hingga malah membuat dia
makin tak percaya diri. Aku hanya butuh kehangatan pelukan dia, yang akhirnya berhasil
membuat terlelap.
***
Pagi
hari, keesokan harinya. Aku terbangun sendirian di ranjang. Selesai bangunin si kecil, aku temukan suami
tertidur di sofa ruang kerja. Pasti dia balik bekerja, setelah aku terlelap
kemarin malam. Aku selimuti tubuhnya, dan membiarkan dia tetap tertidur. Datang
ke kantor agak siang bukanlah masalah buat suami. Orang dia bosnya.
Sampai di
kantor, usai mengantar si kecil ke sekolah, aku menelepon Yudhi. Sudah tiba saatnya
aku yang pegang kendali. Kalau dibiarkan, pasti laki-laki muda itu akan makin
meminta hal yang aneh-aneh. Padahal sudah aku serahkan tubuhku untuk dia
nikmati. Di telepon, aku bilang akan memenuhi permintaan terakhir dari Yudhi.
Namun, baru akan aku lakukan setelah pengumuman hasil tender resmi dirilis.
Tidak sebelum itu. Mengingat aku musti konsentrasi pula pada kerjaan. Musti
bergelut dengan tabel dan angka, jelang tutup buku.
Nekat aku
berkata seperti itu. Kalau pun ditolak, berarti aku harus menyiapkan tenaga
ekstra. Eh, tahunya Yudhi mengiyakan
dengan santai. Dia dapat mengerti dengan keadaanku. Malahan dia berterima-kasih,
karena malam sebelum itu sudah ‘melayani’ dirinya. Aku menghela nafas lega.
Cuma ya tetap
saja, bukan Yudhi namanya kalau tidak berupaya. Beberapa hari lewat, menjelang weekend, dia menelepon minta dibawakan martabak
telor. Katanya, dia lagi ‘ngidam’, tetapi
juga lagi mager. Sungguh sebuah
alasan yang dibuat-buat. Mau tidak mau, pulang kantor nanti aku musti mampir dulu
ke apartemen dia. Meski tahu kalau itu hanya sekedar modus, tetap aku turuti kemauan
Yudhi.
Dan benar
saja. Begitu sampai, aku langsung diseret ke kamar tidur. Pakaian bawah saja
yang dia lolosi, saat kelamin kami mulai beradu. Terkangkang lebar aku dibawah
tindihan Yudhi. Kedua lututku ditekuk, agar penisnya bisa menusuk lebih dalam.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Sshhh,
sshhh, sshhh...”
Persetubuhan
itu cuma terjadi sekali. Sedari awal, sebenarnya hanya ditujukan sebagai seks
kilat. Tetapi, rupanya berlangsung tidak kilat-kilat amat. Cukup memberi kepuasan.
Selesai pakai
rok, Yudhi mempersilakan aku pulang. Bersama dengan martabak yang tadi kubeli.
Katanya, buat si kecil saja sebagai oleh-oleh. Aku hanya bisa menggeleng.
Beneran modus kan.
***
Seminggu
berikutnya. Pengumuman lelang tender pun resmi dirilis. Perusahaan suami secara
sah keluar sebagai pemenang. Pulang-pulang, suami langsung memeluk aku dan si
kecil. Ditambah janji akan mentraktir jalan-jalan. Terlihat sekali dia bahagia
bukan kepalang. Sebenarnya sih aku sudah tahu berita tersebut sedari siang.
Yudhi mengirimi link-nya lewat pesan
singkat. Tentu saja aku ikut senang melihat itu.
Sebenarnya,
selain kirim link, Yudhi juga
mengingatkan aku. Mengingatkan pada janjiku. Aku pun berjanji akan menghubungi
dia secepatnya. Begitu ada waktu.
Dimana
waktu itu tiba, tiga hari sesudahnya. Ketika suami harus keluar kota untuk urusan
tanda tangan dokumen tender. Sepertinya Yudhi punya peran juga dalam hal ini.
Khusus hari itu, aku mengambil cuti. Tanpa sepengetahuan suami, tentunya.
Pagi-pagi benar suami sudah berangkat ke bandara, diantar sopir kantor. Di
malam sebelumnya, aku sudah berkirim chat
dengan Yudhi. Maka tak heran, pulang aku dari mengantar si kecil, Yudhi sudah
menunggu di depan gerbang.
“Mau
minum apa?” Tanyaku pada Yudhi, begitu kami sampai di ruang tamu.
Hari itu
sengaja aku liburkan asisten rumah tangga. Semata agar apa yang akan terjadi bersama
Yudhi, tetap jadi rahasia. Termasuk mengunci pintu gerbang dan pintu depan.
Membuat seolah-olah rumahku sedang kosong.
“Minuman
yang biasa kamu sajiin buat suami aja.”
Yudhi
mengerling. Menegaskan apa yang tadi dia sampaikan. Agar aku menganggap dia
sebagai suami. Melakukan apa yang biasa aku lakukan bersama suami. Aku pun buatkan
dia teh manis hangat. Sejenak dia mengajak ngobrol
santai. Pintar memang Yudhi bikin suasana cair. Mungkin sedari tadi dia
melihat aku sedikit kaku. Toh, kami
memang punya waktu sampai sore.
“Kita ke
kamar sekarang?” Barulah kemudian dia bertanya.
Aku yang kini
sudah lebih santai, mengangguk. “Boleh...”
Tanpa diduga,
tiba-tiba Yudhi menggendong aku. Sebagaimana ‘ritual’ pengantin baru. Serem
juga rasanya kalau jatuh. Tapi melihat otot Yudhi, aku merasa cukup aman.
“Ini
ranjang pengantin kita. Anggap saja malam pertama.” Setibanya kami di kamar.
Kata-kata
itu membuat aku tersenyum. Biarkan sajalah Yudhi dengan fantasinya. Tugasku
hanya memberi dia kepuasan.
Yudhi
merebahkan tubuhku di ranjang. Dia menindih aku dan mendaratkan ciuman. Waktu
bibir kami berpisah, aku ambil kendali permainan. Berbalik hingga tubuh kami bertukar
posisi. Yudhi tidak keberatan, malah terlihat girang. Duduk aku di atas
pinggang Yudhi. Sebelum mulai, aku rapikan dulu ikatan rambut. Membuat dada
jadi membusung. Godaan itu berhasil, karena bikin senyum Yudhi makin lebar.
Baru kemudian aku melumat bibir Yudhi. Ditambah tautan lidah.
Lama bertukar
liur, ciumanku turun menyusuri leher. Aku bantu Yudhi membuka kaos, sebelum
ciuman mencapai pundak dan dada bidangnya. Berputar-putar lidahku pada kedua
puting. Salah satu titik sensitif pria. Turun lalu ke perut, dan bermuara di
pusarnya.
“Mau
netek?” Ujarku menggoda.
Yudhi
mengangguk dengan antusias. Kubuka baju kaos dan bra. Kusodorkan payudara kanan
ke mulutnya. Langsung diemut-emut layaknya seorang balita. Begitu pula dengan
yang kiri. Yudhi terlihat begitu lapar, meski bukan pertama kali dia menikmati dadaku.
Putingku jadi menegang.
Berikutnya,
aku bantu dia membuka jeans. Disusul boxer. Terlihat lagi penis yang beberapa
hari ini ‘keluar-masuk’ vagina. Meski sudah mengacung, tetap aku kulumi sebagai
layanan tambahan. Aku jilati lubang kencing, serta buah zakarnya. Yudhi
menikmati benar layananku itu. Perlahan batang berurat itu kian membesar di
mulutku. Sambil mengulum, tangan kiri merogoh ke dalam jeans yang kupakai. Aku rabai sendiri celana dalam. Menyiapkan
sendiri lubang kenikmatan.
Terasa di
bawah sana sudah cukup basah, barulah aku membuka celana. Yudhi benar-benar
pasif hari itu. Dia tak lagi ‘ganas’ seperti hari-hari sebelumnya. Termasuk
saat aku memasang kondom di penisnya. Cuma muncul sedikit seringai malas. Sebagaimana
laki-laki lain, yang menilai karet tersebut ‘merusak’ kenikmatan. Sisanya,
Yudhi hanya pasrah menerima apa yang
aku lakukan. Sepertinya kali ini dia cuma mau menikmati sensasi. Sensasi jadi
suami yang dilayani istri.
Aku
arahkan sendiri ujung penis ke lubang intim. Perlahan duduk, hingga batangnya
menancap sempurna. “Nggak ada yang ngalahin enaknya pepek mama muda...” Komentar
Yudhi.
Kedua tangan
dia lalu mendarat di payudaraku. Mulai diremas-remas. Melihat senyuman Yudhi,
aku ikut merasa senang. Artinya layanan yang aku berikan memuaskan. Padahal itu
baru sampai tahap menancapkan batang penis saja.
Mulai aku
menggoyang pinggul. Yudhi mulai merem melek. Wajar, karena aku pun merasa yang
sama, saat penis itu mengaduk-aduk liang sempitku.
“Enak?”
Godaku lagi.
“Banget.”
Goyangan
pinggul pun sedikit aku kencangkan. Makin merem melek Yudhi dibuatnya. Goyang,
goyang, goyang. Enak sekali rasanya, bisa mengatur sendiri irama permainan. Mengatur
ke mana penis musti digerakkan. Sampai terasa ada kedutan di dalam sana, dan
Yudhi minta ganti posisi.
Balik
kami pada posisi standar. Missionaris.
Terlentang ngangkang, dengan kedua
lutut tertekuk. Sementara Yudhi menusukkan penisnya, sedalam mungkin. Aku pikir
dia akan langsung keluar. Ternyata kami sempat dua-tiga kali ganti posisi dulu.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Aahhh,
aahhh, AAHHH...”
Saat
lenguhan terakhir, liang kewanitaanku terasa hangat. Berarti Yudhi sudah
ejakulasi. Terjadi bersamaan dengan lumatan di bibirku. Yudhi tersenyum, tapi
belum menarik penis. Dia ucapkan makasi,
sambil sekali lagi mengecup keningku. Dibiarkan batang penis itu mengendur
perlahan. Masih menindih tubuhku, lagi dia melumat bibirku mesra.
“Mas
Hendra beruntung banget punya istri kayak kamu,” Yudhi tersenyum.
Dia toel hidungku. Ikut aku tersenyum. “... tapi
aku nggak kalah beruntung. Bisa meniduri istri cantiknya.” Tambahnya, sambil tertawa
kecil.
Ganti aku
yang men-toel hitungnya.
Yudhi
tidak memberi ijin aku bergeser. Tetap dia tindih tubuh bugilku, sambil terus
mendaratkan kecupan di mana-mana. Juga merabai bulu-bulu di antara paha.
Padahal tubuh kami lagi lengket oleh keringat. Maka coba aku pancing dirinya. “Kamu
laper nggak? Aku masakin ya?”
“Boleh,
tapi masaknya telanjang. Sampai kita selesai nanti, kamu nggak boleh pake
baju.”
Terpaksa
aku iyakan saja. Dan jadilah aku turun ranjang masih dalam keadaan polos. Sebelum
ke dapur, aku membilas diri dulu di kamar mandi. Sementara Yudhi mengikuti
terus ke mana pun aku pergi. Mengawasi apa yang aku lakukan, sambil
cengir-cengir. Dia terlihat menikmati betul ketelanjanganku. Padahal dia
sendiri dalam kondisi yang sama.
“Kamu
seksi banget...” Dia memeluk aku dari belakang, ketika baru selesai pakai
celemek.
“Kalo
diginiin, gimana aku bisa masak?”
Terkekeh Yudhi
mendengar itu. Langsung dia lepaskan pelukan, lalu sedikit mundur menjauh. Sebelum
itu dia sempat menepuk-nepuk dulu pantatku. Barulah aku bisa mulai memasak.
Bukan masakan ‘berat’, hanya telur orak-arik dan tumis sayur campur. Selesai
aku tuangkan semua di piring, kembali Yudhi mendekat. Tak hanya memeluk, dia
juga mengecup pipiku.
“Nggak
makan dulu?” Godaku, saat terasa gesek penis Yudhi di bongkahan pantat.
“Ntar
aja. Pernah ngeseks di dapur sama suami?”
“Pernah.”
“Pakai
gaya apa?”
“Kayak
gini...” Aku sorongkan pantat sedikit mundur. Tanpa menoleh, kuraih penis
Yudhi. Coba aku arahin ujungnya ke lubang vagina. Sementara pelukan masih belum
dilepaskan. Tanpa perlu dikomando, ditusukan penisnya secara perlahan. Dan
persetubuhan pun kembali terjadi.
Sempat
kami berganti posisi menjadi berhadapan. Posisi itu lebih terasa romantis,
dimana kami bisa sambil berciuman. Meski aku musti sedikit berjinjit, akibat
perbedaan tinggi tubuh. Sampai terasa kedutan di bawah sana. Kini aku tahu
kebiasaan Yudhi sebelum ejakukasi. Langsung saja aku tarik penis, dan ambil
posisi jongkok. Sadar kalau saat itu dia tidak pakai kondom. Kan lebih baik
keluar dalam mulut, ketimbang dalam vagina. Mulai aku kulum penis tersebut.
Namun,
sepertinya Yudhi punya keinginan lain. Dia tarik keluar batang itu dari mulut.
Dia kocok sendiri, sambil mengarahkan ujungnya ke wajahku. Dan, “Croot, croot, crooot...”
Seketika itu
cairan kental berceceran. Mengenai pipi, hidung, dahi, mulut, alis dan poni
rambut. Meski tidak menyukainya, tapi masih lebih mending daripada rahimku.
Begitu selesai, langsung aku mencuci muka di wastafel. Lagi ucapan makasi, keluar dari mulut Yudhi.
Berberes,
kami pun lanjut makan di ruang tamu. Duduk telanjang di sofa, depan televisi. Dengan
manja, Yudhi minta disuapi. Tentu saja aku tidak keberatan. Hari ini tujuanku
memang bikin dia bahagia, agar tak lagi mengganggu kerjaan suamiku.
Baru saja
suapan terakhir selesai dikunyah, aku berakhir nungging di sofa. Disetubuhinya (lagi) aku dengan posisi doggie. Disertai tambahan beberapa gaya
lain, sebelum aku ditindih Yudhi di atas karpet ruang tamu. Kali ini box kondom sudah siap dipakai kapan
saja.
Genjot,
genjot, genjot. “Croot, croot, crooot...” Payudaraku dibuat belepotan cairan kental putih.
Ngobrol sebentar, sambil
Yudhi merokok, kami malah berakhir di tangga. Ketika itu hendak naik ke lantai
dua. Diawal, dia berencana bersetubuh di ruang kerja suami, tapi deretan anak tangga
merubah niatnya. Jadilah tubuh bugilku berguncangan di sana, entah pakai posisi
apa namanya.
Di ruang
kerja, malah tujuan kami berubah. Di sana aku hanya melayani seks oral dan
jepitan payudara. Yudhi mulai kelelahan, tapi enggan untuk beristirahat. Aku bisa
merasakan itu, begitu dia tusukkan penis. Itu terjadi saat di ruang makan. Dan juga
di halaman belakang rumah. Terasa kurang bertenaga gitu tusukannya. Begitu pula
saat ejakulasi. Cairan yang keluar, cuma setetes-dua tetes saja. Meski begitu,
tetap saja aku layani apa pun kemauan dia.
Mungkin
sadar dengan keadaan diri, Yudhi akhirnya mau aku ajak balik ke kamar tidur. Di
sana aku keloni dia, layaknya suami
sendiri. Kami ngobrol santai, sampai
akhirnya dia terlelap. Aku selimuti tubuhnya dan turun dari ranjang. Aku tenang
saja, karena tadi menerima pesan singkat dari si kecil. Bilang kalau dia ada
les tambahan. Artinya aman membiarkan Yudhi sejenak untuk tidur. Lagi aku
membasuh diri, sebelum memakai pakaian. Pakaian seadanya saja, hanya kaos dan
celana dalam. Kan, tugasku melayani
Yudhi belum selesai.
Kesempatan
itu aku pakai bersih-bersih. ‘Mengamankan’ bekas-bekas kondom, yang tadi kami
pakai. Juga ceceran sperma di tempat-tempat kami bersetubuh tadi.
Akhirnya alarm ponsel berbunyi. Sampai waktunya
untuk membangunkan Yudhi. Aku guncang pelan tubuh Yudhi, sambil memanggil
namanya. Aku ulangi beberapa kali, sampai dia membuka matanya. Meregang dia
sebelum bersuara.
“Aku
ketiduran ya?”
Aku
mengangguk. “Sorry, tapi aku musti
jemput anakku.”
Dia tersenyum.
Kembali dia meregang sekali lagi. “Tapi masih sempet buat mandi bareng kan?”
Kali ini
aku yang tersenyum. “Masih...”
Turun
Yudhi dari ranjang. Melangkah dia terlebih dulu ke kamar mandi, sementara aku melepas
pakaian. Menyusul aku kemudian berdiri di bawah shower. Bercumbu kami di bawah guyuran air hangat, sebagaimana
layaknya suami istri. Tidak lagi kami bersetubuh. Hanya saling cium, dan saling
peluk. Mungkin ditambah tangan Yudhi, yang merabai bulu-bulu lebat di bawah
sana. Spesial request, yang dia
utarakan di awal pertemuan.
“Makasi buat
hari ini. Makasi udah jadi ‘istri’ yang baik,” ucap Yudhi lembut, sambil nyengir.
“Sama-sama.”
Aku daratkan kecupan. “Tolong ya Yud, jangan ganggu kerjaan suamiku lagi.”
“Kalau
aku pengen ‘ketemu’ lagi sama kamu, gimana?”
“Kan bisa
ngomong langsung ke aku. Nanti bisa
kita bicarain baik-baik.”
Mendengar
itu Yudhi tersenyum. Dia mau memberi janjinya. Sesudahnya kami berpisah, untuk
kembali pada urusan masing-masing.
***
“Kayaknya
Yudhi naksir deh ama mama.”
“Ih,
apaan sih, Pa.”
Suamiku
menyeletuk, begitu laki-laki muda itu menghilang di gerbang terminal
keberangkatan internasional. Berdua kami mengantar Yudhi kembali ke Singapura,
begitu urusan tender ulang selesai dilaksanakan. Mendengar celetukan itu, kutepuk
pelan pundak suami. Ditanggapi dengan senyuman kecil.
“Feeling aja sih...”
“Udah
deh, jangan mikir yang aneh-aneh. Mending sekarang traktir mama makan. Laper
nih.”
Bergelayut
manja aku di lengan suami. Ditoel
kecil dahiku, melihat kemanjaanku itu. Melangkah kemudian kami meninggalkan
areal bandara.
Dan untuk
sementara, semuanya pun kembali tenang.
.
update yg kayak gini bener2 bkin crottt :D
BalasHapusTERBAIK.......
BalasHapusmasih ada unfinished business with mertua, bikin dong ala2 father in law gitu
BalasHapusPanjang kali ceritanya gak ada jeda untuk kehidupan keseharian
BalasHapusudah lebih dari 2 bln, tapi kok blm update ya?
BalasHapusLanjutkan critanya sist..
BalasHapusMasih menanti setelah 6 bulan
BalasHapus