Namaku
Dita. Ini adalah coretan isengku. Sekedar berbagi memori. Suka silakan
dinikmati, tidak suka jangan diambil hati.
***
“Manda,
lu ditanyain tuh ama penumpang di kabin bisnis.”
Amanda
yang sedang menyiapkan makanan di oven, sedikit kaget oleh kedatangan Karin.
“Siapa?”
“Biasa
Pak Evan. Fans nomor satu lu.”
Senyum
kecil tersungging di bibir Amanda. Ternyata dia memang gila. Buktinya sudah tiga
kali dia ikut penerbangan, di mana Amanda ada di dalamnya. Ini adalah kali
keempat, mereka ada di pesawat yang sama. Kali ini bahkan tidak main-main. Pak
Evan bahkan ikut di rute penerbangan internasional. Berarti sudah membuktikan
kesungguhan hatinya. Padahal, semula Amanda hanya berniat untuk mengujinya
saja.
“Biar gue
deh yang nganter selimutnya Pak Evan.”
“Sip, asal ongkos tutup mulutnya jangan
lupa.” Karin mengerling.
Lagi Amanda
tersenyum. Tugas melayani penumpang kelas bisnis pun bertukar. Sejak pelatihan
Amanda dan Karin sudah bersahabat dekat. Mereka juga kerap kompak dalam
menyiasati senior. Keduanya juga kompak dalam melakukan flirting-flirting nakal, baik kepada petinggi maskapai maupun
penumpang elit. Semata demi kelangsungan karier. Sudah menjadi rahasia umumlah
di dunia penerbangan. Termasuk kepada Pak Evan, tentunya. Ternyata bapak paruh
baya yang satu itu lebih merespon Amanda. Karin pun resmi kalah bersaing.
Melangkah
Amanda memasuki kabin kelas bisnis. Di dalam cuma ada lima penumpang. Maklum
penerbangan terakhir. Empat orang sudah terlelap. Hanya tinggal Pak Evan yang
terlihat masih membaca buku.
“Maaf
Pak, ini selimutnya. Saya juga bawakan ekstra batal,” ucap Amanda sopan.
Pak Evan
menoleh dan tersenyum. “Masih aja kamu formal-formalan ya Manda. Please, panggil aku Evan aja. Biar lebih
akrab gitu.”
Meski
usia keduanya terpaut hampir sepuluh tahun, tidak terlihat kalau diperhatikan
sekilas. Pak Evan terlihat masih awet muda. Tak akan ada yang menyangka kalau
dirinya sudah memiliki dua anak. Mungkin itu akibat perawatan dan gaya hidup
sehat yang diterapkan.
Amanda tersenyum
sambil menyiapkan meja makan, lalu menaruh baki di atasnya. “Makasi loh bantuannya,”
ucap Amanda. Mulai dia menuangkan air putih di satu gelas dan wine di gelas yang lain, sesuai pesanan.
“Sama-sama
Manda. Ibu kamu sudah baikan kan sekarang?”
Amanda
mengangguk.
Ganti Pak
Evan yang tersenyum. “Itu artinya malem ini aku nggak tidur sendirian dong?”
Lagi
Amanda mengangguk, yang kali ini diikuti oleh senyuman.
Awalnya,
Amanda mendekati Pak Evan hanya karena butuh uang. Kanker yang diidap oleh sang
ibu tentu butuh penanganan khusus, dan dana yang tidak sedikit. Seperti halnya
yang dilakukan ‘beberapa’ rekan seprofesi lainnya. Mendekati pria kaya dengan
beragam modus. Tak peduli pria itu sudah berkeluarga atau belum. Di kala
kepepet seperti saat itu, pertahanan iman Amanda pun runtuh. Kalau pun nanti
musti ditukar dengan tubuhnya, akan dia lakukan. Lagian dia sudah bosan
melakukan seks ‘gratisan’ -atas nama cinta- alias pacaran. Kini vaginanya terlalu
berharga, untuk diberikan tanpa dapat kompensasi sepadan. Pak Evan adalah seorang
petinggi di Dirjen Perhubungan Udara. Salah satu alasan, mengapa Amanda memilih
laki-laki itu sebagai kandidat. Beberapa kali mereka bertemu dalam penerbangan
yang sama.
Setelah
dekat, ternyata Pak Evan nawarin
lebih dari yang dibayangkan. Sang ibu diberi fasilitas kelas satu, di rumah
sakit ternama. Tanpa perlu mengeluarkan biaya apapun. Setelah Pak Evan
menghubungi salah satu rekannya, di Kementerian Kesehatan.
Sebagai
kompensasi, semula Pak Evan hanya minta ditemani makan malam, sekedar jalan, atau
nonton. Pak Evan masih sadar dengan statusnya yang sudah berkeluarga. Namun
lama-kelamaan, sebagaimana laki-laki normal pada umumnya, dia pun akhirnya tak
kuasa menahan godaan tubuh molek Amanda. Jujur, dia bilang ingin mencicipinya.
Menimbang bantuan yang telah diberikan Pak Evan untuk ibunya, Amanda tidak
menolaknya.
Bahkan
demi menciptakan momen yang ‘elok’, Pak Evan rela ikut terbang ke Malaysia.
Padahal dia tak punya agenda apa-apa di negara tersebut. Hanya agar bisa
menghabiskan malam bersama Amanda. Bisa saja dia meniduri sang pramugari, di
beberapa kesempatan lain di Indonesia. Tapi, ujung-ujungnya cuma berakhir ngobrol dan jalan-jalan. Ditambah ciuman
dan sentuhan ringan.
“Kirim
aja nama hotel dan nomor kamarnya. Sudah tahu nomor aku kan?” Goda Amanda.
Pak Evan
mengambil ponsel dari sakunya dan mengetik sesuatu. “Done.”
“Kamu
temenin aku makan gih,” lanjutnya kemudian.
“Maaf, bukannya
nggak mau loh Van, cuma nggak enak kalo diliat sama senior.”
Sepertinya
Pak Evan bisa mengerti. Dia pun tidak mau Amanda dapat kesulitan karena
dirinya.
“Ada yang
bisa dibantu lagi, Pak Evan?” Kembali Amanda memakai bahasa formal, sebelum dia
kembali ke ruangan crew.
“Bagaimana
kalau pesan dua ciuman pipi dan satu ciuman bibir? Bisa?”
Amanda
berusaha menahan tawa. Pak Evan sendiri tersenyum lebar melihat itu. Menoleh
lalu dia ke sekeliling, yang ada hanya kesunyian. Amanda lalu menunduk, lanjut mendaratkan
ciuman di pipi kanan dan kiri. Berikutnya, bibir mereka berdua bertemu. Mereka
melempar senyuman. Kali kedua bertemu, bibir itu kemudian saling melumat basah,
meski tanpa lidah.
“Aku cuma
pesan satu aja loh ciuman bibirnya.” Ganti Pak Evan yang menggoda.
“Satu
lagi bonus.” Amanda menyengir kecil.
“Kalau
begitu, boleh aku minta bonus tambahan?”
“Apa
itu?”
Tangan
Pak Evan menyingkap belahan rok panjang Amanda. Dipeganginya betis kiri sang
gadis.
“Boleh?”
Amanda
mengangguk.
Setelah
mendapatkan ijin. Tangan kanan itu mulai mengelus-elus. Perlahan naik, dari
betis, lutut, sampai ke paha. Disusuri setiap jengkal kaki jenjang nan mulus
milik sang pramugari. Disusuri lembutnya kain stocking berbahan nylon. Lanjut
mengelus lagi naik sampai menyentuh pangkal paha. Berujung pada kain mungil yang
menutupi area kewanitaan. Dirabanya bagian itu dengan lembut. Tindakan ini seolah
ingin memastikan, kalau Amanda memang sudah mantap melakukan hubungan seks
dengan dirinya. Tidak setengah hati, tidak dalam tekanan. Pak Evan puas melihat
air muka Amanda. Ditariknya kemudian tangan itu kembali.
“Sampai
jumpa nanti malam.”
“Iya,”
sahut Amanda. Melangkah dia kemudian meninggalkan kabin.
***
Keluar
dari kamar mandi, tubuh Amanda masih berbalut handuk. Duduk dia kemudian di pinggir
ranjang, guna mengeringkan rambut. Karin sudah sejak tadi pergi. Katanya, dia
ada janji dengan teman. Entah ‘teman’ yang mana. Dia menitip pesan agar Amanda
tidak usah menunggu dirinya. Itu artinya ada kemungkinan dia tidak akan balik
lagi ke hotel.
Rambut
panjang Amanda belum lagi kering, ponselnya berbunyi. Heran dia melihat nama
yang tertera di layar. Kapten Baskoro menelepon?
Ada apa ya? Dia membatin.
“Malam,
Kep.”
“Malam
Manda. Maaf nih ganggu. Kamu sudah keluar hotel ya?”
“Belum, masih
di kamar sih. Ada apa ya, Kep?” Tadi ketika menunggu mobil jemputan, Amanda sempat
bilang ke Kapten Bas kalau akan jalan-jalan malam ini.
“Desi
mendadak mens nih. Kamu bisa mampir
bentar ke kamarku nggak?”
Aduh, minta jatah nih si Kapten, Amanda membatin. Padahal malam ini dia sudah bersiap untuk melayani
Pak Evan. Kalau sampai kecapekan, tentu tidak bagus sebagai kesan pertama.
Namun, sebelum kenal Pak Evan, Kapten Bas-lah yang membantu dia selama ini. Bantuan
yang kadang musti dibayar pula dengan kemolekan tubuhnya. Tak enak untuk
memberi penolakan, mengingat sang Kapten memang sudah lama nggak ketemu istri. Pasti gairah lagi tinggi-tingginya. Desi itu adalah
‘simpanan’ Kapten Bas. Gadis Indonesia yang bekerja sebagai TKW di Malaysia. Karena
sudah ada Desi, makanya Amanda berani bikin janji dengan Pak Evan. Tidak perlu
dia tidur di ranjang sang Kapten.
“Iya, Kep.
Nanti saya mampir ke kamar.”
Terpaksa request dadakan itu diiyakan. ‘Hubungan baik’
dengan Kapten Bas harus tetap dijaga. Selesai berbincang, Amanda mengetik pesan
singkat. Dikirimnya kepada Pak Evan. Minta maaf sekaligus minta undur dijemput,
dengan alasan ada meeting crew mendadak.
Berjaga-jaga andai Kapten Bas ‘keluarnya’ lama. Balasan datang cepat. “Gpp,” begitu isinya.
Lekas Amanda
berpakaian. Pakaian kasual saja, berupa tanktop
dan celana pendek. Tanpa pakai bra, hanya celana dalam. Toh, nanti akan dilepas juga. Dalam hati,
Amanda bersyukur tadi belum sempat pakai make-up
lengkap.
Masuk ke lift,
Amanda naik satu lantai. Khusus untuk Pilot dan petinggi lain, memang dapatnya kamar
suite. Beda dengan dirinya yang masih
junior.
Pintu diketuk,
nampak sosok Kapten Bas. Terlihat tubuhnya terbaluk handuk sebatas pinggang.
Pastilah dia baru selesai mandi. Tercium aroma semerbak sabun hotel.
“Maaf
banget nih, Manda. Jadi ngerepotin kamu.” Sekali lagi rasa penyesalan terucap.
“Nggak
apa-apa, Kep.” Kuberi dia senyum semanis mungkin. Nunjukin kalau aku melakukan ini tidak dengan terpaksa. “Tapi maaf,
saya nggak punya waktu lama,” tambahku.
Kubuat
nada suara sesopan mungkin, agar Kapten Bas tidak sampai tersinggung. Dan syukurnya
dia bisa mengerti.
“Kalau
gitu kita mulai langsung aja.”
Segera
saja dia duduk di tepi ranjang. Sekali tarikan handuk, tubuh tambun itu langsung
nampak polos. Diberi kode, Amanda jongkok dan mulai melakukan ‘tugasnya’. Dia
kulumi penis milik sang Kapten, sehingga terus membesar dan membesar. Sesekali
diselinggi kocokan tangan dan jilatan lidah. Tepat di buah zakarnya. Amanda
sudah hapal betul kesukaan Kapten Bas.
“Udah,
udah Manda. Nanti keburu keluar...” Seru Kapten Bas.
Padahal
memang itulah tujuannya, Amanda mengocok sekuat tenaga. Bila Kapten Bas keluar,
itu artinya dia tidak perlu sampai buka celana. Vagina bisa sepenuhnya dia
berikan untuk Pak Evan. Tetapi, rencana itu gagal. Kapten Bas keburu sadar. Amanda
membuka kaitan celana pendeknya. Ditarik turun melewati kaki, bersamaan dengan
celana dalam. Sudah bugil di bagian bawah sana, jongkok lalu dia guna memasang
kondom. Dia kocok sedikit lagi penis itu, agar ‘tegangnya’ jadi lebih maksimal.
Barulah kemudian Amanda duduk dipangkuan Kapten Bas.
“AAHHH...”
Amanda dan sang Kapten melenguh bersamaan.
Kapten
Bas melenguh keenakan. Sementara Amanda melenguh menahan perih. Liang vaginanya
masih kering. Amanda menguatkan diri, karena waktu terus berjalan. Tidak sempat
lagi untuk melakukan foreplay.
Lagi Kapten
Bas melenguh, saat pinggul Amanda mulai bergoyang. Kanan, kiri, naik, turun,
dan memutar. Terlihat sekali kalau dia memang lama nggak ngerasain liang vagina. Tergambar jelas dari raut wajahnya. Amanda
mulai goyangan secara perlahan, memberi cukup waktu bagi ‘cairan cinta’
melumasi vagina. Menghindari timbulnya lecet di dinding kewanitaan. Barulah
kemudian dia percepat, percepat, dan terus percepat.
“Aahhh, aahhh, aahhh...” Saking semangat,
deru nafas Kapten Bas terdengar seperti orang asma.
Sesekali
dia remasi pantat Amanda. Satu tangan menyingkap tanktop. Dikulum dan diemutnya si bukit kembar. Dalam hati, pemilik
payudara berharap perbuatan itu nggak akan ninggalin
bekas merah. Bisa menimbulkan tanda tanya, ketika Pak Evan membuka bra-nya
nanti.
Sudah
terlihat tanda-tanda Kapten Bas akan orgasme.
Tapi sebelum itu terjadi, dia sempat minta merubah posisi. Ganti jadi doggy style. Posisi favorit sang Kapten.
Tusukan
demi tusukan lanjut ‘menghajar’ Amanda. Di tengah remasan kuat di bongkahan
pantat sang gadis. Sampai sebuah lenguhan panjang menutup permainan.
Kapten Bas
keluar.
Amanda
membantu melepas kondom, selagi sang Kapten terbaring lemas. Dengan nafas masih
terengah. Dipakainya lagi pakaian bawah, lalu duduk di tepi ranjang. Memandangi
wajah Kapten Bas yang memerah. Diberikannya laki-laki itu waktu, sebelum dia berpamitan.
Kapten
Bas mengangkat tubuhnya. “Makasi yah,” sebuah kecupan mendarat di pipi Amanda.
“Sama-sama,
Kep.”
“Kamu
berangkat deh, biar nggak telat janjiannya.” Dia tersenyum. “Nanti aku transfer
duit buat belanja-belanja.”
Balik
Amanda tersenyum. Dia pun lalu pamitan, sadar kalau waktu kian menipis. Dia
juga sama sekali belum berias, dan mungkin akan butuh mandi lagi. Saat menyelusuri
selasar hotel, sebuah pesan singkat masuk. Dari operator online banking. Di layar tertera deretan tujuh angka. Amanda tersenyum
lagi. Memang dermawan sekali Kapten Bas ini.
Sesampai
di kamar, Amanda kembali membasuh tubuhnya. Menghapus jejak persetubuhan yang
baru saja dia lakukan. Tidak muncul bekas merah, seperti ditakutkan tadi. Dia
sapukan make-up di wajah, sebelum memakai
gaun. Sebuah gaun pendek seksi, yang dia beli khusus untuk momen ini. Dipatut
sekali lagi dirinya di cermin, memastikan semua sudah sempurna. Saat itulah
ponsel Amanda berbunyi.
“Aku
sudah di lobi.” Terdengar suara Pak Evan di ujung telepon.
“Oke. Aku
turun sekarang.”
Keluar
dari kamar, setengah berlari Amanda menyusuri selasar hotel. Ketika pintu lift
terbuka, lambaian Pak Evan langsung menyambutnya.
“Cantik
banget,” puji Pak Evan melihat penampilan Amanda. Bikin dirinya tersipu malu.
Tidak
lama, mereka sudah berkendara. Semalaman Pak Evan mengajak Amanda berkeliling
kota Kuala Lumpur. Suasana malam Malaysia tidak berbeda dengan Jakarta. Tetap
saja ramai, meski malam sudah teramat larut. Buat permulaan, Pak Evan mengajak romatic dinner. Lanjut nonton pergelaran
musik klasik, dan juga shopping. Semuanya
dibiayai oleh Pak Evan. Amanda sempat nawarin
diri untuk ikut membayar, tapi ditolak mentah-mentah. Terakhir, diajaknya
Amanda ke sebuah klub malam.
Dalam perjalanan
balik menuju hotel, Pak Evan sudah sibuk mencumbui Amanda. Mencium dan meraba
sana-sini. Dia bisa bebas melakukan itu, karena limosin memang punya ruang
belakang yang lega. Ujung gaun sudah tersingkap kemana-mana. Bra dan celana
dalam sudah tersingkir entah kemana. Tali pundak gaun sudah melorot jauh dari
posisinya semula. Bikin puting kanan dan kiri Amanda bisa bebas diemuti. Kondisi
pakaian Pak Evan tidak kalah berantakan. Alkohol yang tadi mereka minum,
sepertinya mulai bereaksi. Tidak ada penolakan dari Amanda, karena juga mereguk
rasa yang sama. Birahi sudah melanda keduanya. Tanpa peduli ada sepasang mata,
di belakang kemudi, yang sesekali melirik ke arah mereka.
Di dalam
lift, keduanya masih bercumbu. Begitu juga ketika mereka berjalan di selasar.
Berkali-kali mereka saling mengingatkan, ketika ada desah keluar terlalu kencang.
Mereka tertawa-tawa kecil. Untungnya, tidak ada seorang pun yang lewat, sampai
mereka tiba di kamar. Kembali tawa pecah, saat Pak Evan terus saja gagal
menempelkan kunci elektronik pintu.
“Brruuuk! Brruuuk!”
Tubuh
Amanda dan tubuh Pak Evan bergantian terdesak ke dinding. Dengan penuh nafsu
mereka berpagutan, sambil menelanjangi satu sama lain. Gaun terlempar, begitu
pula dengan kemeja dan celana panjang. Saat bergumul di ranjang, tubuh keduanya
sudah polos.
“AAHHH...!”
Amanda melenguh, ketika penis Pak Evan tertancap.
Mudah
saja batang tegang itu menyeruak masuk, karena liang kenikmatan Amanda sudah banjir.
Tanpa ragu pula, Pak Evan langsung menggenjot dengan kuat.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Oohhh,
oohhh, oohhh...”
Lenguhan
dan desahan terpantul-pantul di dinding kamar. Terdengar kencang sekali, karena
baik Amanda maupun Pak Evan sama-sama tidak menahan diri. Meluapkan kenikmatan
dini hari itu sepuas-puasnya. Ranjang empuk, tempat mereka memadu cinta,
berguncang-guncang dahsyat.
Pergantian
posisi terjadi secara natural, meskipun dalam kondisi mabuk. Lagi Amanda tertindih,
dengan kedua kaki tertekuk mengangkang lebar. Lagi Pak Evan yang terlentang diduduki.
Lagi pantat Amanda terangkat tinggi. Lagi berubah menjadi miring samping. Semua
mengalir secara alamiah. Nampak jelas kalau keduanya punya jam terbang yang
tinggi, di dunia perlendiran.
“Do you like my cock? Do you like my cock in your pussy?”
“Yes. Fuck me hard, fuck me hard.”
Keduanya
merancau hebat. Seiring tubuh mereka yang sudah basah oleh keringat. Sprei pun
ikut basah kuyup. Berantakan, tertarik kesana-kemari. Seiring tenaga yang kian
terkuras, kesadaran Amanda dan Pak Evan ikut menurun. Pada dasarnya, mereka
melakukan persetubuhan itu dalam kontrol insting semata. Justru keadaan itulah
yang bikin nyala api birahi bergelora dengan hebat. Membakar dengan dahsyatnya.
“AAHHH,
AAHHH, AAHHH...”
“OOHHH,
OOHHH, OOHHH...”
Bergumul
dan terus bergumul.
“Plook, plook, plook...” Suara
kelamin mereka saat beradu.
“AAAHHHHH...!!!”
Keduanya
kompak melenguh panjang. Tubuh keduanya dengan kompak pula ambruk. Terbaring
lemas, dengan nafas terengah. Tenaga mereka terkuras, akibat persetubuhan hebat
yang baru saja selesai. Tidak perlu lama keduanya lalu terlelap. Tanpa sempat
terucap sepatah katapun. Bahkan, Amanda tidak menyadari lelehan sperma yang
keluar dari vaginanya.
***
Dengan perlahan
kesadaran Amanda muncul. Berbarengan ketika hendak membuka mata, rasa pening langsung
menyerang hebat. Kepala terasa luar biasa berat. Dengan susah payah, akhirnya
bisa juga Amanda menguasai diri sepenuhnya. Baru dia sadari keberadaan sosok
Pak Evan yang terbaring di sisi kirinya. Kedua mata sulit membuka, akibat silau
oleh sinar matahari. Tersentak Amanda saat itu juga. Segera disambarnya ponsel.
Melonjak dia dari ranjang. Sudah pukul satu siang. Padahal dia harus sudah ada
di bandara jam empat sore.
Dengan
panik, Amanda mencari gaun yang dipakainya semalam. Ketika ditemukan, dia
langsung memakainya, tanpa sadar bagaimana leceknya gaun tersebut. Tidak
berhasil dia temukan bra dan celana dalam. Tidak ingat di mana keduanya
terlepas semalam. Beruntung tas jinjing berhasil dia temukan, meski isinya sudah
terceceran. Dia temukan pula sandal hak tinggi miliknya.
“Van,
Van, gue balik ke hotel ya.” Amanda menguncang-guncang pelan tubuh Pak Evan.
“Heemm, heemm...” Hanya terdengar lenguhan dari mulutnya. Tidak kunjung dia
terbangun.
Tanpa bisa
lagi menunggu lebih lama, Amanda berlari keluar kamar. Berlari-larian pula dirinya
sepanjang selasar hotel. Di lobi, minta dia diorderkan taxi oleh resepsionis.
Butuh
tiga puluh menit, untuk Amanda tiba di hotel tempat crew menginap. Sama seperti tadi, dia juga berlari-larian sepanjang
selasar menuju kamar. Tanpa mempedulikan tatapan heran dari beberapa orang yang
berpapasan dengan dirinya.
Ketika membuka
pintu kamar, Amanda melihat Karin terbaring bugil di ranjang. Di saat yang berbarengan,
keluarlah seorang laki-laki dari kamar mandi. Amanda tidak mengenal laki-laki
itu. Keduanya terlihat kaget.
“Kamu
temennya dia?” Laki-laki itu menunjuk ke arah Karin.
Dengan refleks Amanda mengangguk.
“Maaf,
aku musti buru-buru balik. Tolong bilangin sama dia ya.”
Kembali Amanda
refleks mengangguk. Tanpa mengucap tambahan
kalimat apapun lagi, laki-laki itu keluar dari kamar. Sebagaimana layaknya
Amanda tadi, laki-laki itu juga berlarian. Terdengar dari suara langkahnya. Sepertinya
dia juga sedang diburu waktu.
Baru
kemudian Amanda tersadar, kalau Karin juga akan kesiangan. Dia guncang-guncang
tubuh sahabatnya itu, tanpa peduli adanya lenguhan penolakan. Akhirnya usaha
tersebut berhasil. Karin terlonjak, sama seperti dirinya tadi, saat diberitahu
jam berapa saat itu. Tanpa komando, mereka berdua berhamburan masuk ke kamar
mandi. Saling berebut shower, saling
berebut sabun, saling berebut shampoo.
Keluarnya pun juga berhamburan. Menyambar handuk, membuka koper, lalu menyambar
kotak make-up. Semua dilakukan serba
kilat. Keadaan baru kembali tenang waktu keduanya sudah selesai menata rambut.
“Lu tidur
di mana semalem?” Tanya Karin, sambil menggores pensil alis.
“Di
hotelnya Evan.”
Langsung
Karin menghentikan aktifitasnya. Menoleh dia ke Amanda. “Kontolnya gede nggak?”
“Seriously?” Dahi Amanda menekuk sebal.
Karin
terkekeh. “Sorry, cuma penasaran aja
sih.”
“Terus
cowok yang tadi itu siapa?”
Ganti
dahi Karin yang mengerut. “Cowok yang mana?”
“Cowok
yang keluar dari kamar ini, waktu gue dateng tadi.”
“Oh, nggak tau gue. Gue lupa namanya.”
Dengan santainya dia berucap.
Rupanya, laki-laki
itu hanya satu dari kisah ‘one night
stand’ lainnya dari Karin.
“Sialan. Tadi
malem itu cowok ‘keluar’ di mana ya?”
Gerutuan
Karin itu mengingatkan Amanda. Mengingatkan kalau Pak Evan juga ‘keluar’ di
dalam dirinya semalam. Tapi, dia tidak punya waktu untuk menyesali keteledoran
tersebut. Ponselnya dan ponsel Karin berbunyi hampir bersamaan. Pesan singkat dari
Kapten Baskoro. Memberitahu kalau mobil jemputan sudah jalan menuju hotel. Mengingatkan
kalau semua crew sudah harus siap di
lobi, setengah jam lagi. Amanda dan Karin beradu pandang. Bergegas lalu lanjut berias.
***
Sebenarnya
Pak Evan sudah menelpon dan mengirim pesan dari sore. Namun, Amanda baru bisa menelepon
balik malam harinya. Begitu tubuhnya bisa merasakan lagi empuknya kasur,
setelah seharian bergelut dengan rutinitas take
off dan landing.
“Kamu
keluar di dalem semalem...” Ucap Amanda, setelah beberapa jam berbincang.
“Kalau aku hamil gimana?”
“Aku akan
tanggung jawab.”
“Aku jadi
istri keduamu dong?”
“Kamu
nggak mau?”
“Nggak.”
“Kalau
begitu akan aku ceraikan istriku demi kamu.”
Saat itu,
ucapan itu terdengar indah di telinga Amanda. Meskipun akhirnya Amanda tidak
hamil. Disadari atau tidak, Amanda mulai jatuh hati pada Pak Evan. Begitu pula
sebaliknya. Percakapan malam itupun kemudian menjadi awal pertemuan demi
pertemuan berikutnya. Percintaan demi percintaan berikutnya.
Mulai rutin
mereka mengatur jadwal pertemuan. Entah itu Pak Evan yang musti merubah jadwal
kerjanya, atau Amanda yang merubah jadwal terbangnya. Ranjang hotel demi
ranjang hotel, di berbagai kota dan negara, jadi saksi bisu gairah percintaan
terlarang mereka.
Sampai
sebuah ucapan menciptakan celah lebar antara mereka. “Aku akan menceraikan
istriku.”
Bagi wanita
lain, ucapan tersebut tentu adalah kabar gembira. Dulu pun Amanda berharap akan
mendengar ucapan tersebut. Kini sudah tidak lagi. Bukan perpisahan Pak Evan
dengan istrinya, yang Amanda pikirkan. Tetapi, perpisahan Pak Evan dengan kedua
anaknya. Amanda juga lahir di keluarga broken
home. Ayah dan ibunya bercerai. Amanda tahu benar rasanya, ditinggal sosok
seorang ayah. Gadis cantik itu pun terpaksa merelakan cintanya untuk Pak Evan.
“Untuk
sementara kita jangan ketemu dulu ya.” Begitulah celah tersebut mulai
terbentuk.
“Tapi
kenapa?”
“Aku mau
tunangan...”
Akhirnya,
Amanda menerima cinta Raditya. Laki-laki yang dijodohkan kepadanya oleh sang
ibu. Di awal, kehadiran Radit ini semata hanya untuk melupakan Pak Evan. Serupa
seperti layaknya laki-laki lain yang hanya singgah sebentar di hidup Amanda.
Bahkan, beberapa diantara mereka hanya singgah satu malam saja. Seiring berjalannya
waktu, Amanda bisa melihat ketulusan dari sang calon suami. Dan hari pernikahan
pun ditetapkan.
“Bisa
kita ketemu sekali lagi?” Begitu isi pesan singkat Pak Evan. Balasan dari email
Amanda sebelumnya, yang melampirkan surat undangan pernikahan.
Rasa rindu
yang begitu kuat, membuat Amanda mengetik balasan, “Bisa.”
Maka
disepakati sebuah hotel berbintang di kota Kembang. Pertemuan yang semula hanya
akan jadi ajang perpisahan. Berakhir dengan pakaian yang berserakan di lantai. Dan
tubuh telanjang mereka yang beradu panas di ranjang.
“Aahhh,
aahhh, aahhh...”
“Oohhh,
oohhh, oohhh...”
Pak Evan
melampiaskan rasa rindu, bercampur cemburu hari itu. ‘Dihajarnya’ liang
kenikmatan Amanda tanpa ampun. Tanpa karet pelindung pula. Sang gadis cantik
tak kuasa menolak. Rasa cinta bercampur rasa bersalah, membuat dirinya hanya
bisa pasrah. Membuat dirinya rela untuk disetubuhi berkali-kali hari itu. Hanya
berselang dua hari, sebelum mengucapkan akad nikah di depan penghulu.
Selepas hari
itu, Amanda dan Pak Evan tidak pernah lagi bertemu. Termasuk di hari pernikahan
Amanda. Pak Evan memilih untuk tak datang. Sampai siang tadi, takdir hidup akhirnya
kembali mempertemukan mereka. Lagi-lagi berawal dari sebuah pesan singkat. Lagi-lagi
berakhir pula dengan beradunya tubuh telanjang mereka di ranjang.
***
“Lu bisa
jaga rahasia kan, Dit?” Kakak sepupuku itu berujar pelan.
Aku
mengangguk ragu. Dari cerita tadi, Amanda seperti ragu siapa ayah dari anak
pertamanya. Setelah resmi menikah, di malam bulan madu, Amanda memang dibuahi
oleh suaminya. Tetapi tiga hari sebelumnya, Pak Evan pun juga melakukan hal
yang sama. Entah sperma siapakah yang lebih dulu sampai di sel telurnya. Sampai
saat ini keraguan tersebut belum mendapat jawaban.
Hanya
kepada akulah Amanda bercerita soal ini. Katanya, hanya sekedar ingin
mengurangi rasa bersalahnya kepada suami. Mengurangi beban di hati.
(Oya, tulisan ini adalah bagian dari
cerita yang berjudul ‘Kumpul Keluarga’, di bagian di mana aku bertemu Amanda di
kamarnya).
“Lu
cerita soal ini Pak Evan?”
Amanda
menggeleng.
“Saran
gue, mending lu rahasiain deh soal ini sama suami, demi kelangsungan rumah
tangga lu.”
Amanda
mengangguk. Dia pun punya pendapat yang sama.
“Lu yakin
masih mau nerusin hubungan lu sama Pak Evan?”
“Kadang
ada cinta yang nggak bisa begitu aja bisa kita lupain kan, Dit. Meski garis
takdir nggak bisa nyatuin kita di
kehidupan ini.”
Mendengar
kata-kata itu, aku langsung terbayang hubunganku dengan Reza. Aku sendiri punya
‘kisah’ yang serupa, tapi tak sama. Tentu aku tidak bisa menghakimi cinta Amanda
ke Pak Evan. Memang begitulah cinta, akan selalu menjadi misteri dunia.
“Menurut elu,
gue salah ya?”
“Ng-nggak
sih.” Sedikit ragu aku memberi jawaban tersebut.
“Makasi
ya, Dit. Maaf loh, kok gue jadi curhat gini sih ke elu.”
“Nggak
apa-apa. Siapa tahu nanti giliran gue yang butuh curhat.” Aku tersenyum kecil.
Kami
berdua pun bersepakat, untuk merahasiakan pembicaraan malam tersebut.
“So, apa pendapat adik lu soal bodi gue?”
Amanda mengganti topik.
“Girang bangetlah
dia. Bodi lu seksi kayak gini.”
Kakak
sepupuku itu terkekeh.
“Maaf ya Manda,
gara-gara Ridho, gue jadi minta elu ngelakuin yang ‘aneh-aneh’.”
“Santai
aja. Anak muda kan kadang emang suka minta yang ‘aneh-aneh’.”
Kami
bertatapan, dan melempar senyum bersamaan.
“Ryan?”
“Leo?”
Senyuman itu
pun kemudian berganti tawa.
.
Cerita yang bagus, sayangnya amanda gak ngajak pak evan gabung mile high club.
BalasHapusLanjutin dong
BalasHapusLanjutin dong
BalasHapusLanjut
BalasHapusmsh belum update aja nih
BalasHapus