Selasa, 16 Oktober 2018

Affair Udara


Namaku Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Manda, lu ditanyain tuh ama penumpang di kabin bisnis.”
Amanda yang sedang menyiapkan makanan di oven, sedikit kaget oleh kedatangan Karin.
“Siapa?”
“Biasa Pak Evan. Fans nomor satu lu.”
Senyum kecil tersungging di bibir Amanda. Ternyata dia memang gila. Buktinya sudah tiga kali dia ikut penerbangan, di mana Amanda ada di dalamnya. Ini adalah kali keempat, mereka ada di pesawat yang sama. Kali ini bahkan tidak main-main. Pak Evan bahkan ikut di rute penerbangan internasional. Berarti sudah membuktikan kesungguhan hatinya. Padahal, semula Amanda hanya berniat untuk mengujinya saja.
“Biar gue deh yang nganter selimutnya Pak Evan.”
Sip, asal ongkos tutup mulutnya jangan lupa.” Karin mengerling.
Lagi Amanda tersenyum. Tugas melayani penumpang kelas bisnis pun bertukar. Sejak pelatihan Amanda dan Karin sudah bersahabat dekat. Mereka juga kerap kompak dalam menyiasati senior. Keduanya juga kompak dalam melakukan flirting-flirting nakal, baik kepada petinggi maskapai maupun penumpang elit. Semata demi kelangsungan karier. Sudah menjadi rahasia umumlah di dunia penerbangan. Termasuk kepada Pak Evan, tentunya. Ternyata bapak paruh baya yang satu itu lebih merespon Amanda. Karin pun resmi kalah bersaing.
Melangkah Amanda memasuki kabin kelas bisnis. Di dalam cuma ada lima penumpang. Maklum penerbangan terakhir. Empat orang sudah terlelap. Hanya tinggal Pak Evan yang terlihat masih membaca buku.
“Maaf Pak, ini selimutnya. Saya juga bawakan ekstra batal,” ucap Amanda sopan.
Pak Evan menoleh dan tersenyum. “Masih aja kamu formal-formalan ya Manda. Please, panggil aku Evan aja. Biar lebih akrab gitu.”
Meski usia keduanya terpaut hampir sepuluh tahun, tidak terlihat kalau diperhatikan sekilas. Pak Evan terlihat masih awet muda. Tak akan ada yang menyangka kalau dirinya sudah memiliki dua anak. Mungkin itu akibat perawatan dan gaya hidup sehat yang diterapkan.
Amanda tersenyum sambil menyiapkan meja makan, lalu menaruh baki di atasnya. “Makasi loh bantuannya,” ucap Amanda. Mulai dia menuangkan air putih di satu gelas dan wine di gelas yang lain, sesuai pesanan.
“Sama-sama Manda. Ibu kamu sudah baikan kan sekarang?”
Amanda mengangguk.
Ganti Pak Evan yang tersenyum. “Itu artinya malem ini aku nggak tidur sendirian dong?”
Lagi Amanda mengangguk, yang kali ini diikuti oleh senyuman.
Awalnya, Amanda mendekati Pak Evan hanya karena butuh uang. Kanker yang diidap oleh sang ibu tentu butuh penanganan khusus, dan dana yang tidak sedikit. Seperti halnya yang dilakukan ‘beberapa’ rekan seprofesi lainnya. Mendekati pria kaya dengan beragam modus. Tak peduli pria itu sudah berkeluarga atau belum. Di kala kepepet seperti saat itu, pertahanan iman Amanda pun runtuh. Kalau pun nanti musti ditukar dengan tubuhnya, akan dia lakukan. Lagian dia sudah bosan melakukan seks ‘gratisan’ -atas nama cinta- alias pacaran. Kini vaginanya terlalu berharga, untuk diberikan tanpa dapat kompensasi sepadan. Pak Evan adalah seorang petinggi di Dirjen Perhubungan Udara. Salah satu alasan, mengapa Amanda memilih laki-laki itu sebagai kandidat. Beberapa kali mereka bertemu dalam penerbangan yang sama.
Setelah dekat, ternyata Pak Evan nawarin lebih dari yang dibayangkan. Sang ibu diberi fasilitas kelas satu, di rumah sakit ternama. Tanpa perlu mengeluarkan biaya apapun. Setelah Pak Evan menghubungi salah satu rekannya, di Kementerian Kesehatan.
Sebagai kompensasi, semula Pak Evan hanya minta ditemani makan malam, sekedar jalan, atau nonton. Pak Evan masih sadar dengan statusnya yang sudah berkeluarga. Namun lama-kelamaan, sebagaimana laki-laki normal pada umumnya, dia pun akhirnya tak kuasa menahan godaan tubuh molek Amanda. Jujur, dia bilang ingin mencicipinya. Menimbang bantuan yang telah diberikan Pak Evan untuk ibunya, Amanda tidak menolaknya.
Bahkan demi menciptakan momen yang ‘elok’, Pak Evan rela ikut terbang ke Malaysia. Padahal dia tak punya agenda apa-apa di negara tersebut. Hanya agar bisa menghabiskan malam bersama Amanda. Bisa saja dia meniduri sang pramugari, di beberapa kesempatan lain di Indonesia. Tapi, ujung-ujungnya cuma berakhir ngobrol dan jalan-jalan. Ditambah ciuman dan sentuhan ringan.
“Kirim aja nama hotel dan nomor kamarnya. Sudah tahu nomor aku kan?” Goda Amanda.
Pak Evan mengambil ponsel dari sakunya dan mengetik sesuatu. “Done.”
“Kamu temenin aku makan gih,” lanjutnya kemudian.
“Maaf, bukannya nggak mau loh Van, cuma nggak enak kalo diliat sama senior.”
Sepertinya Pak Evan bisa mengerti. Dia pun tidak mau Amanda dapat kesulitan karena dirinya.
“Ada yang bisa dibantu lagi, Pak Evan?” Kembali Amanda memakai bahasa formal, sebelum dia kembali ke ruangan crew.
“Bagaimana kalau pesan dua ciuman pipi dan satu ciuman bibir? Bisa?”
Amanda berusaha menahan tawa. Pak Evan sendiri tersenyum lebar melihat itu. Menoleh lalu dia ke sekeliling, yang ada hanya kesunyian. Amanda lalu menunduk, lanjut mendaratkan ciuman di pipi kanan dan kiri. Berikutnya, bibir mereka berdua bertemu. Mereka melempar senyuman. Kali kedua bertemu, bibir itu kemudian saling melumat basah, meski tanpa lidah.
“Aku cuma pesan satu aja loh ciuman bibirnya.” Ganti Pak Evan yang menggoda.
“Satu lagi bonus.” Amanda menyengir kecil.
“Kalau begitu, boleh aku minta bonus tambahan?”
“Apa itu?”
Tangan Pak Evan menyingkap belahan rok panjang Amanda. Dipeganginya betis kiri sang gadis.
“Boleh?”
Amanda mengangguk.
Setelah mendapatkan ijin. Tangan kanan itu mulai mengelus-elus. Perlahan naik, dari betis, lutut, sampai ke paha. Disusuri setiap jengkal kaki jenjang nan mulus milik sang pramugari. Disusuri lembutnya kain stocking berbahan nylon. Lanjut mengelus lagi naik sampai menyentuh pangkal paha. Berujung pada kain mungil yang menutupi area kewanitaan. Dirabanya bagian itu dengan lembut. Tindakan ini seolah ingin memastikan, kalau Amanda memang sudah mantap melakukan hubungan seks dengan dirinya. Tidak setengah hati, tidak dalam tekanan. Pak Evan puas melihat air muka Amanda. Ditariknya kemudian tangan itu kembali.
“Sampai jumpa nanti malam.”
“Iya,” sahut Amanda. Melangkah dia kemudian meninggalkan kabin.
***
Keluar dari kamar mandi, tubuh Amanda masih berbalut handuk. Duduk dia kemudian di pinggir ranjang, guna mengeringkan rambut. Karin sudah sejak tadi pergi. Katanya, dia ada janji dengan teman. Entah ‘teman’ yang mana. Dia menitip pesan agar Amanda tidak usah menunggu dirinya. Itu artinya ada kemungkinan dia tidak akan balik lagi ke hotel.
Rambut panjang Amanda belum lagi kering, ponselnya berbunyi. Heran dia melihat nama yang tertera di layar. Kapten Baskoro menelepon? Ada apa ya? Dia membatin.
“Malam, Kep.”
“Malam Manda. Maaf nih ganggu. Kamu sudah keluar hotel ya?”
“Belum, masih di kamar sih. Ada apa ya, Kep?” Tadi ketika menunggu mobil jemputan, Amanda sempat bilang ke Kapten Bas kalau akan jalan-jalan malam ini.
“Desi mendadak mens nih. Kamu bisa mampir bentar ke kamarku nggak?”
Aduh, minta jatah nih si Kapten, Amanda membatin. Padahal malam ini dia sudah bersiap untuk melayani Pak Evan. Kalau sampai kecapekan, tentu tidak bagus sebagai kesan pertama. Namun, sebelum kenal Pak Evan, Kapten Bas-lah yang membantu dia selama ini. Bantuan yang kadang musti dibayar pula dengan kemolekan tubuhnya. Tak enak untuk memberi penolakan, mengingat sang Kapten memang sudah lama nggak ketemu istri. Pasti gairah lagi tinggi-tingginya. Desi itu adalah ‘simpanan’ Kapten Bas. Gadis Indonesia yang bekerja sebagai TKW di Malaysia. Karena sudah ada Desi, makanya Amanda berani bikin janji dengan Pak Evan. Tidak perlu dia tidur di ranjang sang Kapten.
“Iya, Kep. Nanti saya mampir ke kamar.”
Terpaksa request dadakan itu diiyakan. ‘Hubungan baik’ dengan Kapten Bas harus tetap dijaga. Selesai berbincang, Amanda mengetik pesan singkat. Dikirimnya kepada Pak Evan. Minta maaf sekaligus minta undur dijemput, dengan alasan ada meeting crew mendadak. Berjaga-jaga andai Kapten Bas ‘keluarnya’ lama. Balasan datang cepat. “Gpp,” begitu isinya.
Lekas Amanda berpakaian. Pakaian kasual saja, berupa tanktop dan celana pendek. Tanpa pakai bra, hanya celana dalam. Toh, nanti akan dilepas juga. Dalam hati, Amanda bersyukur tadi belum sempat pakai make-up lengkap.
Masuk ke lift, Amanda naik satu lantai. Khusus untuk Pilot dan petinggi lain, memang dapatnya kamar suite. Beda dengan dirinya yang masih junior.
Pintu diketuk, nampak sosok Kapten Bas. Terlihat tubuhnya terbaluk handuk sebatas pinggang. Pastilah dia baru selesai mandi. Tercium aroma semerbak sabun hotel.
“Maaf banget nih, Manda. Jadi ngerepotin kamu.” Sekali lagi rasa penyesalan terucap.
“Nggak apa-apa, Kep.” Kuberi dia senyum semanis mungkin. Nunjukin kalau aku melakukan ini tidak dengan terpaksa. “Tapi maaf, saya nggak punya waktu lama,” tambahku.
Kubuat nada suara sesopan mungkin, agar Kapten Bas tidak sampai tersinggung. Dan syukurnya dia bisa mengerti.
“Kalau gitu kita mulai langsung aja.”
Segera saja dia duduk di tepi ranjang. Sekali tarikan handuk, tubuh tambun itu langsung nampak polos. Diberi kode, Amanda jongkok dan mulai melakukan ‘tugasnya’. Dia kulumi penis milik sang Kapten, sehingga terus membesar dan membesar. Sesekali diselinggi kocokan tangan dan jilatan lidah. Tepat di buah zakarnya. Amanda sudah hapal betul kesukaan Kapten Bas.
“Udah, udah Manda. Nanti keburu keluar...” Seru Kapten Bas.
Padahal memang itulah tujuannya, Amanda mengocok sekuat tenaga. Bila Kapten Bas keluar, itu artinya dia tidak perlu sampai buka celana. Vagina bisa sepenuhnya dia berikan untuk Pak Evan. Tetapi, rencana itu gagal. Kapten Bas keburu sadar. Amanda membuka kaitan celana pendeknya. Ditarik turun melewati kaki, bersamaan dengan celana dalam. Sudah bugil di bagian bawah sana, jongkok lalu dia guna memasang kondom. Dia kocok sedikit lagi penis itu, agar ‘tegangnya’ jadi lebih maksimal. Barulah kemudian Amanda duduk dipangkuan Kapten Bas.
“AAHHH...” Amanda dan sang Kapten melenguh bersamaan.
Kapten Bas melenguh keenakan. Sementara Amanda melenguh menahan perih. Liang vaginanya masih kering. Amanda menguatkan diri, karena waktu terus berjalan. Tidak sempat lagi untuk melakukan foreplay.
Lagi Kapten Bas melenguh, saat pinggul Amanda mulai bergoyang. Kanan, kiri, naik, turun, dan memutar. Terlihat sekali kalau dia memang lama nggak ngerasain liang vagina. Tergambar jelas dari raut wajahnya. Amanda mulai goyangan secara perlahan, memberi cukup waktu bagi ‘cairan cinta’ melumasi vagina. Menghindari timbulnya lecet di dinding kewanitaan. Barulah kemudian dia percepat, percepat, dan terus percepat.
Aahhh, aahhh, aahhh...” Saking semangat, deru nafas Kapten Bas terdengar seperti orang asma.
Sesekali dia remasi pantat Amanda. Satu tangan menyingkap tanktop. Dikulum dan diemutnya si bukit kembar. Dalam hati, pemilik payudara berharap perbuatan itu nggak akan ninggalin bekas merah. Bisa menimbulkan tanda tanya, ketika Pak Evan membuka bra-nya nanti.
Sudah terlihat tanda-tanda Kapten Bas akan orgasme. Tapi sebelum itu terjadi, dia sempat minta merubah posisi. Ganti jadi doggy style. Posisi favorit sang Kapten.
Tusukan demi tusukan lanjut ‘menghajar’ Amanda. Di tengah remasan kuat di bongkahan pantat sang gadis. Sampai sebuah lenguhan panjang menutup permainan.
Kapten Bas keluar.
Amanda membantu melepas kondom, selagi sang Kapten terbaring lemas. Dengan nafas masih terengah. Dipakainya lagi pakaian bawah, lalu duduk di tepi ranjang. Memandangi wajah Kapten Bas yang memerah. Diberikannya laki-laki itu waktu, sebelum dia berpamitan.
Kapten Bas mengangkat tubuhnya. “Makasi yah,” sebuah kecupan mendarat di pipi Amanda.
“Sama-sama, Kep.”
“Kamu berangkat deh, biar nggak telat janjiannya.” Dia tersenyum. “Nanti aku transfer duit buat belanja-belanja.”
Balik Amanda tersenyum. Dia pun lalu pamitan, sadar kalau waktu kian menipis. Dia juga sama sekali belum berias, dan mungkin akan butuh mandi lagi. Saat menyelusuri selasar hotel, sebuah pesan singkat masuk. Dari operator online banking. Di layar tertera deretan tujuh angka. Amanda tersenyum lagi. Memang dermawan sekali Kapten Bas ini.
Sesampai di kamar, Amanda kembali membasuh tubuhnya. Menghapus jejak persetubuhan yang baru saja dia lakukan. Tidak muncul bekas merah, seperti ditakutkan tadi. Dia sapukan make-up di wajah, sebelum memakai gaun. Sebuah gaun pendek seksi, yang dia beli khusus untuk momen ini. Dipatut sekali lagi dirinya di cermin, memastikan semua sudah sempurna. Saat itulah ponsel Amanda berbunyi.
“Aku sudah di lobi.” Terdengar suara Pak Evan di ujung telepon.
“Oke. Aku turun sekarang.”
Keluar dari kamar, setengah berlari Amanda menyusuri selasar hotel. Ketika pintu lift terbuka, lambaian Pak Evan langsung menyambutnya.
“Cantik banget,” puji Pak Evan melihat penampilan Amanda. Bikin dirinya tersipu malu.
Tidak lama, mereka sudah berkendara. Semalaman Pak Evan mengajak Amanda berkeliling kota Kuala Lumpur. Suasana malam Malaysia tidak berbeda dengan Jakarta. Tetap saja ramai, meski malam sudah teramat larut. Buat permulaan, Pak Evan mengajak romatic dinner. Lanjut nonton pergelaran musik klasik, dan juga shopping. Semuanya dibiayai oleh Pak Evan. Amanda sempat nawarin diri untuk ikut membayar, tapi ditolak mentah-mentah. Terakhir, diajaknya Amanda ke sebuah klub malam.
Dalam perjalanan balik menuju hotel, Pak Evan sudah sibuk mencumbui Amanda. Mencium dan meraba sana-sini. Dia bisa bebas melakukan itu, karena limosin memang punya ruang belakang yang lega. Ujung gaun sudah tersingkap kemana-mana. Bra dan celana dalam sudah tersingkir entah kemana. Tali pundak gaun sudah melorot jauh dari posisinya semula. Bikin puting kanan dan kiri Amanda bisa bebas diemuti. Kondisi pakaian Pak Evan tidak kalah berantakan. Alkohol yang tadi mereka minum, sepertinya mulai bereaksi. Tidak ada penolakan dari Amanda, karena juga mereguk rasa yang sama. Birahi sudah melanda keduanya. Tanpa peduli ada sepasang mata, di belakang kemudi, yang sesekali melirik ke arah mereka.
Di dalam lift, keduanya masih bercumbu. Begitu juga ketika mereka berjalan di selasar. Berkali-kali mereka saling mengingatkan, ketika ada desah keluar terlalu kencang. Mereka tertawa-tawa kecil. Untungnya, tidak ada seorang pun yang lewat, sampai mereka tiba di kamar. Kembali tawa pecah, saat Pak Evan terus saja gagal menempelkan kunci elektronik pintu.
Brruuuk! Brruuuk!”
Tubuh Amanda dan tubuh Pak Evan bergantian terdesak ke dinding. Dengan penuh nafsu mereka berpagutan, sambil menelanjangi satu sama lain. Gaun terlempar, begitu pula dengan kemeja dan celana panjang. Saat bergumul di ranjang, tubuh keduanya sudah polos.
“AAHHH...!” Amanda melenguh, ketika penis Pak Evan tertancap.
Mudah saja batang tegang itu menyeruak masuk, karena liang kenikmatan Amanda sudah banjir. Tanpa ragu pula, Pak Evan langsung menggenjot dengan kuat.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Oohhh, oohhh, oohhh...”
Lenguhan dan desahan terpantul-pantul di dinding kamar. Terdengar kencang sekali, karena baik Amanda maupun Pak Evan sama-sama tidak menahan diri. Meluapkan kenikmatan dini hari itu sepuas-puasnya. Ranjang empuk, tempat mereka memadu cinta, berguncang-guncang dahsyat.
Pergantian posisi terjadi secara natural, meskipun dalam kondisi mabuk. Lagi Amanda tertindih, dengan kedua kaki tertekuk mengangkang lebar. Lagi Pak Evan yang terlentang diduduki. Lagi pantat Amanda terangkat tinggi. Lagi berubah menjadi miring samping. Semua mengalir secara alamiah. Nampak jelas kalau keduanya punya jam terbang yang tinggi, di dunia perlendiran.
Do you like my cock? Do you like my cock in your pussy?”
Yes. Fuck me hard, fuck me hard.”
Keduanya merancau hebat. Seiring tubuh mereka yang sudah basah oleh keringat. Sprei pun ikut basah kuyup. Berantakan, tertarik kesana-kemari. Seiring tenaga yang kian terkuras, kesadaran Amanda dan Pak Evan ikut menurun. Pada dasarnya, mereka melakukan persetubuhan itu dalam kontrol insting semata. Justru keadaan itulah yang bikin nyala api birahi bergelora dengan hebat. Membakar dengan dahsyatnya.
“AAHHH, AAHHH, AAHHH...”
“OOHHH, OOHHH, OOHHH...”
Bergumul dan terus bergumul.
Plook, plook, plook...” Suara kelamin mereka saat beradu.
“AAAHHHHH...!!!”
Keduanya kompak melenguh panjang. Tubuh keduanya dengan kompak pula ambruk. Terbaring lemas, dengan nafas terengah. Tenaga mereka terkuras, akibat persetubuhan hebat yang baru saja selesai. Tidak perlu lama keduanya lalu terlelap. Tanpa sempat terucap sepatah katapun. Bahkan, Amanda tidak menyadari lelehan sperma yang keluar dari vaginanya.
***
Dengan perlahan kesadaran Amanda muncul. Berbarengan ketika hendak membuka mata, rasa pening langsung menyerang hebat. Kepala terasa luar biasa berat. Dengan susah payah, akhirnya bisa juga Amanda menguasai diri sepenuhnya. Baru dia sadari keberadaan sosok Pak Evan yang terbaring di sisi kirinya. Kedua mata sulit membuka, akibat silau oleh sinar matahari. Tersentak Amanda saat itu juga. Segera disambarnya ponsel. Melonjak dia dari ranjang. Sudah pukul satu siang. Padahal dia harus sudah ada di bandara jam empat sore.
Dengan panik, Amanda mencari gaun yang dipakainya semalam. Ketika ditemukan, dia langsung memakainya, tanpa sadar bagaimana leceknya gaun tersebut. Tidak berhasil dia temukan bra dan celana dalam. Tidak ingat di mana keduanya terlepas semalam. Beruntung tas jinjing berhasil dia temukan, meski isinya sudah terceceran. Dia temukan pula sandal hak tinggi miliknya.
“Van, Van, gue balik ke hotel ya.” Amanda menguncang-guncang pelan tubuh Pak Evan.
Heemm, heemm...” Hanya terdengar lenguhan dari mulutnya. Tidak kunjung dia terbangun.
Tanpa bisa lagi menunggu lebih lama, Amanda berlari keluar kamar. Berlari-larian pula dirinya sepanjang selasar hotel. Di lobi, minta dia diorderkan taxi oleh resepsionis.
Butuh tiga puluh menit, untuk Amanda tiba di hotel tempat crew menginap. Sama seperti tadi, dia juga berlari-larian sepanjang selasar menuju kamar. Tanpa mempedulikan tatapan heran dari beberapa orang yang berpapasan dengan dirinya.
Ketika membuka pintu kamar, Amanda melihat Karin terbaring bugil di ranjang. Di saat yang berbarengan, keluarlah seorang laki-laki dari kamar mandi. Amanda tidak mengenal laki-laki itu. Keduanya terlihat kaget.
“Kamu temennya dia?” Laki-laki itu menunjuk ke arah Karin.
Dengan refleks Amanda mengangguk.
“Maaf, aku musti buru-buru balik. Tolong bilangin sama dia ya.”
Kembali Amanda refleks mengangguk. Tanpa mengucap tambahan kalimat apapun lagi, laki-laki itu keluar dari kamar. Sebagaimana layaknya Amanda tadi, laki-laki itu juga berlarian. Terdengar dari suara langkahnya. Sepertinya dia juga sedang diburu waktu.
Baru kemudian Amanda tersadar, kalau Karin juga akan kesiangan. Dia guncang-guncang tubuh sahabatnya itu, tanpa peduli adanya lenguhan penolakan. Akhirnya usaha tersebut berhasil. Karin terlonjak, sama seperti dirinya tadi, saat diberitahu jam berapa saat itu. Tanpa komando, mereka berdua berhamburan masuk ke kamar mandi. Saling berebut shower, saling berebut sabun, saling berebut shampoo. Keluarnya pun juga berhamburan. Menyambar handuk, membuka koper, lalu menyambar kotak make-up. Semua dilakukan serba kilat. Keadaan baru kembali tenang waktu keduanya sudah selesai menata rambut.
“Lu tidur di mana semalem?” Tanya Karin, sambil menggores pensil alis.
“Di hotelnya Evan.”
Langsung Karin menghentikan aktifitasnya. Menoleh dia ke Amanda. “Kontolnya gede nggak?”
Seriously?” Dahi Amanda menekuk sebal.
Karin terkekeh. “Sorry, cuma penasaran aja sih.”
“Terus cowok yang tadi itu siapa?”
Ganti dahi Karin yang mengerut. “Cowok yang mana?”
“Cowok yang keluar dari kamar ini, waktu gue dateng tadi.”
Oh, nggak tau gue. Gue lupa namanya.” Dengan santainya dia berucap.
Rupanya, laki-laki itu hanya satu dari kisah ‘one night stand’ lainnya dari Karin.
“Sialan. Tadi malem itu cowok ‘keluar’ di mana ya?”
Gerutuan Karin itu mengingatkan Amanda. Mengingatkan kalau Pak Evan juga ‘keluar’ di dalam dirinya semalam. Tapi, dia tidak punya waktu untuk menyesali keteledoran tersebut. Ponselnya dan ponsel Karin berbunyi hampir bersamaan. Pesan singkat dari Kapten Baskoro. Memberitahu kalau mobil jemputan sudah jalan menuju hotel. Mengingatkan kalau semua crew sudah harus siap di lobi, setengah jam lagi. Amanda dan Karin beradu pandang. Bergegas lalu lanjut berias.
***
Sebenarnya Pak Evan sudah menelpon dan mengirim pesan dari sore. Namun, Amanda baru bisa menelepon balik malam harinya. Begitu tubuhnya bisa merasakan lagi empuknya kasur, setelah seharian bergelut dengan rutinitas take off dan landing.
“Kamu keluar di dalem semalem...” Ucap Amanda, setelah beberapa jam berbincang. “Kalau aku hamil gimana?”
“Aku akan tanggung jawab.”
“Aku jadi istri keduamu dong?”
“Kamu nggak mau?”
“Nggak.”
“Kalau begitu akan aku ceraikan istriku demi kamu.”
Saat itu, ucapan itu terdengar indah di telinga Amanda. Meskipun akhirnya Amanda tidak hamil. Disadari atau tidak, Amanda mulai jatuh hati pada Pak Evan. Begitu pula sebaliknya. Percakapan malam itupun kemudian menjadi awal pertemuan demi pertemuan berikutnya. Percintaan demi percintaan berikutnya.
Mulai rutin mereka mengatur jadwal pertemuan. Entah itu Pak Evan yang musti merubah jadwal kerjanya, atau Amanda yang merubah jadwal terbangnya. Ranjang hotel demi ranjang hotel, di berbagai kota dan negara, jadi saksi bisu gairah percintaan terlarang mereka.
Sampai sebuah ucapan menciptakan celah lebar antara mereka. “Aku akan menceraikan istriku.”
Bagi wanita lain, ucapan tersebut tentu adalah kabar gembira. Dulu pun Amanda berharap akan mendengar ucapan tersebut. Kini sudah tidak lagi. Bukan perpisahan Pak Evan dengan istrinya, yang Amanda pikirkan. Tetapi, perpisahan Pak Evan dengan kedua anaknya. Amanda juga lahir di keluarga broken home. Ayah dan ibunya bercerai. Amanda tahu benar rasanya, ditinggal sosok seorang ayah. Gadis cantik itu pun terpaksa merelakan cintanya untuk Pak Evan.
“Untuk sementara kita jangan ketemu dulu ya.” Begitulah celah tersebut mulai terbentuk.
“Tapi kenapa?”
“Aku mau tunangan...”
Akhirnya, Amanda menerima cinta Raditya. Laki-laki yang dijodohkan kepadanya oleh sang ibu. Di awal, kehadiran Radit ini semata hanya untuk melupakan Pak Evan. Serupa seperti layaknya laki-laki lain yang hanya singgah sebentar di hidup Amanda. Bahkan, beberapa diantara mereka hanya singgah satu malam saja. Seiring berjalannya waktu, Amanda bisa melihat ketulusan dari sang calon suami. Dan hari pernikahan pun ditetapkan.
“Bisa kita ketemu sekali lagi?” Begitu isi pesan singkat Pak Evan. Balasan dari email Amanda sebelumnya, yang melampirkan surat undangan pernikahan.
Rasa rindu yang begitu kuat, membuat Amanda mengetik balasan, “Bisa.”
Maka disepakati sebuah hotel berbintang di kota Kembang. Pertemuan yang semula hanya akan jadi ajang perpisahan. Berakhir dengan pakaian yang berserakan di lantai. Dan tubuh telanjang mereka yang beradu panas di ranjang.
“Aahhh, aahhh, aahhh...”
“Oohhh, oohhh, oohhh...”
Pak Evan melampiaskan rasa rindu, bercampur cemburu hari itu. ‘Dihajarnya’ liang kenikmatan Amanda tanpa ampun. Tanpa karet pelindung pula. Sang gadis cantik tak kuasa menolak. Rasa cinta bercampur rasa bersalah, membuat dirinya hanya bisa pasrah. Membuat dirinya rela untuk disetubuhi berkali-kali hari itu. Hanya berselang dua hari, sebelum mengucapkan akad nikah di depan penghulu.
Selepas hari itu, Amanda dan Pak Evan tidak pernah lagi bertemu. Termasuk di hari pernikahan Amanda. Pak Evan memilih untuk tak datang. Sampai siang tadi, takdir hidup akhirnya kembali mempertemukan mereka. Lagi-lagi berawal dari sebuah pesan singkat. Lagi-lagi berakhir pula dengan beradunya tubuh telanjang mereka di ranjang.
***
“Lu bisa jaga rahasia kan, Dit?” Kakak sepupuku itu berujar pelan.
Aku mengangguk ragu. Dari cerita tadi, Amanda seperti ragu siapa ayah dari anak pertamanya. Setelah resmi menikah, di malam bulan madu, Amanda memang dibuahi oleh suaminya. Tetapi tiga hari sebelumnya, Pak Evan pun juga melakukan hal yang sama. Entah sperma siapakah yang lebih dulu sampai di sel telurnya. Sampai saat ini keraguan tersebut belum mendapat jawaban.
Hanya kepada akulah Amanda bercerita soal ini. Katanya, hanya sekedar ingin mengurangi rasa bersalahnya kepada suami. Mengurangi beban di hati.
(Oya, tulisan ini adalah bagian dari cerita yang berjudul ‘Kumpul Keluarga’, di bagian di mana aku bertemu Amanda di kamarnya).
“Lu cerita soal ini Pak Evan?”
Amanda menggeleng.
“Saran gue, mending lu rahasiain deh soal ini sama suami, demi kelangsungan rumah tangga lu.”
Amanda mengangguk. Dia pun punya pendapat yang sama.
“Lu yakin masih mau nerusin hubungan lu sama Pak Evan?”
“Kadang ada cinta yang nggak bisa begitu aja bisa kita lupain kan, Dit. Meski garis takdir nggak bisa nyatuin kita di kehidupan ini.”
Mendengar kata-kata itu, aku langsung terbayang hubunganku dengan Reza. Aku sendiri punya ‘kisah’ yang serupa, tapi tak sama. Tentu aku tidak bisa menghakimi cinta Amanda ke Pak Evan. Memang begitulah cinta, akan selalu menjadi misteri dunia.
“Menurut elu, gue salah ya?”
“Ng-nggak sih.” Sedikit ragu aku memberi jawaban tersebut.
“Makasi ya, Dit. Maaf loh, kok gue jadi curhat gini sih ke elu.”
“Nggak apa-apa. Siapa tahu nanti giliran gue yang butuh curhat.” Aku tersenyum kecil.
Kami berdua pun bersepakat, untuk merahasiakan pembicaraan malam tersebut.
So, apa pendapat adik lu soal bodi gue?” Amanda mengganti topik.
“Girang bangetlah dia. Bodi lu seksi kayak gini.”
Kakak sepupuku itu terkekeh.
“Maaf ya Manda, gara-gara Ridho, gue jadi minta elu ngelakuin yang ‘aneh-aneh’.”
“Santai aja. Anak muda kan kadang emang suka minta yang ‘aneh-aneh’.”
Kami bertatapan, dan melempar senyum bersamaan.
“Ryan?”
“Leo?”
Senyuman itu pun kemudian berganti tawa.
.

5 komentar: