Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
Mobilku melaju
pelan masuk parkiran basement sebuah
hotel berbintang. Hari itu aku semobil dengan Andre, keponakanku. Dia datang ke
kantorku untuk meng-upgrade software beberapa
komputer. Kebetulan satu teknisi kantorku cuti, dan satu lagi harus bertugas ke
kantor cabang lain. Daripada memanggil teknisi luar, lebih baik kuberdayakan
keponakan sendiri. Bayarannya murah, cukup traktiran makan. Malah terkadang
cukup sekedar ciuman. Namun, justru bayaran terakhir ini yang paling disukai
Andre. Tadi pagi dia diantar teman, sehingga pulangnya nebeng mobilku. Tentu saja dia yang mengemudi. Buat apa ada tenaga
muda kalau disia-siakan.
Kami
memang mampir ke sebuah hotel, tapi jangan salah sangka dulu. Bukan niatku mengajak
keponakanku bermesum ria disana. Seorang nasabah menelpon sejam lalu. Dia
mendadak harus ke bandara, dan tidak bisa mampir ke kantorku. Berkas yang harus
ditandatangani terpaksa harus kuantar sendiri. Beruntung dia menghubungi
mendekati jam pulang. Sehingga setelah urusan ini, aku tidak perlu kembali lagi
ke kantor.
“Kamu
tunggu sebentar disini ya, tante nggak lama kok.”
Dijawab
Andre dengan anggukan. Dia lalu memilih duduk di salah satu sudut lobi hotel. Kulihat
dia mengeluarkan ponsel dari saku. Semoga dia nyaman ada di sana, harapku. Aku tahu
Andre tipe pemalu. Apalagi kalau berada di ruang publik. Dia kurang bisa
bergaul dengan orang-orang baru. Namun kalau sudah akrab, dia sebenarnya anak
yang ramah.
“Ting!” Pintu
lift terbuka. Aku keluar dan melangkah sepanjang koridor. Kucari nomor kamar
yang tadi dikirim ke ponselku.
Saat
kutemukan, kutekan tombol bergambar bel. Pintu pun terbuka. Muncullah seorang laki-laki
seumuranku. Tersenyum lebar dia saat melihatku. Dia adalah Reza, sahabatku di kampus
dulu. Dan kini adalah nasabah prioritas baruku.
“Hei Dit,
ayo masuk.”
Kubalas
senyumannya. Aku melangkah ke dalam kamar. Kulihat sebuah koper sudah ter-packing rapi di samping ranjang. Kamar
terlihat masih sangat rapi. Mungkin dari tadi malam kamar ini tidak
berpenghuni. Dugaan itu bisa saja benar adanya, mengingat kesibukan Reza.
“Duduk
Dit, kamu mau minum apa?”
“Nggak
usah repot-repot Rez. Lu kan juga buru-buru, ntar telat loh.”
Melangkah
aku ke sudut kamar. Sudut itu memang diperuntukkan menerima ruang tamu. Disana
ada dua kursi sofa dan sebuah meja kaca. Diatas meja terhadap sebuah vas mungil.
Duduk aku di kursi, dan Reza menyusul tidak lama.
“Oke,
sekarang mana yang harus aku tandatangani?”
Kukeluarkan
berkas kontrak kerja sama dari tas. Kutaruh di meja. Kuminta Reza membacanya
terlebih dahulu. Barangkali ada klausul yang dia rasa kurang sesuai. Dia
mengambil berkas itu dan mulai membaca. Lembar demi lembar dibaca dengan
seksama. Beberapa kali dia berdehem.
Tersenyum
aku melihat pemandangan itu. Belum pernah aku lihat sosok Reza yang sedemikian
serius. Reza yang dulu kutahu adalah anak yang urakan dan selengean. Kaos dan jeans biasa jadi pilihannya dalam berbusana.
Kini dia telah menjelma menjadi sosok eksekutif muda. Kesan itu kian terasa lewat
balutan kemeja dan dasi.
“Udah pas
kok Dit, di mana nih gue musti tanda tangan?”
“Disini.”
Kutunjuk bagian bawah dari lembar kontrak terakhir. Aku minta dia menandatangani
rangkap lima. Kukatakan aslinya akan dikirimkan via kurir.
“Ada lagi
yang harus gue lengkapin?”
“Nggak
ada lagi sih. Sekarang gue tinggal nunggu transferan dana awal dari lu,”
ucapku, sambil memasukkan lagi berkas kontrak itu ke dalam tas.
“Sip. Gue
bakal minta manager keuangan buat ngirim duitnya besok.” Reza lalu berdiri. Dia
juga minta aku berdiri. Kuikuti kemauannya. “Karena urusan administrasi kita udah
beres, sekarang boleh dong gue cium lu?”
Reza
nyengir. Aku ikut tersenyum. Memang aku yang menjanjikan hal itu. Semula niatku
hanya ingin menggodanya, tapi dia menanggapi dengan serius. Kuanggukkan
kepalaku. Harus kuakui, aku juga merindukan hangatnya bibir Reza.
Maka
bertemulah bibir kami. Awalnya hanya sekedar pelepas kangen, tapi lama-lama
jadi terasa makin intim. Dari ciuman berubah jadi pagutan. Harus kuakui romansa
diantara kami tidak akan pernah hilang. Diantara kami ada birahi yang
terpendam, layaknya api dalam sekam. Sedikit saja bergesekan, birahi itu akan
terpicu. Begitu pun yang terjadi hari itu. Tahu-tahu saja kami sudah bergumul
di atas ranjang. Entah kapan dia membawaku kesana. Sejak dulu, memang tidak sulit
bagi Reza untuk membawaku kepelukannya.
Pagutan
kami terus semakin memanas. Lidah kini ikut bermain disela-sela pagutan. Nafas
kami memburu. Bibir kami terus saja beradu, sampai terdengar dering telepon. Pada
dering ketiga baru bibir kami berpisah. Saat itu baru aku sadar kalau Reza sedang
menindihku. Tiga kancing blusku terbuka, dengan posisi tangan Reza ada di payudaraku.
Sadar akan hal itu, Reza refleks menarik tangannya. Suasana menjadi canggung. Langsung
dia berguling dari atasku, dan bergeser ke tepi ranjang. Diangkatnya telepon
itu. Sedang aku merapikan kembali pakaianku. Rupanya telepon itu dari
resepsionis, memberitahu pesanan taxi Reza sudah menunggu. Ucapan terima kasih Reza
mengakhiri perbicaraan.
Kini kami
berdiri saling memandang. Pergumulan tadi menyisakan rona merah di wajah kami. Kecanggungan
masih menguasai. Andai saja telepon tidak berbunyi, entah apa yang akan terjadi.
“Taxi gue
udah datang,” ujar Reza. Berusaha dia tersenyum. Dia lalu berjalan mendekat,
lalu memegang kedua tanganku. “Maaf Dit, tadi gue kebawa suasana.”
Aku pun
berusaha tersenyum. “Nggak apa-apa, gue juga sama.”
Senyuman
itu mengurangi kecanggungan diantara kami. Reza kemudian memelukku. Kunikmati
ada dalam pelukannya. Entah kenapa ingin aku berlama-lama merasakan kehangatan
itu. Walau tanpa kata, pelukan itu menenangkan kami berdua. Dikecupnya lalu keningku.
“Kalo
gitu gue pergi sekarang. Sampai kita ketemu lagi, kapan-kapan.” Kujawab singkat
dengan anggukan kepala. “Oya, kamar ini udah gue bayar sampai lusa. Gue belum check out, mubazir kalo dikosongin. Lu
pake aja buat bulan madu sama suami lu, atau mungkin sama yang lain juga boleh.”
Reza mengerling usil.
Langsung
kutepuk bahunya. Dia mengerang pelan, lalu tertawa kecil. Reza tahu aku tipe
wanita yang setia, namun “selingan” tetap ada. Sebelum melangkah keluar kamar, dipeluknya
lagi aku. Ciuman mendarat lagi di bibirku. Barulah kemudian dia melambai, dan
pergi. Tinggallah aku sendirian. Duduk di atas ranjang, menenangkan diri. Berusaha menurunkan kembali gairah yang tadi sempat naik. Tiba-tiba saja tercetus
sebuah ide. Kuambil ponsel dan menekan sebuah nomor.
Tidak
lama, terdengar suara ketukan. Aku melangkah dan membuka pintu. Disana berdiri
Andre. Kusuruh dia masuk, dan dia menurut.
“Wao
beneran bagus banget kamarnya..” seru Andre begitu dia melihat keseliling.
Memang aku
yang mengundang keponakanku itu. Kukatakan padanya, disini ada tempat nyaman
untuk bekerja. Mengerjakan proyek kami yang tadi sempat terputus. Ternyata dia
menanggapi secara harfiah kata-kataku, padahal ada sedikit niat untuk
menggodanya. Geli kadang aku dengan kepolosannya. Kalau saja laki-laki lain
mungkin akan menanggapi berbeda. Bayangkan wanita mengundang laki-laki ke kamar
hotel, dimana di sana hanya ada kalian berdua. Kalau anda yang menjadi Andre,
apa yang akan anda bayangkan?
“Kita bisa
mulai kerja sekarang Tante?” tanya keponakanku itu. Kuanggukkan kepala sajalah sebagai
jawaban. Entah konteks kata ‘kerja’ ini sama dengan yang aku pikirkan.
Tersenyum geli aku dalam hati.
Ternyata
Andre membuka tasnya, bukan bajunya. Yang artinya konteks kata ‘kerja’ yang aku
dan dia pikirkan berbeda. Tersenyum geli lagi aku dalam hati. Dia lalu mengeluarkan
laptop, dan meletakkannya di atas meja. Kuperhatikan saja tingkahnya sambil
tersenyum kecil.
“Di kasur
aja yuk, biar enak bisa sambil rebahan,” ucapku. Ucapan yang jelas bernada
godaan. Dan lagi-lagi ditanggapi Andre secara harfiah. Dia membawa laptopnya
yang sudah menyala ke atas ranjang, tanpa memperdulikan keberadaanku.
“Tante,
naik juga ke kasur dong. Gimana bisa kerja kalo jauh-jauhan.”
Akhirnya
dia menyadari keberadaanku. Kali ini aku cekikikan dalam hati. Aku pun menyusulnya
naik ke atas ranjang. Saat mengangkat kaki, sengaja kuangkat tinggi-tinggi. Padahal
aku sangat sadar sedang memakai rok pendek. Kupastikan isi rokku terlihat
dengan jelas oleh Andre. Dan aku yakin dia pun melihat itu, dari wajahnya yang
kini memerah. Refleks dia menolehkan kepala ke arah berlawanan. Duh sopan
banget sih keponakan tante ini, ucapku dalam hati. Tengkurap aku lalu ikut
disampingnya.
Sesi goda
menggoda kuhentikan sejenak. Kini aku konsen mendengarkan penjelasan Andre. Dia
sedang menjelaskan cara mengoperasikan program Photoshop. Saat ini aku sedang keranjingan hobi fotografi. Dengan
belajar Photoshop, aku bisa mengedit
sendiri foto-foto sebelum di-upload ke
Instagram. Beberapa kali Andre
memegang tangan kananku guna mengarahkan cursor,
entah sengaja atau tidak. Kubiarkan saja, kubiarkan dia menikmatinya. Selain
mengolah foto, Andre juga mengajarkan program komputer lain. Hanya saja, tidak
semua program itu nyantol dalam otak.
Satu yang cukup menarik perhatianku, yaitu program Movie Maker. Kukatakan agar nanti aku bisa mengedit sendiri film
bokep pribadi dengan suami, atau sama yang lain. Wajah Andre lagi-lagi berubah
merah mendengar itu.
“Aduh
Tante seksi banget sih,” komentar Andre saat kubuka file fotoku yang ber-bikini.
Sengaja kupilih
foto itu guna menggodanya. Kuminta dia mengedit kecerahan warnanya. Dia pun serius
mengerjakannya, sampai pada bagian bikini bawah cursor-nya berhenti. Bertanya aku ada apa, lagi-lagi dia hanya
tersipu malu. Dia menjawab nggak apa-apa.
Namun, terus kudesak sampai akhirnya dia berterus terang. “Ma-maaf Tante,
cu-cuma penasaran aja sih. Di sana itu ada bulunya nggak yah?” Tergagap dia
menjawab, sambil mengubah posisi cursor
ke bagian bawah foto. Tepat ke arah selangkanganku. Melihat itu aku tertawa
kecil.
“Kalo
penasaran, kamu liat sendiri aja langsung,” godaku lagi.
Andre
terlihat kaget mendengarnya. “E-emang bo-boleh Tante?”
“Boleh. Lagian
kan Tante udah janji ama kamu waktu itu di rumah sakit.”
“Tan-tante
masih inget?” Dia tersenyum ragu. Dia terlihat senang, tapi berusaha menutupinya.
Memang
aku pernah berjanji padanya. Saat itu kami ada di rumah sakit, menemani si
kecil yang mengalami panas tinggi. Kebetulan suami sedang diklat ke luar kota.
Terpaksa kuminta bantuan Andre menunggui si kecil selama aku bekerja. Beruntung
dia sedang libur semesteran. Saat itu, hampir satu minggu lebih aku bikin dia
repot. Disanalah tercetus keinginan Andre untuk melihat tubuhku. Keinginan yang
berbalut candaan, tapi ada unsur keseriusan. Kuiyakan saja mengingat jasanya
membantuku waktu itu. Dengan syarat, aku juga boleh melihat tubuhnya.
Maka
mulailah Andre membuka kaitan celana jeansnya. Menyusul lalu membuka yang
lainnya. Saat hendak membuka boxer
yang dipakainya, dia terlihat ragu sesaat. Tersenyum aku melihat itu. Namun,
akhirnya celana dalam itu terlepas juga. “Ih kok udah ‘bangun’ sih?” godaku,
sambil mengerling. Andre langsung tersipu, dan refleks menutup penisnya yang
mengacung dengan dua tangan. Aku pun tertawa melihatnya.
“Udah Andre
buka, Tan-tante nggak buka juga?” tanyanya dengan nada ragu. Mempertanyakan kesepakatan
kami. Kembali aku tertawa. “Loh kamu bantuin buka dong..” Kupancing lagi dia dengan
godaan. Niatnya sih biar tangannya tidak lagi menutup selangkangan. Dengan
demikian, bisa kulihat bentuk dan ukuran penis keponakanku itu.
Bergeser
aku ke tepi ranjang. Disana kupakai bantal sebagai alas sandar. Kubuka lebar kemudian
kedua kaki, memperlihatkan isi dalam rokku. Andre menelan ludah melihat itu. Beberapa
detik dia hanya tertegun, sampai kuberi kode jari. Kusertai pula dengan kerlingan
nakal. Dia menuruti isyaratku. Masih dengan pandangan nanar, bergeser dia
perlahan mendekat. Selanjutnya tanpa kuberi kode lagi, dia menyasar resleting
rokku. Dibukanya dan rokku lalu melorot turun. Sasaran berikutnya karet celana
dalamku. Tapi sebelum dia sempat menariknya, kutahan tangan Andre.
“Ke-kenapa
Tan..” Pertanyaan Andre terputus. Kututup mulutnya dengan bibirku. Kulumat lalu
bibirnya. Dia terlihat kaget awalnya, tapi kemudian dia mulai menikmatinya.
Sengaja kucegah Andre membuka langsung celana dalamku. Kulakukan agar rasa
penasaran kian bertambah. Aku tahu vaginaku adalah incaran utamanya.
Ciuman
kami perlahan semakin intim. Lidah kami mulai beradu. Keponakanku semakin terbuai
permainan lidah kami. Kesempatan itu kupakai memegang batang penis Andre, incaranku
sejak tadi. Diameter batang penis Andre terasa pas ditanganku. Sambil tetap berciuman,
kukocok pelan penis keponakanku. Sepertinya dia menikmati kocokan itu. Kudengar
desahan kecil keluar dari mulutnya.
Begitu bibir
kami terpisah, Andre menoleh ke bawah. Dipandangi tangan kananku yang sedang
mengocok penisnya. Sesekali terdengar lagi desahan dari mulutnya. Kutanya
apakah kocokanku terasa enak, dijawabnya dengan anggukan. Balik dia bertanya,
apakah aku suka ukuran penisnya. Kujawab pula dengan anggukan. Dia pun
tersenyum bangga.
“Bisa
tambah panjang lagi nggak?” godaku padanya.
Andre nyengir
sambil mengangguk. “Ka-kalo ngeliat toket kayaknya masih bisa nambah panjang
sih.” Eh malah keponakanku menggoda balik, walau ucapannya terdengar sedikit
ragu. Mungkin dia takut membuatku tersinggung.
Tertawa kecil
aku mendengarnya. Maka godaan itu pun kubalas lagi. Kubuka kancing paling atas blusku
dengan tangan kiri. “Kayak gini?” tanyaku dengan sedikit mendesah. Andre
nyengir dan mengangguk. Kubuka lagi kancing kedua. “Kayak gini juga?” tanyaku
lagi. Cengiran Andre jadi makin lebar. Kepalanya juga mengangguk mantap. Menyusul
lalu kancing ketiga dan seterusnya, sampai payudaraku yang masih tertutup bra
terlihat jelas.
Kutanggalkan
blus guna memanaskan suasana. Kini tubuhku hanya terbalut pakaian dalam. Dan
benar saja, hal itu memang makin memancing birani Andre. Penisnya terasa kian
memanjang dalam genggamanku. Aku menyukai bentuknya, sungguh aku menyukainya. Bibir
kami kembali beradu. Dia mendorongku pelan. Terbaringlah aku dengan tubuh Andre
berada di atas tubuhku. Bibir kami terus melumat, tangan kami terus meremas. Kurasakan
penisnya bergesekan dengan perutku. Pada momen itu, tiba-tiba Andre melenguh panjang.
Menyusul lalu kurasakan beberapa kali semburan hangat, tepat di atas perutku.
“Ma-maaf
Tante..” Andre hendak mengangkat tubuhnya, namun kucegah. Kalau kubiarkan dia
bergerak, maka sisa sperma akan mengenai sprei.
Sambil
terbaring kugapai batang penis Andre. Lalu kukocok sampai seluruh sperma tumpah
di perutku. Seluruhnya sampai tak ada lagi yang tersisa. Barulah kubiarkan dia mengangkat
tubuh.
“Tolong ambilin
tissue di tas Tante dong.” Kutunjuk
sisi kanan Andre.
Kemudian
Andre membantu aku membersihkan diri. Baru kusadari banyak sekali sperma yang
keluar tadi. Membasahi perutku, dan sebagian tertampung di pusar. Berkali-kali
Andre meminta maaf lagi padaku. Persis seperti kejadian pertama kami di ruang
tamu. Berkali-kali pula kubilang tidak apa-apa. Melihat masih ada sisa-sisa
sperma yang menempel, akhirnya kuputuskan untuk sekalian mandi. Kutinggal Andre
duduk di tepi ranjang. Terlihat kekecewaan di wajahnya.
Selesai
mandi, tubuhku terasa segar. Aku hanya mengenakan kimono keluar dari kamar
mandi. Kulihat posisi duduk Andre belum berubah. Guratan kekecewaan masih juga terlihat.
Kepalanya tertunduk menatap lantai. Kudekati dia, dan duduk disampingnya.
Kupancing dia bercerita.
“Ada apa
Dre?” Kuhaluskan suaraku. Kupeluk bahunya.
“Andre ini
cowok lemah ya Tante...”
Mulailah Andre
mengutarakan kegundahan hatinya. Dia bilang kecewa berat karena tidak bisa mengontrol
ereksinya. Sudah dua kali kejadian yang sama terulang. Dengan jujur dia mengaku
ingin sekali menyetubuhiku. Ingin sekali dia memasukkan kelaminnya ke
kelaminku. Namun, saat kesempatan itu ada dia malah menyia-nyiakannya. Tersenyum
kudengar pengakuan lugu itu. Dia sampai meneteskan air mata. Suaranya jadi
terbata-bata. Langsung kupeluk dirinya. Perlahan kutenangkan dirinya. Setelah Andre
mulai tenang, kuminta dia untuk mandi. Semoga kucuran air bisa memperbaiki suasana
hatinya, harapku. Dia menurut. Melangkah lalu dia ke kamar mandi.
Saat
Andre keluar dari kamar mandi, aku baru selesai menelpon suami. Kukatakan pada
suami kalau aku sedang bersama Andre. Aku minta ijin untuk pulang agak malam. Suami
mengijinkan, dan justru terdengar antusias. Dia malah menyuruhku untuk ‘having fun’ dengan Andre. Dia juga
menawarkan diri menjemput si kecil, agar aku punya waktu lebih banyak. Tersenyum
aku saat menutup telpon. Lalu kuberi isyarat agar Andre duduk disampingku. Kini
kami berdua hanya terbalut kimono. “Gimana udah baikan?” tanyaku pelan. Kuelus rambut
keponakanku itu.
Andre
mengangguk pelan. Dia lalu menunduk. Wajahnya memerah. Kembali dia meminta maaf
padaku. Kali ini untuk kata-katanya tadi, terutama saat bilang ingin
menyetubuhiku. Tersenyum aku dan bilang tidak apa-apa. Malah kuminta dia
bercerita mengenai fantasinya. Fantasi seksnya atas diriku. Mulailah dia
bercerita. Tertawa-tawa aku mendengar ceritanya. Dia pun berkali-kali tersipu
malu. Kemudian dia menawarkan untuk menonton bokep miliknya. Katanya ada adegan
keponakan bersetubuh dengan tantenya. Dengan antusias aku minta dia
memutarkannya untukku. Andre menghidupkan lagi laptop. Dan kami pun larut dalam
adegan di layar.
“Kenapa
Dre? ‘Bangun’ lagi?” tanyaku, karena melihat keponakanku mulai gelisah. Andre
malu-malu mengangguk. Tersenyum geli aku melihat raut wajahnya. “Masukin yuk,”
tambahku.
Mendengar
itu mulut Andre menganga lebar. Dia terlihat luar biasa kaget. Mungkin tidak
pernah disangkanya kata-kata itu akan keluar dari mulutku. Barulah dia percaya
saat aku mengeluarkan sebungkus kondom dari tas. Andre terpaku saat kubuka
kimononya. Kagum aku dengan bentuk tubuh keponakanku. Jadwal fitnes rutinnya berbuah
hasil. Dia masih terpaku saat kupasang karet kondom pada penisnya. Lalu kubuka
pula kimonoku. Kini mata Andre yang terbelalak. Kini dia tahu kalau dibawah
sana tidak ada bulu. Kuajak dia naik ke ranjang.
Duduk
lalu aku di depan Andre. Kubuka kedua kaki lebar-lebar. Andre terlihat bingung
melihat aku mengangkang seperti itu. Dia terlihat kikuk. Mungkin ini kali
pertamanya dia melihat vagina asli. Maka kusuruh dia mendekat. Kupegang batang
penisnya yang sudah tegang maksimal.
“Sini
Tante bantu ngepasin lubangnya,” ucapku sambil tersenyum.
Andre
minta agar aku tidak lagi mengocok penisnya. Dia takut nantinya keburu keluar
lagi. Aku mengangguk. Kuarahkan ujung penis Andre tepat di depan vaginaku. Kuminta
dia mendorong pinggulnya pelan. Sama-sama kami mendesah, ketika batang penis
itu perlahan masuk. Melihat penisnya sudah ada dalam vaginaku, wajah Andre jadi
sumringah. Mimpinya akhirnya terwujud.
“Jangan
cuma diliatin aja, digerakin dong..” Tidak bisa kutahan tawa. Andre masih saja
terpukau melihat kelamin kami yang menyatu. “I-iya Tante, ma-maaf..” Demikian
sahutnya.
Mulai Andre
memainkan pinggulnya. Penisnya mulai menusuk-nusuk lubangku. Kupegang erat
sprei, karena Andre langsung menggenjot kasar. Padahal vaginaku belum terlumasi
dengan baik. Aku tahu kalau keponakanku belum pernah bersetubuh sebelumnya. Dia
belum pandai mengatur ritme permainan. Akhirnya akulah yang mengalah. Kutahan
sebisa mungkin rasa sakit di bawah sana. Ternyata rasa sakit itu tidak
berlangsung lama. Tidak sampai dua menit, Andre melenguh panjang. “AAAKKHH..!”
Seperti kusangka, permainan kami akan berlangsung singkat.
Tubuh
Andre ambruk di atas tubuhku, sebelum berguling ke samping. Nafasnya
terengah-engah. Aku menoleh kearahnya dan tersenyum. Keponakanku terlihat
begitu puas. Kuseka keringat di dahinya. Dia masih butuh banyak belajar soal
seks.
Setelah
berhasil menguasai diri, Andre tersenyum padaku. Dia mengucapkan terima kasih karena
telah mengijinkan dia menyetubuhiku. Dia juga mengucapkan maaf, karena
lagi-lagi tidak bisa bertahan lama. Kubalas pula dengan senyuman. Kami berdua lalu
berciuman. Andre minta agar aku jangan dulu berpakaian. Dia masih ingin
bertelanjang ria denganku. Kukabulkan permintaan itu. Kemudian kami lanjut ngobrol, sambil diselingi ciuman, merabaan
dan meremasan. Andre minta ijin ‘mempelajari’ tubuhku. Dari atas, bawah, depan,
dan belakang. Setiap jengkal tubuhku disentuhnya. Pelajaran ‘biologi’ itu baru
selesai saat pesanan makanan datang. Kami pun makan malam di atas ranjang. Tetap
dengan tubuh tidak terbalut sehelai benang.
“Tante,
Andre ‘bangun’ lagi..” ungkap Andre malu-malu.
Dasar anak
muda cepat sekali ereksinya. Kulihat penis itu memang menegang lagi. Tersenyum aku
sambil menggeleng. Padahal aku baru saja memakai celana dalam. Andre juga baru selesai
memakai kaosnya. Dia meminta padaku satu kali lagi kesempatan. Mumpung masih tersisa
satu bungkus kondom di dalam tas, maka kutarik turun lagi celana dalamku. Dan
kelamin kami pun kembali menyatu. Kali ini berlangsung sedikit lebih lama. Dua
menit lebih sekian detik.
Setelahnya,
kami kenakan kembali pakaian. Kegembiraan begitu terpancar di wajah Andre. Lagi
dia mengucapkan terima kasih. Ekspresi itu akan bertahan disana sampai beberapa
hari ke depan, aku yakin itu. Sebelum keluar kamar, Andre berjanji padaku.
Kesempatan berikut dia pasti akan membuatku orgasme. Kutoel hidungnya. Kuingatkan
padanya agar tidak sembarangan memakai penisnya. Karena kalau tidak, maka kesempatan
bersetubuh lagi denganku akan tertutup. Dia pun mengangguk tanpa mengerti.
Malam
sudah beranjak larut, saat aku tiba di rumah. Anakku sudah tertidur, dan
pembantuku pun sudah pulang. Hanya ada suami yang menyambut dengan senyuman. Langsung
aku ditariknya ke dalam kamar. Kucapai orgasme-ku di depan meja rias, dengan
pakaian masih lengkap terpasang.
.
.
wadaw gawat. lucky boy
BalasHapusUpdate dong
BalasHapus